Harkat Pendekar 1-5


HARKAT PENDEKAR
Saduran : Gan K. H


Bagian 1 - 5



Pertengahan musim dingin, dan hawa terasa amat dingin menggigit. Lembah itu tertutup oleh salju.

Sejauh mata memandang, yang tampak cuma es, dan bumi kelihatan berwarna putih keperakan. Di lembah bersalju itu, seorang laki-laki sedang sibuk menggali sebuah lubang berukuran lebar tiga kaki, dalam lima kaki dan panjangnya tujuh kaki.

Dia masih muda, kuat, bertubuh tinggi dan berwajah tampan. Dan lebih dari itu, sikapnya seperti seorang pemuda terpelajar dan berasal dari keluarga berada. Bajunya tampaknya terbuat dari bahan yang mahal, dengan mantel berbulu tebal yang berharga seribu tael emas. Dia menggenggam sebilah tombak perak yang berkilauan di tangannya, dan gagang tombak terbuat dari perak murni.

Di atas gagang tombak terukir beberapa huruf berbunyi: “Hong Seng, Gin-jio, Khu”.

Pemuda seperti ini seharusnya bukan seorang penggali tanah. Tombak perak sebagus itu juga seharusnya tidak digunakan untuk menggali tanah.

Tempat itu adalah sebuah lembah yang indah di bawah naungan langit biru yang cerah. Tumpukan salju berwarna putih keperakan. Bunga bwe bermekaran dengan warna yang merah menyala.

Dia datang ke sini dengan menaiki kuda, menempuh perjalanan yang jauh. Kuda itu merupakan turunan kuda jempolan yang ternama, harganya pasti amat mahal.

Kuda jempolan. Pelana yang bagus dan mengkilap. Bahkan sanggurdinya pun terbuat dari perak murni.

Mengapa pemuda segagah ini, dengan kuda sebagus ini, mau menempuh perjalanan jauh datang ke sini dan menggunakan senjatanya untuk menggali tanah?

Lubang itu sudah selesai digali. Dia lalu berbaring di dalamnya seperti sedang mengukur besar-kecilnya, apakah sudah cukup nyaman baginya untuk rebah di sana. Apakah pemuda ini menggali lubang itu untuk dirinya sendiri?

Cuma orang mati yang menggunakan lubang seperti ini. Padahal dia masih muda dan sehat, agaknya dia masih bisa hidup selama beberapa puluh tahun lagi. Mengapa dia menggali lubang kubur untuk dirinya sendiri? Apakah dia ingin mati? Manusia mana pun pasti ingin hidup. Kenapa dia ingin mati? Dan kenapa harus mati di tempat ini?

Hujan salju sudah berhenti sejak tadi malam dan cuaca sudah menjadi cerah. Dia melepaskan pelana kudanya dan menepuk leher kudanya dengan perlahan. Lalu dia berkata, “Pergilah. Carilah seorang majikan yang baik.” Kuda yang gagah itu meringkik pelan dan segera berlari keluar dari lembah bersalju itu. Pemuda itu lalu duduk di atas pelana yang ditaruh di atas salju dan mendongak ke angkasa. Entah apa yang sedang dilamunkannya, sorot matanya tampak resah dan sedih.

Saat itulah serombongan orang datang ke lembah bersalju itu. Ada yang membawa kotak makanan. Ada yang memanggul meja dan kursi. Juga ada yang memikul dua guci arak. Mereka semua datang dari luar lembah. Orang yang berjalan di depan tampaknya seperti seorang pengurus rumah makan. Dia datang menghampiri pemuda tadi dan bertanya sambil tersenyum, “Maafkan hamba, Kongcu. Apakah tempat ini Han-bwe-kok?”

Pemuda penggali tanah itu mengangguk. Dia bahkan tidak melirik ke arah mereka.

Orang itu bertanya lagi, “Apakah Toh-siauwya yang mengundang Kongcu ke mari?”

Pemuda penggali tanah itu diam saja.

Pengurus rumah makan itu menghela napas. Dia lalu menggerutu sendiri, “Aku tidak paham. Kenapa Toh-kongcu menyuruh kami mengantarkan makanan dan arak ke sini?”

Seorang temannya tertawa dan berkata, “Anak-anak keluarga kaya kan tingkahnya aneh-aneh. Orang miskin seperti kita tentu saja tidak bakal mengerti.”

Segera mereka mengatur meja dan kursi di bawah sebatang pohon bwe, menyiapkan makanan dan arak di atas meja, dan kemudian bergegas pulang.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba dari luar lembah terdengar suara senandung dengan nada yang tinggi,

“Langit cerah, salju bertumpuk. Bunga bwe mekar semerbak di mana-mana. Naik keledai melintasi jembatan. Keleningannya berbunyi nyaring.”

Bunyi keleningan memang berkumandang nyaring dan merdu. Seorang yang menaiki keledai hitam dan seorang lagi menunggang kuda putih lalu memasuki lembah itu. Si penunggang keledai berwajah pucat, seperti orang berpenyakitan. Tapi wajahnya selalu dihiasi senyuman yang hangat dan pakaiannya pun perlente. Temannya berpakaian indah, dengan sebilah pedang panjang yang tergantung di pinggangnya, sebuah topi berbulu rase di kepalanya, dan sebuah mantel berbulu rase warna perak. Dengan menunggang seekor kuda putih yang gagah dan besar, sekujur badannya kelihatan berwarna putih keperakan. Dia tampak amat angkuh. Tentu saja dia pantas untuk bersikap angkuh. Memang tidak banyak pemuda yang setampan dia.

Agaknya ketiga pemuda ini semuanya berasal dari keluarga berada, berkumpul di sini tanpa perjanjian sebelumnya. Tapi jelas tujuan mereka berbeda. Kedua pemuda yang baru datang ini sedang berjalan-jalan menelusuri salju, mengagumi bunga-bunga bwe yang sedang mekar, dan menikmati pemandangan alam sambil minum arak. Pemuda yang menggali tanah itu sedang menunggu ajalnya.

Di bawah pohon bwe sudah tersedia arak. Pemuda yang selalu tersenyum tadi lalu menuangkan secawan dan menenggaknya. Lalu dia berkata, “Arak bagus.”

Di depan arak tumbuh kembang, dan bunga-bunga itu sedang mekar. Pemuda tadi menghabiskan secawan arak lagi dan berkata, “Kembang bagus!”

Warna kembang terpantul di salju, merah menyala. Dia menenggak secawan lagi dan berkata, “Salju bagus.”

Setelah tiga cawan arak masuk ke dalam perutnya, wajahnya yang pucat pun bersemu merah. Dia seolah-olah hendak melayang – semangatnya pun berkobar-kobar.

Walaupun tubuhnya lemah karena penyakitan, dia bisa menghargai kesenangan hidup. Agaknya dia tertarik pada segala sesuatu, dan karenanya dia hidup dalam aneka ragam kesenangan.

Pemuda tampan yang menunggang kuda putih, berbaju bulu dan membawa pedang panjang itu, ekspresi wajahnya justru tampak kelam dan kaku, seolah-olah tak ada yang bisa menarik perhatiannya.

Sambil tersenyum tipis, pemuda berpenyakitan tadi bertanya, “Salju bagus, kembang bagus, arak bagus. Kenapa kau tidak minum secawan?”

“Aku tidak minum arak,” jawab pemuda tampan itu.

Pemuda berpenyakitan berkata, “Kita jauh-jauh datang ke sini, dan kau tidak mau minum arak. Kau tidak memperdulikan lembah bersalju yang indah dan ribuan bunga bwe yang sedang mekar di sini.”

Dia lalu menghela napas dan bergumam, “Orang ini benar-benar kelewatan. Sungguh menyebalkan, kenapa aku berteman dengan dia?”

Si pemuda penggali tanah masih duduk melamun. Pemuda berpenyakitan itu tiba-tiba bangkit berdiri, berjalan menghampiri dan mengelilingi lubang itu beberapa kali. Lalu dia berkata, “Lubang bagus.”

Si pemuda penggali tanah cuma diam saja.

Pemuda berpenyakitan lalu meneruskan, “Lubang ini digali dengan bagus.”

Pemuda penggali tanah tetap diam tak memperdulikannya.

Maka pemuda berpenyakitan itu lalu beranjak ke hadapannya dan bertanya, “Apa kau yang menggali lubang ini?”

Pemuda penggali tanah itu tidak bisa diam lagi. Dia terpaksa berkata, “Ya.”

Pemuda berpenyakitan bertanya pula, “Tadi kubilang lubang ini digali dengan bagus. Apa kau tahu maksudku?”

“Kau ingin aku minum arak denganmu,” jawab pemuda penggali tanah.

Sambil tertawa, pemuda berpenyakitan berkata, “Kau bukan cuma bisa menggali tanah, tapi kau juga bisa menebak maksud hati orang lain.”

“Sayangnya, aku tidak mau minum,” kata pemuda penggali tanah.

Pemuda berpenyakitan tertawa lebar dan bertanya, “Kau tidak pernah minum?”

Pemuda penggali tanah menjawab, “Jika sedang senang, aku minum. Tapi jika tidak, buat apa minum?”

Pemuda berpenyakitan bertanya, “Dan sekarang, kenapa kau tidak mau minum?”

“Karena sekarang aku sedang susah, aku tidak mau minum,” jawab si pemuda penggali tanah ketus.

Walaupun demikian, pemuda berpenyakitan itu tetap tertawa dan berkata, “Sekarang aku tahu siapa kau. Sudah sering kudengar orang mengatakan bahwa watak Gin-jio Kongcu persis seperti tombaknya, lurus dan keras. Kau tentu Khu Hong-seng.”

Pemuda penggali tanah itu tidak menghiraukannya lagi.

Pemuda berpenyakitan tadi berkata, “Aku she Toh, namaku Ceng-lian (Teratai Hijau).”

Khu Hong-seng tetap tidak memperdulikannya, seolah-olah belum pernah mendengar nama itu.

Padahal dia mengenal nama itu. Di antara orang-orang yang berkelana di dunia Kang-ouw, amat sedikit yang tidak mengenal nama ini.

Di dalam Bu-lim, di jaman ini tentu tidak ada orang yang tidak kenal nama Bu-lim-si-toakongcu, empat kongcu ternama – Gin-jio (Tombak Perak), Pek-ma (Kuda Putih), Ang-yap (Daun Merah) dan Ceng-lian (Teratai Hijau). Dia juga tahu bahwa si pemuda tampan yang menunggang kuda putih, bermantel bulu dan membawa pedang panjang itu adalah Pek-ma Kongcu, Ma Ji-liong. Tapi dia pura-pura tidak mengenalnya.

Toh Ceng-lian menghela napas dan berkata, “Agaknya kau telah memutuskan untuk tidak minum hari ini.”

Mendadak terdengar sebuah suara yang nyaring dari luar lembah, “Kalau mereka tidak mau minum, biar aku saja.”

Orang yang gemar minum pun tiba. Setelah hujan salju berhenti, hawa malah lebih dingin dari sebelumnya. Mereka mengenakan pakaian berbulu, tapi tetap saja merasa dingin. Sebaliknya orang ini memakai baju tipis, dan walaupun bahannya bagus, baju itu tidak cocok dipakai dalam udara sedingin ini. Maka dia pun menggigil kedinginan. Tapi, walau udara teramat dingin, dia malah memegang sebuah kipas lempit di tangannya. Guci arak berada di atas meja, begitu pula dengan cawan-cawannya. Mereka melihat dia berjalan ke sana dan mengangkat sebuah guci dengan kedua tangannya. Lalu dia menenggak beberapa teguk. Setelah itu, sambil menghela napas dia berkata, “Arak bagus.”

Toh Ceng-lian tertawa.

Lalu orang itu menenggak sekali lagi dan berkata, “Bukan hanya arak dan kembangnya yang bagus, tapi saljunya juga bagus.” Setelah minum beberapa teguk, dia pun tidak menggigil lagi. Wajahnya mulai bersemu merah.

Walaupun orang ini miskin, dia tidak tampak menyebalkan. Dia justru mampu menarik simpati orang. Alisnya yang panjang lentik dan bola matanya yang cemerlang tampak menyenangkan. Bila tersenyum, sudut mulutnya terangkat, dua lesung pipi pun tampak menghiasi wajahnya. Toh Ceng-lian mulai menyukainya.

Orang ini benar-benar menyenangkan.

Orang ini juga berkata, “Dengan perasaan seperti ini, pemandangan yang seperti ini, di saat seperti ini, orang yang tidak mau minum seharusnya.....”

Toh Ceng-lian berkata, “Seharusnya.... apa?”

“Seharusnya dipukul pantatnya,” jawab orang itu.

Toh Ceng-lian tertawa terbahak-bahak. Pemuda penggali tanah itu tetap pura-pura tidak mendengar dan membisu. Kecuali orang yang sedang dia khawatirkan dan persoalan yang sedang membuatnya bingung dan gundah, dia tidak perduli pada urusan lain.

Walaupun Ma Ji-liong mengerutkan keningnya karena gusar, namun dia masih menahan sabar. Bukannya dia tidak berani. Dia cuma tidak mau menurunkan martabatnya dan bersikap kasar seperti orang ini.

Tapi pemuda yang baru datang itu justru mendekati dirinya. Sambil menepuk guci arak, dia berkata, “Ayo, kau pun minum secawan.”

“Kau tidak setimpal,” kata Ma Ji-liong dengan dingin.

Orang itu bertanya, “Oh, orang macam apa yang cukup setimpal untuk minum denganmu?”

“Orang macam apakah kau?” kata Ma Ji-liong.

Orang itu tidak menjawab. Malah, “sret!”, dia membuka lebar-lebar kipas di tangannya. Di kipas itu tertulis beberapa huruf. Tulisan itu sangat indah, amat berseni, persis seperti dirinya sendiri.

“Daun-daun di musim gugur lebih merah daripada bunga-bunga di bulan dua.”

Walaupun orang ini miskin, kipasnya itu jelas merupakan barang berkualitas tinggi. Selain itu, huruf-huruf di kipasnya pun tentu ditulis oleh seorang seniman ternama.

Toh Ceng-lian menenggak secawan arak lagi dan berkata, “Tulisan yang bagus.”

Orang itu mengangkat guci arak dan menenggak isinya. Lalu dia berkata, “Pandanganmu tajam juga.”

Toh Ceng-lian berkata, “Siapa yang menulis huruf-huruf itu?”

Orang itu menjawab, “Kecuali aku, siapa lagi yang bisa menulis sebagus itu?”

“Sekarang aku juga tahu siapa kau,” kata Toh Ceng-lian sambil tertawa tergelak.

Orang itu berseru, “Oh, benarkah begitu?”

Toh Ceng-lian melanjutkan, “Kecuali Sim Ang-yap, siapa lagi yang segila dirimu?”

Di antara Bu-lim-si-toakongcu itu, yang paling angkuh adalah Pek-ma (Kuda Putih) Ma Ji-liong. Yang paling keras wataknya adalah Gin-jio (Tombak Perak). Toh Ceng-lian adalah yang berhati paling hangat. Dan yang paling edan adalah Sim Ang-yap.

Tiga orang pertama – Ma, Khu dan Toh – berasal dari keluarga ternama. Sementara Kuda Putih, Tombak Perak dan Teratai Hijau adalah kongcu-kongcu yang berasal dari keluarga terkenal dan baik-baik, asal-usul Sim Ang-yap sendiri benar-benar misterius.

Menurut cerita, dia adalah keturunan dari pendekar nomor satu di jaman dulu, Sim Long.

Juga dikabarkan bahwa sahabat karib Siau Li Tam-hoa (Li Sun-hoan) – dan jago pedang tercepat di dunia – Ah Fei, adalah leluhurnya.

Sejarah hidup Ah Fei sendiri merupakan teka-teki, dan karena itu pula kisah hidup Sim Ang-yap juga merupakan teka-teki. Dia sendiri tidak pernah bercerita tentang asal-usulnya. Orang mencantumkan dirinya dalam Bu-lim-si-toakongcu karena dia dibesarkan dalam keluarga Yap. Keluarga Yap yang dimaksud tentu saja keluarga Yap Kay. Dan Yap Kay adalah murid Siau Li Tam-hoa. - Siapakah Siau Li si Pisau Terbang? Siapa yang tidak tahu tentang pendekar besar itu?

Saat ini Bu-lim-si-toakongcu sudah datang semua. Tapi bukan maksud mereka untuk bertemu di sini. Tempat ini letaknya ribuan li dari rumah mereka. Toh Ceng-lian memiliki selera yang tinggi, tidak mungkin dia mau menempuh perjalanan ribuan li hanya untuk menikmati panorama bunga bwe yang indah dan minum arak.

Khu Hong-seng juga tidak mungkin menempuh perjalanan jauh dan hanya duduk di situ untuk menunggu ajalnya. Jika orang ingin mati, di tempat mana pun bisa. Kenapa mereka semua datang ke sini? Untuk apa?

Dengan sikap dingin, Ma Ji-liong duduk di sana, bertingkah seolah-olah nama Sim Ang-yap tidak berarti apa-apa buat dirinya. Tapi tangannya telah bergerak meraba gagang pedangnya. Dia menatap Sim Ang-yap dengan dingin dan mendadak berkata, “Bagus sekali.”

Sim Ang-yap bertanya, “Apanya yang bagus sekali?”

“Kau adalah Sim Ang-yap. Itu bagus sekali,” jawab Ma Ji-liong.

Sim Ang-yap bertanya, “Kenapa begitu?”

“Mulanya aku menganggap dirimu tidak berharga, tidak setimpal bagiku untuk mencabut pedangku. Pedangku tidak pernah membunuh seorang badut,” jawab Ma Ji-liong.

Sim Ang-yap melanjutkan, “Dan sekarang?”

Ma Ji-liong berkata, “Sim Ang-yap bukan badut. Maka, jika sekarang kau menyemprotkan kata-kata kotor, di antara kau dan aku akan terjadi pertumpahan darah dan harus ada yang mati.”

Sambil tersenyum pahit, Sim Ang-yap menghela napas dan berkata, “Aku cuma meminta kau untuk minum arak denganku, dan kau sudah sebegitu marahnya!”

Toh Ceng-lian menyela, “Dia tidak mau minum. Tapi aku mau.” Lalu dia merebut guci arak dari tangan Sim Ang-yap, membuka mulutnya dan menenggak beberapa teguk. Sambil terbatuk, dia berkata, “Arak bagus.”

Sim Ang-yap merampas guci itu kembali dari tangannya dan minum beberapa teguk. Sambil menghela napas, dia berkata, “Arak seperti ini, biarpun diracuni juga akan tetap kuminum sampai mati.”

Toh Ceng-lian terkekeh dan berkata, “Benar sekali. Jika kita bisa mati di sini sekarang, itulah nasib kita yang bagus.”

Sim Ang-yap bertanya, “Kenapa begitu?”

“Karena... di sini sudah ada orang yang menggali liang lahatnya,” jawab Toh Ceng-lian.

Sim Ang-yap bertanya lagi, “Baguskah liang lahat itu?”

“Bagus sekali,” jawab Toh Ceng-lian.

Sim Ang-yap mendadak bangkit, sambil membawa guci arak dengan kedua tangannya, dia mengelilingi lubang di tanah itu beberapa kali. Lalu dia bergumam, “Benar, ini liang yang amat bagus. Jika orang mati dan dikuburkan dalam liang yang bagus seperti ini, dia benar-benar bernasib mujur.”

“Sayangnya dia bukan menggali liang ini untuk kita,” kata Toh Ceng-lian.

Sim Ang-yap berkata, “Cuma orang mati yang menggunakan liang seperti ini. Apakah dia ingin mati?”

“Agaknya begitu,” jawab Toh Ceng-lian.

Sim Ang-yap tampak kaget dan berkata, “Orang ini kenapa ingin mati?”

“Karena, seperti kita, dia sudah menerima sepucuk surat yang mengundangnya untuk datang ke sini hari ini.”

Sim Ang-yap bertanya, “Apakah surat yang dikirimkan oleh Bik-giok Hujin itu?”

Toh Ceng-lian menjawab, “Tentu saja.”

Sim Ang-yap berkata, “Bik-giok Hujin mengundang kita semua datang ke sini. Apakah karena dia ingin agar salah seorang dari kita menjadi menantunya?”

“Benar,” jawab Toh Ceng-lian.

Sim Ang-yap melanjutkan, “Bik-giok Hujin adalah jago kosen yang paling terkenal di dunia. Di Bik-giok-san-ceng, semua penghuninya adalah perempuan-perempuan yang amat cantik. Saat menerima surat itu, aku merasa begitu senangnya hingga tidak bisa tidur.”

“Aku bisa membayangkannya,” balas Toh Ceng-lian.

Sim Ang-yap berkata, “Jika dia memilihku sebagai menantunya, kurasa aku bisa gila saking senangnya.”

“Sebaiknya kau jangan menjadi gila. Bik-giok Hujin tidak mau menantunya menjadi gila,” kata Toh Ceng-lian.

Sim Ang-yap bertanya, “Apakah dia mau mengambil orang mati sebagai menantunya?”

“Tentu saja tidak,” jawab Toh Ceng-lian.

Sim Ang-yap bertanya lagi, “Kalau begitu, kenapa Khu-kongcu kita mendadak ingin mati di sini?”

Toh Ceng-lian berkata, “Karena dia adalah pemuda yang romantis. Ia sudah bertunangan dengan seorang nona muda yang cantik dan bersumpah setia sampai mati.” Ia menghela napas dan meneruskan, “Jika Bik-giok Hujin memilih dia menjadi menantunya, dia tidak akan bisa hidup bersama nona itu lagi.”

“Jadi, jika Bik-giok Hujin mengambilnya sebagai menantu, maka dia akan mati di sini,” tebak Sim Ang-yap.

“Benar sekali,” jawab Toh Ceng-lian.

“Tapi persoalan ini masih bisa dilihat dari sudut pandang lain,” kata Sim Ang-yap setelah berpikir sejenak.

Toh Ceng-lian bertanya, “Sudut pandang apa?”

Sim Ang-yap berkata, “Apakah menurutmu Bik-giok Hujin bisa melihat liang ini?”

Toh Ceng-lian terkekeh dan berkata, “Liang ini begitu besar. Walaupun orang tidak ingin melihatnya, rasanya hal itu sulit untuk dihindari.”

“Jika dia melihat liang ini, dia akan menyadari bahwa Khu-kongcu sudah bertekad untuk mati. Tidak mustahil dia akan membebaskannya pergi dan memilihku sebagai menantu Bik-giok-san-ceng,” kata Sim Ang-yap.

Sambil menghela napas, Toh Ceng-lian menjawab, “Kau benar-benar orang yang cerdas. Sudut pandang orang cerdas memang selalu berbeda dengan orang lain, apalagi dengan orang romantis.”

“Orang romantis belum tentu tidak cerdas,” kata Sim Ang-yap sambil tertawa tergelak.

Rona muka Khu Hong-seng sudah berubah. Tiba-tiba dia berdiri dan menatap Toh Ceng-lian. Lalu dia bertanya, “Kenapa kau bisa tahu semua ini?” Ini adalah rahasia, dan cuma dua orang yang tahu tentang hal ini. Tapi ucapannya itu telah mengukuhkan bahwa kata-kata Toh Ceng-lian memang benar.

Sambil menghela napas, Toh Ceng-lian berkata, “Kau tidak menyangka kalau aku pun tahu hal ini, bukan?”

“Ya, aku tidak mengira, kau tahu dari siapa?” tanya Khu Hong-seng.

“Semula aku juga tidak tahu, sayangnya nona cantik itu.....”

Dia tidak menyelesaikan kata-katanya. Mendadak muncul mimik yang aneh di wajahnya. Mukanya yang semula pucat mendadak berubah menjadi gelap. Dia menatap Sim Ang-yap dan membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar.

Sim Ang-yap berkata, “Apakah kau.....” Suaranya pun mendadak hilang setelah beberapa patah kata itu.

Mimik mukanya tampak aneh. Kedua orang itu berdiri saling berpandang-pandangan, sorot mata mereka menampilkan perasaan takut yang teramat sangat.

“Plok!”, guci arak Sim Ang-yap terlepas dari genggaman tangannya dan jatuh ke dalam liang, pecah berantakan.

Mendadak, dengan senyum yang sedih dan misterius di wajahnya, sepatah demi sepatah kata dia berujar dengan serak, “Agaknya nasibku lebih baik darimu. Aku berdiri di pinggir liang ini....” Ini adalah kata-kata terakhirnya. Dan belum habis bicara, tubuhnya sudah jatuh ke dalam liang. Walaupun liang lahat itu bukan dipersiapkan untuknya, tapi dia sudah masuk lebih dulu. Memangnya orang hidup mau berebut liang lahat dengan orang mati?
Toh Ceng-lian pun juga roboh. Sebelum terjatuh, darah merembes dari sudut mulutnya. Tapi dia masih berjuang untuk bangkit. Di atas meja masih ada arak di dalam guci lainnya. Ia merangkak ke sana dan menenggak arak itu. Sambil tertawa dengan keras, dia berkata, “Arak bagus. Arak bagus.” Suara tawanya terdengar melengking dan menyedihkan.

“Ini arak yang amat bagus. Walaupun aku tahu arak ini beracun, aku tetap meminumnya. Kalian berdua lihat, bukankah hari ini aku minum sampai mati?” Ketika suara tawanya lenyap, dia pun terjungkal ke dalam liang itu. Dia tidak mau membiarkan Sim Ang-yap memakai liang itu sendirian. Langit tiba-tiba berubah menjadi gelap, angin dingin terasa mengiris kulit, tapi kedua pemuda itu tidak akan pernah merasa kedinginan lagi.

Khu Hong-seng dan Ma Ji-liong mengawasi kematian kedua orang itu dengan ketakutan, mereka merasa diri mereka sendiri pun seperti akan ambruk juga. Perubahan ini terlalu mendadak, terlalu mencekam dan terlalu menakutkan.

Setelah sekian lama, Khu Hong-seng pelan-pelan mengangkat kepalanya dan menatap Ma Ji-liong. Tatapan matanya lebih dingin daripada angin. Sorot matanya tajam seperti pisau, seakan-akan dia hendak merobek dada Ma ji-liong dan mengorek hatinya. Kenapa dia memandang Ma Ji-liong seperti itu? Ma Ji-liong sudah pulih kembali ketenangannya. Toh Ceng-lian adalah temannya, yang baru saja mati dengan tiba-tiba tepat di hadapannya. Tapi dia tidak kelihatan sedih. Kematian Toh Ceng-lian sangat aneh. Tapi dia pun tidak kelihatan terkejut.

Agaknya dia tidak perduli apakah orang lain hidup atau mati, atau bagaimana mereka bisa mati, karena dia masih hidup. Karena dia masih tetap Ma Ji-liong, yang selamanya dijuluki Pek-ma Kongcu Ma Ji-liong.

Khu Hong-seng menatapnya. Tiba-tiba dia bertanya, “Kau benar-benar tidak pernah minum?”

Ma Ji-liong tidak menjawab. Jarang sekali dia mau menjawab pertanyaan orang. Biasanya, dialah yang bertanya dan memberikan perintah.

“Aku tahu kau juga minum arak. Aku pernah melihatmu minum, dan minummu itu tidak sedikit,” kata Khu Hong-seng.

Ma Ji-liong tidak mengiyakan dan juga tidak menyangkal.

Khu Hong-seng berkata, “Kau bukan cuma pernah minum, tapi kau juga sering minum. Bahkan kau sering mabuk. Saat berada di rumah makan Tin-cu-hong di Hangciu, kau minum siang dan malam selama tiga hari berturut-turut. Kau mengusir semua tamu di rumah makan Tin-cu-hong itu karena mereka semua jorok, tidak setimpal untuk minum denganmu.” Dia berhenti sejenak dan kemudian melanjutkan, “Menurut cerita orang, kau pernah menghabiskan seluruh persediaan arak Li-ang-ciu di rumah makan Tin-cu-hong itu, arak simpanan sebanyak 20 kati setiap gucinya. Dan kau menghabiskan empat guci. Sampai saat ini, belum ada yang berhasil memecahkan rekormu itu.”

Ma Ji-liong berkata dengan dingin, “Guci terakhir bukan berisi arak Li-ang-ciu. Rumah makan Tin-cu-hong itu cuma punya tiga guci arak Li-ang-ciu yang tulen.”

“Setelah menghabiskan enam puluh kati arak simpanan, kau masih bisa membedakan bahwa guci terakhir bukan berisi arak yang tulen. Kemampuan minum arakmu benar-benar bagus.”

“Kemampuanku minum arak memang bagus,” kata Ma Ji-liong.

Khu Hong-seng berkata, “Tapi.... hari ini kau tidak menyentuh arak setetes pun.” Sorot matanya semakin dingin. “Kenapa hari ini kau tidak minum? Kau tahu ada racun di dalam arak ini, bukan?”

Ma Ji-liong tetap tutup mulut.

Khu Hong-seng meneruskan, “Kau datang ke mari bersama Toh Ceng-lian. Kau tentu tahu di mana dia memesan makanan dan arak. Kau menyuap seseorang untuk meracuni arak itu. Itu benar-benar urusan yang amat mudah.”

Walaupun Ma Ji-liong tidak membenarkan, anehnya dia pun tidak menyangkalnya.

Khu Hong-seng berkata, “Aku sudah bertekad hendak mati daripada masuk ke Bik-giok-san-ceng. Sekarang Toh Ceng-lian dan Sim Ang-yap sudah tergeletak mati seperti ini, maka Bik-giok Hujin tidak perlu memilih lagi. Paduka yang mulia ini tentu akan menjadi menantunya.” Lalu dia menyeringai dan berkata, “Hal ini benar-benar menggembirakan.”

Ma Ji-liong tetap berdiam diri. Baru kemudian, dengan dingin dia berkata, “Sekarang aku paham apa maksudmu.”

“Seharusnya kau sudah paham,” Khu Hong-seng berkata, tombak perak sudah berada di tangannya.

Ma Ji-liong tidak mau bicara lagi. Perlahan-lahan dia melangkah dan berhadapan dengan Khu Hong-seng.

Mendadak seseorang muncul dan berkata, “Khu Hong-seng adalah milikku. Sekarang bukan giliranmu.”

Tidak ada yang tahu kapan orang ini tiba. Mungkin waktu Toh Ceng-lian dan Sim Ang-yap tewas secara tragis. Tidak ada yang memperhatikan urusan lain pada saat itu.

Orang ini bertubuh jangkung dan kurus, dengan tulang pipi yang menonjol tinggi. Kedua tangannya berukuran amat besar, memegang sepasang tombak emas. Kedua tombak ini panjangnya empat kaki sembilan dim, dan ujungnya gemerlap berkilauan. Andaikan tidak terbuat dari emas, bahan baku tombak-tombak itu amat mirip dengan emas.

Pakaian orang ini juga berwarna kuning keemasan. Bajunya tampaknya terbuat dari bahan yang mahal dan dijahit sesuai dengan ukuran tubuhnya. Ini adalah mereknya, sehingga bila orang-orang Kang-ouw melihatnya, mereka akan segera mengenalinya sebagai Kim-jio (Tombak Emas) Kim Tin-lin.

Dulunya, di dunia Kang-ouw, tombak yang paling terkenal adalah tombak emas ini – tombak emas Kim Tin-lin. Tapi keadaan sudah berubah sejak Gin-jio Kongcu mengalahkan tombak emas ini tiga tahun yang lalu. Sejak saat itu, di antara mereka sudah timbul kebencian yang tidak bisa dihilangkan oleh siapa pun.

Kim Tin-lin berkata, “Kita masih punya urusan yang belum beres. Hutang lama ini harus diselesaikan dulu.”

Dia mengacungkan tombak emasnya pada Khu Hong-seng dan berkata, “Dan kita akan melakukannya hari ini juga.”

Khu Hong-seng menyeringai dan berkata, “Waktumu amat tepat.”

Kim Tin-lin balas menyeringai. Tiba-tiba ia memutar tubuhnya, bergerak maju selangkah dan menusukkan tombak emas dengan ganas. Ketika sinar keemasan tampak berkilauan, Ma Ji-liong mengulurkan tangannya, tapi dia melangkah mundur. Ini adalah kebiasaan di dunia Kang-ouw bila orang lain hendak menyelesaikan hutang-piutang lama.

Serangan tombak emas itu keji, lincah dan kuat. Selain itu, tombak itu juga lebih panjang daripada tombak perak. Semakin panjang, semakin kuat. Tapi, tombak perak lebih ringan dan cepat, dan teknik yang digunakan juga jauh lebih baik daripada tombak emas. Tentu tombak emas akan kalah lagi. Khu Hong-seng jelas ingin mengakhiri pertarungan ini dengan cepat. Saat dia menjulurkan tangannya, dia sudah bersiap untuk menggunakan seluruh tenaganya. Tapi ketika dia hendak mendesak Kim Tin-lin, tiba-tiba seseorang muncul dari balik sebatang pohon bwe yang tertutup salju.

Orang ini serba hitam. Dengan baju hitam dan topeng hitam, seluruh badannya serba hitam. Tubuhnya lebih tinggi dan kurus dibandingkan dengan Kim Tin-lin, persis seperti sebatang anak panah berwarna hitam. Dia bergerak dengan cepat, amat mirip dengan sebatang anak panah.

Tangannya menggenggam sebilah golok, golok Yap-hap-to yang tipis dan tajam. Sinar golok berkilauan, langsung menyerang dengan cepat ke arah leher Khu Hong-seng. Benar-benar sebuah serangan golok yang mematikan.

Khu Hong-seng mengelakkan serangan golok itu, tapi akibatnya dadanya terbuka lebar. Tombak emas Kim Tin-lin pun secepat kilat menusuk ke jantungnya.

Serangan tombak ini juga mematikan! Setelah menyerang, Kim Tin-lin tidak berhenti lagi. Tubuhnya melayang di udara dan mencelat mundur sejauh 40 kaki.

Darah Khu Hong-seng menyembur keluar. Saat dia ambruk ke atas tanah, Kim Tin-lin sudah menjauh 100 kaki. Orang serba hitam malah mundur lebih cepat darinya.

Ma Ji-liong tidak mengejar. Dia malah menghambur ke arah Khu Hong-seng. Dia tidak perduli dengan nyawa orang lain. Tapi sekarang, jika dia tidak memeriksa, dia akan kehilangan kesempatan untuk melihat apakah Khu Hong-seng benar-benar sudah mati. Dan dia telah salah perhitungan – sesuatu yang tidak pernah diduga oleh siapa pun!

Kim Tin-lin tersusul oleh orang serba hitam, dan kedua orang itu lalu melarikan diri secara berdampingan. Orang serba hitam itu pelan-pelan mulai ketinggalan. Tiba-tiba, bagaikan kilat, golok Yap-hap-to di tangannya membacok ke leher sebelah kiri Kim Tin-lin. Serangan ini, bila dibandingkan dengan serangan yang dia lancarkan tadi, jauh lebih cepat dan keji.

Kim Tin-lin menjerit kesakitan, darah pun muncrat. Dia ingin memutar kepalanya untuk menyerang orang serba hitam itu. Tapi saat tubuhnya bergerak, dia pun ambruk ke atas tanah.

Setelah menyerang, orang serba hitam tadi tidak memperlambat gerakannya. Tubuhnya naik turun, melesat keluar dari lembah. Teknik membunuhnya benar-benar bersih, mulus dan amat efektif. Jelas dia adalah orang yang sangat berpengalaman. Setelah membunuh orang, dia pun pergi tanpa memandang ke belakang. Sayangnya gerakannya itu masih kurang cepat.

Tiba-tiba dia sudah dihadang oleh beberapa orang. Tadi dia membunuh untuk melenyapkan saksi, dan segera dia pun berpikir bahwa orang lain akan melakukan hal yang sama pula. Dia tidak menunggu lawan melancarkan serangan. Dia menyerang lebih dulu. Goloknya lebih beracun daripada ular berbisa. Saat membunuh orang, jarang sekali dia membuat kesalahan. Sayangnya kali ini dia memilih sasaran yang salah.

Di mulut lembah itu berdiri berdampingan tiga orang laki-laki -– yang satu bertubuh amat besar dan kuat; satunya lagi gemuk luar biasa; dan yang ketiga adalah seorang hwesio. Si tinggi besar tadi adalah seorang laki-laki tua berambut putih, bermuka merah dengan wajah yang serius dan sikap yang agung. Sedangkan untuk si hwesio itu, siapa pun yang terjun ke dunia Kang-ouw pasti tahu bahwa 'pengemis, wanita dan pendeta' adalah tiga jenis manusia yang paling sulit dihadapi.

Sebagai seorang pembunuh yang profesional, tentu saja dia akan memilih orang yang paling lemah. Dia pun memilih orang yang tampaknya bukan cuma gemuk luar biasa – tapi juga kelihatan amat lamban itu.

Mimpi pun dia tidak menyangka kalau orang gemuk ini adalah Peng Thian-pa, yang amat terkenal karena ilmu golok Ngo-hou-toan-bun-to keluarganya itu. Di jaman ini, itulah ilmu golok yang tercepat, paling keji dan paling termasyur di dunia Kang-ouw.

Peng Thian-pa tentu saja membawa golok di pinggangnya, masih tersarung. Tapi tahu-tahu golok itu sudah menyentuh tenggorokan si orang serba hitam. Tadi orang serba hitam itu sudah melancarkan serangan terlebih dulu, tapi mendadak dilihatnya kilauan golok yang menyambar tenggorokannya sendiri.

Si orang tua tinggi besar buru-buru berseru, “Jangan bunuh saksi......” Sayangnya, saat ketiga patah kata ini baru saja dikeluarkan, kepala orang serba hitam itu sudah terpisah dari lehernya.

“Kau terlambat!” Peng Thian-pa berkata sambil menghela napas.

Si orang tua tinggi besar juga menghela napas. Dia berkata, “Benar, seharusnya aku sudah tahu. Tidak pernah ada saksi hidup di bawah serangan golokmu.”

Si hwesio berkata dengan nada menyindir, “Walaupun Peng-tayhiap sudah banyak membunuh orang, tapi mereka semua memang pantas mati. Orang ini sudah mengambil nyawa lima orang secara berturut-turut, maka kematiannya tidak patut disesali.”

Si orang tua tinggi besar berkata, “Aku cuma ingin menanyai dia tentang kelima orang pelayan dari rumah makan Kik-hong-wan. Mereka bukan orang-orang Kang-ouw dan tidak punya musuh. Kenapa dia harus memasang perangkap kematian untuk mereka?”

Peng Thian-pa berkata, “Walaupun orang ini sekarang sudah mati, belum tentu kita tidak bisa menuntaskan persoalan ini cepat atau lambat.”

Orang tua itu menyindir, “Siapa yang akan kita tanyai? Kecuali dia, siapa lagi yang tahu tentang persoalan ini?”

Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang keras, “Aku.”

Ternyata Khu Hong-seng tidak mati. Dia berjuang untuk bangkit dan mendorong Ma Ji-liong ke samping. Dengan terengah-engah dia berkata, “Untunglah aku tahu apa yang telah terjadi.”

Sejak jaman kemasyuran puteri-puteri dari Ih-hoa-kiong (Istana Bunga), perempuan yang paling ajaib dan misterius di dalam Bulim adalah Bik-giok Hujin, dan tempat yang paling rahasia di dunia ini adalah Bik-giok-san-ceng. Tidak seorang pun di dunia Kang-ouw yang tahu banyak tentang Bik-giok-san-ceng atau di mana letaknya. Ini terjadi karena, seperti Ih-hoa-kiong, Bik-giok-san-ceng adalah dunianya para wanita, di mana laki-laki tidak diperbolehkan masuk.

Menurut cerita orang, perempuan-perempuan di sana bukan saja amat cantik, mereka semua juga melatih semacam ilmu kungfu yang amat misterius. Tapi, biarpun mereka adalah perempuan-perempuan yang hebat, ada saatnya di mana laki-laki tetap dibutuhkan. Jika mereka ingin punya keturunan, mereka tidak bisa melakukannya tanpa laki-laki.

Puteri Bik-giok Hujin sudah cukup umur, dan Bik-giok Hujin sendiri tentu saja tidak mau anaknya hidup sendirian untuk selamanya. Seperti ibu-ibu lainnya, dia pun harus mencari menantu yang tepat. Di jaman ini, laki-laki yang paling pantas dipilih di dunia Kang-ouw, yang patut menjadi menantunya, sudah pasti keempat orang Bu-lim-si-toakongcu.

Sayangnya dia cuma punya seorang puteri dan hanya bisa memilih satu dari keempat orang pemuda itu. Maka dia pun mengundang mereka ke Han-bwe-kok sini. Bila Bik-giok Hujin mengundang orang, tidak seorang pun yang bisa mengatakan tidak. Tidak satu pun yang berani.

Karena itu keempat orang Bu-lim-si-toakongcu -– Khu Hong-seng, Ma Ji-liong, Toh Ceng-lian dan Sim Ang-yap –- semua datang ke sini. Bik-giok Hujin tentu saja tidak berniat menyimpan rahasia ini, tapi keempat pemuda itu sendiri tidak mau menyinggung hal itu. Ini terjadi karena hanya salah satu dari mereka yang akan terpilih, dan yang tidak terpilih tentu akan kehilangan muka. Keempat pemuda itu sama-sama terkenal. Ditolak orang tentu saja sangat memalukan.

Tidak seorang pun yang menduga bahwa arak beracun akan membunuh Toh Ceng-lian dan Sim Ang-yap dan bahwa musuh bebuyutan Khu Hong-seng – Kim-jio Kim Tin-lin – akan muncul di sini. Selain itu juga ada si pembunuh bayaran. Selain keempat orang pemuda itu, tidak ada yang tahu kalau Khu Hong-seng hari ini akan berada di sini. Kenapa Kim Tin-lin bisa tahu tentang hal ini?

Tentu ada seseorang yang menyuruhnya datang ke sini. Orang itu juga menyewa seorang pembunuh bayaran karena dia tahu bahwa Kim Tin-lin mungkin bukanlah tandingan Khu Hong-seng.

Tentu orang ini pula yang meracuni arak. Lalu, untuk membungkam mulut para saksi, dia menyuruh Kim Tin-lin dan pembunuh bayaran itu untuk membinasakan kelima orang pelayan dari rumah makan Kik-hong-wan.

Orang itu juga menyuruh si pembunuh bayaran untuk membunuh Kim Tin-lin agar melenyapkan seorang saksi lagi. Dia tidak takut kalau si pembunuh bayaran akan membuka rahasianya karena pembunuh bayaran itu seorang profesional. Dia bukan saja mempunyai hati yang hitam, tangan yang keji dan golok yang cepat, bibirnya juga akan selalu tertutup rapat. Maka, biarpun pembunuh bayaran itu tetap hidup, dia tidak akan membocorkan rahasia pelanggannya.

Khu Hong-seng akhirnya menarik kesimpulan, “Menurut rencana itu, seharusnya aku sudah mati oleh tombak emas Kim Tin-lin, dan kalian bertiga tidak ada di sini. Rencana orang ini benar-benar hebat, dan tak ada orang yang lebih cerdik darinya. Bik-giok Hujin pasti tidak perlu memilih lagi. Tentu orang inilah yang akan menjadi menantu Bik-giok-san-ceng.”

Khu Hong-seng tidak menyebutkan siapa orang itu, dan dia memang tidak perlu mengatakannya. Semua orang jelas paham. Semua orang sedang menatap Ma Ji-liong dengan dingin.

Ma Ji-liong tidak menjawab. Tak perduli bagaimanapun orang lain memandangnya, tak perduli apa pun yang orang pikirkan tentang dia, dia tetap acuh tak acuh.

Peng Thian-pa berjalan mondar-mandir. Meskipun gemuk, dia amat aktif. Langkah kakinya terhenti oleh mayat Kim Tin-lin, lalu dia memungut tombak emas itu. Dia menimbang-nimbangnya dalam genggamannya dan bergumam, “Tombak ini tidak berat.”

“Dia melatih ilmu Tombak Bunga dari keluarganya. Ilmu itu memang termasuk ilmu tombak ringan,” Khu Hong-seng menjelaskan.

Peng Thian-pa berkata, “Menurut cerita, pernah ada seseorang yang melemparkan tujuh keping uang tembaga di depannya. Dalam sekali ayunan, tombaknya sudah berhasil menusuk tembus semuanya.”

“Ilmu tombaknya memang sangat akurat,” Khu Hong-seng memberi komentar.

Sambil menghela napas, Peng Thian-pa berkata, “Tentu dia tidak berpikir begitu. Kali ini tusukannya meleset.”

Khu Hong-seng berkata, “Memang benar.”

Peng Thian-pa berkata dengan nada kering, “Kalau tusukannya tidak meleset dari sasaran, bagaimana mungkin kau masih bisa hidup?”

Khu Hong-seng tidak memberikan jawaban langsung. Dia malah berusaha membuka pakaiannya. Baju luarnya merupakan mantel bulu yang tebal. Di dalamnya ada tiga lapisan lagi. Lapisan baju yang terdekat dengan kulit mempunyai sebuah kantung, persis di atas jantungnya. Di dalam kantung itu tersimpan sebuah dompet.

Di atas dompet itu tersulam gambar bunga. Sulaman itu amat bagus, jelas dibuat oleh tangan perempuan yang cekatan. Sekarang, dompet bersulam itu sudah tertusuk bolong. Di dalam dompet juga ada sepotong Giok-pwe (mainan kalung dari batu giok), dan Giok-pwe itu juga sudah hancur berantakan.

Tentu saja tombak Kim Tin-lin tidak meleset. Tombak itu pasti sudah menembus mantel bulu Khu Hong-seng dan kemudian menusuk jantungnya. Tapi Kim Tin-lin tidak menduga kalau ada sepotong giok yang tersimpan tepat di luar kulitnya, persis di depan jantung.

Khu Hong-seng berkata, “Dompet ini diberikan oleh Siau-hoan kepadaku. Dia ingin agar aku memakainya tepat di luar kulitku. Dia tak mau aku melupakannya karena perempuan lain.”

Tiba-tiba sorot matanya melunak. Dia berkata, “Aku tidak melupakannya, dan karena itulah aku masih hidup.” Siau-hoan pasti kekasihnya. Dia lebih suka mati daripada mengingkari kekasihnya.

Peng Thian-pa menghela napas. Dengan sinar mata berseri, dia berkata, “Agaknya menjadi orang romantis juga ada keuntungannya.”

Si orang tua tinggi besar tiba-tiba berkata, “Khu-kongcu, walaupun aku tak mengenalmu, tapi aku mengenali tombak perak ini.”

Khu Hong-seng berkata, “Tombak ini diwariskan turun-temurun di keluargaku. Boanpwe tidak berani memamerkan diri sendiri.”

Orang tua itu berkata, “Aku tahu.” Dengan ekspresi wajah yang hangat, dia meneruskan, “Dulu ayahmu menggunakan tombak perak ini untuk bertempur melawan kawanan beruang dari Tiang-pek-san. Aku pun ikut berada di sana.”

Kawanan beruang dari Tiang-pek-san adalah penjahat-penjahat yang berkuasa dan jahat, bertahun-tahun mereka menduduki daerah Liau-tang. Orang-orang di dunia Kang-ouw tidak berani melanggar daerah kekuasaan mereka itu.

Suatu saat ayah Khu Hong-seng dan Hong-seng-thian Tayhiap, Pang Tio-hoan, menyerbu ke gunung Tiang-pek-san. Dengan tombak perak dan sepasang gun-goan-pai yang terbuat dari baja murni – logam pipih yang dinamakan sesuai dengan tenaga kasar Pang Tio-hoan, mereka berhasil mengobrak-abrik sarang kawanan beruang dari Tiang-pek-san itu. Pertempuran tersebut bukan hanya mengguncangkan dunia di jaman itu, sampai hari ini pun orang masih membicarakannya.

Khu Hong-seng bertanya, “Apakah Cianpwe adalah Pang-tayhiap?”

“Benar, aku Pang Tio-hoan,” jawab orang tua itu.

Sambil tersenyum tipis, orang tua itu menunjuk Peng Thian-pa, “Kau lihat dia menggunakan golok. Tentu kau tahu siapa dia.”

Selain ilmu golok Ngo-hou-toan-bun-to, di kolong langit ini benar-benar tidak ada golok yang bisa menyayat seperti itu. Sebuah sabetan golok -- akibatnya perasaan orangnya disabet, manusianya disabet dan nyawanya pun disabet! Selain itu, sekali golok itu membunuh orang, selamanya tidak akan pernah ada saksi.

Sambil menghela napas, Khu Hong-seng berkata, “Orang ini memang sudah berbuat jahat. Dia pantas mati di bawah Ngo-hou-toan-bun-to-hoat.”

Peng Thian-pa tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Tadi, jika si hwesio yang turun tangan, aku khawatir kematiannya akan lebih cepat lagi.”

Memangnya kungfu hwesio itu lebih keji lagi daripada ilmu golok Ngo-hou-toan-bun-to?

“Apakah Cianpwe ini adalah Coat-taysu dari Siau-lim-si?” Khu Hong-seng menebak-nebak.

“Benar. Dia adalah Coat-taysu,” jawab Peng Thian-pa.

Coat-taysu dari Siau-lim-pay memang benar-benar keji dan tidak punya perasaan. Semua kejahatan di kolong langit ini adalah musuhnya. Semua penjahat yang jatuh ke dalam cengkeramannya akan segera pergi ke neraka.

Khu Hong-seng menghela napas dan berkata, “Tidak ada yang mengira kalau dewata akan mengutus ketiga Cianpwe datang ke sini.”

“Jika kami tidak bermaksud datang ke sini, maka kami tidak akan datang,” kata Peng Thian-pa.

Pang Tio-hoan menambahkan, “Sebenarnya kami cuma ingin minum-minum di rumah makan Kik-hong-wan.” Dia adalah pelanggan tetap Kik-hong-wan.

Di rumah makan ini, pelanggan tetap mempunyai pelayan sendiri yang siap melayani mereka, karena hanya pelayan-pelayan ini yang tahu kesukaan si pelanggan. Tidak perduli apakah mereka ingin makan atau minum, mereka tidak perlu memesan lagi. Tapi hari ini, ketika Pang Tio-hoan berada di sana, pelayannya sedang dikirim untuk mengantarkan makanan dan arak ke Han-bwe-kok.

Cuaca sedingin ini, tapi ada orang yang ingin menyaksikan bunga bwe dan minum-minum di lembah. Tentulah orang ini mempunyai selera yang tinggi.

Peng Thian-pa meneruskan, “Setelah minum tiga cawan arak, kami bertiga mendapatkan ide yang cemerlang, hendak melihat orang yang berselera tinggi ini.”

Pang Tio-hoan menambahkan, “Kami tidak menyangka kalau di pertengahan jalan ke lembah ini, kami akan menemui mayat orang-orang dari rumah makan.”

“Semuanya dibunuh dengan sebilah golok. Setiap sabetan pun bersih dan amat cepat!” Peng Thian-pa berkata.

Pang Tio-hoan melanjutkan, “Dia sendiri adalah seorang jago golok. Tentu saja dia tidak tahan ingin melihat siapa orang yang mempunyai ilmu golok secepat itu!”

Peng Thian-pa mengakhiri, “Itulah sebabnya kami bertiga, yang seharusnya tidak datang, sekarang berada di sini.”

Ini benar-benar sudah takdir. Khu Hong-seng menengadah ke langit dan bergumam, “Thian yang maha pemurah, Kau tidak buta. Siapa yang membunuh, akan dibunuh!” Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan menghadap ke arah Ma Ji-liong. Lalu dia berujar sepatah demi sepatah kata, “Kau ingat ini di dalam benakmu dan jangan pernah lupa.”

Saat itulah langit berubah menjadi gelap. Malam di musim dingin memang selalu datang teramat cepat.

Tetap tidak ada jawaban dari Ma Ji-liong. Jika itu orang lain, seandainya tidak minggat, mereka tentu akan menyangkal dosanya dengan keras. Tapi dia tidak. Dia cuma berdiri dengan tenang di sana, seolah-olah hal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan dia.

Dia tidak menyangkal. Apakah karena dia tahu kalau persoalan ini tidak bisa dibantah?

Dia tidak melarikan diri. Apakah karena dia tahu bahwa tidak seorang pun bisa lolos dari kejaran tiga orang di depannya ini?

Coat-taysu sejak tadi berdiri di sana dengan tenang, wajahnya tanpa ekspresi. Baru sekarang dia mulai bicara, “Agaknya aku pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa ilmu golok Ngo-hou-toan-bun-to adalah ilmu golok terbaik di dunia, dan tidak ada ilmu golok yang tidak dia ketahui di kolong langit ini.”

Peng Thian-pa berkata, “Kau memang pernah mendengarnya. Bukan 'agaknya'.”

Coat-taysu bertanya, “Siapa yang mengucapkan kata-kata itu?”

“Tentu saja aku,” Peng Thian-pa menjawab.

Coat-taysu berkata, “Jika kau yang bicara, tentu tidak salah.”

Peng Thian-pa berkata, “Meskipun aku suka membual, aku cuma membual pada wanita, bukan pada hwesio.” Dia tertawa dan meneruskan, “Membual pada hwesio sama seperti bermain musik di depan sapi, tidak ada gunanya.”

Coat-taysu tidak menjadi marah, dia juga tidak balas bergurau. Wajahnya tetap dingin dan kaku. Dia berkata, “Orang serba hitam tadi hendak membunuhmu dengan goloknya. Serangan golok tadi pasti merupakan jurus terbaiknya.”

Peng Thian-pa berkata, “Dalam keadaan seperti tadi, dia pasti menggunakan jurus terbaiknya.”

“Tapi agaknya kau pernah bilang bahwa tidak ada ilmu golok yang tidak kau ketahui di kolong langit ini,” kata Coat-taysu.

“Memang,” kata Peng Thian-pa.

Coat-taysu bertanya, “Kalau begitu, jurus tadi berasal dari partai mana?”

Peng Thian-pa berkata, “Tidak tahu.” Jawabannya langsung saja, tanpa tedeng aling-aling. Orang-orang Kang-ouw memang tahu bahwa ketua perguruan golok Ngo-hou-toan-bun-to sekarang ini adalah orang yang tidak suka bertele-tele.

Coat-taysu bertanya lagi, “Kau benar-benar tidak tahu?”

Peng Thian-pa menjawab, “'Tidak tahu' berarti 'tidak tahu'. Memangnya ada arti lain?”

“Kau tidak tahu, tapi aku tahu,” kata Coat-taysu.

Tentu saja Peng Thian-pa sangat terkejut. Terlontar kata-katanya, “Kau tahu?”

Coat-taysu berkata, “'Aku tahu' berarti 'aku tahu'. Tidak ada arti lain.”

Peng Thian-pa tertawa dan bertanya, “Jurus golok itu berasal dari partai mana?”

“Itulah Thian-sat!” Coat-taysu menjawab.

Thian-sat!

Peng Thian-pa bertanya, “Aku masih tidak mengerti. Apa itu Thian-sat?”

“Buka bajunya dan periksalah,” jawab Coat-taysu.

Di dada orang serba hitam itu terdapat belasan huruf berwarna merah menyala. Apakah huruf-huruf itu ditato dengan tinta merah ataukah darah?

Tulisan itu berbunyi, “Thian memberikan segalanya kepada manusia, manusia tidak pernah memberikan apa-apa kepada Thian, Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh!”

Bunuh!

Peng Thian-pa bertanya, “Inikah Thian-sat itu?”

“Benar,” kata Coat-taysu.

“Sayangnya aku masih belum paham,” kata Peng Thian-pa.

Coat-taysu menjelaskan, “Thian-sat adalah sebuah organisasi pembunuh bayaran. Di dalam organisasi ini, anggotanya membunuh untuk mencari nafkah, dan mereka membunuh demi kesenangan. Asal kau punya uang, siapa pun yang kau ingin mereka bunuh, mereka akan bunuh orang itu untukmu.”

Peng Thian-pa bertanya, “Bagaimana kau tahu?”

“Aku sedang memburu mereka, aku sudah memburu mereka selama lima tahun ini,” jawab Coat-taysu.

“Bagaimana caramu memburu mereka?” Peng Thian-pa bertanya lagi.

Coat-taysu menjawab, “Aku memburu markas mereka, pemimpin mereka, dan nyawa mereka!” Lalu dia meneruskan dengan pelan, “Siapa yang membunuh, harus dibunuh. Mereka sudah membunuh banyak korban. Jika mereka tidak mati, lalu di mana letaknya keadilan?”

“Kau belum menemukan mereka?” Peng Thian-pa bertanya.

“Belum,” jawab Coat-taysu.

Peng Thian-pa berkata, “Tapi suatu hari nanti kau akan menemukan mereka. Jika tidak, mati pun kau tidak akan melepaskan mereka.”

“Benar,” kata Coat-taysu.

Langit menjadi gelap, angin yang dingin menyayat bagaikan pisau. Peng Thian-pa membungkukkan badan dan menutup mayat orang serba hitam itu dengan mantelnya, seolah-olah dia khawatir kalau orang serba hitam itu kedinginan. Tapi orang mati tentu saja tidak merasa kedinginan.

Seandainya orang serba hitam itu masih hidup, dia tentu sudah membeku ketakutan. Peng Thian-pa tidak perlu melakukan hal ini. Tapi orang memang selalu bersikap baik pada orang mati. Ini terjadi karena setiap orang pasti mati, dan mereka berharap orang lain pun akan bersikap baik pada mereka bila giliran mereka sudah tiba. Tapi saat Peng Thian-pa menarik mantel itu, sebuah benda tiba-tiba terjatuh.

Itulah sepotong giok – paling langka di antara yang langka dan paling berharga di antara benda-benda berharga. Giok adalah benda yang membawa kemujuran. Bukan hanya bisa mengusir setan, tapi juga membawa kemakmuran dan ketenangan.

Dalam sebuah kisah klasik, diceritakan bahwa giok pun bisa 'berkorban' untuk pemiliknya. Potongan giok yang diberikan oleh Siau-hoan pun sudah menyelamatkan nyawa Khu Hong-seng.

Tapi potongan giok yang ini malah menginginkan nyawa Ma ji-liong. Karena giok itu terikat dengan seutas tali sutera. Ujung lain tali sutera itu terikat pada sebuah medali emas. Di salah satu sisi medali emas itu terukir lukisan seekor kuda. Di sisi lain medali itu ada tertulis beberapa huruf!

“Thian-ma-hing-khong”.

Inilah lencana perintah Thian-ma-tong. Dan Ma Ji-liong adalah putera pemimpin Thian-ma-tong.

Bagaimana mungkin lencana perintah Thian-ma-tong bisa ditemukan di tubuh pembunuh ini? Cuma ada satu penjelasan. Ma Ji-liong tentu menggunakan potongan giok dan lencana perintah ini untuk meminta si pembunuh agar datang ke sini dan membunuh orang – Toh Ceng-lian, Sim Ang-yap, Khu Hong-seng, Kim Tin-lin, dan para pelayan dari rumah makan Kik-hong-wan.

Tapi dia tak menduga kalau Khu Hong-seng tidak mati dan Peng Thian-pa, Pang Tio-hoan dan Coat-taysu akan tiba di tempat kejadian. Inilah kejadian yang tak disangka-sangka. Kegagalan membunuh juga tidak diduga-duga. Inilah pesan dari Thian untuk si pembunuh!

Sampai sekarang tidak seorang pun yang menyebut nama orang ini. Karena hal ini adalah persoalan besar. Kematian Toh Ceng-lian, Sim Ang-yap, dan Kim Tin-lin tentu akan mengguncangkan dunia Kang-ouw. Lebih dari itu, tidak mustahil akan segera terjadi aksi balas dendam di antara keluarga-keluarga ternama di dunia Kang-ouw!

Bila peristiwa itu sampai terjadi, maka tidak akan mudah mengakhirinya. Tidak seorang pun yang tahu berapa banyak orang tak berdosa yang akan mati karenanya.

Dengan raut muka kelam, Pang Tio-hoan perlahan-lahan berkata, “Sekarang kita harus mendengarkan apa yang akan dikatakan Ma Ji-liong.”

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Ma Ji-liong pelan-pelan melepaskan mantel bulu rubahnya. Lalu dia berkata dengan perlahan-lahan, “Sam-siok (paman ketigaku) mendapatkan ini waktu berburu pada malam hari di gunung saat dia masih muda. Ini adalah barang milik pamanku. Aku tidak boleh merusaknya di tanganku.”

Dia menyerahkan mantel bulu rubah itu pada Peng Thian-pa dan berkata, “Aku tahu, dulu Cianpwe dan Sam-siok bersahabat. Kuharap kau mau membawa benda ini kembali ke Thian-ma-tong dan memberikannya pada bibiku.”

Sambil menghela napas, Peng Thian-pa berkata, “Ma-samko mati muda. Aku...... aku pasti akan mengembalikannya untukmu.”

Ma Ji-liong pelan-pelan melepaskan pedang panjangnya yang indah dan berkilauan, dan memberikannya pada Coat-taysu.

Dia berkata, “Pedang ini mulanya diberikan kepada ayahku oleh ketua Bu-tong-pay. Siau-lim dan Bu-tong berasal dari aliran yang sama. Kuharap kau bersedia mengembalikan pedang ini kepada Hian-cin Koancu di Bu-tong-pay sehingga tidak terjatuh ke tangan yang salah!”

“Baik,” kata Coat-taysu.

Kembali Ma Ji-liong mengeluarkan setumpuk perak dan daun emas dari tubuhnya dan memberikannya pada Pang Tio-hoan.

“Kepada siapa kau ingin memberikannya?” Pang Tio-hoan bertanya.

“Harta tidak ada pemilik aslinya. Kau boleh memberikannya pada siapa saja,” jawab Ma Ji-liong.

Pang Tio-hoan merenung sejenak dan kemudian berkata, “Aku akan mendermakannya untukmu. Ini perbuatan yang baik.”

Sekarang setiap orang sudah tahu bahwa Ma Ji-liong sedang menjelaskan pada mereka apa yang dia inginkan setelah dia mati. Jarang ada orang yang menentang keinginan terakhir orang yang akan mati. Mereka menggenggam benda-benda yang diberikan Ma Ji-liong dengan kedua tangan mereka, hati mereka terasa berat.

Sambil menghela napas dalam-dalam, Ma Ji-liong bergumam, “Sekarang yang tersisa cuma kuda ini.”

Kuda putihnya masih terikat pada sebatang pohon bwe di pinggir sana. Kuda itu adalah hewan yang terlatih dan terkenal. Dan, seperti majikannya, meskipun dalam bahaya dia tetap tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Ma Ji-liong berjalan menghampiri dan melepaskan talinya. Dia menepuk bokong hewan itu dan berkata, “Pergilah!”. Kuda putih itu meringkik perlahan dan segera berlari pergi.

Lalu Ma Ji-liong membalikkan badan dan menghadapi Pang Tio-hoan. Dia berkata, “Sekarang cuma ada satu hal yang hendak kukatakan.”

“Katakanlah,” kata Pang Tio-hoan.

Ma Ji-liong berkata dengan dingin, “Sekarang kalian harus mengejarku!”

Habis berkata begitu, tubuhnya segera melesat seperti anak panah dan meletik di udara. Kuda putihnya tadi pergi dengan berlari-lari kecil, tapi kemudian bertambah kencang, dan sekarang jaraknya ada 20-30 kaki. Ma Ji-liong mengerahkan seluruh kekuatan tubuhnya, menampilkan ilmu ginkang Thian-ma-hing-khong (Kuda Langit Berlari Di Angkasa). Ilmu ginkang ini sebenarnya menguras banyak energi. Tapi, di saat tenaganya surut, dia telah berhasil menyusul kudanya. Inilah kuda dengan kecepatan tak tertandingi. Sekarang tubuhnya sudah hangat, maka dia bisa berlari secepat mungkin. Ma Ji-liong melompat ke atas punggung kuda, dan kuda itu pun meringkik panjang. Lalu mereka bergerak seperti naga. Penunggang dan kudanya sama-sama serba putih, dan begitu pula dengan bumi.

Pang Tio-hoan dan Peng Thian-pa bergerak mengejar, tapi tangan mereka menggenggam daun emas dan mantel bulu rubah yang diberikan Ma Ji-liong pada mereka. Saat mereka merasa betapa mengganggunya benda-benda itu, penunggang dan kudanya ternyata sudah lenyap dari pandangan. Pang Tio-hoan membanting kakinya, dan tumpukan daun emas itu terjatuh ke atas tanah. Lalu dia berkata, “Aku benar-benar bodoh.”

Langit semakin gelap. Angin bertambah dingin, menyayat seperti pisau. Tapi wajah Ma Ji-liong tampak merah membara – merah karena gusar! Ini terjadi karena dia tahu sendiri bahwa dia tidak membunuh siapa-siapa. Dan tentu saja dia tidak meracuni arak itu.

Sayangnya, selain dirinya sendiri, tidak ada orang yang akan percaya bahwa dia tidak bersalah. Dia memahami hal ini. Karena itu dia lari.

Dia tentu saja tidak perduli dengan kematian. Bertarung sampai mati dengan orang-orang yang menuduhnya sebagai pembunuh tentu menyenangkan. Tapi jika dia mati di tangan mereka, ketidak-adilan ini tak akan pernah tersingkap. Jika ingin mati, dia harus mati dalam keadaan bersih dan jujur. Dia bersumpah pada dirinya sendiri – bila urusan ini mendapat titik terang dan semua kebenaran sudah terungkap, dia akan mencari mereka dan bertarung dengan mereka sampai mati.

Siapakah pembunuh sebenarnya? Siapa yang menebar racun ke dalam arak? Siapa yang menyewa Thian-sat?

Dia masih belum punya petunjuk.

Siapa pun itu, satu hal sudah jelas. Dia adalah orang yang amat jahat dan keji. Rencana yang disusunnya amat teliti dan tak ada cacatnya. Sekarang dia tak bisa mengatakan apakah dia akan mampu mengungkapkan persoalan ini dan menemukan penjahat sebenarnya, dia juga tak tahu hendak mulai dari mana. Tapi dia tahu – bila dia tidak berhasil menemukan orang itu, maka dialah yang menjadi penjahatnya di mata dunia.

Jika Pang Tio-hoan, Peng Thian-pa dan Coat-taysu dari Siau-lim-pay mengatakan bahwa orang tertentu adalah seorang pembunuh, tidak seorang pun di dunia Kang-ouw yang akan meragukan kata-kata mereka. Tak perduli ke mana pun dia pergi, tentu akan ada orang yang berusaha membunuhnya. Dia pun tidak bisa membawa urusan ini ke rumah. Orang-orang akan mengetahui keberadaannya. Benar-benar tidak ada tempat yang bisa dituju olehnya dan tidak ada tempat untuk berpaling baginya.

Jika orang lain yang berada dalam situasi seperti dirinya, mereka tentu akan menyerah dan bunuh diri. Tapi dia tidak perduli. Dia percaya bahwa dunia ini luas, dan akan selalu ada tempat ke mana dia bisa pergi. Dia percaya bahwa Thian itu maha kuasa, melihat semua dan tahu semua. Suatu hari nanti dia akan menyingkap persoalan ini dan menemukan penjahat sebenarnya. Dia yakin pada dirinya sendiri. Tak satu sel pun dalam tubuhnya yang tidak dia percayai. Dibandingkan dengan orang lain, tangannya pun lebih kuat, otaknya lebih cerdas, mata dan telinganya lebih tajam.

Saat itulah dia mendengar sesuatu yang tidak mungkin bisa didengar orang lain. Suara yang mirip jeritan, tapi lemah, seperti suara bisikan. Lalu dia melihat segumpal rambut. Walaupun langit sudah gelap, rambut hitam itu amat bertolak-belakang dengan salju yang putih, dan karena itu bisa tertangkap oleh matanya.

Jika itu orang lain yang lewat di sini, mereka pun mungkin sudah melihat gumpalan rambut ini. Tapi mereka tentu tidak bisa melihat orangnya. Seluruh tubuh orang ini terkubur dalam salju dan es, dan cuma setengah dari wajah pucatnya yang tersembul. Saat bayangan setengah wajah itu melintas di depan matanya, kudanya sudah melesat lewat. Ma Ji-liong tidak berhenti. Dia sedang sibuk menyelamatkan diri.

Terkenal karena kesadisannya, Coat-taysu tentu tidak akan melepaskannya, dan saat ini dia mungkin sudah sangat dekat. Jika orang-orang itu berhasil menyusulnya, tentu tidak akan ada lagi kesempatan baginya untuk melarikan diri. Tentu saja dia tak boleh berhenti hanya untuk seorang asing yang sudah hampir mati karena beku.

Orang itu memang masih belum mati. Tapi apa salahnya kalau dia lebih mementingkan dirinya sendiri? Ma Ji-liong adalah orang yang egois dan sangat angkuh.

Rambut hitam kelam itu sudah penuh dengan es, dan sedikit pun tidak terlihat tanda-tanda kehidupan di wajah yang pucat membiru itu. Orang ini benar-benar sebuah keajaiban hidup. - Jika terkubur dalam salju dan es seperti ini, berapa banyakkah orang yang tidak mati beku?

Katanya perempuan lebih tahan terhadap kelaparan, kedinginan dan rasa sakit, karena itu mereka lebih kuat daripada laki-laki. Orang ini adalah seorang perempuan. Dia masih amat muda, tapi tidak cantik. Kenyataannya, dia berwajah buruk – sangat buruk. Di bawah hidungnya ada sepasang bibir yang gemuk dan tebal seperti bibir babi. Gadis ini seperti sebuah boneka porselen mentah yang rusak di dalam tungku saat dibakar.

Walaupun sekarang dia masih hidup, amat sulit baginya untuk bertahan hidup. Jika ada secawan arak, semangkok sup panas dan seorang tabib yang sangat baik, dia mungkin bisa bertahan hidup. Sayangnya, tidak satu pun dari semua itu yang ada di sana sekarang.

Baju Ma Ji-liong sendiri tidak cukup untuk melindungi dirinya dari hawa dingin, dan dia sendiri mungkin tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Dia tahu benar bahwa sekarang adalah waktunya untuk mengacuhkan orang asing yang amat jelek itu dan terus melarikan diri. Tapi dia malah melepaskan satu-satunya pakaian yang tetap kering di tubuhnya dan menyelubungi perempuan itu dengannya. Lalu dia memeluknya erat-erat, menggunakan panas tubuhnya untuk menghangatkan gadis itu.

Yang paling menyedihkan dari seorang laki-laki adalah kebodohannya, dan yang paling jelek bisa terjadi pada seorang perempuan adalah keburukannya. Perempuan buruk rupa biasanya tampak menyedihkan. Tapi Ma Ji-liong bukan saja tidak mencampakkannya karena dia buruk rupa, dia juga bersimpati kepadanya. Asalkan dia masih bernapas, dia tak akan membiarkan gadis ini mati beku seperti anjing liar. Tapi dia tidak tahu ke mana harus membawanya. Sekarang dia sendiri tidak punya apa-apa dan tidak ada tempat tujuan.

Sekarang langit sudah gelap gulita. Malam di musim dingin bukan saja datang sangat cepat, tapi juga amat lama berakhirnya.
Malam yang panjang baru saja dimulai. Ma Ji-liong memungut beberapa potong ranting kering dan menemukan sebuah kuil yang rusak dan terpencil sebagai tempat berlindung dari tiupan angin. Lalu dia membuat api unggun.

Kemungkinan besar api itu akan menarik perhatian musuh. Setiap orang pun tahu bahwa seorang buronan tidak boleh menyalakan api unggun, biarpun dia sudah hampir mati beku. Tapi gadis itu benar-benar membutuhkannya. Dia sendiri boleh mati beku, tapi dia tidak boleh membiarkan orang asing ini mati karena dia khawatir musuh-musuhnya akan segera menemukannya. Dia lebih suka mati daripada kehilangan kehormatannya.

Api unggun menyala terang benderang. Dia lalu memindahkan gadis itu ke tempat yang paling hangat dan kering. Dia sendiri butuh beristirahat. Tapi, tak lama sesudah dia menutup matanya, tiba-tiba terdengar sebuah suara lengkingan, “Siapa kau?”

Ternyata gadis itu sudah bangun. Dia bukan saja amat buruk rupa, suaranya pun tajam melengking. Ma Ji-liong tidak menjawab. Saat ini, dia sendiri pun tak tahu siapa dirinya, dia sudah seperti mayat hidup.

Dia tidak punya masa depan, juga tidak punya masa lalu. Perlahan-lahan dia bangkit, bermaksud hendak memeriksa keadaan gadis itu.

Dia ingin melihat apakah dia bisa bergerak, atau apakah dia bisa bertahan hidup. Dia tidak menduga kalau gadis itu tiba-tiba mengambil sepotong kayu kering dari api unggun dan berteriak dengan keras, “Jika kau berani mendekat, aku akan memukulimu sampai mati!”

Dia mempertaruhkan nyawanya untuk menolong gadis ini, tapi perempuan yang aneh dan amat buruk rupa ini malah seakan-akan menganggap bahwa dia hendak memperkosanya. Ma Ji-liong tidak berkata apa-apa.

Dia kembali duduk.

Sambil memegang kayu api erat-erat, gadis itu menatapnya tajam dengan sepasang matanya yang mirip dengan mata tikus. Ma Ji-liong menutup matanya. Dia benar-benar terlalu letih untuk memandang gadis itu lagi. Tapi gadis itu kembali bertanya dengan suara yang nyaring, “Bagaimana aku bisa berada di sini?”

Ma Ji-liong terlalu lelah untuk menjawab.

Akhirnya, teringat pada nasibnya sendiri, gadis itu berkata, “Tadi aku terkubur di dalam salju. Apakah kau yang menolongku?”

“Ya,” Ma Ji-liong menjawab.

Dia tidak mengharapkan gadis itu bertanya lagi, tapi ternyata dia masih bicara, “Karena kau sudah menyelamatkanku, kenapa kau tidak membawaku ke tabib? Kenapa kau malah membawaku ke kuil rusak ini?”

Suaranya makin melengking, “Aku tahu orang sepertimu. Aku tahu kau tidak bertindak dengan maksud baik.”

Ma Ji-liong sudah hampir habis kesabarannya dan ingin berkata, “Jangan kau khawatir. Seandainya aku hendak memperkosamu, melihat tampangmu itu, aku jadi kehilangan minat.” Tetapi dia tidak mengatakannya. Dalam sinar api unggun, gadis itu tampak lebih jelek lagi. Dia tidak tega melukai hatinya, karena itu dia hanya menghela napas panjang dan berkata, “Aku tidak membawamu ke tabib karena aku tidak punya uang.”

Gadis itu menyeringai dan berkata, “Bagaimana mungkin orang dewasa sepertimu bisa tidak punya uang? Tentu karena kau terlalu malas untuk mencari pekerjaan.” Ma Ji-liong menyabarkan diri saat mendengar omelan itu. Tapi gadis itu tidak mau sudah. Dia terus menyemprot dan melemparkan tuduhan kepadanya, tak henti-hentinya.

Tiba-tiba Ma Ji-liong bangkit berdiri. Dia berkata dengan dingin, “Di sini ada api unggun. Seharusnya cukup untuk satu malam. Besok pagi, orang-orang tentu akan datang ke sini.” Dia benar-benar tak tahan lagi. Dia lebih baik pergi.

Sekali lagi gadis itu mengomel, “Apa yang kau lakukan? Kau hendak pergi? Apakah kau benar-benar hendak meninggalkanku, perempuan lemah yang sengsara ini, sendirian di sini? Laki-laki macam apa kau ini?” Seseorang seperti ini tidak mungkin bisa dianggap 'lemah'. Sayangnya, dia memang seorang perempuan.

Gadis itu menyeringai dan meneruskan, “Apa kau takut kalau musuhku akan menyusulku ke sini? Itukah sebabnya kenapa kau ingin cepat-cepat pergi?”

Ma Ji-liong tak bisa menahan diri lagi. Dia bertanya, “Kau punya musuh?”

“Jika tidak, kenapa aku harus menguburkan diriku sendiri di dalam salju? Memangnya aku sudah gila?” Gadis itu mencemooh.

Ma Ji-liong duduk lagi dengan perlahan-lahan. Dia tidak menanyakan siapa musuh gadis itu, atau kenapa dia diburu orang. Dia cuma tahu bahwa sekarang dia tidak mungkin pergi. Seseorang sudah menguburkan seorang gadis yang lemah di dalam es dan salju, dengan maksud agar dia mati. Seorang laki-laki sejati tidak boleh mengacuhkan persoalan ini.

Gadis itu bertanya lagi, “Sekarang kau tidak jadi pergi?”

“Tidak,” Ma Ji-liong menjawab.

Tapi gadis itu melanjutkan lagi, “Kenapa tidak? Apakah kau hendak melakukan sesuatu yang busuk?“

Tapi Ma Ji-liong malah tersenyum. Padahal dia benar-benar sudah tak tahan. Perempuan seperti ini benar-benar sangat langka, dan tak pernah dia sangka akan bisa dijumpainya. Apa lagi yang bisa dia lakukan selain tersenyum? Apakah dia harus menangis terisak-isak atau membenturkan saja kepalanya sendiri ke batu hingga tewas?

Kembali gadis itu berteriak, “Kenapa kau tersenyum sendiri? Rencana jahat apa yang sedang kau pikirkan? Ayo katakan!”

Ma Ji-liong tidak bicara... karena sebuah suara dari luar kuil rusak itu sudah memotong, “Dia tidak akan berkata apa-apa. Pek-ma Kongcu ini tak pernah memberitahukan maksud hatinya pada orang lain.”

Nyala api berkerlap-kerlip, dan seseorang melangkah masuk ke dalam kuil itu dengan perlahan-lahan. Ternyata dia adalah Peng Thian-pa.

Peng Thian-pa menjinjing mantel bulu rubah itu di tangan kirinya, dan sebilah golok di tangan kanannya. Golok itu sudah dihunus. Sayangnya gadis ini tidak mengenalnya, tidak juga goloknya. Dia menatap Peng Thian-pa dengan sepasang matanya yang seperti mata tikus itu. Dengan suara yang keras dia bertanya, “Siapa kau?”

“Aku seekor babi,” kata Peng Thian-pa.

“Seandainya pun kau lebih gemuk, kau tetap agak kurus bila dibandingkan dengan seekor babi,” gadis itu berkomentar.

Sambil menghela napas, Peng Thian-pa berkata, “Sayangnya aku lebih dungu daripada seekor babi, itulah sebabnya kenapa aku membawa mantel bulu rubahnya ini.”

Gadis itu jelas terkejut. Dia bertanya, “Apakah mantel itu miliknya?”

“Benar,” jawab Peng Thian-pa.

“Kenapa dia memberimu benda sebagus itu?” gadis itu bertanya.

“Karena dia ingin menaruh mantel ini di tanganku,” jawab Peng Thian-pa.

Gadis itu bertanya lagi, “Apakah kau menggunakan tanganmu untuk memegang mantel itu atau mantel itu yang mencegahmu untuk menggunakan tanganmu?”

“Keduanya sama,” kata Peng Thian-pa.

Gadis itu bertanya, “Kenapa begitu?”

Peng Thian-pa menjelaskan, “Tak perduli apakah tanganku yang terhalang atau aku yang menggunakan tanganku untuk memegang mantel ini...... yang jelas tanganku sudah sibuk sehingga aku tidak bisa mencabut golokku atau menggunakan senjata rahasiaku.”

Senjata rahasia Toat-beng-hui-hou (Harimau Terbang Pengejar Nyawanya) sama menakutkannya dengan ilmu golok Ngo-hou-toan-bun-to-nya.

Gadis itu tetap tidak paham. Dia bertanya, “Kenapa dia tidak membiarkanmu mencabut golokmu atau melemparkan senjata rahasia?”

“Karena dia ingin melarikan diri,” jawab Peng Thian-pa.

Gadis itu bertanya lagi, “Kenapa dia ingin lari? Apakah karena kau menakut-nakutinya? Kenapa kau menakut-nakuti orang?”

Peng Thian-pa cuma tersenyum dipaksa. Dia baru menyadari bahwa berbicara dengan gadis ini bukanlah hal yang baik. Wajahnya pun menjadi masam dan dia berkata dengan dingin, “Ma-kongcu, kau tidak usah lari lagi. Saat ini kami bertiga sudah datang dari tiga penjuru. Sekarang baru aku yang berada di sini. Kau boleh membunuhku untuk melenyapkan saksi lagi.”

Ma Ji-liong tidak menjawab.

Gadis itu menyela, “Dia tidak akan membunuhmu. Dia orang yang baik.”

Peng Thian-pa mengulangi, “Dia orang yang baik?”

Gadis itu menambahkan, “Tentu saja dia orang yang baik. Aku belum pernah melihat orang yang sebaik ini. Jika kau berani menyentuhnya, aku akan membunuhmu.”

Peng Thian-pa menyeringai. Mendadak gadis itu melompat maju dan mencengkeram lengannya. Lalu dia berseru, “Aku akan menghalanginya. Cepat kau lari.”

Tapi Ma Ji-liong tidak lari, dan gadis itu pun tidak bisa menghentikan Peng Thian-pa. Peng Thian-pa hanya mengangkat tangannya, dan gadis itu sudah terbanting ke atas tanah.

Peng Thian-pa berkata, “Bicara terlalu banyak seperti ini, kau tentu lelah. Lebih baik kau berbaring saja.” Setelah berkata begitu, kakinya pun diayunkan dan menotok jalan darah tidurnya. Lalu dia melemparkan mantel bulu rubah di tangannya ke atas tubuh gadis itu.

Ma Ji-liong menatap goloknya, menunggu senjata itu bergerak. Siapa sangka kalau Peng Thian-pa malah menyarungkan goloknya lagi dan menaruh tangannya di atas api unggun. Dia tahu bahwa Ma Ji-liong tidak bisa lolos, maka dia pun menggunakan kesempatan itu untuk menghangatkan tangannya. Sikap tenang jago tua ini menimbulkan kekaguman di hati orang.

Anehnya, Ma Ji-liong juga bersikap sangat tenang. Dia tidak kelihatan gelisah, juga tidak mau melancarkan serangan lebih dulu.

Api unggun itu sudah hampir padam. Peng Thian-pa lalu melemparkan beberapa potong ranting lagi dan berkata dengan perlahan-lahan, “Kau tahu bahwa paman ketigamu dan aku bersahabat, bukan?”

“Hmm,” kata Ma Ji-liong.

Peng Thian-pa bertanya lagi, “Apakah dia pernah bercerita tentang aku sebelum dia mati?”

“Hmm,” kata Ma Ji-liong.

Peng Thian-pa meneruskan, “Apakah dia menceritakan bagaimana dia dan aku bisa bersahabat?”

Ma Ji-liong menjawab, “Tidak.”

Peng Thian-pa lalu berkata, “Kami berdua harus bertarung dulu sebelum bersahabat.” Dia tertawa dan melanjutkan lagi, “Paman ketigamu adalah orang yang amat angkuh. Tentu saja dia tidak mau menceritakan hal ini padamu.”

Ma Ji-liong bertanya, “Kenapa begitu?”

Peng Thian-pa berkata, “Karena......... walaupun kecerdasan dan pengetahuanku kalah dibandingkan dengan dia, sayangnya minatnya terlalu luas. Dia ingin mempelajari semuanya – musik, catur, sastera, melukis, apa saja – dan karena itu dia tidak punya banyak waktu untuk melatih ilmu pedangnya sendiri.”

Ma Ji-liong pernah mendengar hal itu. Paman ketiganya bukan hanya dikenal karena ilmu pedangnya yang hebat, tapi dia juga seorang pecinta seni yang termasyur.

Peng Thian-pa berkata, “Maka, walaupun dia agak lebih kuat dariku, tapi kungfunya tidak setanding denganku. Kami bertarung sebanyak tiga kali, dan setiap kalinya aku berhasil mengalahkan dia dalam seratus jurus.” Dia tidak membiarkan Ma Ji-liong bicara, tapi tiba-tiba dia bertanya, “Bagaimana ilmu pedangmu bila dibandingkan dengan ilmu pedang pamanmu?”

Tanpa menunggu jawaban, dia berkata, “Aku yakin ilmu pedangmu masih di bawah ilmunya. Maka, seandainya kau punya pedang di tanganmu, aku masih mampu untuk membunuhmu dalam seratus jurus.” Dia meneruskan dengan lembut, “Sekarang kau bertangan kosong, paling banyak kau hanya bisa bertahan sebanyak 60 jurus.”

Ma Ji-liong tetap tutup mulut. Peng Thian-pa melanjutkan, “Golokku ini, meskipun hanya digunakan untuk membunuh orang yang pantas dibunuh, setiap serangan selalu dilancarkan dengan sekuat tenaga. Kadang-kadang aku tidak ingin membunuh orang, tapi sekali golokku ini diayunkan, aku sendiri tidak bisa mengendalikannya lagi.”

Sambil menghela napas, dia berkata, “Karena itu, tidak banyak orang hidup yang bisa bicara tentang golokku.”

Ma Ji-liong bertanya, “Apa maksud tujuanmu?”

Setelah bimbang sekian lama, akhirnya Peng Thian-pa berkata dengan perlahan, “Tiba-tiba aku teringat pada beberapa kejadian aneh.”

“Ya?” Ma Ji-liong berkata.

Peng Thian-pa bertanya, “Apakah kau tahu kenapa aku bisa mencarimu ke sini?”

Ma Ji-liong menggelengkan kepalanya.

Peng Thian-pa menjelaskan, “Kaulah yang membawaku ke sini. Aku mengikuti jejak kaki yang ditinggalkan kudamu di atas salju.”

Ma Ji-liong tidak berpikir sampai ke situ. Dia belum pernah menjadi seorang buronan.

Peng Thian-pa berkata, “Jika kau bisa membuat rencana yang keji dan tanpa cacat seperti itu untuk melukai orang, tentu kau tidak akan begitu lalai seperti ini dan, di saat kritis antara hidup dan mati, kau tentu tidak akan mengambil resiko untuk menolong perempuan yang aneh dan buruk rupa ini.” Sambil menghela napas, dia berkata, “Tapi kau malah melakukan semua itu. Sesudah kupikir-pikir, pasti ada yang tidak benar. Walaupun aku mudah ditipu seperti babi bodoh, aku tetap merasa hal ini sedikit aneh, karena itu......”

Lalu dia meneruskan, “Kuharap kau mau ikut denganku secara sukarela agar aku tidak perlu menggunakan kekerasan.”

“Ke mana kau akan membawaku?” Ma Ji-liong bertanya dengan sikap mengejek.

Peng Thian-pa menjawab, “Akan kubawa kau ke Siau-lim-pay. Beri aku waktu tiga bulan dan aku pasti akan menyingkap kebenaran ini dan memberimu keadilan.”

Ma Ji-liong tidak mengiyakan, juga tidak menolak tawaran itu.

Peng Thian-pa berkata, “Sekarang kau sudah terkepung. Tak perduli ke mana pun kau pergi, orang-orang tidak akan melepaskanmu. Cuma ini satu-satunya jalan keluar.” Dia benar, sama sekali benar.

Peng Thian-pa pelan-pelan berjalan menghampiri dan berkata, “Jadi sekarang kau harus benar-benar mempercayaiku. Akulah satu-satunya orang yang bisa menolongmu.” Lalu dia mengulurkan kedua tangannya, agaknya memang dialah satu-satunya orang di dunia ini yang bersedia menolong Ma Ji-liong.

Akhirnya, sambil menerima uluran tangannya, Ma Ji-liong berkata, “Aku percaya padamu, tapi......”

Belum habis kata-katanya, kaki Peng Thian-pa tahu-tahu sudah melayang dan menendang jalan darah 'huan tiao'-nya, akibatnya kakinya pun tertekuk. Lalu tangan Peng Thian-pa melesat secepat kilat, menotok jalan darah di pergelangan tangannya.

Sambil tertawa dengan keras dan gembira, Peng Thian-pa berkata, “Lihat, sekarang siapa yang babi?”

Tangan Peng Thian-pa terayun ke bawah lagi dan begitu pula tubuh Ma Ji-liong. Kemudian, “sing!”, golok Ngo-hou-toan-bun-to sudah meninggalkan sarungnya. Golok ini memang termasuk golok terbaik di dunia Kang-ouw. Bukan hanya bisa dihunus dengan mulus dan cepat, bentuknya juga amat indah.

Gaya membunuh ilmu golok ini pun sangat indah. Dan sekali meninggalkan sarungnya, golok itu pasti akan membunuh orang. Tapi setidaknya dia kan harus bertanya dulu pada Ma Ji-liong. Seandainya dia sudah memutuskan bahwa Ma Ji-liong adalah penjahat yang sebenarnya, seharusnya dia menginterogasi dulu untuk memastikan. Kenapa sekarang dia mencabut goloknya?

Ma Ji-liong akhirnya paham. Saat dia melihat golok Peng Thian-pa dicabut keluar, dia tahu bahwa Peng Thian-pa adalah pembunuh sebenarnya! Rencana busuknya disusun secara rahasia, dan itulah sebabnya dia tidak bisa membiarkan orang serba hitam itu, pembunuh bayaran dari Thian-sat, tetap hidup sehingga bisa membocorkan rahasianya.

Dan itulah sebabnya kenapa dia tidak perlu bertanya lagi. Dia pun tidak membiarkan Ma Ji-liong hidup dan membocorkan rahasianya. Sayangnya, Ma Ji-liong terlambat memahami hal ini. Sinar golok yang berkilauan sudah terayun ke arahnya.

Siapa yang bisa membayangkan kalau golok itu ternyata tidak berhasil membacok tenggorokan Ma Ji-liong? Malah tubuh Peng Thian-pa yang terpental dan berjungkir-balik di udara sebelum akhirnya terbanting jauh. Wajahnya menjadi gelap karena ketakutan dan dia berteriak dengan suara serak, “Siapa di situ?”

Kecuali dua orang manusia yang jalan darahnya tertotok, tidak ada orang lain di sana. Mungkinkah dia sudah bertemu dengan hantu?

Api unggun berkerlap-kerlip. Wajah Peng Thian-pa tampak berubah bolak-balik dari merah ke gelap. Tapi di sana tidak ada orang lain, bahkan bayangan hantu pun tidak. Mendadak dia melompat bangkit, goloknya ditusukkan kembali ke tenggorokan Ma Ji-liong.

Kembali hantu itu muncul! Dan kali ini bahkan lebih menakutkan. Walaupun Ma Ji-liong tidak melihat apa-apa, tapi tubuh Peng Thian-pa tahu-tahu sudah terpental dan berputar-putar di udara. Saat mendarat di tanah, dia segera melarikan diri tanpa melirik lagi ke belakang.

Suasana di luar kuil rusak itu tampak gelap, begitu gelapnya sehingga tidak terlihat satu bayangan pun. Nyala api menari-nari, angin menderu-deru. Tiba-tiba, bersama dengan bunyi deruan angin, terdengar suara jeritan kaget dan ngeri yang pendek dan nyaring.

Ma Ji-liong mendengar suara jeritan Peng Thian-pa itu, tapi dia tidak bisa menduga apa yang telah terjadi. Dia sangat ingin melompat keluar dan melihatnya. Sayangnya jalan darah di pergelangan tangan dan kakinya sudah tertotok.

Walaupun Peng Thian-pa terkenal dengan ilmu goloknya, ternyata ilmu totokannya pun tidak kalah dari orang lain. Sekarang, jika datang seseorang dengan golok di tangannya – siapa pun, dengan senjata apa pun – dia bisa menebas tenggorokan Ma Ji-liong dengan mudah. Untunglah tidak ada yang datang, baik itu orang, hantu, tidak ada suara, tidak ada gerakan, tidak ada apa-apa. Seolah-olah Thian tahu bahwa kedua orang itu tidak mampu menggerakkan tubuhnya, api pun akhirnya padam.

Tapi Ma Ji-liong tahu bahwa orang lain bisa datang setiap saat. Peng Thian-pa tidak akan datang kembali, tapi Coat-taysu, Pang Tio-hoan, dan Khu Hong-seng masih mungkin. Dan tidak perduli siapa pun yang datang, orang ini tidak akan melepaskan dirinya.

Malam panjang yang dingin itu serasa tiada berakhir, dan tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Malam di musim dingin memang selalu panjang, benar-benar amat panjang.
Ranting kering terbakar sangat cepat, dan api unggun pun semakin redup. Ma Ji-liong ingin menjaga ketenangannya, tapi pikiran di benaknya tidak mau menurut. Tubuhnya makin dingin dan akan segera membeku. Api unggun akan padam, tapi dia tetap tidak tahu kapan totokan di tubuhnya akan terbuka.

Dan sekarang adalah saat yang paling dingin di malam hari. Jika terus begini, mungkin dia akan mati beku di sini. Dia tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Kemungkinan dirinya sendiri akan mengalami nasib seperti ini sama sekali tak pernah terbayangkan olehnya.. Memang tidak seorang pun yang bisa meramalkan masa depan, tidak seorang pun juga yang tahu tentang takdirnya. Inilah permainan nasib!

Ma Ji-liong menghela napas dalam-dalam, baru sekarang dia menyadari bahwa sifatnya yang angkuh sudah lenyap. Saat itulah, mendadak gadis tadi mengangkat kepalanya dari mantel bulu rubah itu.

Jalan darah Ma Ji-liong masih tertotok, tapi jalan darah gadis itu tidak. Dengan sepasang matanya yang seperti mata tikus, sekian lamanya dia melirik ke sana ke mari seperti tikus yang sedang mengawasi keadaan sekelilingnya. Lalu dia menghela napas yang panjang sekali dan berkata, “Siapa yang menyangka kalau orang gemuk itu tiba-tiba akan pergi dan kau ternyata masih hidup.”

Itu memang kejadian yang tak terduga! Tak seorang pun yang bisa membayangkan kalau Peng Thian-pa tiba-tiba akan melepaskan Ma Ji-liong dan melarikan diri seperti kelinci yang terkena panah, kabur ke dalam hutan rimba.

Si nona bangkit berdiri, sambil mengenakan mantel bulu Ma Ji-liong. Sambil tersenyum dia berkata, “Bulu mantel ini lumayan. Rasanya enteng, halus dan hangat. Ukurannya pun pas.”

Untunglah Ma Ji-liong masih bisa bicara.

Dia tak tahan lagi dan berkata, “Sayangnya mantel itu milikku.”

Gadis itu menggelengkan kepalanya dan berkata, “Bukan milikmu. Bukan kepunyaanmu lagi.”

“Kenapa begitu?” Ma Ji-liong bertanya.

“Karena kau sudah memberikannya pada orang gemuk tadi, yang kemudian memberinya padaku,” gadis itu menerangkan.

Lalu dia menambahkan sambil tersenyum riang, “Jadi mantel ini sekarang milikku.”

Ma Ji-liong tidak mau berdebat. Dia bukan orang yang kikir, dan tentu saja dia tidak perduli dengan urusan seperti itu. Tapi dia benar-benar sangat kedinginan. Maka, tak tahan lagi dia pun bertanya, “Bisakah kau menyalakan api unggun itu?”

“Kenapa aku harus menyalakannya? Aku kan tidak kedinginan,” jawab gadis itu.

Sambil tersenyum pahit, Ma Ji-liong berkata, “Kau tidak, tapi aku ya.”

“Aku tidak kedinginan. Kenapa kau bisa kedinginan?” gadis itu berkata.

Ma Ji-liong tertegun. Gadis ini benar-benar gila, begitu gilanya sehingga dia bahkan tak bisa menangis biarpun dia ingin. Dia pun tidak bisa tertawa. Mendadak perutnya terasa kosong. Itulah nasibnya sendiri.

Tapi gadis itu melanjutkan lagi, “Orang muda harus tahan terhadap kesulitan dan kerja keras. Apa salahnya kedinginan sedikit? Kau masih muda. Jika kau tidak bisa menahan sedikit penderitaan, bagaimana kau bisa melakukan sesuatu yang besar di kemudian hari?”

Ma Ji-liong menutup mulutnya. Akhirnya dia sadar bahwa menjelaskan sesuatu kepada orang seperti ini bukan saja sia-sia belaka, tapi juga merupakan perbuatan yang bodoh. Bila seorang laki-laki bertemu dengan perempuan seperti ini, yang bisa dia lakukan hanyalah menutup mata dan mulutnya.

Tiba-tiba gadis itu berpaling dan bergumam, “Apakah langit sudah cerah? Aku akan pergi melihat.” Dia bicara pada dirinya sendiri sambil melangkah keluar pintu. Tapi tiba-tiba dia menjerit keras-keras dan berlari masuk kembali, seolah-olah sebatang anak panah sudah menancap di bokongnya.

Ma Ji-liong sebenarnya tidak ingin memperdulikannya lagi. Tapi, walaupun gadis ini tidak menyenangkan, tapi dia cukup baik padanya.

Gadis itu bukan hanya mengatakan bahwa dia orang yang baik, tadi dia bahkan berani mempertaruhkan nyawanya untuk menghalangi Peng Thian-pa agar dia bisa lari. Asal dia masih hidup, dia harus hidup dengan kesadaran yang jernih, harus mampu membedakan antara terima kasih dan dendam.

Maka Ma Ji-liong tidak punya pilihan lain kecuali bertanya, “Ada apa?”

“Di luar.... ada seseorang di luar,” gadis itu berkata dengan ketakutan.

Hawa amat dingin, bumi serasa membeku, dan malam pun sudah larut. Bagaimana mungkin ada orang di luar kuil yang rusak dan terpencil ini?

Kembali Ma Ji-liong bertanya dengan terpaksa, “Siapa?”

“Orang gemuk yang tadi,” jawab gadis itu.

Mimik muka Ma Ji-liong pun berubah. Dia lalu berkata, “Dia belum pergi?”

Gadis itu menjawab, “Belum.”

Dia belum pergi, tapi kenapa dia tidak masuk?

Ma Ji-liong bertanya, “Apa yang dia lakukan di luar sana?”

Gadis itu menjawab, “Siapa yang tahu apa yang sedang diperbuatnya? Dia berbaring sendirian di sana, seperti sedang tidur.”

Anehnya, dia masih bisa berkata lagi, “Orang gemuk memang selalu suka tidur.”

Tapi tak perduli betapa pun gemuknya seseorang, atau betapa sukanya dia tidur, tidak mungkin dia tidur di atas salju.

Ma Ji-liong berkata, “Mungkin kau salah lihat.”

Gadis itu berkata, “Tentu saja tidak. Aku bukan hanya bisa melihat jauh, pandangan mataku juga sangat baik.”

Dari kejauhan matanya memang tidak terlihat buruk, setidaknya masih lebih baik sedikit daripada mata seekor tikus.

“Bisakah kau pergi keluar dan memeriksa lagi?” Ma Ji-liong meminta.

“Kenapa kau tidak pergi sendiri?” gadis itu bertanya.

Gadis itu memandangnya dan tiba-tiba dia tertawa. Lalu dia berkata, “Aku paham. Kau sama sepertiku. Tadi kau ditendang oleh orang gemuk itu, sekarang kau tidak bisa bergerak.”

Ma Ji-liong tidak berkata apa-apa.

Secara tidak terduga gadis itu kemudian berkata, “Baik, aku akan memeriksa keluar untukmu. Paling tidak kau sudah bersikap baik padaku.”

Tapi, baru saja keluar, dia sudah menjerit dan berlari masuk kembali ke dalam kuil, tampaknya dia bahkan lebih ketakutan daripada tadi.

“Dia tidak ada di sana?” Ma Ji-liong bertanya.

Napas gadis itu terengah-engah. Setelah tenang, dia lalu berkata, “Dia... dia ada di sana. Tapi dia tidak akan pergi lagi.”

“Kenapa begitu?” Ma Ji-liong bertanya.

Gadis itu menjawab, “Karena dia sudah mati!”

Bagaimana Peng Thian-pa bisa mati? Tadi dia masih segar bugar. Selain itu dia pun sehat, tanpa penyakit atau merasa sakit, agaknya dia bahkan lebih sehat daripada orang lain.

“Apakah dia benar-benar sudah mati?” Ma Ji-liong bertanya.

Gadis itu menjawab, “Mati ya mati, benar-benar mati, mati sungguhan.”

“Apakah kau tahu kenapa dia tiba-tiba mati?” Ma Ji-liong bertanya.

Gadis itu berkata, “Tentu saja aku tahu.”

Tubuhnya tampak menggigil, “Tak perduli siapa pun, aku tentu saja tahu bahwa tidak mungkin bisa hidup setelah tenggorokannya digorok orang!”

Ma Ji-liong makin terkejut. Ilmu golok Peng Thian-pa berada di deretan terbaik dan paling termasyur di dalam Bulim. Bagaimana seseorang bisa menggorok lehernya? Siapa yang melakukannya? Apakah ada orang di dunia ini yang memiliki ilmu golok yang lebih cepat dan lebih ternama? Dan kenapa orang itu menggorok tenggorokannya?

Cuma ada satu penjelasan. Peng Thian-pa bukan penjahat sebenarnya. Masih ada orang lain di balik persoalan ini, yang memberikan perintah kepadanya. Dan orang ini telah membunuhnya untuk melenyapkan saksi. Siapakah orang ini? Setelah membunuh Peng Thian-pa, kenapa dia tidak masuk untuk menghabisi Ma Ji-liong?

Kecuali 'orang ini', tidak ada orang lain yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Ma Ji-liong akhirnya tahu bahwa persekongkolan ini bahkan lebih rumit dan lebih menakutkan daripada yang semula dia perkirakan.

Gadis itu tiba-tiba berkata, “Ini tidak bagus.”

“Apanya?” Ma Ji-liong bertanya.

“Kita tidak boleh tinggal di sini,” gadis itu menerangkan.

Ma Ji-liong setuju dengannya. Mereka tentu saja tak boleh tinggal lagi di sini. Sayangnya dia tidak bisa berjalan.

Mendadak gadis itu berkata, “Aku seorang perempuan.”

“Aku tahu,” kata Ma Ji-liong.

Gadis itu berkata, “Semua pahlawan adalah laki-laki. Laki-laki sejati juga laki-laki. Jadi...”

“Jadi apa?” Ma Ji-liong bertanya.

“Aku bukan seorang laki-laki sejati, juga bukan seorang pahlawan,” ia berkata sambil menghela napas.

“Jadi, walaupun kau tidak bisa berjalan, aku tetap harus pergi,” dia menambahkan.

Demi dia, Ma Ji-liong berhenti di tempat ini, membuat api unggun, dan mendapat masalah.

Sekarang dia berkata bahwa dia harus pergi begitu saja, seorang diri.

Anehnya, Ma Ji-liong hanya menjawab, “Kau memang harus pergi.”

Tapi gadis itu menambahkan pula, “Tapi aku tidak bisa berjalan kaki. Aku membutuhkan kudamu.”

Ma Ji-liong malah berkata, “Boleh, silakan bawa.”

Gadis itu akhirnya merasa bahwa orang ini sedikit ganjil. Sesungguhnya dia tetap seorang manusia juga. Tak dapat menahan helaan napasnya, dia berkata, “Kau benar-benar orang yang baik. Sayangnya.....”

Ma Ji-liong bertanya, “Sayangnya... apa?”

“Sayangnya orang baik selalu mati muda,” kata gadis itu.

Dan dia pun benar-benar pergi. Dia mengenakan mantel bulu Ma Ji-liong, naik ke atas punggung kuda putih Ma Ji-liong dan pergi. Api unggun sudah padam. Dia pun tidak menambahkan kayu api lagi untuk pemuda itu. Apa yang dilakukan gadis itu benar-benar sadis, lebih sadis daripada yang pernah diperbuat oleh Coat-taysu.

Malam yang dingin dan sepi. Sebelum bunyi derap kaki kuda menghilang di kejauhan, bersama dengan hembusan angin dingin, terdengar bunyi langkah kaki yang amat ringan dan cepat. Itulah langkah kaki dua orang manusia, yang kemudian berhenti tepat di luar kuil rusak itu.

“Di sini ada mayat,” terdengar sebuah suara berkata. “Mayat Peng Thian-pa.”

“Masih bisakah kita menyelamatkannya?”

“Luka ini mematikan. Bahkan dewa pun tak akan sanggup menghidupkannya kembali.”

Hati Ma Ji-liong serasa karam. Mendengar suara-suara itu, dia tahu bahwa dua orang yang datang itu adalah Coat-taysu dan Pang Tio-hoan. Mereka baru saja menemukan mayat Peng Thian-pa. Jika mereka menemukan dia di sini, mereka tentu tidak akan memberinya kesempatan untuk menjelaskan lagi. Tapi tidak seorang pun menyangka kalau mereka malah tidak jadi masuk ke dalam kuil. Ini terjadi karena mereka tadi sempat melihat kepergian kuda putihnya itu.

“Itulah kuda Naga Putih dari Thian-ma-tong.”

Mereka juga melihat seseorang yang mengenakan mantel bulu di atas punggung kuda itu.

“Inilah serangan golok yang mematikan. Dia membunuh dan kemudian pergi. Benar-benar tangan yang keji! Benar-benar orang yang jahat!”

“Dia tidak akan lolos.”

“Tapi Peng Thian-pa.....”

“Peng Thian-pa akan menunggu di sini. Ma Ji-liong tidak. Maka, ayo kita kejar dia!”

Baru saja terdengar kata-kata itu, bunyi langkah kaki dan lengan baju yang berkepak di udara pun kemudian terdengar menghilang di kejauhan. Mereka mengira penunggang kuda bermantel bulu rubah itu adalah Ma Ji-liong, tanpa menyadari bahwa masih ada seseorang lagi di dalam kuil rusak itu.

Jika gadis itu tidak pergi, atau jika di sana masih ada api unggun, atau jika kuda putih itu pun ada di sana, apa yang akan terjadi sekarang? Tadinya Ma Ji-liong tentu saja tidak memikirkan semua itu. Tiba-tiba dia menyadari bahwa gadis itu bukan saja tidak sadis, tapi juga amat baik hati dan misterius. Ia juga menyadari bahwa gadis itu bukan seorang perempuan yang sulit dan semaunya sendiri seperti kelihatannya tadi. Dia mungkin malah lebih cerdik daripada orang lain.

Tak perduli betapa dingin atau betapa panjangnya malam di musim dingin, fajar tetap akan selalu datang. Tidak perduli betapa hebatnya ilmu totokan seseorang, jalan darah yang tertotok akhirnya tentu akan terbuka.

Sekarang fajar sudah mulai merekah. Darah dan hawa pun sudah mengalir menembus jalan darah yang tertotok itu.

Peng Thian-pa tentu saja tidak menggunakan ilmu totokan yang berat. Dia tidak bermaksud menotok jalan darah Ma Ji-liong untuk waktu yang sangat lama, karena dia menyangka pemuda itu akan segera mati. Siapa yang menduga kalau saat ini Ma Ji-liong masih hidup, tapi dia sendiri sudah berubah menjadi mayat yang dingin dan kaku. Golok itu menggorok tenggorokannya sebelah kiri, mulai dari depan hingga ke belakang, memutuskan semua jalan darah utama di lehernya.

Inilah serangan golok yang amat mematikan. Orang ini adalah jago golok nomor satu di dalam Bulim. Agaknya tidak seorang pun yang bisa mengelakkan serangan goloknya. Dan tentu saja tidak ada serangan golok yang tidak bisa ditangkis olehnya. Tapi golok ini telah mengambil nyawanya.

Mimpi pun dia tidak menyangka kalau orang itu akan berbalik melawannya, atau golok itu akan menggorok tenggorokannya. Ini terjadi karena orang itu adalah temannya – teman akrabnya – teman yang setia dan dipercayainya. Mereka sudah merencanakan semua ini bersama-sama. Dia tidak menyangka kalau orang itu akan membungkamnya setelah segalanya berhasil. Siapakah orang itu? Ma Ji-liong tidak bisa menebak. Dia juga tidak punya petunjuk sama sekali. Benar-benar tidak ada orang yang tahu jawaban untuk pertanyaan ini.

Pertanyaan yang lebih gampang adalah – setelah rencana mereka sukses, apa yang akan terjadi? Apakah akibatnya? Siapa yang akan mendapat keuntungan?

Tentu orang ini membuat rencana tersebut untuk keuntungannya sendiri. Setelah rencana dilaksanakan, Ma Ji-liong akan menjadi kambing hitamnya. Keluarga dan teman-teman Toh Ceng-lian, Sim Ang-yap dan Khu Hong-seng akan memburu Ma Ji-liong.

Jika mereka tidak berhasil menemukan Ma Ji-liong, mereka tentu akan mencarinya ke Thian-ma-tong. Dan jika mereka berhasil membunuh Ma Ji-liong, Thian-ma-tong akan membalas dendam. Dan akhirnya persoalan ini akan menjadi dendam keluarga, dendam antara Thian-ma-tong dan keluarga Toh, Sim dan Khu.

Permusuhan di antara keluarga-keluarga ternama ini akan menyebabkan kehancuran bersama. Bila ikan dan kepiting bertarung, yang untung adalah sang nelayan. Siapakah si nelayan ini?

Di bawah naungan langit yang tak berawan, jejak kaki kuda di atas salju terlihat dengan jelas sehingga mirip seperti seseorang yang sudah memberi petunjuk untuk diikuti orang lain. Apakah mereka sudah berhasil menyusul gadis itu?

Ma Ji-liong tidak bisa membayangkan mimik muka “entah tertawa entah menangis” di wajah kedua orang itu bila mereka tahu orang macam apa gadis itu. Dia tiba-tiba merasa bahwa gadis yang sangat kasar, amat buruk rupa dan aneh luar biasa itu benar-benar menarik.

Inilah pertama kalinya dia merasa gadis itu sangat menarik.

Tapi dia tidak berhutang apa-apa pada gadis itu, dan dia mungkin tidak akan bertemu dengannya lagi. Perempuan itu pergi ke arah timur. Dia tentu saja akan pergi ke barat. Sekarang dia merasa amat kedinginan dan kelaparan. Dia tahu bahwa di sebelah barat sana ada sebuah kota besar dengan losmen yang sangat bagus. Di losmen itu kamar-kamarnya selalu tertata rapi dan bersih, dengan seprai yang selalu diganti dengan yang baru dan perapian yang hangat! Di dapurnya selalu tersedia daging kambing rebus yang sangat lezat dan kue biji wijen yang harum dan lembut. Dan itulah yang dia butuhkan sekarang ini.

Kota itu adalah kota yang ramai dan sibuk dengan jalan raya yang bersih dan rapi. Pelayan losmen sedang menunggu di depan pintu, berusaha menarik perhatian calon pelanggan. Ketika hendak berjalan masuk ke dalam losmen, Ma Ji-liong tiba-tiba teringat bahwa dia tidak punya uang, bahkan tidak untuk sepotong kue biji wijen, maka ia pun tidak berani masuk. Pelayan losmen itu pun tidak berusaha mengundangnya. Dalam cuaca yang amat dingin seperti ini, orang ini bahkan tidak punya secarik bulu pun di tubuhnya. Dia pasti bukan calon pelanggan yang baik.

Mendapat perlakuan yang dingin dari orang lain, mulutnya pun terasa getir. Inilah pertama kalinya Ma Ji-liong menerima perlakuan seperti ini. Akhirnya dia menyadari bahwa orang-orang jauh lebih menghargai uang daripada dia. Karena itu, meskipun kedinginan, kelaparan dan kelelahan, dia lalu menegakkan tubuhnya dan terus bergerak dengan langkah-langkah yang lebar.

Walaupun dia tidak tahu ke mana dia akan pergi, tapi kakinya tidak pernah berhenti. Tiba-tiba dia melihat seekor kuda putih. Dia mengenali kuda ini, dan agaknya kuda itu pun mengenalinya.

Kuda itu mengangkat kakinya dan meringkik pelan. Itulah kuda naganya sendiri.

Kuda itu terikat di bawah emperan sebuah rumah makan. Tiba-tiba seseorang tampak menjulurkan kepalanya dari jendela rumah makan itu dan memberi isyarat kepadanya.

Yang membuatnya terkejut, orang itu ternyata gadis buruk rupa yang sadis, misterius dan menarik itu. Jelas dia pergi ke arah timur. Kenapa tiba-tiba dia muncul di kota sebelah barat ini?

Dengan suara yang keras, gadis itu berseru, “Ayo naik. Ayo naik, cepat.”

Ma Ji-liong merasa bimbang. Tapi gadis itu mendesak lagi, “Kau mau bergabung denganku di sini, atau aku harus menjemputmu ke sana?”

Ma Ji-liong hanya bisa tersenyum dipaksa. Dia berkata, “Aku datang. Aku akan datang sendiri.”

Rumah makan itu luas dan hangat, penuh dengan aroma daging kambing rebus, ikan goreng dan kue biji wijen.

Seorang diri dia duduk di sebuah meja yang bisa ditempati delapan orang, dan di atas meja sudah tersedia begitu banyak makanan dan arak yang bahkan tidak mungkin bisa dihabiskan oleh delapan orang sekaligus. Dia masih memakai mantel bulu Ma Ji-liong.

Si nona memandangnya dan berkata, “Duduklah. Duduklah, cepat.”

Ma Ji-liong hanya bisa duduk.

Kembali dia memerintahkan, “Makanlah. Makanlah, cepat.”

Dan Ma Ji-liong pun makan. Dia tidak mau gadis itu mendesak-desaknya, juga tidak mau perempuan itu menyuapkan daging kambing ke mulutnya. Agaknya dia bukan tipe perempuan yang akan membiarkan orang lain melakukan sendiri apa yang dia mau.

Melihat Ma Ji-liong sudah menelan sepotong kecil daging kambing rebus, matanya berkedip-kedip dengan berseri. Tapi kemudian dia memasang muka serius dan berkata, “Orang muda harus dapat menahan rasa lapar, dan mereka pun harus bisa makan. Jika kau tidak menghabiskan semangkok daging kambing rebus ini, tak perduli apa pun yang kau katakan, aku tidak mau mendengarkannya.”

Ma Ji-liong benar-benar menghabiskan semangkok besar daging kambing rebus itu dan dua potong kue biji wijen.

Gadis itu menuangkan semangkok besar arak untuknya dan menyerahkannya padanya. Dia berkata, “Kau sudah makan. Sekarang kau boleh minum. Minumlah, cepat.”

“Aku tidak mau minum,” Ma Ji-liong menggelengkan kepalanya.

Gadis itu berkata, “Kau ingin aku menjepit hidungmu dan menuangkan arak ini ke dalam mulutmu?”

Ma Ji-liong tidak memperdulikannya. Dia benar-benar tidak percaya kalau seorang gadis akan berani menjepit hidungnya di depan umum. Tapi dia keliru. Gadis itu benar-benar menjepit hidungnya dengan jari tangannya.

Walaupun wajahnya buruk dan aneh, tapi tangannya indah, halus dan mulus.

Tangan yang lembut dan lemas. Inilah pertama kalinya Ma Ji-liong menyadari bahwa ada sesuatu yang indah di tubuh gadis ini. Dia pun menghabiskan semangkok arak itu.

Dia tidak pernah menyentuh setetes pun arak sejak dia bermabuk-mabukan selama tiga hari di rumah makan Tin-cu-hong. Dia sudah memutuskan untuk berhenti minum. Tapi, tak perduli apa pun yang sudah diputuskan seseorang, setelah mengalami serentetan peristiwa buruk dan seorang gadis menjepit hidungnya di depan umum seperti ini, keputusan seseorang bisa saja goyah.

Gadis itu akhirnya tertawa dan berkata, “Sekarang kau baru tampak hidup. Jika seorang laki-laki tidak berani minum arak, maka dia bukan seorang laki-laki sejati.”

Dia menuangkan semangkok lagi dan berkata, “Tapi jangan khawatir. Tidak ada racun di dalam arak ini. Aku pasti tidak ingin meracunimu sampai mati.”

Sekarang setelah Ma Ji-liong minum lagi setelah berpantang sekian lama, dia pun minum dengan riang gembira. Siapa pun orangnya, jika mereka menjadi dia, mereka pun tentu ingin mabuk. Sesudah minum tiga mangkok, tubuhnya mulai mengendur. Akhirnya ia bertanya, “Sekarang, boleh aku bicara?”

Gadis itu berkata dengan dingin, “Jika itu hal yang baik, bicaralah. Jika cuma omong kosong, diam sajalah.”

“Bagaimana kau bisa tiba di sini?” Ma Ji-liong bertanya.

“Aku merasa suka, maka aku datang,” gadis itu menjawab.

“Tapi tadinya kau menuju ke timur, bukan?” Ma Ji-liong bertanya.

Gadis itu menjawab, “Tiba-tiba aku ingin pergi ke barat.”

“Apakah kau sedang memata-mataiku?” Ma Ji-liong melanjutkan.

“Apakah kau kira kau begitu tampannya sehingga setiap gadis harus memata-mataimu?” gadis itu membalas.

Sambil menyeringai, tiba-tiba dia berkata, “Aku toh bukan ibu Toh Ceng-lian, juga bukan ibu Sim Ang-yap. Aku pun bukan nenek-moyangnya hwesio bau itu. Kenapa aku harus memata-mataimu?”

Mimik muka Ma Ji-liong segera berubah. Dia bertanya, “Apakah kau juga tahu tentang hal itu?”

Gadis itu cuma menyahut, “Hmmm.”

“Bagaimana kau bisa tahu?” Ma Ji-liong bertanya.

“Hmmm,” jawab gadis itu.

Ma Ji-liong bertanya pula, “Apakah kau bertemu dengan Pang Tio-hoan dan Coat-taysu? Apakah mereka yang memberitahukan semua itu padamu?”

Gadis itu tidak bersuara lagi. Pelan-pelan dia menuangkan semangkok arak lagi untuknya, semangkok besar arak.

Sambil menghela napas, Ma Ji-liong berkata, “Apakah kau selalu minum dengan mangkok yang besar?”

“Ya,” akhirnya gadis itu menjawab.

Ma Ji-liong bertanya, “Mengapa begitu?”

Gadis itu berkata, “Cuma Siau-hoan yang minum dengan mangkok kecil (siau hoan). Aku bukan Siau-hoan.”

Siau-hoan? Ma Ji-liong merasa seperti pernah mendengar nama ini sebelumnya. Dia tadi mendengarnya dari Khu Hong-seng, yang mengatakan bahwa kekasihnya bernama Siau-hoan. Dan potongan giok di kantungnya itu diberikan kepadanya oleh Siau-hoan itu.

Ma Ji-liong tidak bisa menahan diri. Dia bertanya lagi, “Apakah kau juga kenal Siau-hoan?”

Gadis itu berkata dengan dingin, “Kau terlalu banyak bertanya.”

“Tapi kau tidak menjawab satu pun,” kata Ma Ji-liong.

Gadis itu berkata, “Itu karena kau terus mengajukan pertanyaan yang seharusnya tidak ditanyakan, dan kau tidak menanyakan apa yang seharusnya kau tanyakan.”

“Lalu apa yang seharusnya kutanyakan?” Ma Ji-liong berkata.

Gadis itu menjawab, “Kau sudah mencicipi makananku. Kau sudah meminum arakku. Setidaknya kau seharusnya sudah menanyakan namaku!”

“Siapa namamu?” Ma Ji-liong bertanya.

Dia berkata, “Siau-hoan selalu minum dengan mangkok kecil (siau hoan). Aku minum dengan mangkok besar (toa hoan). Jadi apa namaku?”

“Namamu Toa-hoan?” Ma Ji-liong berkata.

Gadis itu tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Akhirnya kau semakin cerdas.”

Tidak ada komentar: