Harkat Pendekar 11-15


HARKAT PENDEKAR
Saduran : Gan K. H


Bagian 11 - 15



Ma Ji-liong tercengang. Bagaimana mungkin ada racun di dalam arak itu? Siapa yang membubuhi racun? Mungkinkah Siau-hoan sudah tahu bahwa Khu Hong-seng akan membunuhnya, maka dia memutuskan untuk meracuni arak itu lebih dulu? Ma Ji-liong minum dari guci arak yang sama. Sekarang Khu Hong-seng mati keracunan, tapi kenapa dia tidak merasakan apa-apa?

Begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab, dan semuanya juga begitu rumit. Selain itu, semua peristiwa ini terjadi begitu tiba-tiba. Pikirannya menjadi kacau, dan dia bahkan tidak sanggup menjawab meskipun pertanyaan yang paling sederhana. Sekarang, yang sebaiknya dilakukan adalah meninggalkan tempat ini dengan segera. Mungkin sekali kejadian ini juga merupakan sebuah rencana yang telah direkayasa dengan baik untuk menjebaknya. Dia sudah memikirkan hal ini. Sayangnya, sementara dia sedang berpikir, dia benar-benar sudah terjebak. Rencana itu memang akurat dan berbisa. Tak perduli siapa pun yang terjatuh ke dalam perangkap ini, dia tidak akan bisa lolos.

Di ruangan itu ada empat buah lampu, empat buah lampu kristal Persia yang sangat mahal. Barang mahal adalah barang yang berkualitas. Meskipun jatuh ke lantai, lampu-lampu itu tidak akan pecah. Keempat lampu itu dipasang dengan teguh di atas sebuah meja.

Tiba-tiba terdengar suara ‘wut!’, dan kap lampu pun pecah. Sinarnya tampak berkerlap-kerlip.

Saat itulah Ma Ji-liong merasakan gelombang tekanan yang luar biasa kuatnya menghantamnya dari segala penjuru. Jantungnya berdebar dengan keras dan kencang. Napasnya hampir berhenti. Hidungnya berdarah, dan dia pun bisa merasakan darah di tenggorokannya. Bola matanya seperti akan melompat keluar. Dia sudah hampir pingsan. Tapi tekanan yang aneh dan menakutkan itu tiba-tiba menghilang ketika empat orang manusia muncul di ruangan itu. Orang pertama yang dilihatnya adalah Coat-taysu yang tidak punya hati ataupun perasaan itu.

Karena Coat-taysu sudah tiba, tentu saja Pang Tio-hoan juga berada di sini. Orang ketiga adalah seorang hwesio yang amat kurus dan bermuka hitam, seperti seorang pertapa yang berlatih ilmu menyiksa diri. Dan walaupun ia mengenakan jubah hwesio yang ditambal di sana sini, tapi dia menggenggam seuntai tasbih giok yang tak ternilai harganya.

Orang terakhir adalah seorang tosu yang mengenakan jubah berlengan lebar, memakai sandal jerami tanpa kaus kaki. Rambutnya disanggul, dan kulitnya putih berkilauan, membuat dirinya kelihatan seperti sebuah patung yang diukir dari giok putih. Dia merupakan kebalikan dari hwesio pertapa yang tampak kasar itu.

Keempat orang itu datang dari empat penjuru, dan tenaga dalam mereka muncul mendahului kedatangan mereka, lwekang yang telah dilatih selama puluhan tahun. Orang-orang ini pasti mengirimkan lwekang mereka untuk menutup jalan lari Ma Ji-liong dan menangkal serangannya.

Mereka menggunakan langkah terakhir ini terhadap Ma Ji-liong karena mereka yakin bahwa dia akan melakukan apa saja untuk melarikan diri.

Tadi, saat energi mereka menyerangnya, kekuatan dari arah timur dan barat jauh lebih hebat daripada yang datang dari arah utara dan selatan. Yang datang dari arah timur adalah hwesio pertapa itu, dan Giok-tojin (tosu dari giok) tiba di tempat itu dari arah barat. Ternyata kedua orang itu mempunyai lweekang yang jauh lebih dahsyat daripada Coat-taysu yang termasyur ke seluruh dunia itu.

Ma Ji-liong tidak perlu melihat mereka untuk tahu siapa mereka sebenarnya.

Nama Budha hwesio pertapa itu adalah Cia-go (tahan kesukaran). Dia memang tahan terhadap berbagai macam kesukaran. Dia pernah pergi ke India, tapi dia tentu saja tidak pergi ke sana untuk mencari kitab agama Budha. Dia malah mengembara ke seluruh negeri itu untuk mencari kungfu misterius kaum Hud-bun (Budha). Tentunya perjalanannya itu tidak sia-sia belaka.

Dan Giok-tojin dulunya adalah Giok-long-kun yang berjuluk ‘Satu Pedang Tanpa Rintangan’, yang pernah mengguncangkan dunia Kang-ouw. Semua pendekar di dunia ini pasti akan gemetar ketakutan terhadap dirinya, dan semua perempuan cantik pasti akan menyerahkan hatinya pada Giok-long-kun ini.

Melihat keempat orang itu, hati Ma Ji-liong serasa karam. Tentu saja tidak seorang pun di dunia ini yang bisa melarikan diri dari mereka, dan tidak seorang pun juga yang bisa menyelamatkan seseorang dari cengkeraman mereka. Itulah kenyataan yang tidak bisa dibantah.

Lampu-lampu belum dipadamkan. Ini terjadi karena mereka tidak ingin lampu-lampu itu padam. Bila orang-orang ini ingin melakukan sesuatu, mereka tentu saja akan dan bisa melakukannya. Jika tidak, tak seorang pun yang bisa memaksa mereka untuk bertindak. Agaknya mereka tidak melihat Ma Ji-liong, karena pandangan mata mereka tertuju pada Khu Hong-seng.

Khu Hong-seng sudah berhenti bernapas, dan guci arak serta cawan telah terbalik dan berserakan di lantai. Cia-go Hwesio memungut dan mengendusnya. Lalu, seperti sebilah golok yang tajam, sinar dingin tampak berkilat-kilat di sepasang mata yang cekung itu. Dia pernah mengikuti rute ke barat yang dahulu digunakan oleh pendeta Tong Sam-cong(1) saat melakukan perjalanan ke Thian-tiok (India), dan jalur ini tentu saja tidak mudah untuk dilalui. Dia harus melewati gunung-gunung yang tandus, sungai-sungai liar dan rawa-rawa, semua yang ada di sana pun amat berbisa – serangga berbisa, ular berbisa, bunga beracun dan tanaman-tanaman beracun. Dia sudah melihat hampir semua racun yang ada di dunia ini dan, karenanya, dalam hal racun dia hampir sama ahlinya dengan Sin-long (Petani Sakti) yang termasyur itu.

Meskipun Coat-taysu telah menjadi orang beribadat selama puluhan tahun, sifatnya yang tidak sabaran sama sekali tidak berubah.

Tak dapat menahan diri lagi, dia lalu bertanya, “Bagaimana?”

Cia-go Hwesio tidak berkata apa-apa dan menutup matanya. Coat-taysu menjadi makin gelisah.

Jika Cia-go Hwesio tidak bisa menebak racun apa yang telah diminum Khu Hong-seng, tentu saja tidak ada lagi orang lain yang tahu di dunia ini. Untunglah Cia-go Hwesio akhirnya angkat bicara.

“Tidak ada racun di guci arak itu.”

“Lalu di mana racunnya?”

“Di cawannya yang terakhir.”

“Racun apa itu?”

“Itulah Jiu-jo-san yang dibuat dari tiga macam tumbuhan beracun – Jian-ki, Toan-yang dan Sio-hun.”

“Bagaimana kau tahu?”

“Racun jenis ini tidak berwarna dan tidak berasa. Paling baik bila dicampur dengan arak, karena dengan arak racun ini akan bekerja dengan sangat cepat.”

“Berapa cepat?”

“Racun ini akan langsung bekerja setelah masuk ke tenggorokannya. Dan bila mencapai usus, dia akan sama saja seperti ulat di musim gugur.”

“Jadi racun di dalam tubuhnya sudah bekerja.”

“Maka racun itu pasti berada di dalam cawan arak terakhirnya.”

“Bisakah dia diselamatkan?”

“Orang tidak selalu harus mati karena racun ini. Jika kita bertindak cukup cepat, racun ini masih bisa ditawarkan.”

“Bisakah kau melakukannya?”

“Aku tidak bisa, tapi dia bisa.”

Cia-go Hwesio memalingkan kepalanya pada Giok-tojin. Lalu dia berkata, “Tidak ada orang yang tahu tentang racun sebaik diriku, tapi dalam hal menawarkan racun, aku tidak sebaik dirimu.”

Giok-tojin bertanya, “Bagaimana kau tahu kalau kau tidak sebaik diriku?”

Cia-go Hwesio menjawab, “Karena kau dulu seorang penakluk wanita dan aku bukan.”

Giok-tojin tersenyum. Dia tidak punya pilihan kecuali mengakui hal itu. Sejak dia berusia enam belas tahun, tak ada yang tahu berapa banyak perempuan yang telah berusaha membunuhnya dengan racun. Ini terjadi karena kekasihnya terlalu banyak dan dia tidak pernah pilih-pilih. Karena banyak perempuan yang memujanya, dan mereka tidak mau melepaskannya jatuh ke pelukan perempuan lain, mereka pun tahu bahwa mereka harus meracuninya sampai mati. Jika tidak, cepat atau lambat pikirannya akan berubah. Karena seringnya dia diracuni orang, akhirnya dia menjadi terbiasa dengan racun.

Bagaimana mungkin orang seperti dia tidak tahu cara menawarkan racun?

Cia-go Hwesio berkata, “Jika dia tidak tahu cara menawarkan racun ini, pemuda ini pasti sudah mati.”

Coat-taysu bertanya, “Jika dia tidak bisa menawarkan racun ulat musim gugur ini, apakah tidak ada orang lain yang bisa?”

Kali ini Giok-tojin sendiri yang menjawab pertanyaan itu. Dia berkata, “Tidak.”

Ma Ji-liong akhirnya paham. Ini bukan cuma sebuah perangkap. Tapi merupakan seutas tali, tali yang akan digunakan untuk menggantungnya. Racun itu ada di dalam cawan arak terakhir. Saat Khu Hong-seng meminum cawan itu, Siau-hoan sudah mati, jadi tidak mungkin dia yang menaruh racun itu. Tapi jika Khu Hong-seng meracuni dirinya sendiri, siapa yang akan percaya kalau dia berbuat begitu?

Dan karena itu, Ma Ji-liong tentu saja menjadi tersangka.

Khu Hong-seng diracun dengan cara yang sama seperti Sim Ang-yap dan Toh Ceng-lian. Pasti racun di dalam guci arak di Han-bwe-kok juga adalah racun Jiu-jo-san ini.

Dan karenanya, tersangka peristiwa itu juga adalah Ma Ji-liong.

Khu Hong-seng sudah tahu bahwa Coat-taysu dan kawan-kawannya akan datang. Dia sudah tahu pasti bahwa dirinya akan tertolong. Karena itu dia meracuni arak tersebut.

Barusan dia telah memberitahu Ma Ji-liong bahwa dialah penjahat yang sebenarnya, tapi tak ada orang lain kecuali Ma Ji-liong yang telah mendengar pengakuannya itu. Tak seorang pun di dunia ini yang akan percaya bahwa dia bisa meracuni dirinya sendiri. Dan meskipun Ma Ji-liong ngotot mengatakan hal yang sebenarnya kepada orang-orang, tak ada orang yang akan mempercayainya.

Dan karena orang-orang menganggap bahwa Ma Ji-liong adalah orang yang meracuni Khu Hong-seng, mereka juga akan percaya bahwa dialah yang telah mencekik Siau-hoan hingga mati. Mereka tidak akan menyelidiki lagi kenapa dia harus membunuh Siau-hoan. Memangnya masih ada yang tidak bisa diperbuat oleh seorang pembunuh seperti dirinya?

Semua pembunuh harus mati. Sekarang Ma Ji-liong telah dihadapkan dengan hukuman gantung.
Khu Hong-seng tidak mati. Inilah kali kedua dia berhasil selamat setelah bersinggungan dengan maut. Ma Ji-liong teringat dengan tombak Kim Tin-lin dan bagaimana Khu Hong-seng telah menyembunyikan Giok-pwe itu di dadanya. Saat itu nama Siau-hoan yang digunakan olehnya untuk menjelaskan hal itu. Setiap langkah dan setiap detil rencananya benar-benar dirancang dengan seksama. Dan setiap kalinya dia telah menyediakan perangkap kematian untuk dirinya sendiri sehingga tidak ada orang yang akan mencurigainya.

Sekarang dia telah memuntahkan semua arak beracun itu, setiap orang bisa melihat bahwa dia pasti akan selamat, dan mungkin dia akan hidup lebih lama daripada siapa pun.

Saat itulah perhatian mereka mulai dialihkan pada Ma Ji-liong, dan sorot mata mereka amat mirip dengan senjata yang tajam.

Yang pertama bicara adalah Pang Tio-hoan.

Dia berkata, “Apa lagi yang hendak kau katakan?”

Ma Ji-liong tidak bisa berkata apa-apa. Jika dia mengungkapkan hal yang sebenarnya, siapa yang akan percaya kalau Khu Hong-seng telah mencekik Siau-hoan hingga mati? Siapa yang akan percaya kalau dia telah mengungkapkan rahasianya sendiri? Dan siapa yang akan percaya kalau dia telah meracuni araknya sendiri?

Coat-taysu bertanya dengan dingin, “Apa yang akan kau berikan pada kami kali ini?”

Meskipun Ma Ji-liong punya sebilah pedang mestika di tangannya, setumpuk emas di kantungnya, dan sehelai mantel bulu rubah di tubuhnya, tipuan lamanya tidak akan berhasil lagi.

Coat-taysu berkata, “Bukti kejahatanmu sudah amat banyak, tapi bila kau tidak mengakuinya, kami tidak bisa mengikat tanganmu.”

Ma Ji-liong tahu bahwa dia bukan hanya tidak bisa membersihkan dirinya dari tuduhan, dia pun tidak bisa melarikan diri. Dia sangat paham akan hal ini.

Tapi asalkan dia masih bernapas, dia tidak akan pernah menyerah tanpa bertarung.

Coat-taysu berkata, “Dengan kami berempat berada di sini, menangkapmu akan sama mudahnya dengan memakan kue. Tapi kami tidak mau menang cuma karena jumlah kami lebih banyak darimu.”

“Aku paham,” kata Ma Ji-liong.

“Apa yang kau pahami?” Coat-taysu bertanya.

Ma Ji-liong berkata, “Kau ingin bertarung sendiri denganku dan berharap kau sendiri sudah sanggup membunuhku.”

Lalu dia meneruskan dengan tenang, “Karena membunuh orang adalah hobimu.”

Kalimat ini seperti jarum yang menusuk ke hati lawan. Tapi Coat-taysu tidak perduli.

Dia menyeringai, “Jika kau tidak ingin aku yang membunuhmu, kau boleh memilih siapa pun yang kau inginkan untuk bertarung denganmu.”

“Aku memilihmu,” kata Ma Ji-liong.

“Bagus sekali,” kata Coat-taysu.

Ma Ji-liong berkata, “Benar, seharusnya bukan kau. Walaupun lwekangmu tidak sehebat Cia-go Hwesio dan ilmu pedangmu tidak sebanding dengan Giok-tojin, tapi pengalaman membunuhmu jauh lebih banyak daripada mereka. Dan karena itu caramu membunuh pasti lebih baik daripada mereka.”

Sambil menghela napas, dia melanjutkan, “Sayangnya, meskipun tahu hal ini, aku tetap harus memilihmu.”

Coat-taysu tak tahan lagi dan bertanya, “Kenapa?”
Ma Ji-liong menjawab, “Karena aku selalu berpikir bahwa meskipun kau adalah orang gila yang kejam, keras kepala dan angkuh, aku bisa berharap padamu untuk membawa keadilan dan bila kau menuduh seseorang, maka kau akan bertindak bengis dan tidak akan membiarkan orang itu hidup.”

Suaranya terdengar berduka ketika dia berkata, “Aku memilihmu karena aku harus membunuhmu demi orang-orang yang telah salah dibunuh olehmu. Meskipun aku bukan tandinganmu, aku bisa menjamin bahwa aku punya cara untuk membuat agar kau dan aku gugur bersama.”

Coat-taysu terpaksa bertanya, “Cara apa?”

Mau tak mau dia harus percaya pada Ma Ji-liong. Ekspresi wajahnya mulai berubah. Walaupun dia ingin membunuh Ma Ji-liong, dia sendiri pun takut terbunuh.

Dan dia tidak bisa menyembunyikan perasaan takutnya itu.
Tiba-tiba Ma Ji-liong tertawa terbahak-bahak. Dia berkata, “Sesungguhnya kau tidak sebengis yang orang kira. Kau takut pada kematian seperti juga orang lain.”

Suaranya terdengar penuh dengan nada ejekan, “Sebenarnya aku tidak punya cara tertentu untuk membunuhmu. Aku cuma ingin menakut-nakutimu saja, tidak lebih.”

Bila jago-jago kungfu akan bertarung, mereka bukan hanya harus menenangkan pikirannya, mereka pun harus mengendalikan emosinya. Kalau tidak mereka akan rapuh terhadap serangan. Coat-taysu sudah lama paham akan hal ini.

Tapi saat itu amarahnya telah memuncak, bola matanya memerah seperti berdarah, di keningnya muncul urat-urat biru. Kedua tangannya pun diulurkan seperti cakar burung rajawali.

Dia bergerak ke arah Ma Ji-liong, selangkah demi selangkah.

Ruangan ini berlantai papan kayu yang mengkilap, dan ke mana pun dia menginjakkan kakinya, papan kayu itu segera hancur berkeping-keping.

Coat-taysu telah mengumpulkan seluruh tenaganya. Jika orang terpukul oleh tangannya, dia tentu akan terjungkal mati!

Tak pernah terpikir olehnya kalau dia mungkin akan membunuh orang yang salah!

Kecuali bunyi papan kayu yang hancur, seolah-olah tidak ada suara lain di dunia ini.

Mendadak mereka mendengar suara teriakan seseorang yang menjajakan bunga.

“Anggrek mutiara. Bunga melati.”

Suara penjual bunga itu terdengar nyaring dan merdu seperti mengalun dari tempat yang jauh. Tapi suara itu tiba-tiba bergerak semakin dekat hingga seakan-akan kata-kata tadi diucapkan orang di pinggir telinga mereka.

“Brak!”, tiba-tiba sebuah lubang berbentuk manusia telah muncul di dinding yang putih dan cerah itu.

“Anggrek mutiara. Bunga melati.”

Tiba-tiba seseorang telah muncul dari lubang di dinding tersebut. Dia adalah seorang penjual bunga bertubuh ramping, memakai topi bambu dan bergaun hitam. Di tangannya terdapat beberapa kuntum bunga melati yang terikat oleh seutas kawat besi.

Bunga melati yang harum tentu indah, dan begitu pula tangan penjualnya. Ma Ji-liong tiba-tiba teringat, ketika mereka berada di jalan sempit itu, Toa-hoan telah pergi bersamaan dengan kedatangan seorang perempuan penjual bunga yang misterius. Apakah yang akan dilakukan perempuan itu di sini?

“Apakah Tuan suka bunga melati?”

Tiba-tiba dia meletakkan sekuntum melati di antara cakar rajawali Coat-taysu. Seperti anak panah yang dipentang kencang pada sebuah busur, tangan ini mengandung tenaga yang akan terlepas saat bersentuhan. Dan jika dilepaskan, bahkan batu karang pun akan hancur karenanya.
Yang mengejutkan, ternyata bunga melati itu tidak hancur. Malah sepertinya bunga melati itu yang menusuk tangannya. Dan rasa sakitnya pun pasti telah menusuk hatinya, karena setelah mendapatkan bunga itu, dia lalu melompat ke udara dan – seperti anak panah – melesat keluar jendela.

Siapakah gadis penjual bunga ini? Kekuatan misterius macam apa yang dimiliki bunga melati itu?

Penjual bunga itu membalikkan badan dan berjalan menghampiri Giok-tojin.

“Tuan suka bunga melati?”
Dia mengambil sekuntum bunga lagi.

“Inilah sekuntum bunga melati yang harum dan indah. Tuan harus membelinya sekarang juga. Kalau tidak, Tuan pasti akan menyesalinya nanti.”

“Aku ingin membelinya. Berapa harganya?” Giok-tojin bertanya.

“Bungaku berharga pantas. Aku tidak pernah curang.”

Suaranya terdengar jernih dan lembut, “Satu nyawa…. untuk sekuntum bunga melati.”

Giok-tojin tersenyum dipaksa. Lalu dia berkata, “Aku tidak sanggup.”

Tiba-tiba dia melesat mundur, tubuhnya meluncur lewat lubang di tembok seperti sebatang anak panah. Biksu Chiku dan Pang Tio-hoan juga ikut pergi dengan kecepatan yang sama.

Sambil menghela napas, penjual bunga itu berkata, “Bunga melati yang begini indah, kenapa tidak ada yang mau membelinya?”

Ma Ji-liong tiba-tiba berkata, “Mereka tidak mau, tapi aku mau.”

Perempuan penjual bunga itu tidak berpaling. Dia hanya berkata, “Kau cuma punya satu nyawa. Kau pun tidak akan sanggup.”

“Bagaimana jika aku benar-benar ingin membelinya?”

“Aku tidak jual.”

“Kenapa tidak?”

“Karena aku tidak menginginkan nyawamu.”

“Aku baru saja mendapatkan kembali nyawaku.”

“Karena kau baru saja mendapatkannya kembali, seharusnya kau benar-benar menghargainya.”

Sambil bicara, dia pun mulai berjalan. Ma Ji-liong lalu membuntutinya. Dan mereka berdua pun melangkah keluar dari rumah itu dan masuk ke jalan yang gelap di luar sana.
Malam yang dingin, tidak berawan dan penuh bintang. Di bawah sinar bintang, punggung gadis penjual bunga itu terasa sudah dikenalnya, seolah-olah gadis itu adalah kenalan lamanya. Dia tidak menggunakan ginkang, dia pun tidak lari. Tapi Ma Ji-liong tetap tidak mampu menyusulnya.

Maka dia lalu menggunakan Thian-ma-hing-khong yang termasyur di dunia Kang-ouw. Tapi tiba-tiba gadis itu sudah menjauh 50-60 kaki. Dia berusaha menyusulnya lagi, tapi gadis itu malah semakin jauh di depan sana.

Ketika dia menurunkan kecepatannya, maka langkah kaki gadis itu pun melambat.

Ketika dia berhenti, maka gadis itu pun berhenti.

Agaknya, meskipun gadis itu tidak mau dia menyusulnya, ia pun sebenarnya tidak mau meninggalkan dirinya jauh-jauh di belakang.

Mendadak Ma Ji-liong bertanya, “Kau tidak membiarkan aku melihatmu karena kau tidak ingin aku tahu siapa kau, benarkah begitu?”

Dia tidak menjawab. Dia pun tidak membantah.

Ma Ji-liong tertawa kecil, “Sayangnya aku sudah tahu siapa kau.”

“Tentu saja kau seharusnya sudah tahu.”

Dia tertawa cekikikan dan berkata, “Karena kau tentu tidak begitu bodoh.”

Tentu saja gadis itu adalah Toa-hoan yang tadinya telah lari karena takut pada seorang gadis penjual bunga. Saat ini dia telah mengenakan baju gadis penjual bunga itu, bahkan keranjang bunga di tangannya juga milik gadis itu. Tapi di manakah penjual bunga yang misterius itu?

Ma Ji-liong tidak memahami gadis ini. Kehidupan Toa-hoan, kungfunya dan asal-usulnya, semua terlalu misterius. Bagaimana dia dulu bisa terkubur di dalam es dan salju? Coat-taysu dan Giok-tojin termasuk jago-jago terbaik di dalam Bulim, tapi kenapa mereka begitu takut padanya? Tidak seorang pun yang bisa menjelaskan kejadian yang terjadi di sekitarnya ini. Semakin lama dia bergaul dengan gadis ini, sebaliknya dia malah semakin tidak bisa memahaminya.

Dan dia tentu saja tidak bisa pergi. Setiap kali gadis ini muncul, sesuatu yang misterius tentu akan terjadi. Kali ini apa lagi yang akan diperbuat olehnya? Tipuan licik apa lagi yang ada di dalam benaknya? Ma Ji-liong benar-benar ingin tahu.

Tentunya Toa-hoan punya tipuan lain. Dengan mata yang bersinar-sinar, tiba-tiba dia berkata, “Aku sudah tahu bahwa kau adalah orang yang pemberani, maka kali ini aku akan membawamu ke sebuah tempat yang aneh.”

“Untuk apa?”

“Untuk bertemu dengan seseorang.” Toa-hoan sengaja bersikap misterius. “Seorang perempuan yang amat aneh.”

“Pernahkah aku bertemu dengannya?”

“Mungkin pernah satu kali.”

“Maksudmu gadis penjual bunga itu?”

“Kau memang tidak bodoh.”

Lalu Toa-hoan meliriknya dan bertanya, “Kau berani pergi menemuinya?”

Ma Ji-liong tentu saja berani. Meskipun gadis penjual bunga itu adalah makhluk pemakan manusia, dia tetap ingin bertemu dengannya.

Sambil mengedipkan mata penuh arti, Toa-hoan bertanya lagi, “Kau tidak akan menyesal? Setelah kau bertemu dengannya dan apa pun yang terjadi, kau sama sekali tidak akan menyesalinya?”

Jawaban Ma Ji-liong sudah pasti. “Aku sudah banyak mengalami hal yang patut disesalkan. Apa artinya kalau ditambah dengan satu lagi?”

Toa-hoan tertawa dan berkata, “Tidak ada artinya.” Suara tawanya terdengar nyaring seperti bunyi lonceng. “Memang tidak ada artinya.”

Maka mereka pun berangkat. Dalam perjalanan, Ma Ji-liong terus bertanya-tanya tentang tempat tujuan mereka. Dia memikirkan beberapa tempat yang aneh, tapi dia tidak pernah menduga kalau gadis itu ternyata membawanya ke kantor pengadilan Xiangcheng.

Meskipun hakim di sini hanya berpangkat rendah, tempat ini tetap saja kantor pengadilan dan ukurannya jauh lebih besar daripada yang dulu dibayangkan oleh Ma Ji-liong. Jalan masuknya sudah ditutup, sehingga mereka pun masuk lewat pintu samping.

Inilah pertama kalinya Ma Ji-liong memasuki kantor pengadilan. Di atas kepalanya ada sebuah genderang dan di aula utama tergantung sebatang tongkat bambu untuk menghukum terdakwa. Di situ juga dipertunjukkan segala jenis alat siksaan. Semua yang ada di sini membuatnya merasa ganjil dan aneh.

Di sana juga ada prajurit-prajurit bertopi merah. Walaupun hakim telah keluar dari aula utama itu, di sana tetap ada prajurit-prajurit yang bertugas jaga, dua orang di tiap pintu. Tapi prajurit-prajurit ini seperti buta semua matanya, tidak perduli akan kedatangan mereka.

Prajurit-prajurit itu pasti tidak buta. Dia dan Toa-hoan jelas-jelas berjalan melewati mereka. Kenapa mereka tidak melihatnya? Apakah Toa-hoan menggunakan semacam ilmu sihir? Apakah dia bisa menyembunyikan sosok mereka dari pandangan para prajurit itu?

Di belakang aula utama itu ada sebuah halaman yang suram, di sana juga ada dua orang prajurit bertopi merah yang bertugas jaga. Tiba-tiba Ma Ji-liong berjalan menghampiri salah seorang dari mereka dan berkata, “Hei, kau tidak melihatku?”

Prajurit itu tidak perduli, bahkan tidak meliriknya. Dia malah bertanya pada temannya, “Apakah barusan ada orang yang bicara?”

“Tidak.”

“Apakah kau melihat seseorang?”

“Tidak, bahkan bayangan setan pun tidak ada.”

Tentu saja Ma Ji-liong merasa heran. Jika bukan Toa-hoan yang membawanya datang ke halaman ini, dia tentu akan mencoba untuk mencubit mereka. Apakah mereka akan kesakitan?

Sambil tertawa cekikikan, Toa-hoan berkata, “Meskipun kau berjungkir-balik di depan mereka, mereka tidak akan melihatmu.”

“Kenapa begitu?”

Tiba-tiba gadis itu merubah pokok pembicaraan dan berkata, “Apakah kau tahu tempat apa ini?”

Ma Ji-liong tidak tahu, tapi dia sudah bisa merasakan hawa yang menyeramkan di tempat itu.

“Ini adalah kamar mayat,” kata Toa-hoan. “Jika ada orang yang terbunuh di daerah ini, mayat mereka akan dibawa ke sini untuk diotopsi.”

Ma Ji-liong tidak melihat jenazah, juga tidak mencium bau darah yang menyengat, tapi perutnya sudah mulai terasa tidak enak. Di tempat seperti ini, tidak ada orang yang bisa merasa tenang. Kenapa Toa-hoan membawanya ke sini?

Di halaman itu ada dua baris bangunan, tanpa lampu maupun jendela. Tapi dari kamar terakhir di sebelah kanan, meskipun pintunya tertutup, sepertinya ada secercah cahaya yang merembes keluar dari retakan pintu. Dan Toan-hoan berjalan memasuki pintu itu.

Ma Ji-liong tak tahan lagi dan bertanya, “Apakah kau membawaku ke sini untuk bertemu dengan seseorang di kamar ini?”

“Kenapa kau tidak masuk dan melihat sendiri?” Dan gadis itu mendorong pintu hingga terbuka.

Di kamar itu memang ada cahaya, dan orang bisa melihat sebuah lampu yang redup dan sebuah ranjang yang besar. Di atas tempat tidur ada selembar kain putih yang menutupi sesosok tubuh di bawahnya. Walaupun mukanya tertutup kain, tapi kakinya tidak.

Yang pertama dilihat Ma Ji-liong adalah kaki itu, sepasang kaki yang seputih salju dan betis yang indah.

Jari-jari kakinya tampak lembut dan indah. Siapa pun yang melihat sepasang kaki ini tentu segera menyadari bahwa ini adalah sepasang kaki wanita, yang tentunya milik seorang perempuan yang cantik jelita.

Ma Ji-liong sekarang teringat bahwa dia belum sempat melihat wajah gadis penjual bunga tersebut di dalam gang gelap itu. Tak tahan lagi dia pun menghela napas.

“Apakah dia sudah mati?”

“Tampaknya begitu.”

“Apakah kau yang membunuhnya?”

Toa-hoan menjawab dengan acuh tak acuh, “Dia selalu memandang rendah pada diriku, dia mengira bahwa dia lebih baik dariku dan bisa mengalahkanku kapan saja. Asal melihatnya, aku pasti lari. Itulah yang membuat dirinya menganggap enteng padaku.”

Meremehkan musuh selalu merupakan kesalahan yang tak bisa dimaafkan.

Toa-hoan berkata dengan tenang, “Dia memandang rendah pada diriku, itulah sebabnya aku masih bisa berdiri tegak sementara dia sudah ambruk. Bagiku, dia sama saja sudah mati.”

Ma Ji-liong terpaksa bertanya sekali lagi, “Kau bilang, dia sama saja sudah mati?”

“Hmm.”

“Jadi dia sebenarnya belum mati?”

“Kenapa kau tidak melihat sendiri?” Gadis itu tersenyum misterius. “Lihatlah baik-baik.”

Agar bisa dilihat, lembaran kain itu pun harus disingkap. Ma Ji-liong lalu menyingkapnya dan segera melepaskannya kembali secara mendadak, wajahnya tiba-tiba menjadi merah dan jantungnya berdebar-debar semakin keras. Walaupun dia belum melihat dengan jelas, dia tidak berani melihat lagi.

Di balik kain itu adalah tubuh seorang gadis yang telanjang bulat sama sekali. Dia belum pernah melihat seorang perempuan dengan tubuh yang seindah dan wajah yang secantik itu. Jika perempuan seperti dia benar-benar sudah mati, hal ini benar-benar patut disayangkan.

Toa-hoan bertanya lagi, “Lihatlah. Apakah dia sudah mati?”

Ma Ji-liong tidak tahu.

Toa-hoan berkata, “Kau cuma melihatnya sepintas, tentu saja kau tidak tahu apakah dia sudah mati atau tidak. Tapi kau tentu bisa melihat bahwa perempuan secantik dia itu adalah langka.”

Ma Ji-liong mengakui hal itu.

Toa-hoan berkata, “Kalau begitu, seharusnya kau tahu bahwa dia masih hidup.”

“Kenapa begitu?” Ma Ji-liong bertanya.

Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, “Karena dia benar-benar terlalu cantik. Aku tidak tega membiarkan dia mati. Meskipun aku sangat ingin membunuhnya, tapi aku tidak tega.”

Ma Ji-liong menghela napas.

Toa-hoan bertanya, “Kenapa kau menghela napas?”

Ma Ji-liong berkata, “Bagaimana kau bisa menemukan dia?”

Sambil menghela napas sekali lagi, Ma Ji-liong lalu meneruskan, “Aku sudah melihatnya, dan aku yakin bahwa dia masih hidup. Tapi aku malah semakin bingung.”

Toa-hoan bertanya, “Bingung kenapa?”

Ma Ji-liong berkata, “Apakah aku mengenalnya?”

“Tidak,” jawab Toa-hoan.

Ma Ji-liong bertanya, “Lalu apa hubungan dia denganku?”

“Sekarang memang belum ada hubungannya,” jawab Toa-hoan.

Ma Ji-liong berkata, “Lalu kenapa kau membawaku untuk bertemu dengannya?”

Toa-hoan berkata, “Karena meskipun kalian berdua belum ada hubungannya, tapi nanti pasti ada.”

Ma Ji-liong bertanya, “Bagaimana bisa begitu?”

Senyuman Toa-hoan menjadi makin misterius. Dia berkata, “Ada hal-hal yang belum bisa kuceritakan kepadamu saat ini, tapi aku berjanji, apa pun yang kuingin kau lakukan, kau tidak akan menyesalinya.”

Ma Ji-liong bertanya, “Apa yang sekarang sudah kau rencanakan untukku?”

“Aku hendak membawamu untuk bertemu seorang lagi,“ kata Toa-hoan.

Ma Ji-liong bertanya, “Siapa dia?”

Toa-hoan menjawab, “Seorang laki-laki yang amat menyukaimu, dan agaknya kau pun menyukainya.”

Ma Ji-liong bertanya, “Bagaimana kau tahu kalau aku menyukainya?”

Toa-hoan menjelaskan, “Asalkan orang berjumpa dengannya, sangat sulit bagi orang itu untuk tidak menyukainya.”

Segera Ma Ji-liong teringat pada seorang laki-laki yang tidak sulit untuk disukai orang lain dan dia pun berkata, “Kanglam Ji Ngo?”

Toa-hoan berkata, “Siapa lagi kalau bukan dia?”

Ma Ji-liong bertanya, “Dia juga ada di sini?”

“Ada di sisi sana,” jawab Toa-hoan.

Ma Ji-liong bertanya, “Apa yang sedang dia lakukan?”

Toa-hoan tertawa dan berkata, “Seumur hidupmu, kau tidak akan bisa menebak apa yang sedang dia kerjakan.”
Pertama kalinya Ma Ji-liong melihat Ji Ngo, Ji Ngo sedang memasak makanan. Banyak orang yang memasak setiap harinya di dunia ini, jadi memasak bukanlah hal yang aneh. Tapi bila Kanglam Ji Ngo yang memasak di dapur, orang-orang pasti akan merasa kagum.

Tapi tempat ini adalah kamar mayat, bukan rumah makan atau sebuah dapur.

“Jika kau bisa menebak apa yang sedang dia lakukan, aku akan menghormatimu.”

“Aku tidak ingin kau menghormatiku. Aku tidak bisa menebak.”

“Dia sedang menyisir rambut.”

Menyisir rambut pun bukanlah hal yang aneh. Kanglam Ji Ngo tentu saja menyisir rambutnya sendiri seperti yang dilakukan orang lain. Tapi ternyata dia bukan sedang menyisir rambutnya sendiri. Dia sedang menyisir rambut orang lain. Dia sedang menyisir rambut seorang perempuan tua yang hampir semua giginya sudah ompong.

Di sebuah kamar di seberang sana, entah sejak kapan tahu-tahu sudah menyala sebuah lampu. Seorang perempuan tua sedang duduk di bawah cahaya lampu. Dia memakai baju merah, kelihatan seperti seorang pengantin yang mengenakan gaun sulam merah. Salah satu kakinya sedang diangkat, dan dia mengenakan sepasang sepatu sutera berwarna merah cerah. Wajahnya penuh dengan kerutan. Jumlah giginya juga lebih sedikit daripada seorang bocah berumur dua tahun. Tapi rambutnya masih hitam mengkilap, persis seperti sutera hitam.

Orang akan tercengang bila melihat Kanglam Ji Ngo sedang menyisir rambut seorang perempuan tua seperti ini. Gerakan menyisirnya sama seperti gerakan waktu dia sedang menggoreng makanan, indah dan mempesona. Tidak ada bedanya apakah dia sedang memegang sudip atau sisir. Bagaimana pun juga dia adalah Kanglam Ji Ngo, Kanglam Ji Ngo yang tiada duanya itu.

Meskipun Ma Ji-liong tidak bisa menebak kenapa dia menyisir rambut perempuan tua itu, atau kenapa Toa-hoan membawanya untuk melihat hal ini, dia mulai merasa heran. Agaknya Ji Ngo tidak melihat kedatangan mereka. Apa pun yang dia lakukan, dia selalu melakukannya dengan hati dan jiwanya. Itulah sebabnya dia melakukannya lebih baik daripada orang lain.

Saat itu dia menggunakan sebuah jepit rambut yang hitam dan panjang untuk membuat sanggul rambut yang rapi buat perempuan itu, dan dia pun mengagumi karyanya sendiri sembari melakukannya. Memang itulah sebuah karya yang bagus, bahkan Ma Ji-liong pun harus mengakuinya. Perempuan tua itu menjadi tampak lebih muda puluhan tahun. Ji Ngo menutup matanya sebentar, dan ekspresi wajahnya seperti orang yang sedang dibelai oleh kekasihnya.

“Kau benar-benar tidak ada tandingan. Benar-benar tidak ada orang yang bisa dibandingkan denganmu.” Suara perempuan itu terdengar parau, tapi orang masih bisa merasakan betapa merdu dan lembutnya suara itu di masa mudanya dulu. Dia menghela napas dengan perlahan dan berkata, “Jika ilmu kungfumu bisa setengah saja dari keahlian menata rambutmu, kau pasti akan menaklukkan dunia.”

Ji Ngo tergelak, “Untunglah, aku tentu saja tidak ingin menaklukkan dunia.”

“Kenapa tidak?”

“Karena jika seseorang berhasil menaklukkan dunia, hari-harinya tentu akan menjadi sangat membosankan.”

Perempuan tua itu tertawa terbahak-bahak. Lalu dia berkata, “Aku suka padamu. Aku benar-benar menyukaimu. Meskipun kau tidak menata rambutku, kurasa aku tetap akan melakukannya untukmu.”

Siapakah perempuan tua ini? Ji Ngo ingin dia melakukan apa? Saat keinginan-tahu Ma Ji-liong semakin membesar, Toa-hoan malah menariknya keluar.

“Sekarang kau tentu sedang bingung. Kau tidak tahu apa yang hendak kulakukan.”

“Apakah rencanamu? Siapa lagi yang akan kita temui kali ini?”

Toa-hoan berkata, “Kita akan melihat 'orang dalam lukisan'.” Lalu dia meneruskan, “Meskipun kau seratus kali lebih cerdik daripada sekarang, kau pasti tidak akan bisa menebak identitasnya.”

Sebuah lampu sedang menyala di kamar sebelah, terlihat sebuah lukisan di atas dinding. Itulah lukisan seorang laki-laki setengah baya yang tampaknya amat jujur.

Ma Ji-liong belum pernah melihat orang ini. Atau kalau pun pernah, dia pasti tidak ingat lagi.

Orang seperti ini bukannya tidak berharga untuk diingat, tapi dia memang tidak akan meninggalkan kesan yang mendalam di hati orang lain.

“Dia bermarga Thio. Namanya Thio Eng-hoat. Dia adalah orang yang amat jujur dan baik hati. Dia membuka sebuah toko kelontong kecil di kota, bersama seorang pembantu yang hampir sama jujurnya dengan dia sendiri.”

Toa-hoan menjelaskan tentang orang dalam lukisan itu, “Dia terlahir pada tahun Babi, dan tahun ini dia berusia empat puluh empat tahun. Ketika berumur sembilan belas tahun, dia menikah dengan seorang perempuan bernama Ong Kui-ci. Perempuan itu pemarah dan jatuh sakit karena dia tidak bisa punya anak. Semakin timbul amarahnya, maka makin menjadi sakitnya. Terakhir sakitnya menjadi begitu parah, sehingga dia harus berbaring saja di tempat tidur dan si tua Thio yang harus memberinya makan. Setelah sakit yang teramat parah ini, perangainya yang buruk malah semakin menjadi-jadi. Tidak satu pun tetangga yang tahan mendengar ocehannya.”

Tiba-tiba dia berhenti dan bertanya pada Ma Ji-liong, “Apakah kau mendengarkan dengan jelas?”

Ma Ji-long memang mendengar uraiannya dengan jelas, tapi dia tetap merasa bingung. Dia tidak bisa membayangkan kenapa Toa-hoan membawanya untuk melihat lukisan ini dan menjelaskan tentang laki-laki dalam lukisan itu secara begitu terperinci.

Tentu saja dia pun akhirnya bertanya, “Jadi laki-laki ini ada hubungannya denganku?”

“Begitulah.”

“Bagaimana mungkin dia punya hubungan denganku?”

“Karena orang ini adalah kau.” Agaknya Toa-hoan tidak sedang bergurau. “Kau adalah dia, dan dia adalah kau.”

Ma Ji-liong merasa sangat lucu, begitu lucunya sehingga dia hampir bergulingan di lantai sambil tertawa sampai perutnya sakit. Sayangnya tidak ada suara tawa yang keluar. Karena dia tahu bahwa Toa-hoan tidak sedang bergurau. Dia pun tidak gila.

Maka dia pun bertanya, “Orang bernama Thio Eng-hoat ini adalah aku?”

“Tepat sekali.”

“Sedikit pun dia tidak mirip denganku.”

“Tapi kau akan segera mirip dengannya, sangat mirip dengannya. Bahkan aku bisa mengatakan, persis seperti dia.”

“Sayangnya aku tidak bisa merubah diriku sendiri.”

“Kau tidak bisa, tapi orang lain bisa melakukannya untukmu.”

Toa-hoan tiba-tiba bertanya, “Tahukah kau kenapa Ji Ngo menata rambut perempuan muda itu?”

Ma Ji-liong berkata, “Perempuan itu tidak muda lagi. Tampaknya dia sudah tua.”

Anehnya Toa-hoan tidak setuju dengannya. “Dia tidak tua. Dia perempuan muda. Ada orang yang bisa hidup sampai berusia 180 tahun. Jadi dia masih terhitung muda.”

“Apakah dia orang seperti itu?”

“Benar.” Toa-hoan meneruskan, “Jika bukan begitu, takkan ada orang seperti itu di dunia ini.”

“Kenapa bisa demikian?”

“Karena dia bermarga Giok (1).”

Ma Ji-liong akhirnya teringat pada seseorang, “Apakah dia ada hubungannya dengan Giok-hujin yang termasyur sejak 60 tahun lalu itu?”

Toa-hoan menjawab, “Dialah Giok-hujin. Dialah Ling-long-giok-jiu, Giok Ling-long.”
Enam puluh tahun yang lalu, di dunia kangouw ada tiga pasang tangan manusia yang terkenal dan dikagumi, yaitu Bu-ceng-thiat-jiu, Sin-tho-biau-jiu dan Ling-long-giok-jiu.

Thiat-jiu-bu-ceng (Tangan Besi Tidak Kenal Ampun), setiap beroperasi tidak ada korban yang hidup meskipun hanya sekejap saja.

Biau-jiu-sin-tho (Maling Sakti Bertangan Lincah), barang apa saja yang tidak mungkin dicuri orang lain, dengan mudah dapat diambilnya.

Giok-jiu-ling-long (Tangan Kumala Ahli Operasi), tidak ada orang tahu, sepasang tangan ini dapat melakukan apa saja yang sebetulnya tidak masuk akal, kenyataannya ia justru dapat menciptakan sesuatu yang aneh dan ganjil, namun nyata. Dalam jangka setengah jam, seseorang bisa dirubah bentuk wajahnya menjadi orang lain oleh keprigelan kedua tangannya itu.

Ilmu tata rias dan ilmu operasi yang dikuasainya sedemikian bagus dan sempurna, kecuali Toa-sin-thong Biau-hoat-thian-ong dari Persia, tiada orang kedua di Tionggoan yang dapat menandinginya.

---------------00000--------------------

Sekarang Ma Ji-liong paham, “Ji Ngo mau menyisir rambutnya karena hendak meminta bantuannya memproses diriku menjadi Thio Eng-hoat, begitu?”

“Betul.”

“Kalian memilih tempat ini karena kaum persilatan tiada yang berkeliaran di sini?”

“Betul.”

“Para petugas itu pura-pura bisu, tuli, dan buta karena mereka memerlukan bantuan Ji Ngo, maka mereka memberi kesempatan kepadanya?”

“Betul, memang demikian.”

“Aku difitnah sebagai pembunuh kejam, sudah kepepet, dan tidak bisa mungkir, maka kalian berdaya upaya untuk menyelamatkan diriku?”

“Tidak benar,” tukas Toa-hoan tegas, suaranya berat dan serius. “Ji Ngo percaya kepadamu, prihatin akan nasibmu, aku pun mempercayai dirimu, kami yakin kau difitnah, dijadikan kambing hitam. Kami juga sadar, watakmu angkuh, tidak gampang membujukmu merendahkan diri menjadi majikan sebuah toko serba ada yang tiada artinya.”

Lama Ma Ji-liong menepekur tanpa suara. Darahnya mendidih, tenggorokannya tersumbat, agak lama kemudian dia baru bertanya dengan serak, “Kenapa kau percaya kepadaku?”

“Seseorang pembunuh di kala buron, jiwa sendiri susah diselamatkan, mana mungkin mau menyelamatkan jiwa orang lain yang terpendam di bawah salju, menolong seorang gadis jelek yang hampir mati kaku kedinginan. Maka aku percaya di balik persoalan ini pasti ada lika-liku yang patut diselidiki.”

Ma Ji-liong tidak bicara, perasaannya sukar dilukiskan dengan rangkaian kata.

Toa-hoan berkata pula, “Kau harus percaya, keadilan dan kebenaran masih tegak di dalam dunia, kejahatan harus ditumpas, muslihat keji juga harus dibongkar, akan datang saatnya fitnah atas dirimu akan terungkap, hal ini hanya soal waktu saja.” Perlahan ia menggenggam tangan Ma Ji-liong, lalu menambahkan, “Yang penting kau yakin, demi membongkar kejahatan ini, sudilah kau merendahkan derajatmu sementara.”

Ma Ji-liong masih termenung beberapa kejap, mendadak ia bertanya, “Di mana letak toko serba ada itu?”

“Di sebuah gang sempit di kota sebelah barat, langgananmu adalah penduduk sekitarnya, mereka adalah rakyat jelata dari kalangan sedang dan rendah, semua berhati baik dan sederhana, keluarga-keluarga yang cukup untuk sesuap nasi setiap hari, penduduk di sana jarang mau mencampuri urusan orang lain,” Toa-hoan menjelaskan, kemudian sambungnya lebih lanjut, “Pegawaimu she Thio, orang lain memanggilnya Lo-thio, kadang ia mencuri satu dua cawan arak di kamarnya, tetapi pegawai yang dapat dipercaya penuh.”

“Apakah ia tak curiga bila majikannya ganti orang lain?”

“Mata Thio-lausit sudah lamur, kupingnya juga agak tuli.”

“Umpama Lo-thio tidak mengenal perbedaanku, bagaimana dengan orang lain?”

“Orang lain?” Toa-hoan balas bertanya sambil tertawa geli. “Maksudmu bininya yang sakit-sakitan itu?”

Ji-liong tertawa getir, tanyanya pula, “Orang macam apakah dia?”

Toa-hoan tertawa, katanya, “Sebetulnya kau sudah pernah melihat dan mengenalnya.”

“Aku pernah melihat dan mengenalnya? Kapan aku pernah melihatnya?”

“Barusan bukankah kau sudah melihatnya?”

Ma Ji-liong melenggong, “Jadi gadis yang hampir mati tadi adalah...... adalah......” mendadak Ji-liong sadar salah omong, cepat ia menambahkan, “Apakah gadis tadi akan dijadikan isteri Thio Eng-hoat?”

“Sebetulnya bukan, tapi tak lama lagi akan diproses menjadi isteri Thio Eng-hoat, demikian pula dirimu, nanti setelah dioperasi akan menjadi Thio Eng-hoat tulen.”

“Siapakah dia sebetulnya?”

Toa-hoan terpekur, agaknya sulit memberi penjelasan, sikapnya jelas tak ingin memberi keterangan.

Tapi Ma Ji-liong mendesak, “Orang macam apakah dia? Urusan sudah berlarut sejauh ini, kau masih main rahasia terhadapku?”

Toa-hoan menarik napas panjang, katanya, “Ya, kalau aku masih main rahasia, rasanya memang keterlaluan.”

Ma Ji-liong diam.

“Ia she Cia bernama Giok-lun, lengkapnya Cia Giok-lun,” demikian Toa-hoan menerangkan.

“Ya, aku sudah tahu.”

“Dia seorang perempuan.”

“Memangnya aku tidak bisa membedakan laki-laki atau perempuan?”

Toa-hoan tertawa getir, katanya, “Kau pasti tahu aku sengaja mengulur waktu. Terus terang saja, aku tidak tahu betapa banyak urusan yang harus kuterangkan kepadamu.”

“Ya, berapa banyak yang akan kau beritahu kepadaku?”

Setelah termenung sejenak, Toa-hoan berkeputusan, “Baiklah, biar kujelaskan kepadamu. Tahun ini dia berusia 19 tahun, mungkin belum pernah menyentuh atau disentuh laki-laki.”

“Apa betul berusia 19 tahun?”

“Memangnya kau kira dia sudah nenek-nenek?”

“Kalau betul berusia 19 tahun, padahal ilmu silatnya setinggi itu, tembok ditabraknya ambrol, kekuatan sedahsyat itu, laki-laki berusia 91 tahun juga belum tentu mampu melakukannya!”

“Ilmu silatku tidak asor dibandingkan dia, apa kau kira aku sudah tua?”

Terkancing mulut Ma Ji-liong. Umpama dirinya goblok juga takkan berani mengatakan gadis jelek ini sudah tua.

Toa-hoan berkata, “Ilmu silat tidak diyakinkan secara serampangan, tinggi rendahnya lwekang seorang ahli silat tidak ada sangkut pautnya dengan usia dan besar kecilnya umur.”

“Aku mengerti.”

“Ilmu silatnya memang tinggi, para enghiong dan pendekar yang kau kenal di zaman ini, yakin tidak genap sepuluh orang yang mampu mengalahkan dia. Ia punya seorang guru yang baik, guru jempolan, lihai, sejak keluar dari rahim ibunya sudah belajar dan latihan silat.”

“Siapakah gurunya?” tanya Ma Ji-liong.

“Aku hanya berjanji menjelaskan perihal pribadinya, bukan tentang gurunya.”

“Baiklah, aku tidak tanya gurunya.”

“Tabiat nona itu tidak baik, maklum nona pingitan yang disayang, dalam segala hal ingin menang dan minta diladeni secara berlebihan, jika mendadak ia sadar dan tahu dirinya menjadi bini seorang pemilik toko serba ada yang kecil di kampung jorok di pinggir kota, mungkin dia bisa jadi gila.”

“Celaka kalau gilanya kumat, pemilik toko serba ada itu mungkin bisa digorok lehernya. Hal ini perlu kuperhatikan karena pemilik toko serba ada itu adalah diriku.”

Toa-hoan tertawa manis, katanya lembut, “Tentang hal itu tak perlu kuatir, dia tidak akan menggorok lehermu.”

“Bagaimana kau tahu dia tidak akan berlaku kasar terhadapku?”

“Ingat, dia sedang sakit, makin lama penyakitnya makin parah hingga sepanjang hari rebah di ranjang, berdiri pun tidak bisa.”

Jago silat kosen yang mampu menjebol tembok dengan langkah seenaknya, bagaimana mungkin mendadak jatuh sakit? Ma Ji-liong bukan laki-laki yang suka rewel, tidak suka bertanya, hatinya sudah membayangkan bagaimana datangnya penyakit itu. Kepandaian Toa-hoan cukup mampu membuat seseorang jatuh sakit dan itu bukan pekerjaan yang sukar.

Ma Ji-ling berkata, “Kelihatannya dia tidak mirip bini seorang pemilik toko.”

“Saat ini tidak mirip, sebentar lagi akan persis, kutanggung dia akan berubah persis bentuk aslinya.”

“Apa betul Giok Ling-long punya kemampuan selihai itu?”

“Betapa besar kemahirannya, boleh kau buktikan sendiri.”

Ma Ji-liong menghela napas, katanya, “Sebetulnya aku sih tidak ingin melihatnya.”

“Bila dia sadar nanti, dirinya sudah rebah di ranjang dalam kamar besar yang terletak di belakang toko serba ada itu.”

“Dan aku?”

“Sebagai suami, kau harus merawat dan menjaganya di pinggir ranjang, kalian adalah suami isteri yang hidup rukun belasan tahun lamanya.”

Ji-liong menyengir kecut, katanya, “Wah, bisa geger dan dia mungkin akan mencaci maki diriku.”

“Sudah pasti dia akan ribut, kau harus bersikap lebih sayang dan prihatin karena kesehatan isterimu makin buruk. Binimu itu she Ong bernama Kwi-ci. Sudah 18 tahun kalian menikah, tanpa dikaruniai anak seorang pun. Apa pun yang ia katakan, keributan apa saja yang ia lakukan, kau harus sabar, menjaga, dan meladeninya dengan penuh pengertian.”

“Bila aku membandel, berkata bahwa ia adalah isteriku sejak 18 tahun lalu, ia pasti bingung dan heran, bertanya-tanya dalam hati, siapa dia sebenarnya.”

“Syukur kau sudah mengerti.”

“Masih ada satu hal yang tidak kumengerti.”

“Coba jelaskan.”

“Aku tidak kenal siapa dia, tidak pernah bermusuhan, kenapa dia harus kuperlakukan demikian?”

“Karena kejadian ini amat berguna bagi dirimu, juga bermanfaat untuknya, dua pihak sama-sama mendapatkan keuntungan. Kurasa hanya dengan cara begini kau bisa mencuci bersih fitnah itu, membongkar muslihat keji ini,” sikap Toa-hoan menjadi serius, nada perkataannya tegas dan tulus. “Aku tahu sebagai pemuda jumawa, perbuatan yang merugikan orang lain ini tak sudi kau lakukan, kali ini anggaplah kau bekerja karena aku, demi diriku. Aku percaya padamu, maka paling sedikit kau juga harus percaya kepadaku. Lakukan apa yang telah kami atur dan rencanakan ini.”

Ma Ji-liong tidak bicara lagi, dia memang jumawa, tidak mau berhutang budi kepada orang lain. Tentang perbuatannya ini, setelah kejadian usai, apakah fitnah terhadap dirinya dapat dicuci bersih, hakikatnya tidak terpikir lagi olehnya.

Apa yang dilakukan Ma Ji-liong biasanya memang bukan untuk kepentingan pribadinya. Umpama ada orang bertanya kepadanya, “Orang macam apakah kau ini?” Jawabannya pasti berbeda dengan sebelum Ji-liong mengalami musibah. Setiap orang yang pernah mengalami siksa derita dan gemblengan hidup yang nyata, baru akan mengenal dirinya sendiri, maka ia bertanya, “Sekarang apa yang harus kulakukan?”

“Kau harus minum. Sekarang akan kusuguh arak kepadamu,” Toa-hoan tertawa lebar. “Ji Ngo di sini, kau juga di sini. Kalau kalian tidak diberi kesempatan minum sepuas-puasnya, bukankah aku ini tidak tahu diri?”

---------------000000------------

Di belakang kedua deret rumah itu terdapat rumah besar tunggal yang letaknya agak jauh. Wuwungan rumah berbentuk serong, tembok berwarna kelabu gelap. Siapa pun yang berada di tempat ini akan merasa seram dan bergidik.

Dilihat dari luar, dari bentuknya, orang akan membayangkan bahwa rumah besar ini adalah gudang mayat. Di dalam gedung inilah para petugas membedah mayat yang terbunuh, maka orang akan membayangkan di sana terdapat berbagai jenis alat dan perkakas, berbagai jenis pisau, juga ada ganco yang karatan, jarum, benang, dan masih banyak lagi benda-benda yang tak terpikir oleh orang.

Namun bila sudah masuk dan berada di dalam rumah itu, jalan pikiran akan berbalik berubah.

Di luar dugaan, rumah ini amat bersih, luas dan bercahaya, dinding bagian dalam putih bersih, jelas tidak lama baru dikapur. Meja dilembari taplak putih. Di meja ini tersedia enam menu masakan dan enam guci arak ukuran sedang. Empat guci diantaranya tersegel rapat, isinya adalah Sian-yang, dua guci yang lain adalah Li-ji-ang yang beratnya dua puluh kati.

Orang biasa bila melihat arak sebanyak itu, belum minum pun sudah mabuk.

Ma Ji-liong bukan orang biasa, terutama dalam hal minum meminum. Setiap melihat arak hatinya amat getol. Minum dan mabuk-mabukan memang bukan perbuatan baik, tapi berhadapan dengan Ji Ngo, kalau tidak minum, lebih baik menjahit mulut sendiri saja. Kali ini Ma Ji-liong akan membalas meloloh Ji Ngo hingga mabuk, ia sudah berkata dalam hati akan membatasi minum.

Ji Ngo sedang mengawasinya dengan senyum lebar, seolah sudah dapat menerka apa yang terpikir di dalam benaknya.

“Aku tahu kau gemar minum Li-ji-ang, sayang di tempat ini sukar memperoleh Li-ji-ang lebih dari dua guci.”

“Sian-yang juga arak bagus.”

“Mari kita habiskan dulu Li-ji-ang baru dilanjutkan dengan Sian-yang,” Ji Ngo tampak gembira, tawanya lebar. “Satu orang satu guci, setelah habis satu guci, minum arak lain juga akan sama.”

“Satu orang satu guci,” ujar Ma Ji-liong ke arah Toa-hoan, “Dia bagaimana?”

“Hari ini aku tidak minum,” Toa-hoan berkata dengan tertawa, “Giok-toasiocia memberi tahu kepadaku, perempuan kalau minum banyak bukan saja lekas tua, juga mudah ditipu orang.”

Ma Ji-liong menghela napas, ia maklum apa yang dipikir tadi tiada harapan dan tak mungkin terlaksana.

------------------00000-------------

Giok-toasiocia bukan lain adalah Giok Ling-long.

Giok Ling-long berda di rumah besar itu, duduk di depan sebuah meja. Meja besar dan panjang. Di atas meja menggeletak sebuah mainan jade dan sebuah kotak perak, belasan kaleng bundar yang terbuat dari perak murni. Di pinggir meja terdapat sebuah baskom besar yang juga terbuat dari perak.

Dalam baskom berisi air hangat, Giok Ling-long menurunkan tangan ke dalam baskom untuk mengukur suhu panas air, apakah sesuai dengan kebutuhan Toa-siocia yang satu ini. Meski sudah lanjut usia, sudah patut menjadi nenek, tapi gaya dan gerak-geriknya tidak kelihatan tua. Apalagi dipandang dari belakang, gerak kaki maupun tangan, kepala maupun sekujur badannya, demikian pula kerlingan matanya tetap terlihat muda dan manis serta luwes. Bila lebih diperhatikan, maka akan terasa dia belum tua, bukan nenek peyot. Ya, harus maklum karena Giok ling-long tidak pernah merasa dirinya tua.

“Silakan minum sepuasnya, aku akan mulai bekerja,” demikian kata Giok Ling-long dengan tertawa, “Aku tidak pernah minum arak, tapi tidak pernah pula melarang orang minum arak. Aku malah senang melihat orang minum.”

Toa-hoan tertawa, katanya, “Biasanya aku pun demikian, melihat orang minum jauh lebih nikmat daripada aku sendiri yang minum.”

Giok Ling-long sependapat, katanya, “Ada orang mabuk yang mengoceh tidak karuan, membuat ribut dan brengsek, tapi ada juga orang mabuk yang menjadi patung malah, sepatah kata pun tidak mau bicara. Ada juga orang mabuk yang menangis, ada yang tertawa ngakak, aku jadi geli dan senang melihat tingkah lakunya yang lucu.” Mendadak dia bertanya kepada Ma Ji-liong, “Bagaimana keadaanmu setelah mabuk?”

“Aku tidak tahu,” Ma Ji-liong menjawab. Memang tiada orang tahu bagaimana keadaan diri sendiri waktu mabuk. Seseorang bila mabuk pikirannya seperti meninggalkan badan. Setelah sadar akan merasa lidahnya terbakar, tenggorokannya kering, kepala pusing. Persoalan apa pun dilupakan, persoalan yang harus diukir dalam sanubari dilupakan, sebaliknya persoalan yang harus dilupakan justru terukir di dalam sanubarinya.

Giok Ling-long tertawa, katanya, “Sejak muda sampai setua ini usiaku, hanya pernah kulihat dua pria yang betul-betul cakap dan tampan. Kau adalah salah satu diantaranya. Aku percaya umpama sudah mabuk tampangmu msih kelihatan bagus.”

Ji Ngo bergelak tawa, serunya, “Bagaimana keadaannya setelah mabuk, sebentar dapat kau saksikan sendiri.”

Kali ini Ma Ji-liong bertahan lebih lama baru mulai sinting. Setelah habis tiga guci baru betul-betul mabuk. Sambil minum ia memperhatikan gerak-gerik Giok Ling-long.

Setelah merendam sepasang tangannya di air panas dalam baskom, lalu diambilnya handuk kecil untuk mengeringkan telapak tangannya. Dari sebuah kotak perak ia mengeluarkan sebilah pisau lengkung kecil lalu mulai membersihkan kuku jari.

Apa pula isi peti perak itu?

Setelah membersihkan kuku, dari tujuh delapan kaleng yang berbeda-beda di atas meja itu, ia menuang tujuh delapan jenis obat yang berbeda warna. Ada puyer, ada cairan seperti minyak, ada kuning dan kelabu, ada juga yang berbuih biru. Tujuh delapan bahan obat yang berbeda itu ia tuang ke dalam baskom yang lebih kecil lalu diaduk dengan sendok perak.

Ma Ji-liong tahu ramuan obat itu merupakan persiapan pertama untuk mengubah bentuk wajah orang. Melakukan kerja apa pun kalau sebelumnya sudah dipersiapkan secara teliti dan baik, buah karyanya tentu amat bermutu.

Setelah tiga guci arak masuk ke perut Ma Ji-liong, pikirannya mulai kabur, “Giok Ling-long pandai merias wajah orang, yang jelek menjadi cantik, yang tua menjadi muda demikian pula sebaliknya. Kenapa dia tidak merias wajah sendiri? Mengubah dirinya menjadi nona jelita?”

Seperti dapat meraba jalan pikiran Ma Ji-liong saja, Giok Ling-long berkata, “Aku hanya bekerja untuk orang lain, tak pernah bekerja untuk diriku sendiri.” Sembari tertawa ia melanjutkan, “Sebabnya, umpama aku berubah menjadi muda, katakanlah berhasil menipu orang lain, tetap tidak bisa menipu diriku sendiri.” Suaranya menjadi tawar, lalu menyambung dengan suara keras, “Kerja untuk membohongi orang lain bisa kukerjakan, menipu diri sendiri aku emoh melakukannya.”

Sembari bicara tangannya merogoh peti perak. Ia mengeluarkan beberapa jenis alat dan perkakas yang semuanya terbuat dari perak. Ada gunting, pisau, obeng, dan sekop kecil, ada juga gergaji mini.

Untuk apa ia mempersiapkan alat-alat itu?

Kalau Ji-liong belum mabuk, masih segar bugar, melihat perkakas yang dipersiapkan untuk mengoperasi dirinya, mungkin dia akan cepat-cepat kabur alias angkat langkah seribu. Sayang badannya lunglai oleh pengaruh arak yang ada di perutnya. Keadaan Ma Ji-liong sudah hampir mabuk. Satu kejadian yang masih sempat terlintas dalam benaknya adalah jari-jari Giok Ling-long meraba, memijat, dan mengelus wajahnya. Tangan orang terasa halus, dingin, gerakannya lincah lagi lembut.

Tidak ada komentar: