Harkat Pendekar 6-10


HARKAT PENDEKAR
Saduran : Gan K. H


Bagian 06 - 10



Gadis ini bernama Toa-hoan. Walaupun mukanya galak dan buruk, tangannya ternyata lebih indah daripada tangan sebagian besar gadis. Dan walaupun matanya kecil dan sipit, bila tersenyum, mata itu ternyata amat lembut, seperti air mata air yang mengalir dalam sinar matahari.

Kata-katanya pendek dan lugas, tapi jika orang benar-benar memikirkannya, kata-kata itu seperti menyampaikan pesan yang mendalam.

Dan meskipun dia bisa membuat orang “tak bisa tertawa tak bisa menangis” dan sikapnya sering tak masuk di akal, orang-orang kemudian akan menyadari bahwa apa yang dia lakukan adalah untuk kebaikan mereka sendiri. Jika dia tidak memakai mantel bulu Ma Ji-liong dan membawa pergi kuda putihnya, dia mungkin tidak bisa hidup sampai sekarang.

Mungkin sekali dia sudah mendengar persoalan ini dari Pang Tio-hoan. Tapi dia tetap tidak memperlakukan pemuda itu sebagai pembunuh berdarah dingin. Jika sekarang ada orang yang bersedia menjadi temannya di dunia ini, mungkin dialah orangnya. Tapi sebenarnya, siapakah dia?

Mendadak Ma Ji-liong berkata, “Kau orang yang baik.”

Dia menghela napas lagi, “Sebelumnya aku selalu menganggapmu aneh. Baru sekarang aku tahu bahwa kau adalah orang yang baik.”

“Bagaimana kau tahu kalau aku orang yang baik?” Toa-hoan bertanya.

“Aku belum bisa mengatakannya, tapi aku tahu,” jawab Ma Ji-liong.

Lalu dia menuangkan semangkok arak untuk si nona. Dia berkata, “Ayo, aku pun menggunakan mangkok besar (toa hoan) untuk menghormatimu.”

Anehnya, Toa-hoan benar-benar meminum semangkok besar arak itu. Dia minum dengan gembira.

Tiba-tiba Ma Ji-liong bertanya lagi, “Kau bernama Toa-hoan. Apakah ada hubungannya dengan Siau-hoan?”

“Tidak,” jawab Toa-hoan.

“Sayang,” kata Ma Ji-liong.

Toa-hoan bertanya, “Kenapa? Apakah karena kau ingin bertemu dengan Siau-hoan?”

“Aku benar-benar ingin bertemu dengannya,” jawab Ma Ji-liong.

Toa-hoan berkata, “Sayangnya kau tidak bisa menemukannya.”

Ma Ji-liong tersenyum dipaksa dan berkata, “Sayangnya dia bukan bernama Toa-hoan.”

“Kenapa harus disayangkan?” Toa-hoan berkata.

Ma Ji-liong menjawab, “Jika namanya adalah Toa-hoan, tentu mudah menemukannya. Sayangnya dia bernama Siau-hoan.”

Lalu dia menjelaskan, “Tidak mungkin banyak gadis yang bernama Toa-hoan, tapi yang bernama Siau-hoan pasti lebih sedikit lagi. Aku cuma tahu bahwa namanya Siau-hoan. Bagaimana aku bisa menemukannya?”

Toa-hoan berkata, “Walaupun kau tidak bisa menemukannya, tapi selalu ada orang yang bisa.”

“Siapa yang bisa menemukannya?” Ma Ji-liong bertanya.

Toa-hoan tidak menjawab. Dia malah bertanya, “Berapa banyak yang sudah kau minum hari ini?”

Ma Ji-liong berkata, “Delapan mangkok, delapan mangkok besar.”

“Kau masih bisa minum semangkok lagi?” Toa-hoan bertanya.

“Tak tahu,” kata Ma Ji-liong.

Toa-hoan berkata, “Apa kau masih sanggup minum banyak lagi?”

Ma Ji-liong berkata, “Entahlah... Biasanya aku minum tidak menggunakan mangkok.”

“Apa yang kau gunakan?” Toa-hoan bertanya.

“Aku minum dari guci arak,” kata Ma Ji-liong.

Toa-hoan tertawa.

“Kau kira aku membual?” Ma Ji-liong bertanya.

Toa-hoan berkata, “Jika kemampuan minum arakmu benar-benar hebat, aku bisa membawamu menemui seseorang.”

“Siapa?” Ma Ji-liong bertanya.

Toa-hoan menjawab, “Seseorang yang tidak minum dari mangkok kecil (siau hoan) tapi pasti bisa menemukan Siau-hoan itu.”

“Lalu dia minum pakai apa?” Ma Ji-liong bertanya.

“Mangkok pecah,” Toa-hoan menjawab.

Ma Ji-liong berkata, “Jika dia minum dari mangkok pecah, maka dia bernama Boa-hoan (Mangkok Pecah), bukan?”

“Aku terkejut melihatmu semakin cerdas,” kata Toa-hoan dengan senang.

Dengan mata bersinar-sinar, Ma Ji-liong berkata, “Mangkok pecahmu ini, apakah dia bukannya Boa-hoan Ji Ngo?”

“Siapa lagi kalau bukan dia?” Toa-hoan berkata.

***

Selain dia, memang tidak ada orang lain. Pasti tidak ada orang lain seperti dia. Tidak ada orang yang bisa minum seperti dia, dan tidak ada orang yang memahami arak lebih baik darinya. Tak seorang pun yang bisa menandingi kemampuannya makan, dan tak seorang pun yang sangat pilih-pilih soal makanan seperti dia.

Tapi dia bukan cuma terkenal dengan kemampuan makan dan minumnya. Dulu, jago nomor satu di dunia Kang-ouw – Yap Kay – pernah menguraikan dirinya sebagai berikut, “Semiskin debu, sekaya satu negara, terkenal ke seluruh dunia, tapi tidak seorang pun yang bisa mengenalinya.”

Menggunakan kata-kata ini untuk menjelaskan tentang dirinya adalah yang paling tepat. Garam adalah sumber kekayaan terbesar di dunia, dan perdagangan yang paling cepat menghasilkan uang adalah yang berhubungan dengan minyak dan beras, sutera, kayu dan toko gadai. Keluarga Ji di Kanglam bukan hanya merupakan pedagang garam terbesar, keluarga ini juga terkenal dalam keempat usaha lainnya. Mereka tentu saja termasuk orang terkaya di antara orang-orang kaya. Kekayaan mereka sama dengan kekayaan satu negara.

Keluarga Ji dari Kanglam terdiri dari lima bersaudara, dan Ji Ngo adalah orang kelima.

Orang paling miskin di dunia tentu saja pengemis. Ji Ngo juga salah seorang dari tetua para pengemis, dan ketua partai pengemis yang sekarang. Walaupun namanya menonjol di dalam Bulim, tapi tidak banyak orang yang pernah bertemu dengannya, dan dia biasanya tidak dikenal orang. Tapi anak-buahnya adalah pengemis-pengemis di seluruh dunia, baik yang berada di sebelah utara dan selatan sungai Tiangkang. Dan karena itu, jika orang ingin menemukan seseorang yang tidak bisa ditemukan, maka orang itu harus pergi mencarinya.

“Kau bisa menemukan dia?” Ma Ji-liong bertanya.

“Jika aku tidak bisa, lalu siapa yang bisa?” Toa-hoan menjawab.

Ma Ji-liong bertanya, “Kau tahu di mana dia berada?”

Toa-hoan berkata, “Seharusnya kau tahu. Dia tentu saja berada di sebuah tempat di mana dia bisa makan dan minum.”

Bagi pengemis, seluruh dunia adalah rumah mereka. Di mana ada makanan, maka mereka pun makan di sana. Tempat mana pun adalah tempat yang baik untuk makan, dan tempat mana pun juga baik untuk minum. Banyak tempat yang bisa dipakai untuk makan dan minum, dan di mana-mana juga ada warung makanan dan warung arak yang kecil.

Toa-hoan membawanya ke sebuah rumah makan yang sangat kecil. Itulah rumah makan yang benar-benar sempit, cuma ada dua buah meja rusak dan beberapa buah kursi yang berantakan di dalamnya.

Ma Ji-liong melangkah melewati ambang pintu dan tercium olehnya bau yang busuk. Di atas salah satu meja kecil tersedia beberapa macam sayur asin yang warnanya sudah berubah. Selain itu sayur itu pun tampak kering dan keras seperti setumpuk batu yang diambil dari selokan. Meskipun orang yang hampir mati kelaparan, dia tentu tidak berani mencicipinya. Dengan melihat sayur asin ini saja, orang bisa membayangkan bagaimana rumah makan ini dijalankan. Walaupun Ji Ngo seorang pengemis, dia adalah ketua partai pengemis yang paling bersih dan paling pilih-pilih soal makanan. Dalam urusan makan, dia tidak pernah sembarangan. Bagaimana mungkin dia mau datang ke tempat ini untuk makan dan minum?

Di tempat ini tidak ada tamu, dan seorang pelayan tua tampak sedang tidur lelap. Toa-hoan berjalan menghampiri dan membisikkan beberapa patah kata ke telinganya. Dia segera bangun, sepasang matanya yang tadi seperti linglung tiba-tiba tampak bersinar dengan terangnya. Dunia kang-ouw memang penuh dengan harimau mendekam dan naga bersembunyi. Mungkinkah orang tua ini juga seorang jago Bulim yang sedang menyamar?

Dia terus mengawasi Toa-hoan dengan cara yang amat aneh. Jelas dia bersikap setengah hormat dan setengah gembira, seperti seorang bocah yang tiba-tiba bertemu dengan seorang idola yang sudah lama dikaguminya. Ma Ji-liong berwajah tampan, dan di seluruh dunia Kang-ouw orang yang tampan seperti dirinya adalah langka. Biasanya dia akan menarik perhatian orang ke mana pun dia pergi. Tetapi, anehnya, orang tua ini bahkan tidak meliriknya sedikit pun. Berdiri di samping Toa-hoan, dia seperti dianggap tidak ada. Ma Ji-liong merasa pengalaman ini sangat menarik.

Orang tua itu tiba-tiba menghela napas dalam-dalam. Lalu dia bergumam, “Aku tidak mengira, aku tidak menyangka. Aku sama sekali tidak menduga.”

Toa-hoan berkata, “Kau tidak menyangka aku akan berada di sini?”

Orang tua itu menjawab, “Hamba mendapat kesempatan untuk bertemu dengan nona, hidupku ini tidak akan sia-sia.”

Tiba-tiba dia berlutut, menjatuhkan dirinya ke lantai, dan merangkak untuk mencium kaki Toa-hoan. Sikapnya amat mirip dengan seorang pejabat pemerintah setia yang sedang memberi hormat pada kaisarnya. Lalu dia bangkit berdiri dan berkata, “Ji Ngo sedang berada di dapur, di belakang. Silakan ikuti hamba.”

Ma Ji-liong merasa sangat aneh. Bagaimanakah asal-usul gadis buruk rupa yang aneh ini? Orang itu memberinya hormat seperti ini. Dia pun menerimanya tanpa canggung sedikit pun, seolah-olah dia sudah menduganya.

Toa-hoan tahu apa yang sedang dia pikirkan, maka ia berkata dengan lembut, “Dulu orang tua ini pernah bekerja untuk kami sebagai pelayan di dapur. Adat-istiadat di dalam keluarga kami memang selalu ketat.”

Ma Ji-liong ingin bertanya, “Jadi pelayan dalam keluarga kalian harus mencium kakimu bila mereka melihatmu? Bahkan di istana kaisar tidak ada adat-istiadat seperti itu.” Tapi dia tidak sempat mengatakannya karena mereka telah berjalan memasuki dapur.

Tidak seorang pun bisa menduga bahwa rumah makan kecil dan bau ini akan mempunyai dapur seperti ini. Ruangan dapur itu luas, bersih dan berkilauan. Semuanya tertata rapi. Piring dan mangkok lebih mengkilap daripada cermin, dan bahkan tidak setitik debu pun yang terlihat di tungku pembakaran. Thian-ma-tong adalah rumah milik keluarga bangsawan, di mana orang-orangnya tidak mau makan sembarangan. Tetapi dapurnya bahkan tidak sebersih dan seluas ini.

Tampak seseorang sedang memasak makanan di dapur. Bila orang sedang menggoreng sesuatu, sikapnya tentu tidak kelihatan agung. Tapi orang ini merupakan kekecualian. Di tangannya tergenggam sebuah sudip, tapi dia terlihat seperti Bu Tau-ji – pelukis terbesar sepanjang masa – yang sedang memegang kuas, atau Sebun Jui-soat – jago pedang yang unik dan termasyur itu – sedang memegang pedangnya. Sikap dan gerak-geriknya bukan saja indah, dia pun benar-benar asyik dengan masakannya.

Dia sedang menggoreng tahu, tahu isi udang. Karena sekarang tahu-tahu itu belum selesai digoreng, maka orang tua tadi hanya berdiri saja di belakangnya, tidak berani mengusik. Anehnya Toa-hoan juga tidak mengganggunya. Orang itu bertubuh sedang, dengan wajah yang halus dan cerah. Dan meskipun penuh dengan tambalan, bajunya yang panjang itu bersih tak bernoda. Dia seperti seorang laki-laki terpelajar.

Ma Ji-liong tak sanggup berdiam diri terus. Dia lalu bertanya, “Apakah dia adalah Kanglam Ji Ngo?”

Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, “Siapa lagi kalau bukan dia?”

Tahu itu sudah selesai digoreng, dan periuk pun telah dipindahkan dari atas api. Dia lalu menggunakan sudip untuk mengambil tahu itu satu demi satu. Setiap potongnya dimasak dengan baik. Dimasak dengan suhu yang rendah, tahu-tahu itu sudah berwarna kuning, ditumpuk di atas sebuah piring porselen berwarna putih seperti salju, tampak seperti gumpalan-gumpalan emas. Tapi gumpalan emas pasti tidak harum dan mengundang selera seperti ini. Dia memandang tahu-tahu itu dan tampak sangat puas pada dirinya sendiri. Lalu dia gunakan kedua tangannya untuk meletakkan piring tadi di atas sebuah meja kayu yang tidak bernoda. Lalu dia menghela napas dan mengangkat kepalanya.

Akhirnya dia melihat Toa-hoan dan berkata, “Kau rupanya.”

“Ini aku,” Toa-hoan berkata sambil tertawa terbahak-bahak. Dia tidak memperlihatkan penampilan yang memuakkan lagi. “Aku terkejut Ji Ngo mengenaliku.”

Ji Ngo bersikap hangat kepadanya. Dia berkata, “Apa hari ini kau sudah minum?”

“Baru sedikit,” jawab Toa-hoan.

Ji Ngo berkata, “Bagus, bagus sekali. Aku baru saja hendak mencari orang yang bisa menemaniku minum.”

Sambil terkekeh dia berkata, “Minum arak itu seperti main catur. Perlu dua orang baru menarik.”

Ji Ngo akhirnya menatap Ma Ji-liong. Lalu dia bertanya, “Apakah dia juga minum? Bisakah dia minum?”

“Kudengar kekuatan minum araknya cukup bagus,” jawab Toa-hoan.

“Siapa yang bilang?” Ji Ngo bertanya.

Toa-hoan berkata, “Dia sendiri yang mengatakannya.”

Ji Ngo bertanya, “Dia berkata begitu dan kau percaya begitu saja?”

“Kenapa kau tidak mencoba dan melihatnya sendiri?” Toa-hoan berkata.

“Bagus, bagus sekali,” Ji Ngo terkekeh.

Tahu itu sangat enak. Ma Ji-liong sampai lupa menjaga sopan-santun. Dengan sekali telan dia sudah menghabiskan tiga potong. Setiap potongnya diikuti dengan semangkok arak. Dalam sekejap dia sudah minum tiga mangkok, tiga mangkok besar. Ji Ngo juga sudah minum tiga mangkok.

Ji Ngo benar-benar menggunakan sebuah mangkok yang pecah, mangkok pecah yang sangat besar. Mangkok itu pecah menjadi tiga keping yang kemudian direkatkan kembali. Mangkok itu berwarna biru terang, seperti warna langit setelah badai reda.

Tiba-tiba Ma Ji-liong berkata, “Mangkok yang bagus.”

“Kau tahu ini mangkok yang bagus?” Ji Ngo bertanya.

Ma Ji-liong menjawab, “Mangkok ini dibuat oleh Chaifu, mangkok terbaik yang pernah keluar dari tempat pembakaran. Kecuali sebuah yang ada di istana kaisar, pasti tidak ada mangkok lain seperti ini di dunia ini.”

Ji Ngo berkata, “Benar, memang cuma ada dua mangkok seperti ini di dunia ini.”

Dia memandang Ma Ji-liong dan terkekeh, “Ternyata pandangan matamu cukup bagus. Kau bukan hanya pandai melihat orang, kau pun pintar melihat mangkok.”

“Bila melihat orang, pandangan matanya tidak begitu bagus,” Toa-hoan berkata dengan dingin.

Sambil tertawa terbahak-bahak, Ji Ngo berkata, “Jika dia tidak pandai melihat orang, kenapa dia bisa menyukaimu?”

Toa-hoan seolah-olah tidak mendengarnya. Wajah Ma Ji-liong sendiri sudah memerah sedikit.

Tiba-tiba Ji Ngo berkata, “Kalian berdua datang ke sini. Tujuan kalian tentunya bukan untuk minum arak denganku.”

“Aku ingin mencari seseorang, tapi aku tidak tahu di mana dia berada,” kata Ma Ji-liong.

“Kau ingin aku membantu menemukannya, bukan?” Ji Ngo bertanya.

“Benar!” Ma Ji-liong menjawab.

Ji Ngo bertanya, “Siapa yang ingin kau temukan itu?”

“Namanya Siau-hoan,” kata Ma Ji-liong.

Ji Ngo tertawa dengan kerasnya. Dia berkata, “Siau-hoan tidak sebaik Toa-hoan. Kau sudah mendapatkan gadis 'hoan' yang ini, kenapa kau harus mencari Siau-hoan lagi?”

Pengamatan pendekar terkenal ini jelas tidak begitu bagus. Dia mengira Ma ji-liong adalah kekasih Toa-hoan.

Melihat kedua orang itu, yang satunya sangat buruk rupa, yang lainnya amat tampan. Seharusnya dia dapat melihat bahwa mereka tidak sebanding.

Toa-hoan sengaja bertanya, “Kenapa Siau-hoan tidak sebaik Toa-hoan?”

Ji Ngo berkata, “Apabila kau ingin makan atau minum, mangkok kecil (siau hoan) tidak bisa menampung sebanyak mangkok besar (toa hoan). Jadi Siau-hoan jelas kalah bila dibandingkan dengan Toa-hoan.”

“Bagaimana dengan mangkok pecah (boa hoan)?” Toa-hoan bertanya.

“Mangkok pecah bahkan lebih baik daripada mangkok besar,” Ji Ngo berkata.

Toa-hoan bertanya, “Kenapa begitu?”

Ji Ngo berkata, “Mangkok yang pecah berarti mangkok itu sudah melalui hal yang baik dan buruk. Seperti manusia, orang harus melalui tantangan hidup untuk menjadi tua. Pengalaman orang tua selalu lebih banyak daripada pengalaman seorang bocah, seperti jahe yang makin tua semakin pedas.”

Lalu dia mengangkat mangkok pecahnya dan meneguk habis araknya. Sambil tertawa terbahak-bahak, dia lalu berkata, “Dan itulah sebabnya mangkok pecah lebih baik daripada mangkok besar.”

Toa-hoan juga tertawa. Dia berkata, “Untunglah kita bicara tentang manusia, bukan mangkok. Siau-hoan yang ini bukan hanya lebih baik daripada Toa-hoan, dia juga lebih baik daripada boa-hoan (mangkok pecah).”

“Oh, ya?” Ji Ngo berkata.

Toa-hoan berkata pula, “Siau-hoan ini adalah gadis yang sangat cantik. Selain itu dia juga lembut dan penuh kasih sayang.”

"Bagaimana kau tahu?" Ji Ngo bertanya.

Toa-hoan menjelaskan, “Karena dia adalah kekasih Khu Hong-seng. Tentu saja gadisnya si Tombak Perak tidak mungkin makhluk yang buruk dan aneh seperti diriku.”

Ji Ngo tertawa dan berkata, “Siau-hoan ini rupanya milik orang lain. Tak heran kenapa kau biarkan aku membantu dia menemukannya.”

Dia tidak membiarkan Ma Ji-liong membantah, dia juga tidak bertanya lagi.

Tiba-tiba dia berkata, “Ayo kita buat perjanjian.”

“Perjanjian apa?” Ma Ji-liong bertanya.

Ji Ngo menjawab, “Kau tinggal di sini dan minum bersamaku, dengan menggunakan mangkok besar. Lalu akan kuberitahukan cara menemukan Siau-hoan ini padamu.”

“Baik,” kata Ma Ji-liong.

“Dalam tiga hari, aku akan mendapatkan berita untukmu,” Ji Ngo berkata.

“Aku akan tinggal di sini menemanimu minum selama tiga hari,” Ma Ji-liong menegaskan.

Ji Ngo berkata, “Dengan mangkok besar?”

“Tentu saja menggunakan mangkok besar,” kata Ma Ji-liong.

Ji Ngo berkata, “Dan kau bertanding minum denganku?”

“Tentu,” jawab Ma Ji-liong.

Ji Ngo menatapnya sekian lama. Lalu dia bertanya lagi, “Apakah kau tahu kemampuan terbaikku?”

“Katakanlah,” kata Ma Ji-liong.

Ji Ngo berkata, “Kemampuan terbaikku adalah makan, minum dan tidur.”

Ma Ji-liong berkata, “Aku tidak tahu dengan makan dan tidur, tapi minum.... aku akan menandingimu.”

Ji Ngo bertanya, “Kau tidak takut mabuk?”

Ma Ji-liong menjawab, “Biarpun mabuk sampai mati, aku tetap akan minum.”

Ji Ngo tertawa terbahak-bahak. Lalu dia berkata, “Bagus, benar-benar bagus.”

Di dunia ini ada orang yang lebih suka mati daripada menyerah kalah. Ma Ji-liong tentu saja termasuk orang seperti ini.

Melihat mereka berdua menenggak minuman mereka terus-menerus, Toa-hoan pun menghela napas dan berkata, “Saat pergi dari rumah, ibuku sudah memperingatkan aku agar tidak mabuk atau bercampur-baur dengan orang-orang mabuk. Dia bilang – semua pemabuk di dunia ini sama saja. Mereka bukan saja tidak tahu siapa diri mereka, mereka juga selalu bertindak bodoh dan tak masuk akal terhadap orang lain.”

Toa-hoan melanjutkan lagi, “Dan kemudian dia berkata – bila bertemu dengan seorang pemabuk, yang sebaiknya dilakukan oleh seorang gadis yang cerdik adalah pergi jauh-jauh secepatnya.”

Ma Ji-liong berkata, “Benar.” Dia minum semangkok lagi dan berkata, “Benar sekali.”

“Dua orang pemabuk tentu saja lebih buruk daripada seorang,” kata Toa-hoan.

Ji Ngo berkata, “Benar.” Dia juga minum semangkok lagi dan berkata, “Satu-satunya yang lebih buruk daripada satu orang pemabuk adalah dua orang pemabuk.”

Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, “Sayangnya aku segera akan bertemu dengan dua orang pemabuk.”

Ji Ngo bertanya, “Di mana? Di mana ada dua orang pemabuk?”

Toa-hoan berkata, “Agaknya akan ada di sini, tepat di hadapanku.”

Ji Ngo memandang Ma Ji-liong. Ma Ji-liong memandang Ji Ngo. Dan mereka berdua lalu tertawa terbahak-bahak.

“Ibuku cuma menyuruhku lari bila bertemu dengan seorang pemabuk. Dia tidak memberitahu apa yang harus kulakukan jika bertemu dengan dua orang pemabuk.” Sambil tertawa cekikikan, dia berkata, “Untunglah aku menemukan jalan keluarnya.”

Ji Ngo bertanya, “Apa itu?”

“Aku harus mabuk juga.” Dia menenggak semangkok besar dengan cepat. “Jika aku mabuk, aku tidak perlu takut pada pemabuk lagi.”

Ji Ngo bertepuk tangan dan berkata, “Benar.”

“Tapi ada satu hal lagi,” kata Ma Ji-liong.

Ji Ngo bertanya, “Apa itu?”

Ma Ji-liong berkata, “Bukankah tiga orang pemabuk lebih buruk daripada dua orang pemabuk?”

Ji Ngo berkata, “Tentu saja.” Lalu dia menghela napas, “Di dunia ini, kurasa satu-satunya yang lebih buruk daripada dua orang pemabuk mungkin adalah tiga orang pemabuk.”

“Dan sekarang aku sudah bertemu tiga orang pemabuk,” kata Ma Ji-liong sambil menghela napas. “Karena aku adalah salah seorang dari mereka.”

Dia sendiri belum mabuk, maka ini bukanlah omongan orang mabuk. Hatinya masih dibanjiri oleh berbagai macam perasaan. Seorang laki-laki tidak bisa melarikan diri dari dirinya sendiri. Kesalahan dan tanggung-jawabnya tak bisa dihindari. Karena semua itu seperti bayangannya sendiri, dari mana orang tidak bisa melarikan diri.

Ma Ji-liong sedang mabuk. Bila seseorang minum bersama orang-orang yang bisa dia percayai, maka amat mudah baginya untuk mabuk, dan dia mempercayai Toa-hoan dan Ji Ngo.

Bila hati seseorang sedang gundah, menderita ketidak-adilan, mudah juga baginya untuk mabuk. Walaupun dia yakin bahwa kesalah-pahaman ini suatu hari akan terungkap, dia tetap tak bisa menahan perasaan gundahnya.

Dia sudah minum selama dua-tiga hari dan karenanya dia pun mabuk. Dan bila seseorang dalam keadaan seperti dia, apa pun yang dikatakan atau dilakukannya, dia tak akan ingat dengan jelas. Meskipun dia ingat, pasti samar-samar seperti dalam mimpi, atau lebih mirip seperti orang lain yang mengatakan atau melakukannya daripada dirinya sendiri.

Dia agaknya ingat dirinya pernah mengatakan sesuatu yang membuatnya berjingkrak kaget bila mengingatnya sekarang. Saat itu setiap orang sudah hampir mabuk. Dia lalu mencengkeram tangan Toa-hoan dan berkata, “Maukah kau menikah denganku?”

Toa-hoan tertawa. Dia tertawa tiada hentinya sampai kehabisan napas. Lalu dia bertanya, “Kenapa kau ingin aku menikah denganmu?”

“Karena aku tahu kau sangat baik padaku. Karena di saat orang lain mencurigaiku dan memperlakukan aku sebagai pembunuh berdarah dingin dan berusaha membunuhku, tapi kau mempercayaiku. Kau adalah satu-satunya orang yang bersedia menolongku.”

Ma Ji-liong mengutarakan isi hatinya. Bila seseorang mabuk seperti ini, dia pasti selalu mengatakan perasaan yang sebenarnya.

Tapi Toa-hoan tidak mempercayainya. “Kau cuma ingin menikah denganku karena kau sedang mabuk. Tunggu sampai kau sadar, kau pasti akan menyesal.”

Dia tertawa, tapi suaranya terdengar pedih. “Tunggu sampai kau bertemu dengan gadis yang lebih cantik dariku, kau pasti ingin bunuh diri karena menyesal.”

Lalu dia berkata pula, “Aku buruk rupa, dan aneh, dan jahat. Dan tidak terhitung jumlah gadis yang lebih cantik dariku.”

Sekarang Ma Ji-liong sudah sadar, dia tak ingat apakah Toa-hoan menerima 'lamarannya' itu. Tidak henti-hentinya dia bertanya pada dirinya sendiri, “Jika dia mengatakan ya, apakah aku menyesalinya atau tidak? Sekarang, apakah aku masih ingin menikah dengannya?”

Tapi dia tidak tahu jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini.

Lalu dia melihat seorang gadis, seorang gadis yang jauh lebih cantik daripada Toa-hoan.

Ketika dia terbangun, dia tidak berada di dapur itu lagi, dan Ji Ngo dan Toa-hoan tiba-tiba tidak kelihatan lagi. Dia menemukan dirinya sedang berbaring di sebuah ranjang yang kecil tetapi lembut, yang juga beraroma harum dan sangat nyaman. Ranjang ini ditaruh di sebuah kamar yang kecil tetapi amat bersih, sangat mewah dan amat harum.

Di kamar ini, orang bisa melihat beberapa batang pohon bunga di luar jendela. Di bawah jendela terdapat sebuah meja rias kecil. Di atas meja rias ada sebuah cermin tembaga yang mungil. Di dekat cermin ada sebuah pot berisi bunga bwe. Dan berdiri di sebelah bunga bwe itu adalah gadis ini.

Bunga bwe itu indah luar biasa, dan begitu pula gadis ini. Dan seperti bunga-bunga itu, dia pun cantik molek. Tapi walaupun dia mengenakan gaun merah, wajahnya kelihatan pucat kebiruan. Meski matanya bening dan indah, tetapi sorot matanya memancarkan kesedihan yang teramat sangat.

Dia sedang memandang Ma Ji-liong. Dia sedang menatapnya dengan sinar yang sangat aneh di matanya, seolah-olah dia setengah ragu dan setengah takut. Ma Ji-liong merasa kepalanya sangat sakit. Dia tidak mengenal gadis ini, dia juga tidak tahu kenapa dia bisa berada di sini.

Tiba-tiba gadis itu bertanya, “Apakah kau Ma-kongcu, 'Pek-ma Kongcu' Ma Ji-liong?”

Ma Ji-liong menjawab, “Ya.”

“Apakah kau pergi ke Han-bwe-kok beberapa hari yang lalu?” gadis itu bertanya.

“Benar,” kata Ma Ji-liong.

Gadis itu bertanya, “Apakah kau bertemu dengan Khu Hong-seng?”

Tapi Ma Ji-liong berkata, “Apakah kau juga mengenalnya?”

Gadis itu mengangguk. Alisnya dikerutkan dengan sedih. Lalu dia berkata dengan lembut, “Aku she So, namaku Siau-hoan. Kau ingin bertemu denganku?”

“Tempat apakah ini?” Akhirnya Ma Ji-liong bertanya. “Kenapa aku bisa berada di sini?”

“Seorang Tuan Ngo yang membawamu ke sini,” dia memilih untuk menjawab pertanyaan kedua.

Lalu, untuk menjelaskan kenapa dia mau menerima kedatangan seorang laki-laki asing yang sedang mabuk, dia berkata, “Tuan Ngo berkata bahwa kau adalah teman Khu Hong-seng dan cuma kau yang tahu di mana dia berada sekarang.”

Ma Ji-liong tersenyum dipaksa. Ji Ngo masih mampu mengantarnya ke mari. Seorang laki-laki yang sedang mabuk tentu tidak bisa melakukannya. Dia tak pernah menyangka kalau ada orang yang mampu mengalahkan dirinya dalam soal minum. Dia tiba-tiba menyadari bahwa dia terlalu memandang tinggi dirinya sendiri.

Dengan sopan dia bertanya, “Apakah ini rumahmu?”

Siau-hoan menjawab, “Aku tidak punya rumah. Tempat ini tidak bisa disebut rumah.”

Ma Ji-liong paham apa maksudnya.

Tentu saja sebuah 'rumah' bukan sekedar sebuah rumah. Tidak perduli betapa pun indahnya sebuah rumah, sebuah 'rumah' dan sebuah rumah tetap tidak sama.

Siau-hoan berkata, “Dulu aku bekerja di Ti-hong-wan di kota Kay-hong sebagai seorang..... seorang pelacur. Sejak kecil aku sudah tidak punya ayah dan ibu. Hong-seng membawaku keluar dari tempat itu dan membelikan rumah ini untukku.”

Dia pun tersenyum, sebuah senyuman yang mengungkapkan penderitaannya. Lalu dia melanjutkan, “Tapi, jika dia tidak ada di sini, bagaimana tempat ini bisa disebut rumah lagi?”

Ma Ji-liong menghela napas dan berkata, “Aku tidak tahu kalau dia adalah orang yang begitu romantis!”

Bagi seorang pemuda dari keluarga ternama dan kaya raya seperti Khu Hong-seng, tergila-gila pada seorang perempuan seperti ini benar-benar amat menyentuh hati.

Siau-hoan berkata, “Walaupun dia keras dan tidak mau kalah, dia adalah orang yang baik dan tegas.”

Berbicara tentang Khu Hong-seng, sorot matanya memperlihatkan emosi yang lembut. Lalu dia meneruskan, “Dia begitu baik. Dia melakukan segalanya untukku. Dan dia tidak pernah bersikap kasar padaku, seorang perempuan yang seperti ini..... Aku bisa bertemu dengan seorang laki-laki seperti itu.... mati pun aku puas.”

Ma Ji-liong berkata, “Kalian berdua masih muda, kenapa kau bisa mati?”

Siau-hoan tersenyum getir, “Seandainya kau datang terlambat, kau tidak akan bertemu denganku lagi.”

Ma Ji-liong tiba-tiba teringat bagaimana Khu Hong-seng menggali liang di tanah itu.

Siau-hoan berkata, “Sebelum pergi, dia berjanji padaku bahwa paling lama dia akan kembali tadi malam.”

Ma Ji-liong bertanya, “Bagaimana jika dia tidak pernah kembali?”

Dengan hati yang patah, Siau-hoan berkata, “Berarti dia sudah meninggalkan dunia ini. Aku pun tentu akan menemaninya dalam kematian.”

Walaupun suaranya lembut, tapi mengandung keputusan yang kuat untuk mati. Mereka sudah bersumpah untuk tetap bersama dalam hidup dan mati.

Ma Ji-liong menutup mulutnya. Dia pun tidak tahu di mana Khu Hong-seng berada sekarang. Saat Peng Thian-pa, Pang Tio-hoan dan Coat-taysu mengejarnya, Khu Hong-seng tentu tidak ikut dengan mereka.

Walaupun dia tidak mati akibat tusukan tombak Kim Tin-lin, luka-lukanya pasti tidak ringan. Ke manakah seorang laki-laki yang terluka parah bisa menuju?

Hari itu mereka semua pergi ke Han-bwe-kok karena undangan Bik-giok Hujin. Apakah perempuan itu akhirnya muncul? Apakah dia yang membawa Khu Hong-seng ke Bik-giok-san-ceng?

Ma Ji-liong tidak yakin.

Siau-hoan menatapnya, menunggu jawabannya. Ma Ji-liong benar-benar tak sanggup mengutarakan isi hatinya, tidak ingin menyakiti gadis yang mengibakan ini lagi.

Siau-hoan menghela napas dengan lembut. Dia berkata, “Aku tahu jika dia masih hidup, dia pasti akan kembali. Kenapa kau mendustaiku?”

Ma Ji-liong berkata, “Aku.....”

Siau-hoan tidak membiarkannya bicara lagi. Dia memotong, “Kau memang tidak bisa memperdayaiku. Aku tahu ini – dia dan aku saling mencintai. Itu sudah cukup untukku.”

Sikapnya tiba-tiba menjadi dingin. Dia berkata, “Hari akan segera menjadi gelap. Aku tidak berani menahan Ma-kongcu lagi.”

Setelah dia berkata begitu, maka percakapan pun tidak bisa diteruskan lagi.

Ma Ji-liong cuma bisa pergi. Tapi, sebelum pergi, dia berkata, “Aku paham keputusanmu dan aku tidak akan memaksamu. Tapi kuharap kau bisa menunggu selama tiga hari. Dalam tiga hari ini, aku bisa memberikan kabar yang lebih banyak tentang Khu Hong-seng.”

Siau-hoan tampak bimbang. Lalu akhirnya dia setuju, “Baik. Aku akan menunggu selama tiga hari.”

Langit sudah menjadi gelap. Rumah Siau-hoan berada di mulut sebuah gang yang sempit dan panjang. Ma Ji-liong menaikkan kerah bajunya sebelum melangkah keluar dalam hembusan angin.

Dia ingin menemukan Siau-hoan karena dia hendak menegaskan apakah Khu Hong-seng mengatakan hal yang sebenarnya pada hari itu. Dia tidak meragukan Khu Hong-seng, tapi dia benar-benar tidak punya petunjuk lain. Seperti orang yang hampir tenggelam, dia harus berpegangan erat-erat pada apa pun yang terlihat di tangannya.

Sekarang ia sudah memastikan bahwa Khu Hong-seng benar-benar orang yang romantis, cinta mereka sungguh menggugah hatinya. Dia ingin menolong mereka. Dia berharap dia bisa mengetahui keberadaan Khu Hong-seng dalam waktu tiga hari ini.

Dia berharap dia bisa menyatukan kembali kedua kekasih ini.

Tapi dia tetap merasa ada sesuatu yang tidak benar, tapi dia tidak bisa menunjukkannya. Dia selalu merasa ada sesuatu yang terlalu sedikit dan terlalu banyak pada rumah Siau-hoan itu. Tapi apakah yang hilang? Apa pula yang terlalu banyak? Dia benar-benar tidak bisa mengatakannya.

Apakah Toa-hoan sekarang sudah bangun? Apakah dia pun merasa sakit kepala seperti dirinya? Tiba-tiba dia menyadari bahwa dia merindukan gadis itu. Gadis yang aneh luar biasa, buruk rupa dan tidak rasional itu agaknya masih mempunyai sisi-sisi yang menarik.

Sayangnya ia tidak tahu dari mana gadis itu berasal, juga tidak tahu ke mana dia hendak pergi. Mereka bertemu secara kebetulan. Nantinya mereka tentu akan pergi ke arah tujuan masing-masing. Mungkin ia tidak akan pernah melihatnya lagi. Ma Ji-liong menghela napas dan memutuskan untuk tidak memikirkan gadis itu lagi.

Sekarang sudah akhir musim dingin. Ketika akhir tahun semakin dekat, setiap keluarga tentu akan membeli baju Tahun Baru dan barang-barang lainnya. Di saat seperti ini, setiap orang tentu memiliki uang di sakunya dan sibuk melakukan jual-beli. Persis di luar jalan sempit itu juga terdapat sebuah pasar bunga yang mungil. Bunga lili dan wintersweet kebetulan sedang mekar.

Seorang isteri saudagar dan pelayannya yang masih muda baru saja kembali dari belanja barang-barang Tahun Baru – jamur jarum, jamur kuping kayu, kurma merah, buah pek, pakis dan rebung bambu – yang semuanya terkemas dalam sebuah keranjang. Gadis itu sedang menjinjing keranjang di tangannya tapi matanya tertuju pada setangkai bunga seruni. Gadis berumur 15-16 tahun mana yang tidak menyukai hal-hal yang indah? Bagaimana mungkin orang tidak menyukai bunga seruni yang cerah dan harum itu?

Gadis itu tidak tahan lagi. Dia lalu bertanya, “Toa-naynay (Nyonya Besar), apa kita beli saja beberapa tangkai bunga seruni ini?”

“Tidak,” Si nyonya berbaju sutera menjawab dengan tegas, wajahnya tampak kaku.

Gadis muda itu tidak menjadi surut. Dia bertanya lagi, “Bunga-bunga ini tidak mahal. Kenapa kita tidak membeli beberapa agar bisa kita pandang di rumah?”

“Karena aku tidak suka.”

Sambil menghela napas, pelayan muda itu bergumam, “Nyonya terlalu banyak pikiran. Tuan cuma pergi beberapa hari dan dia sudah tidak suka melihat bunga.”

Walaupun pelayan itu tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, dia masih sempat bicara sendirian sebelum mengikuti majikannya pulang. Ini cuma urusan sepele dan tidak seorang pun yang memperhatikan mereka.

Tapi Ma Ji-liong lain.

Isteri saudagar tadi membawa seorang pelayan untuk mendampinginya. Melihat latar belakang keluarga Khu Hong-seng dan bagaimana cara pemuda itu memperlakukan kekasihnya, mengapa Siau-hoan tidak mempunyai seorang pelayan pun di rumahnya?

Dan di atas meja rias kecil itu ada sebuah pot berisi bunga mawar. Bunga yang masih segar.

Jika Ma Ji-liong tidak muncul, dia tentu sudah bunuh diri karena urusan cinta. Tapi kenapa dia masih sempat-sempatnya memetik bunga?

Sekarang dia tahu apa yang aneh pada rumah itu. Di ruangan itu tidak ada pelayan. Dan pot bunga itu seharusnya tidak ada di sana.

Maka dia lalu membalikkan badannya. Sebagian besar orang yang tinggal di jalan itu adalah keluarga-keluarga saudagar yang kaya. Rumah Siau-hoan lebih besar dari kebanyakan rumah di tempat itu, dengan tembok yang tinggi. Pintu gerbangnya terbuat dari potongan papan yang keras dan tebal, dengan kunci gembok di sebelah dalam.

Tapi jika Ma Ji-liong ingin masuk, hal itu benar-benar tidak sulit.

Dia sudah bisa melompati tembok seperti ini sejak berusia belasan tahun. Di dunia Kang-ouw, Thian-ma-tong menduduki tempat yang tinggi karena ilmu ginkang dan ilmu pedangnya. Dia curiga kalau Siau-hoan menyembunyikan sesuatu darinya, seharusnya dia melompati tembok ini untuk menyelidiki rahasia gadis itu. Dia juga tahu bahwa jika dia ingin mengetahui tabiat orang yang sebenarnya, dia harus mencari tahu di saat orang itu tidak menyadari bahwa dia berada di sana.

Sayangnya dia tidak bisa melakukannya. Dia tidak pernah melakukannya sebelumnya, dan tidak akan pernah.

Dia memutuskan untuk mengetuk pintu. Tapi ketika dia hendak mengetuk, tiba-tiba dia mendengar suara yang aneh.

Dia mendengar seseorang tertawa. Suara tawa itu sendiri tentu tidak aneh. Walaupun kejadian buruk sering terjadi di dunia ini, orang masih tetap bisa mendengar suara tawa seseorang di mana-mana.

Yang anehnya di sini adalah suara tawa ini merupakan suara tawa seorang laki-laki. Selain itu, suara tawa ini berasal dari dalam rumah yang dibeli oleh Khu Hong-seng untuk Siau-hoan itu. Cuma ada seseorang, Siau-hoan, di sana, kenapa bisa terdengar suara tawa laki-laki?

Malam itu sunyi, dan begitu pula jalan tersebut. Walaupun suara tawa itu hanya berkumandang sebentar, tapi dia mendengarnya dengan amat jelas.

Setiap orang yang terlibat dalam urusan ini, mengalami kematian yang tragis satu demi satu.

Ada orang yang selalu tertawa sebelum membunuh orang lain.

Apakah suara itu adalah suara tawa seseorang yang berusaha membunuh Siau-hoan untuk membungkam mulutnya?

Ma Ji-liong tidak perduli lagi dengan sopan-santun. Dia segera melompati tembok itu.

Di dalam ruangan tadi, tampak api unggun menyala berkobar-kobar, dan sebuah jendela dibiarkan terbuka. Sambil bersembunyi di sebatang pohon cemara di luar rumah, dia bisa melihat lewat jendela bahwa Siau-hoan sedang berdiri di ruangan tadi.

Tadi Ma Ji-liong melompat masuk lewat tembok dan kebetulan mendarat di atas pohon cemara ini. Dia tidak ingin mengganggu orang lain. Tapi... dia sudah melihat mereka. Dia melihat Siau-hoan dan seorang laki-laki.

Dia tidak bisa melihat wajah laki-laki itu.

Orang itu duduk membelakangi jendela. Sambil berhadapan dengan Siau-hoan, dia bersandar di sebuah kursi yang empuk.

Ma Ji-liong hanya bisa melihat sebuah kaki yang terjulur dari kursi tersebut. Kaki itu mengenakan sebuah sepatu kulit yang amat indah, jenis sepatu yang hanya dipakai oleh laki-laki yang kaya dan selalu menyukai kemewahan.

Siau-hoan berdiri di depan laki-laki itu. Dia memandang laki-laki itu dengan tatapan yang sangat aneh. Tiba-tiba dia berkata dengan dingin, “Kau benar-benar menginginkan aku mati?”

Dengan suara yang sama laki-laki itu menjawab, “Kau kira aku tidak tega? Kau kira aku takut padamu?”

Siau-hoan berkata, “Bagus. Kau ingin aku mati. Akan kuperlihatkan padamu.”
Ada orang yang sangat menyukai bunga. Tak perduli bagaimana pun suasana hati mereka, mereka akan selalu memetik bunga dan meletakkannya di dalam pot.

Agaknya Siau-hoan tidak menyembunyikan apa-apa atau mempunyai sebuah skandal. Dia benar-benar sudah memutuskan untuk mati demi cinta. Tapi kenapa laki-laki ini harus memaksanya mati? Apa hubungannya dengan gadis itu? Apakah dia sahabat Khu Hong-seng yang datang untuk memaksanya bunuh diri atas nama cinta atau datang untuk membungkam mulutnya?

Berpikir sampai sejauh ini, Ma Ji-liong tiba-tiba melihat sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya walaupun dalam mimpi. Mendadak Siau-hoan berjalan mendekat dan duduk di pangkuan laki-laki itu. Dia lalu melingkarkan lengannya di leher laki-laki itu dan menggigit daun telinganya dengan perlahan.

Dengan terengah-engah dia berkata, "Kau ingin aku mati. Aku ingin kau juga mati."

Gaun luarnya tahu-tahu sudah merosot jatuh. Di balik gaun sutera yang ketat itu terdapat pakaian dalam berwarna merah menyala, yang membuat kulitnya tampak semakin putih. Ma Ji-liong benar-benar tidak sanggup menonton terus. Ini adalah skandal orang lain. Dia seharusnya tidak mengorek-ngorek urusan mereka.

Tapi... dia teringat pada Khu Hong-seng yang dirundung cinta di dekat liang itu. Dia ingin berteriak dan memisahkan kedua orang yang hendak 'mati' itu. Dia juga bermaksud untuk melompat masuk lewat jendela.

Tapi dia malah melompat keluar tembok lagi dan mengetuk pintu gerbang. Dia mengetuk beberapa kali sebelum akhirnya mendengar suara Siau-hoan dari dalam, "Siapa itu?"

"Ini aku."

"Siapa kau? Bagaimana aku tahu siapa kau? Apakah kau tidak punya nama?" Nada suara Siau-hoan tidak begitu ramah, tapi akhirnya ia keluar untuk membukakan pintu gerbang.

"Oh, kau!"

Melihat Ma Ji-liong, dia tentu saja terkejut, tetapi ketenangannya kembali pulih dengan cepat. Dengan muka tanpa ekspresi, dia berkata dengan dingin, "Aku tidak tahu kalau Ma-kongcu akan datang lagi. Apakah kau khawatir kalau aku akan kesepian di malam hari? Apakah kau datang ke sini untuk menghiburku sebagai pengganti Khu Hong-seng?"

Kata-kata ini amat menusuk. Mendengar ucapan seperti ini, orang yang mempunyai maksud seperti yang dikatakannya itu tentu akan cepat-cepat pergi.

Sayangnya Ma Ji-liong tidak bermaksud begitu. Dia berkata dengan tenang, "Aku tahu pasti bahwa kau tidak kesepian. Aku cuma khawatir kalau kau akan mati di tangan seseorang."

Wajah Siau-hoan memerah, lalu berubah pucat. Tiba-tiba dia membalikkan badan dan berjalan masuk ke dalam rumah. Lalu dia berkata, "Ikutlah denganku."

Ma Ji-liong mengikutinya. Ternyata gadis itu membawanya ke ruangan tadi. Laki-laki itu telah lenyap.

"Duduklah," perempuan itu menunjuk kursi empuk yang tadi diduduki laki-laki itu. "Silakan duduk."

Ma Ji-liong tidak duduk. Dia tidak melihat laki-laki itu, tapi dia melihat sepasang sepatu kulit itu, sepasang sepatu kulit yang amat indah.

Di kamar itu ada sebuah ranjang. Di belakang ranjang tergantung sehelai tirai kain yang amat panjang. Tetapi ujungnya masih belum menyentuh lantai. Dan sepasang sepatu kulit itu terlihat berada di bawah tirai.

Siau-hoan bertanya, "Kenapa kau tidak duduk?"

"Agaknya kursi ini bukan diperuntukkan buatku," kata Ma Ji-liong.

Siau-hoan tertawa, tapi tentu saja tawanya itu tidak timbul dengan wajar. Dia berkata, "Kau tidak duduk. Lalu siapa yang akan duduk di sini?"

"Agaknya ada seseorang," kata Ma Ji-liong.

Siau-hoan berkata, "Selain Khu Hong-seng, kau adalah satu-satunya orang yang pernah menginjakkan kaki di kamar ini. Bagaimana mungkin ada orang lain?"

Dia menekan amarahnya, masih ngotot mengatakan bahwa tidak ada orang lain di ruangan itu. Ma Ji-liong juga merasa marah. Dia tak tahan lagi, lalu dia melangkah maju dan menyingkap tirai kain itu. Tentu saja memang ada seseorang di balik tirai itu. Tapi memang bukan orang lain yang pernah datang ke ruangan ini. Karena orang di balik tirai itu ternyata adalah Khu Hong-seng.

Ma Ji-liong menghambur keluar dari kamar itu, keluar dari pintu gerbang, dan keluar ke jalan sempit itu. Untunglah di luar sudah gelap.

Hari sudah gelap dan hawa terasa dingin menggigit, dan tidak ada siapa-siapa di jalan raya. Kalau tidak orang tentu akan mengira kalau dia adalah orang gila.

Sekarang satu-satunya yang ingin dia lakukan adalah menampar telinganya sendiri berkali-kali. Dia tidak akan pernah melupakan bagaimana dia menyingkap tirai kain tadi dalam sekali sapuan, atau mimik muka Khu Hong-seng, atau bagaimana cara Siau-hoan menatapnya pada saat itu.

Dia seharusnya tahu bahwa Khu Hong-seng akhirnya akan pulang. Dia seharusnya juga sudah menduga bahwa orang itu mungkin sekali Khu Hong-seng. Tapi, di saat merasa gusar tadi, dia benar-benar tidak bisa berpikir. Dia juga seharusnya mengenali suara Khu Hong-seng, tapi dia tidak memperhatikannya.

Khu Hong-seng adalah seorang pemuda terpelajar dari keluarga bangsawan. Dalam keadaan seperti tadi, anehnya, dia malah tertawa. Tapi, bagi Ma Ji-liong, kejadian tadi rasanya lebih buruk daripada bila telinganya ditusuk orang. Dan begitulah, dia pun melarikan diri seperti dikejar-kejar orang dengan sapu ijuk.

Kembali dia sendirian, tanpa uang dan tanpa tujuan, dan dia tetap tidak punya petunjuk tentang apa yang sedang terjadi. Nyawanya seperti tergantung pada seutas benang, tubuhnya tergantung di udara. Walaupun dia belum jatuh, dia mungkin akan segera ambruk menuju kematiannya.
Tapi dia keliru! Tiba-tiba dia merasa bahwa dirinya tidak sendirian lagi. Di belakangnya sudah muncul seseorang.

Dia tidak memutar kepalanya untuk melihat siapa orang itu. Dia pun tidak tahu kenapa perasaannya yang seperti tergantung pada seutas benang tadi tiba-tiba telah menghilang. Orang itu menyusulnya, lalu memberikan sesuatu yang amat indah kepadanya.

Ma Ji-liong menerimanya. Sekarang yang paling dia butuhkan adalah obat untuk sakit kepalanya. Dan orang itu dengan tepat telah memberikan sebungkus obat sakit kepala kepadanya.

Orang itu menunggu dirinya menelan obat tersebut. Lalu dia mengeluarkan tujuh-delapan bungkus obat lagi. Ada yang berupa pil bundar, ada pula yang berbentuk tablet. Bahkan ada yang berbentuk bubuk. Dia memberikan semuanya kepadanya.

"Ini untuk menghilangkan pengaruh arak. Ini tablet emas ungu. Ini untuk meredakan rasa sakit di perut. Yang ini bagus untuk sistem pencernaanmu....."

Ma Ji-liong tersenyum, "Memangnya kau pikir aku siapa? Kaleng obat?"

Dia balas tersenyum, "Aku tahu kau bukan kaleng obat. Kau adalah guci arak."

Lalu dia tertawa cekikikan, "Sayangnya, guci ini sangat-sangat kecil dan tidak bisa menampung arak terlalu banyak."

Toa-hoan tampak lebih bersemangat daripadanya, dan rona mukanya juga lebih cerah. Dalam hatinya dia berpikir, "Apakah kemampuan minum araknya lebih baik dariku?"

Ma Ji-liong tidak yakin. Dia pun terpaksa bertanya, "Kepalamu tidak terasa sakit?"

"Tidak," jawab Toa-hoan.

"Bagaimana bisa?" Ma Ji-liong bertanya.

Toa-hoan menjawab, "Karena aku tidak suka ikut campur dengan urusan orang lain."

Ikut campur urusan orang memang merupakan sumber utama sakit kepala. Bukan hanya bisa membuat orang sakit kepala, kepalanya juga bisa terluka.

Lalu si nona bertanya, "Kau sudah bertemu Siau-hoan?"

"Hmm."

"Bagaimana?"

"Bagaimana apanya?"

"Bagaimana rupanya?"

"Dia sangat cantik."

Toa-hoan tertawa cekikikan, "Kalau dia sangat cantik, kenapa kau kelihatan seperti baru bertemu hantu?"

Sambil menghela napas, Ma Ji-liong menjawab, "Jika aku melihat hantu, hal itu masih jauh lebih baik."

"Lalu apa yang kau lihat?" Toa-hoan bertanya.

Ma Ji-liong menjawab, "Aku melihat Khu Hong-seng."

Aneh, dia membicarakan segala sesuatu yang baru saja terjadi. Semula dia mengira bahwa dia tidak akan pernah menceritakan kejadian itu pada siapa pun. Tapi, entah karena alasan apa, dia merasa bahwa dia boleh menceritakan semuanya pada gadis ini, dan tidak usah menyembunyikan apa-apa.

Toa-hoan tidak menertawakannya. Dia malah menghela napas dan berkata, "Jika aku adalah kau, aku pasti ingin melarikan diri juga."

Ini memang sesuai dengan perasaannya. Tiba-tiba dia menyadari bahwa walaupun gadis ini kelihatan licik, kejam dan buruk rupa, tapi dia sebenarnya berhati baik. Selain itu dia juga penuh pengertian dan simpatik. Inilah pertama kalinya dia memiliki perasaan seperti ini.

Tiba-tiba Toa-hoan berkata, "Tapi aku tidak paham."

"Apa yang tidak kau pahami?" Ma Ji-liong bertanya.

Toa-hoan berkata, "Khu Hong-seng jelas-jelas tahu bahwa kau yang berada di sana, tapi kenapa dia harus bersembunyi?"

Ma Ji-liong menjelaskan, "Mereka berdua masih belum menikah secara resmi. Dengan latar belakang keluarganya, dia tentu harus berhati-hati. Jika aku adalah dia, aku mungkin akan bersembunyi juga."

Toa-hoan menatapnya. Sambil tersenyum lirih, dia berkata, "Aku tidak tahu kalau kau pun bisa mempertimbangkan perasaan orang lain."

Ma Ji-liong bertanya, "Memangnya kau kira aku orang macam apa?"

Toa-hoan berkata, "Kukira kau adalah orang yang angkuh dan mementingkan diri sendiri, tidak perduli apakah orang lain akan hidup atau mati."

Lalu suaranya mendadak menjadi lembut, "Tapi sekarang aku tahu bahwa aku keliru."

Gadis yang aneh ini bisa mengakui bahwa dirinya keliru. Hal ini tentu saja membingungkan orang.

Kembali Toa-hoan bertanya, "Apa yang dia katakan ketika dia melihatmu tadi?"

"Rasanya bahkan semakin serba salah karena dia tidak berkata apa-apa," jawab Ma Ji-liong.

"Dan apa yang kau katakan?" Toa-hoan bertanya.

Ma Ji-liong tersenyum dipaksa. Dia berkata, "Apa yang bisa kukatakan di saat seperti itu?"

Toa-hoan berkata, "Apakah dia berusaha menangkapmu untuk Pang Tio-hoan?"

"Tidak," Ma Ji-liong menjawab.

Toa-hoan berkata, "Dan kau tidak bertanya kepadanya apa yang terjadi di Han-bwe-kok setelah kau pergi? Apakah Bik-giok Hujin sudah muncul? Apakah beliau memilihnya sebagai menantunya?"

"Aku tidak menanyakannya," jawab Ma Ji-liong.

Tiba-tiba dia balik bertanya, "Bagaimana kau tahu tentang semua ini?"

Toa-hoan tersenyum. Senyumannya amat misterius. Dia berkata, "Tentu saja ada yang memberitahuku."

Ma Ji-liong bertanya, "Siapa?"

"Orang mabuk," kata Toa-hoan.

Ma Ji-liong bertanya, "Apakah orang mabuk itu adalah aku?"

Toa-hoan tertawa, "Kau tidak terlalu bodoh."

Ma Ji-liong cuma bisa tersenyum dipaksa. Dia tentu mengatakan banyak hal dalam keadaan mabuk, tapi sayangnya dia sendiri tidak tahu apa saja yang sudah dikatakan olehnya.

"Bik-giok Hujin tentu tidak perlu memilih lagi. Toh Ceng-lian dan Sim Ang-yap sudah mati. Kau telah menjadi sasaran kebencian seluruh dunia. Selain Gin-jio Kongcu Khu Hong-seng, tidak ada yang cukup baik untuk menjadi menantu Bik-giok-san-ceng."

Dia menghela napas dan meneruskan, "Meskipun Bik-giok Hujin ingin memilih, tidak ada lagi yang bisa dipilih."

Itulah kenyataannya. Setelah apa yang terjadi, Khu Hong-seng menjadi satu-satunya calon.

Ma Ji-liong berkata, "Tapi... tidak mungkin dia penjahatnya!"

"Kenapa tidak?" Toa-hoan bertanya.

Ma Ji-liong menerangkan, "Karena dia sudah mempunyai kekasih sehidup semati. Dia tidak ingin menjadi menantu Bik-giok-san-ceng."

Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, "Aku pun tidak berpikir bahwa dia bisa melakukan semua ini. Tapi, jika dia bukan penjahatnya, dan kau pun bukan, lalu siapa yang membunuh semua orang itu?"

Ma Ji-liong berkata, "Pasti Thian-sat!"

Toa-hoan bertanya, "Siapa Thian-sat itu?"

Ma Ji-liong berkata, "Thian-sat bukan nama seseorang. Itu adalah nama sebuah organisasi rahasia, organisasi pembunuh bayaran."

Toa-hoan bertanya, "Tapi kenapa mereka melakukannya? Mengapa mereka memfitnahmu?"

Ma Ji-liong menebak-nebak, "Karena... mereka ingin menciptakan kekacauan."

Lalu dia menjelaskan, "Jika keluarga kami bertarung satu sama lain, dunia Kang-ouw akan porak-poranda. Mereka akan mendapatkan kesempatan untuk naik."

Penjelasannya itu masuk di akal. Peristiwa seperti itu pernah terjadi di masa lalu. Dan hal itu mungkin bisa terjadi lagi.

Ma Ji-liong berkata, "Sekarang mereka hanya sebuah organisasi penjahat biasa. Jika rencana mereka berhasil, mereka bisa menjadi sebuah partai yang terbuka dan berdaulat. Karena saat itu tidak seorang pun di dunia Kang-ouw yang akan mampu untuk menghentikan mereka."

Toa-hoan berkata, "Karena saat itu seluruh keluarga sudah saling menghancurkan karena perselisihan ini."

Ma Ji-liong berkata, "Tapi aku tentu saja tidak boleh membiarkan hal itu terjadi."

Toa-hoan bertanya, "Apa rencanamu untuk menghentikan mereka?"

Ma Ji-liong berkata, "Pertama aku harus mencari tahu dulu siapa pemimpin Thian-sat sebenarnya."

"Bagaimana caramu melakukannya?" Toa-hoan bertanya.

Ma Ji-liong tidak menjawab. Dia benar-benar tidak punya petunjuk saat itu. Dia pun tak tahu bagaimana cara memulainya.

Toa-hoan berkata, "Orang ini pasti tahu bahwa Bu-lim-si-toakongcu akan berada di Han-bwe-kok hari itu."

"Benar," kata Ma Ji-liong.

Toa-hoan berkata, "Bagaimana dia bisa tahu? Selain kalian berempat, siapa lagi yang tahu tentang hal itu? Apakah kau pernah memberitahukan hal ini pada orang lain?"

Ma Ji-liong berkata, "Aku tidak. Tapi Khu Hong-seng......"

Tiba-tiba dia teringat bahwa Siau-hoan pernah menyebut tentang Han-bwe-kok.

Siau-hoan bertanya padanya - apakah kau pergi ke Han-bwe-kok beberapa hari yang lalu? Dia pasti tahu bahwa mereka pergi ke Han-bwe-kok. Khu Hong-seng telah memberitahukan hal itu kepadanya. Dan jika Khu Hong-seng bisa memberitahu hal itu padanya, maka dia pun bisa memberitahukannya pada orang lain. Siau-hoan juga bisa buka mulut. Seperti laki-laki lainnya, dia pun tidak percaya kalau seorang perempuan bisa menyimpan rahasia. Ini adalah satu-satunya petunjuk yang dimilikinya.

Ma Ji-liong berkata, "Aku harus bertanya padanya. Ada begitu banyak hal yang baru bisa kupahami setelah bertemu dengannya."

Toa-hoan bertanya, "Apakah kau hendak pergi bertanya padanya?"

"Tentu saja," kata Ma Ji-liong.

Setelah berkata begitu, dia pun bersiap-siap hendak pergi.

Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, "Kau benar-benar pandai memilih waktu. Tidak ada waktu lain seperti saat ini. Sekarang mereka berdua mungkin sedang melakukan permainan 'kau ingin aku mati, aku juga ingin kau mati'. Mereka tentu akan sangat berterima-kasih bila kau memaksa masuk untuk menolong mereka di saat seperti ini."

Ma Ji-liong tidak jadi pergi. Dia bisa membayangkan mimik wajah kedua orang itu jika mereka melihat dia kembali ke sana. Situasinya tentu akan serba salah, dan tidak ada orang yang akan menyambutnya dengan baik karena hal itu.

Ma Ji-liong bertanya, "Menurutmu, kapan seharusnya aku pergi ke sana?"

Mendadak sorot mata Toa-hoan memancarkan sinar yang aneh. Dia cepat-cepat merendahkan suaranya, "Sebaiknya kau pergi sekarang juga. Pergilah cepat."

Hati seorang perempuan memang seperti cuaca di bulan enam. Perubahannya benar-benar cepat.

Ma Ji-liong terpaksa bertanya, "Kenapa kau ingin aku pergi sekarang?"

"Karena jika tidak, kau tak akan bisa pergi lagi untuk selamanya," Toa-hoan menjawab.

Tiba-tiba dia menghela napas dan berkata, "Sekarang aku rasa sudah terlambat."

Saat itu mereka sedang berjalan di sebuah gang yang gelap. Ma Ji-liong tidak perlu bertanya 'kenapa' lagi, karena dia telah melihat beberapa orang sudah menghadang mereka di kedua ujung gang. Semuanya ada tujuh orang, tujuh orang berpakaian hitam.
Tak diragukan lagi, gang ini adalah tempat tinggal para saudagar kaya.

Orang-orang kaya ini harus menjaga diri dari perampok dan maling yang ingin mencuri harta mereka. Karena mereka tidak bisa melihat dengan jelas setelah matahari terbenam, maka mereka harus tinggal di balik tembok yang tinggi. Dan begitulah, kedua sisi jalan sempit itu diapit oleh tembok-tembok yang sangat tinggi, begitu tingginya sehingga orang yang memiliki ginkang Thian-ma-hing-khong pun tidak sanggup untuk melompatinya.

Gang ini panjang dan sangat gelap. Di depan mereka ada empat orang, dan tiga orang lagi di belakang. Ketujuh orang itu berpakaian serba hitam, pakaian yang ketat, masing-masing menggunakan sehelai kain hitam untuk menyembunyikan wajahnya. Mereka melangkah perlahan-lahan seperti acuh tak acuh. Mereka tahu bahwa kedua orang itu seperti kura-kura dalam tempayan, atau ikan yang terperangkap di dalam jala, tidak mempunyai jalan keluar lagi.

Ma Ji-liong merendahkan suaranya, “Kau tidak perlu takut. Aku akan meminta mereka untuk melepaskanmu pergi.”

“Dan mereka akan melepaskanku begitu saja?” Toa-hoan bertanya.

Ma Ji-liong berkata, “Kau tidak punya sangkut-paut dengan mereka. Kenapa mereka tidak mau melepaskanmu?”

“Kau kira mereka datang untukmu?” Toa-hoan bertanya.

“Tentu saja,” kata Ma Ji-liong.

Toa-hoan berkata, “Kau keliru.”

Sambil menghela napas, dia melanjutkan, “Aku pun berharap mereka datang ke sini untukmu. Sayangnya tidak begitu halnya.”

“Kenapa tidak?” Ma Ji-liong bertanya.

Toa-hoan menjawab, “Kau dianggap seorang pembunuh. Menangkap pembunuh adalah hal yang benar, dan orang-orang akan melakukannya secara terbuka, kenapa mereka harus menyembunyikan wajah mereka di balik topeng hitam?”

Ma Ji-liong akhirnya teringat bahwa gadis ini pun berada dalam masalah seperti dirinya. Ada orang yang ingin membunuhnya.

Toa-hoan berkata, “Tapi kau tidak usah takut. Aku pun bisa meminta mereka untuk melepaskanmu.”

Ma Ji-liong bertanya, “Kau kira aku bisa pergi?”

Toa-hoan menjawab, “Kita tidak punya hubungan. Orang-orang ini bukan mengejarmu. Apa kau ingin mati denganku di sini?”

Ma Ji-liong berkata, “Bagaimana pun juga, aku tidak boleh membiarkanmu sendirian di sini.”

“Kenapa tidak?” Toa-hoan bertanya.

“Karena aku tidak boleh melakukan hal seperti itu,” kata Ma Ji-liong.

“Alasan itu tidak cukup baik,” kata Toa-hoan.

Ma Ji-liong berkata, “Menurutku, itu sudah cukup.”

“Mungkin aku seorang perempuan jahat, seorang pencuri. Mungkin kau seharusnya membantu mereka untuk menangkapku,” Toa-hoan berkata.

“Aku tahu kau bukan orang seperti itu,” kata Ma Ji-liong.

Toa-hoan berkata, “Kau tidak mungkin tahu. Kau bahkan tidak tahu nama margaku.”

Ma Ji-liong berkata, “Tapi aku percaya padamu.”

Toa-hoan menatapnya. Tiba-tiba dia menghela napas dan berkata, “Kukira kau sudah semakin pintar. Tidak kusangka kalau kau sedungu ini.”

Walaupun tempat itu adalah sebuah gang yang panjang dan ketujuh orang itu melangkah dengan perlahan-lahan, tapi sekarang mereka sudah benar-benar dekat. Dan mereka semua menggenggam senjata, masing-masing merupakan senjata yang langka. Ada yang memegang Liong-hong-kim-hoan yang tidak pernah digunakan orang lagi sejak kematian Siangkoan Kim-hong di tangan Siau-li Tam-hoa, dan ada pula yang membawa Yan-yan-gua-hou-lan.

Senjata-senjata itu sudah lama menghilang dari dunia Kang-ouw. Hal ini terjadi karena, walaupun senjata-senjata itu amat ampuh, tapi juga sangat sukar untuk dipelajari. Dan karena itu, orang yang bisa menggunakan senjata-senjata ini pasti bukan jago sembarangan.

Ma Ji-liong benar-benar tidak tahu cara mengatasi mereka, tapi dia tidak merasa takut.

Toa-hoan mendadak berkata, “Hei, kalian datang untukku atau untuk dia?”

Orang yang memegang Liong-hong-kim-hoan itu bertubuh kecil tapi kuat. Langkah kakinya teguh, dan sinar matanya tampak berkilat-kilat di balik topeng hitam itu. Dia pasti seorang jago yang tangguh.

Dia menyeringai, “Bagaimana jika aku datang untukmu? Bagaimana jika aku datang untuk dia?”

Toa-hoan berkata, “Jika kalian memburunya, itu bukan urusanku. Aku bukan seorang pendekar, juga bukan seorang laki-laki sejati. Jika kalian datang ke sini untuk membunuhnya, maka aku tidak ada hubungannya dengan kalian.”

Orang itu berkata dengan dingin, “Tidak usah dijelaskan. Aku bisa melihatnya.”

Toa-hoan berkata, “Tapi jika kalian mencariku, situasinya akan berbeda.”

“Oh, ya?” laki-laki itu berkata.

Toa-hoan menjelaskan, “Walaupun masalahnya sendiri sudah cukup besar, dia tidak akan berpangku tangan. Jika kalian ingin menangkapku, dia akan berkelahi dengan kalian sampai mati.”

Orang itu berkata, “Jadi jika kami ingin menangkapmu, maka kami harus membunuhnya dulu.”

Toa-hoan melirik Ma Ji-liong. Lalu dia bertanya, “Benarkah itu?”

“Ya,” jawab Ma Ji-liong.

Dia sendiri tidak tahu kenapa dia berkata seperti itu. Sebenarnya masih banyak yang harus dia kerjakan. Rencana busuk itu belum tersingkap, dan karena itu dia tidak boleh mati. Jika dia mati di sini sekarang, dia bukan hanya mengalami kematian yang tragis, fitnah dan ketidakadilan yang dideritanya pun tidak akan pernah lagi diungkapkan. Tapi dia sudah mengatakan ya. Dia tidak mau menarik kembali kata-katanya, dia juga tidak menyesalinya.

Toa-hoan berkata, “Hei, kalian dengar apa yang barusan dia katakan?”

Orang baju hitam itu menyeringai, “Agaknya dia bukan hanya seorang pendekar, tapi juga seorang laki-laki sejati.”

“Agaknya memang begitu,” kata Toa-hoan.

“Sayangnya orang seperti ini selalu mati muda,” kata orang itu.

Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, “Aku sudah mengatakan hal itu padanya. Sayangnya dia tidak mau mendengarkan.”

Sebuah bunyi “tring!” terdengar bergema ketika kedua roda itu saling berbenturan, bunga api memercik ke segala penjuru. Di jaman dulu, Siangkoan Kim-hong menguasai dan mengguncangkan dunia, dia pun mendirikan partai Kim-ci-pang yang memerintah dunia Kang-ouw. Dia bukan hanya seorang laki-laki yang sangat berambisi, kungfunya juga luar biasa. Sayangnya, dalam daftar senjata, Liong-hong-kim-hoan Siangkoan Kim-hong hanya tercantum di urutan kedua. Tapi sebagian besar orang di dunia Kang-ouw yakin bahwa kungfunya tidak berada di bawah jago nomor satu, Thian-ki Lojin.

Selama beberapa saat orang itu menggenggam Liong-hong-kim-hoan di telapak tangannya agar orang-orang mengenali senjata terampuh di dunia itu. Senjata seperti itu di tangan orang seperti dia tidak akan menyamai aura yang dimiliki Siangkoan Kim-hong saat memerintah dunia Kang-ouw, tapi kekuatannya tetap menakutkan.

Toa-hoan bahkan tidak melirik senjata itu. Dia sedang menatap Ma Ji-liong dengan senyuman yang hangat dan gembira.

Musuh-musuh tangguh sudah datang ke sini untuk membunuh mereka, dan hidup atau mati akan diputuskan dalam waktu singkat. Anehnya, dia tampak sangat gembira. Hal ini terjadi karena Ma Ji-liong tidak meninggalkannya dan pergi melarikan diri. Tak perduli apa yang pernah dia katakan, apa yang sedang dia rasakan di hatinya sekarang agaknya lebih penting daripada hidup dan mati.

Ma Ji-liong tiba-tiba merasakan kegembiraannya yang meningkat. Sepasang matanya yang jelek itu menjadi tampak lebih menarik. Keindahan dan keburukan memang tidak bisa dipisahkan dengan jelas. Orang yang berbahagia biasanya akan terlihat cantik.

Toa-hoan bertanya dengan lembut, “Kau takut?”

Ma Ji-liong tentu saja tidak benar-benar hilang rasa takutnya. Perasaan takut adalah salah satu kelemahan manusia yang paling sulit untuk ditaklukkan. Untunglah ada beberapa macam perasaan yang bisa digunakan manusia untuk mengatasi rasa takut.
Toa-hoan berkata, “Jika kau takut, mungkin masih ada waktu bagimu untuk pergi.”

“Aku tidak akan pergi,” kata Ma Ji-liong.

Toa-hoan menghembuskan napas lembut. Lalu dia berkata, “Maka aku......”

Dia tidak menyelesaikan kata-katanya itu. Suaranya seolah tiba-tiba terpotong oleh sebuah golok yang tak terlihat, dan tenggorokannya dicekik oleh sesosok setan yang tidak kelihatan. Sorot matanya juga memperlihatkan perasaan takut seakan-akan dia telah melihat hantu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.

Ma Ji-liong memutar kepalanya untuk melihat. Apa yang dilihat gadis itu ternyata hanya seseorang – seorang perempuan berbaju hitam yang amat sederhana dengan keranjang bunga di tangannya. Dia baru saja berbelok memasuki gang itu.

Ma Ji-liong tidak memutar kepalanya lagi dan dia hanya bertanya, “Ada apa?”

Toa-hoan berkata, “Aku harus pergi. Kau tidak pergi, tapi aku harus.”

Dan pergilah dia. Sebelum dia selesai bicara, tubuhnya sudah mengapung ke atas. Tidak seorang pun yang bisa membayangkan bahwa dia akan mampu melompati tembok yang tinggi itu seperti ini.

Perempuan penjual bunga yang sederhana itu terus berjalan dengan kepala tertunduk, seolah-olah dia tidak melihat adanya tembok tinggi di depannya. Melihatnya kepalanya akan menubruk tembok, setiap orang pun mengira kepalanya akan pecah dan darah akan berhamburan. Tapi tak disangka-sangka, ternyata kepalanya tidak pecah tapi tembok itu yang hancur berantakan. Dengan bunyi “brak!” yang keras, pada tembok setebal dua-tiga kaki itu sudah terukir lubang berbentuk tubuh manusia, tembok yang tahan terhadap angin kencang dan api itu! Penjual bunga yang sederhana itu berjalan menjebol tembok seolah-olah tembok itu terbuat dari sehelai kertas yang tipis.

Ma Ji-liong merasa terperanjat, dan begitu pula semua orang lainnya. Ilmu ginkang Toa-hoan sudah cukup mencengangkan, tapi kungfu perempuan penjual bunga ini bahkan lebih hebat lagi.

Mendadak langit bertambah gelap, angin pun semakin dingin. Kedua perempuan itu sudah pergi. Orang yang hendak mereka bunuh sudah pergi bersama angin. Tapi roda emas perenggut nyawa itu masih berada di sini.

Ma Ji-liong akhirnya bertanya, “Kalian mengejar dia atau aku?”

“Gadis itu,” kata si orang baju hitam.

“Dia sudah pergi,” kata Ma Ji-liong.

Si orang baju hitam berkata, “Sayang sekali kalau begitu.”

“Kenapa?” Ma Ji-liong bertanya.

Orang baju hitam itu menjawab, “Seharusnya kau tahu. Golok yang sudah dihunus harus melihat darah, kalau tidak malah akan mendatangkan nasib buruk.”

Dia mempunyai senjata yang berbahaya di tangannya dan nafsu membunuh di sorot matanya.

Dia lalu meneruskan, “Kami semua di sini sama. Jika kami sudah mulai, maka kami harus membunuh. Sekarang dia sudah pergi, maka kami hanya bisa membunuhmu.”

“Bagus sekali,” kata Ma Ji-liong.

Sebenarnya dia tahu kalau situasinya tidak begitu bagus. Tidak perduli siapa pun yang dia hadapi, keadaannya tetap tidak begitu bagus. Dia tidak membawa senjata. Dia tidak punya nafsu membunuh. Dan dia tidak punya pilihan.

Kenapa manusia harus membunuh manusia lainnya? Dia benci kekerasan. Tapi dalam situasi tertentu, orang terpaksa harus menggunakan kekuatan untuk menghentikan kekerasan. Dia pun menghimpun seluruh tenaganya. Dia hanya punya satu nyawa, dan dia tidak mau mati. Dia harus menghentikan kekerasan ini.

Dengan mengeluarkan bunyi “tring!”, kim-hoan (roda emas) itu berbenturan sekali lagi, bunga api terpercik ke segala penjuru seperti air hujan. Tubuh Ma Ji-liong tiba-tiba melesat seperti anak panah. Dia tidak punya nafsu membunuh, tapi dia punya sesuatu yang lain.

Yaitu keberanian!

Tentu saja dia tidak mengincar orang baju hitam yang memegang kim-hoan itu, tapi seorang lainnya. Taktik 'harus menangkap sang raja lebih dulu' tidak benar-benar bisa digunakan dalam situasi seperti ini. Sekarang dia harus menyerang titik terlemah mereka.

Benar dan salah tidak bisa hidup berdampingan. Dalam situasi di mana seseorang ditekan oleh kekuatan musuh yang berjumlah lebih banyak, jika dia bisa melindungi tubuhnya sendiri, maka tubuhnya harus dilindungi. Jika dia bisa menghabisi salah seorang musuh, maka musuh itu harus dibinasakan.

Orang yang dia serang adalah Tuan Hitam.

She (marga) Tuan Hitam adalah Oey (kuning). Setiap orang memanggilnya Tuan Hitam hanya karena dia adalah yang paling jahat dan bertubuh paling besar di antara mereka, persis seperti seorang tuan besar. Tubuh Tuan Hitam tingginya delapan kaki sembilan dim, dan bahunya selebar tiga kaki. Lengannya sebesar paha laki-laki dewasa dan tinjunya seukuran kepala anak-anak.

Kenapa Ma Ji-liong menganggap orang seperti ini sebagai titik terlemah dari musuh? Apakah karena orang ini selalu mengikuti ke mana pun Roda Emas perenggut nyawa pergi? Benalu tumbuh pada sebatang pohon besar agar bisa tetap hidup. Rubah yang licik selalu mengandalkan kekuatan harimau agar dia bisa menakut-nakuti manusia. Yang lemah selalu berharap agar mereka bisa bergantung pada yang kuat untuk mendapatkan perlindungan. Bagaimana kuat atau lemahnya seseorang tentu saja tidak bisa dilihat dari penampilannya, dan penilaian Ma Ji-liong ternyata tidak keliru.

Senjata Tuan Hitam adalah sepasang lempengan besi yang agaknya berbobot 60-70 kati. Ma Ji-liong bergerak menyerang, dan Tuan Hitam, dengan bersenjatakan lempengan besi itu, membalas serangan itu dengan sebuah sapuan mendatar dan sebuah hantaman tegak lurus. Sayangnya nilai sebuah senjata pun tidak bisa dilihat dari bobotnya saja.

Tinju Ma Ji-liong melayang masuk di antara sepasang lempengan besi itu dan mendarat di atas batang hidung Tuan Hitam. Sebuah suara yang amat perlahan seperti bunyi seseorang memukul daging pun terdengar. Tapi, tanpa menjerit sekali pun, Tuan Hitam sudah roboh terjengkang di atas tanah.

Saat orang itu terjungkal, Ma Ji-liong tentu saja bisa keluar dari kepungan itu dengan segera. Dia pun bisa meloloskan diri lewat lubang di tembok sana. Tapi dia memutuskan tidak melakukannya karena dia tiba-tiba merasa bahwa dirinya sanggup bertahan terhadap keroyokan mereka dan dia bukannya tidak memiliki kesempatan sama sekali. Dan asalkan ada sedikit kesempatan, maka dia tidak akan menyerah.

Dia adalah orang yang angkuh, orang yang benar-benar sangat angkuh.

Tuan Hitam sudah roboh. Ma Ji-liong lalu menggaet salah satu lempengannya dengan kakinya dan kemudian meraupnya dengan tangan kirinya. Lalu dia memanfaatkan situasi dan mengayunkan senjata itu pada orang yang bersenjata roda emas. Tangan kanannya juga menghantam dengan keras pada pergelangan tangan orang lainnya dan memukul jatuh senjata boan-koan-pit-nya.

Tapi roda emas tetap berada di tangan musuh, dan seseorang lainnya masih memegang yan-yan-gua-hou-lan. Kedua pasang tangan dan kedua jenis senjata itu benar-benar menakutkan. Ketika dia melihat kekuatan gabungan kedua senjata itu, dia baru menyadari kekeliruannya yang tidak bisa dimaafkan. Dia terlalu memandang rendah musuh-musuhnya dan memandang tinggi dirinya sendiri.

Kesalahan seperti ini tidak akan pernah terulang karena sekali saja sudah cukup fatal! Tapi dia masih bisa bertarung sampai mati! Bila seseorang sudah bertekad untuk mati dan mengerahkan segala kemampuannya, maka dia bukan hanya berbahaya, tapi juga menakutkan. Dan hanya orang yang sudah tersudut yang akan bertarung mati-matian, tapi kenapa orang-orang ini pun tidak takut mati bersamanya?

Pasti Thian-sat!

Mereka memang datang untuk membunuhnya. Tiba-tiba dia menyadari hal ini.

Tuan Hitam berusaha bangkit. Hidungnya yang patah membuatnya sukar untuk bernafas, maka dia pun hanya bisa terengah-engah. Tiba-tiba dia merobek bagian depan bajunya yang besar. Lalu dia mendesis seperti orang gila, “Bunuh dia! Bunuh dia! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh!”

Itulah suara jeritan yang nyaring dan memilukan! Di balik bajunya yang robek, terlihat belasan huruf merah darah di atas dada Tuan Hitam!

Thian-sat!

Tak perduli apa pun cara yang harus mereka gunakan atau siapa yang harus mereka korbankan, mereka pasti akan membunuhnya!

Tinju Ma Ji-liong terkepal erat. Dia menggertakkan giginya, bersiap untuk bertarung mati-matian! Dia telah merobohkan seorang lagi dengan tinjunya. Dia tidak sempat melihat siapa orang itu karena tiba-tiba dia melihat sekilas sinar perak, sinar perak dari sebilah tombak yang sedang meluncur tiba. Tombak perak!

“Gin-jio (Tombak Perak) Khu Hong-seng.”

Ketika tombak perak itu tiba, Khu Hong-seng lalu berkata, “Jika kalian ingin membunuhnya, maka kalian harus mematahkan tombak perak ini dulu. Jika kalian ingin mematahkan tombak ini, maka kalian harus membunuhku dulu!”

Dia tak pernah menyangka kalau Khu Hong-seng akan datang untuk menolongnya, tapi memang Khu Hong-seng yang datang! Dan di tangannya tergenggam tombak perak.

Seseorang telah datang untuk ikut bertarung mati-matian dengannya! Kenapa orang harus selalu berhadapan dengan musuh dulu baru bisa tahu bagaimana sosok orang itu sebenarnya dan mengenali siapa teman yang sesungguhnya?

Tombak itu sudah menembus tenggorokan satu orang musuh, dan tinjunya telah menghancurkan rusuk musuh yang lain. Kali ini setiap orang bisa mendengar suara tulang yang hancur berantakan itu.

Tidak ada lagi musuh yang roboh. Tiba-tiba semua telah menghilang. Tentu saja dua orang yang bertekad untuk bertempur mati-matian lebih berbahaya daripada satu orang, apalagi kalau kedua orang itu adalah Khu Hong-seng dan Ma Ji-liong.

Tidak seorang pun yang tahu jam berapa saat itu, tapi malam sudah amat larut. Jalan yang kecil itu pun terasa dingin dan gelap. Tahu-tahu Ma Ji-liong merasakan sebuah tangan yang hangat sedang menggenggam tangannya.

Suara Khu Hong-seng pun sama hangatnya. Dia berkata, “Aku tahu apa yang kau butuhkan sekarang ini. Kau benar-benar membutuhkan secawan arak.”

Arak itu memang tidak begitu enak. Juga bukan termasuk jenis arak yang bagus, dan tentu saja bukan arak Li-ji-ang. Arak itu cuma sejenis arak yang bisa kau beli di pasar biasa. Walaupun Ma Ji-liong tidak perduli, tapi Siau-hoan tetap menjelaskan dengan nada meminta maaf, “Hong-seng sangat jarang minum di sini. Dia pun tidak pernah mengundang temannya ke sini. Baru tadi aku membeli seguci arak ini.”

Arak itu baru saja dibelinya, dan makanan baru saja dimasaknya. Ini terjadi karena di tempat itu tidak ada seorang pun pelayan.

“Hong-seng sangat menyukai ketenangan. Dia tidak mau ada pelayan. Maka aku mengerjakan segalanya di sini sendirian.” Suaranya penuh mengandung kelembutan seorang perempuan. Seluruh hidupnya berkutat di sekitar Khu Hong-seng. Dia pasti akan melakukan apa saja yang diinginkan Khu Hong-seng.

Cinta sudah cukup bagi mereka. Kenapa mereka butuh orang lain? Mengapa mereka perlu arak yang bagus untuk diminum? Tiba-tiba Ma Ji-liong merasa iri pada mereka. Dia tak henti-hentinya bertanya pada dirinya sendiri, seandainya dia memiliki seorang perempuan seperti Siau-hoan ini – yang tidak memikirkan apa pun selain dirinya dan selalu melayani seluruh kebutuhannya – maukah dia meninggalkan segalanya dan hidup sederhana seperti ini?

Tiba-tiba dia teringat pada Toa-hoan. Jika dia menikahi gadis itu, apakah gadis itu akan memperlakukan dia seperti ini?

Ma Ji-liong tidak mencari tahu lebih lanjut. Pertanyaan ini bukan saja aneh, tapi juga lucu.

Tentu saja dia tidak akan menikahi seorang perempuan seperti Toa-hoan, meskipun lehernya ditodong dengan sebilah pisau. Walaupun Toa-hoan sekarang tidak begitu buruk dan jahat seperti sebelumnya, tapi dia masih jauh dari kesan menarik dan menyenangkan. Bagaimana mungkin Pek-ma Kongcu menikahi gadis seperti itu? Ma Ji-liong mengangkat cawannya dan menghabiskan araknya dalam satu tegukan, dia memutuskan untuk melupakan gadis tersebut sejak saat itu.

Agaknya Khu Hong-seng sudah cukup banyak minum. Dan karena hari ini dia ingin minum, Siau-hoan tentu saja ikut minum bersamanya. Mereka berdua tampaknya sudah agak mabuk, dan tingkah mereka terlihat semakin mesra, agaknya mereka lupa kalau Ma Ji-liong berada tepat di hadapan mereka. Ma Ji-liong sudah mulai merasa diabaikan, maka dia pun mencari kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal.

Semula dia hendak mengajukan banyak pertanyaan pada Khu Hong-seng, tapi sekarang dia tidak mau lagi. Ini terjadi karena dia sudah sangat mempercayai Khu Hong-seng. Tepat ketika dia akan bangkit, Khu Hong-seng tiba-tiba mengajak bersulang.

Dia menarik tangan Siau-hoan dan berkata sambil tersenyum, “Kau harus minum tiga cawan untuk menghormatinya, tiga cawan besar.”

Sambil cekikikan, Siau-hoan menggelengkan kepalanya, “Aku hanya akan minum secawan.”

“Kau harus minum tiga cawan.”

“Jika aku minum tiga cawan, aku pasti akan mati karena mabuk.”

“Jika kau tidak minum, maka aku akan mencekikmu sampai mati.”

Siau-hoan tersenyum memikat, sorot matanya penuh dengan perasaan cinta. Dia berkata, “Aku lebih suka dicekik olehmu sampai mati.”

“Benarkah?”

“Tentu saja, sungguh.”

“Bagus.” Khu Hong-seng tersenyum, sambil meremas leher gadis itu dengan tangannya.

Lalu dia berkata dengan lembut, “Maka aku akan mencekikmu hingga mati.”

Ma Ji-liong benar-benar tidak ingin mendengarkan lagi, dia juga tidak mau bertindak sebagai penonton lagi. Seharusnya dia segera pergi, tapi tidak jadi. Karena ketika dia bangkit, tiba-tiba dia melihat sesuatu yang tidak pernah dibayangkannya meskipun dalam mimpinya. Dia melihat mata Siau-hoan yang indah melotot keluar seperti mata ikan mati, mukanya menjadi biru dan tubuhnya menjadi kaku. Kali ini dia benar-benar mati. Khu Hong-seng benar-benar mencekiknya hingga mati.

Ma Ji-liong merasa terperanjat, seolah-olah lehernya juga sudah tercekik oleh sebuah tangan yang tidak kelihatan. Napasnya tiba-tiba berhenti. Tubuhnya menjadi kaku. Bahkan tangan dan kakinya pun terasa dingin seperti es. Tubuh Siau-hoan akhirnya ambruk ke lantai, dan Khu Hong-seng mengawasi tubuh itu tanpa perubahan sedikit pun di wajahnya.

Yang mengejutkan, di wajahnya malah tersungging sebuah senyuman.

“Berbohong itu buruk. Aku tidak pernah berbohong.”

Sambil tersenyum dia berkata, “Kubilang aku akan mencekiknya hingga mati, dan itulah yang kulakukan. Maka, nanti, apa pun yang kukatakan, kau harus mempercayaiku.”

Ma Ji-liong tidak sanggup bicara. Dia cuma ingin muntah, membuang semua yang baru saja dia makan dan minum. Tapi dia bahkan tidak bisa melakukannya.

Khu Hong-seng tertawa dengan riangnya, “Mengapa kau tidak bertanya kenapa aku mencekiknya?”

Dia tidak menunggu Ma Ji-liong bertanya. Dia malah mulai bicara lagi, “Sebenarnya, aku sudah berencana untuk membunuhnya sejak kami bertemu pertama kalinya. Aku menebus dia dan membeli rumah ini agar terlihat mustahil kalau aku sebenarnya akan membunuhnya. Aku memungut gadis ini karena dia bukan saja sangat cantik, tapi dia juga bodoh. Perempuan seperti ini memang amat cocok untuk rencanaku.”

Rencananya? Rencana apa?

Meskipun Ma Ji-liong tidak bodoh, tapi dia benar-benar belum paham tentang segala kejadian ini.

Khu Hong-seng menerangkan lagi, “Aku harus membuat semua orang tahu bahwa aku sudah bertekad untuk mati dengan gadisku dan bahwa kami sudah bersumpah setia satu sama lain dan maut pun tidak akan bisa memisahkan kami. Setiap orang pun akan percaya bahwa aku tidak ingin menjadi menantu Bik-giok Hujin.”

Sambil menghela napas, dia berkata, “Padahal sesungguhnya, aku sangat menginginkan hal itu.”

Tapi saingan-saingannya terlalu kuat dan dia sendiri pun belum tentu terpilih.

Dia melanjutkan, “Maka aku harus menyingkirkan kalian bertiga dulu.”

Sesungguhnya, menyingkirkan tiga orang manusia tidaklah mudah.

“Untunglah aku tahu bahwa kalian semua adalah pemabuk, dan aku pun kebetulan tahu bahwa Toh-kongcu sudah memesan makanan dan arak dari Kik-hong-wan.”

Maka dia menyuap seorang pegawai Kik-hong-wan untuk meracuni arak dan kemudian memesan Thian-sat untuk membungkam orang-orang dari rumah makan itu.

“Tapi aku tidak menyangka kalau kau tidak mau minum.”

Dia meneruskan lagi, “Untunglah rencanaku amat teliti. Aku punya orang-orang di belakangku.”

Orang-orang itu adalah Kim Tin-lin dan Peng Thian-pa. Kim Tin-lin dulu pernah ditundukkan olehnya, dan Peng Thian-pa sudah sejak lama menjadi kaki tangannya. Giok-pwe yang tergantung di dadanya juga merupakan bagian dari rencana. Sesudah itu, semua saksi harus disingkirkan.

“Pang Tio-hoan dan Coat-taysu sebenarnya tidak tahu apa-apa. Aku sengaja menyuruh Peng Thian-pa mengundang mereka minum di Kik-hong-wan dan membawa mereka ke Han-bwe-kok untuk membuktikan bahwa aku benar-benar tidak bersalah dan bahwa kau adalah penjahat yang sesungguhnya.”

Dia tertawa terbahak-bahak, “Tapi kau tidak boleh menyalahkan diriku. Kau hanya bisa menyalahkan nasibmu sendiri yang buruk sehingga kau tidak meminum arak itu dan mati begitu saja. Jika kau mati, maka kau tidak akan mengalami masalah seperti ini.”

Sekarang dia tidak punya saingan lagi. Tapi, jika Siau-hoan tidak mati, dia tidak punya cara untuk menjelaskan status dirinya, juga tidak bisa mencampakkannya begitu saja untuk menjadi menantu Bik-giok Hujin. Maka Siau-hoan pun harus mati.

Khu Hong-seng menatap Ma Ji-liong. Lalu dia berkata, “Dan sekarang, apakah kau hidup atau mati tetap tidak ada artinya. Setiap orang tahu bahwa kau adalah si pembunuh. Bila kau tetap hidup, hal itu malah akan menjadi keuntungan buatku.”

“Keuntungan apa?” Ma Ji-liong akhirnya sanggup bersuara. “Kenapa hal itu baik untukmu?”

Khu Hong-seng menghela napas dan mendadak berkata, “Apakah kau belum bisa menebak kalau aku adalah ketua Thian-sat?”

Segalanya menjadi jelas, dan Ma Ji-liong pun berdiri tertegun. Selama ini dia mengira bahwa dia tidak akan pernah memahami apa yang telah terjadi. Dia tidak menyangka kalau penjahat yang sebenarnya akan memberitahukan semua ini padanya.

Tak tahan lagi dia pun bertanya, “Kenapa kau memberitahukan rahasiamu padaku?”

Sambil tersenyum, Khu Hong-seng berkata, “Karena………”

Dia tidak menyelesaikan kata-katanya. Wajahnya tiba-tiba berubah, persis seperti wajah Toh Ceng-lian yang ketakutan menjelang saat kematiannya. Mukanya yang pucat tiba-tiba menjadi gelap. Dia berusaha bangkit, tapi kakinya malah menendang meja. Dan ketika meja itu terbalik, maka dia pun terjungkal ambruk.

Tidak ada komentar: