Harkat Pendekar 16-20
HARKAT PENDEKAR
Saduran : Gan K. H
Bagian 16 - 20
Enam puluh tahun yang lalu, di dunia kangouw ada tiga pasang tangan manusia yang terkenal dan dikagumi, yaitu Bu-ceng-thiat-jiu, Sin-tho-biau-jiu dan Ling-long-giok-jiu.
Thiat-jiu-bu-ceng (Tangan Besi Tidak Kenal Ampun), setiap beroperasi tidak ada korban yang hidup meskipun hanya sekejap saja.
Biau-jiu-sin-tho (Maling Sakti Bertangan Lincah), barang apa saja yang tidak mungkin dicuri orang lain, dengan mudah dapat diambilnya.
Giok-jiu-ling-long (Tangan Kumala Ahli Operasi), tidak ada orang tahu, sepasang tangan ini dapat melakukan apa saja yang sebetulnya tidak masuk akal, kenyataannya ia justru dapat menciptakan sesuatu yang aneh dan ganjil, namun nyata. Dalam jangka setengah jam, seseorang bisa dirubah bentuk wajahnya menjadi orang lain oleh keprigelan kedua tangannya itu.
Ilmu tata rias dan ilmu operasi yang dikuasainya sedemikian bagus dan sempurna, kecuali Toa-sin-thong Biau-hoat-thian-ong dari Persia, tiada orang kedua di Tionggoan yang dapat menandinginya.
---------------00000--------------------
Sekarang Ma Ji-liong paham, “Ji Ngo mau menyisir rambutnya karena hendak meminta bantuannya memproses diriku menjadi Thio Eng-hoat, begitu?”
“Betul.”
“Kalian memilih tempat ini karena kaum persilatan tiada yang berkeliaran di sini?”
“Betul.”
“Para petugas itu pura-pura bisu, tuli, dan buta karena mereka memerlukan bantuan Ji Ngo, maka mereka memberi kesempatan kepadanya?”
“Betul, memang demikian.”
“Aku difitnah sebagai pembunuh kejam, sudah kepepet, dan tidak bisa mungkir, maka kalian berdaya upaya untuk menyelamatkan diriku?”
“Tidak benar,” tukas Toa-hoan tegas, suaranya berat dan serius. “Ji Ngo percaya kepadamu, prihatin akan nasibmu, aku pun mempercayai dirimu, kami yakin kau difitnah, dijadikan kambing hitam. Kami juga sadar, watakmu angkuh, tidak gampang membujukmu merendahkan diri menjadi majikan sebuah toko serba ada yang tiada artinya.”
Lama Ma Ji-liong menepekur tanpa suara. Darahnya mendidih, tenggorokannya tersumbat, agak lama kemudian dia baru bertanya dengan serak, “Kenapa kau percaya kepadaku?”
“Seseorang pembunuh di kala buron, jiwa sendiri susah diselamatkan, mana mungkin mau menyelamatkan jiwa orang lain yang terpendam di bawah salju, menolong seorang gadis jelek yang hampir mati kaku kedinginan. Maka aku percaya di balik persoalan ini pasti ada lika-liku yang patut diselidiki.”
Ma Ji-liong tidak bicara, perasaannya sukar dilukiskan dengan rangkaian kata.
Toa-hoan berkata pula, “Kau harus percaya, keadilan dan kebenaran masih tegak di dalam dunia, kejahatan harus ditumpas, muslihat keji juga harus dibongkar, akan datang saatnya fitnah atas dirimu akan terungkap, hal ini hanya soal waktu saja.” Perlahan ia menggenggam tangan Ma Ji-liong, lalu menambahkan, “Yang penting kau yakin, demi membongkar kejahatan ini, sudilah kau merendahkan derajatmu sementara.”
Ma Ji-liong masih termenung beberapa kejap, mendadak ia bertanya, “Di mana letak toko serba ada itu?”
“Di sebuah gang sempit di kota sebelah barat, langgananmu adalah penduduk sekitarnya, mereka adalah rakyat jelata dari kalangan sedang dan rendah, semua berhati baik dan sederhana, keluarga-keluarga yang cukup untuk sesuap nasi setiap hari, penduduk di sana jarang mau mencampuri urusan orang lain,” Toa-hoan menjelaskan, kemudian sambungnya lebih lanjut, “Pegawaimu she Thio, orang lain memanggilnya Lo-thio, kadang ia mencuri satu dua cawan arak di kamarnya, tetapi pegawai yang dapat dipercaya penuh.”
“Apakah ia tak curiga bila majikannya ganti orang lain?”
“Mata Thio-lausit sudah lamur, kupingnya juga agak tuli.”
“Umpama Lo-thio tidak mengenal perbedaanku, bagaimana dengan orang lain?”
“Orang lain?” Toa-hoan balas bertanya sambil tertawa geli. “Maksudmu bininya yang sakit-sakitan itu?”
Ji-liong tertawa getir, tanyanya pula, “Orang macam apakah dia?”
Toa-hoan tertawa, katanya, “Sebetulnya kau sudah pernah melihat dan mengenalnya.”
“Aku pernah melihat dan mengenalnya? Kapan aku pernah melihatnya?”
“Barusan bukankah kau sudah melihatnya?”
Ma Ji-liong melenggong, “Jadi gadis yang hampir mati tadi adalah...... adalah......” mendadak Ji-liong sadar salah omong, cepat ia menambahkan, “Apakah gadis tadi akan dijadikan isteri Thio Eng-hoat?”
“Sebetulnya bukan, tapi tak lama lagi akan diproses menjadi isteri Thio Eng-hoat, demikian pula dirimu, nanti setelah dioperasi akan menjadi Thio Eng-hoat tulen.”
“Siapakah dia sebetulnya?”
Toa-hoan terpekur, agaknya sulit memberi penjelasan, sikapnya jelas tak ingin memberi keterangan.
Tapi Ma Ji-liong mendesak, “Orang macam apakah dia? Urusan sudah berlarut sejauh ini, kau masih main rahasia terhadapku?”
Toa-hoan menarik napas panjang, katanya, “Ya, kalau aku masih main rahasia, rasanya memang keterlaluan.”
Ma Ji-liong diam.
“Ia she Cia bernama Giok-lun, lengkapnya Cia Giok-lun,” demikian Toa-hoan menerangkan.
“Ya, aku sudah tahu.”
“Dia seorang perempuan.”
“Memangnya aku tidak bisa membedakan laki-laki atau perempuan?”
Toa-hoan tertawa getir, katanya, “Kau pasti tahu aku sengaja mengulur waktu. Terus terang saja, aku tidak tahu betapa banyak urusan yang harus kuterangkan kepadamu.”
“Ya, berapa banyak yang akan kau beritahu kepadaku?”
Setelah termenung sejenak, Toa-hoan berkeputusan, “Baiklah, biar kujelaskan kepadamu. Tahun ini dia berusia 19 tahun, mungkin belum pernah menyentuh atau disentuh laki-laki.”
“Apa betul berusia 19 tahun?”
“Memangnya kau kira dia sudah nenek-nenek?”
“Kalau betul berusia 19 tahun, padahal ilmu silatnya setinggi itu, tembok ditabraknya ambrol, kekuatan sedahsyat itu, laki-laki berusia 91 tahun juga belum tentu mampu melakukannya!”
“Ilmu silatku tidak asor dibandingkan dia, apa kau kira aku sudah tua?”
Terkancing mulut Ma Ji-liong. Umpama dirinya goblok juga takkan berani mengatakan gadis jelek ini sudah tua.
Toa-hoan berkata, “Ilmu silat tidak diyakinkan secara serampangan, tinggi rendahnya lwekang seorang ahli silat tidak ada sangkut pautnya dengan usia dan besar kecilnya umur.”
“Aku mengerti.”
“Ilmu silatnya memang tinggi, para enghiong dan pendekar yang kau kenal di zaman ini, yakin tidak genap sepuluh orang yang mampu mengalahkan dia. Ia punya seorang guru yang baik, guru jempolan, lihai, sejak keluar dari rahim ibunya sudah belajar dan latihan silat.”
“Siapakah gurunya?” tanya Ma Ji-liong.
“Aku hanya berjanji menjelaskan perihal pribadinya, bukan tentang gurunya.”
“Baiklah, aku tidak tanya gurunya.”
“Tabiat nona itu tidak baik, maklum nona pingitan yang disayang, dalam segala hal ingin menang dan minta diladeni secara berlebihan, jika mendadak ia sadar dan tahu dirinya menjadi bini seorang pemilik toko serba ada yang kecil di kampung jorok di pinggir kota, mungkin dia bisa jadi gila.”
“Celaka kalau gilanya kumat, pemilik toko serba ada itu mungkin bisa digorok lehernya. Hal ini perlu kuperhatikan karena pemilik toko serba ada itu adalah diriku.”
Toa-hoan tertawa manis, katanya lembut, “Tentang hal itu tak perlu kuatir, dia tidak akan menggorok lehermu.”
“Bagaimana kau tahu dia tidak akan berlaku kasar terhadapku?”
“Ingat, dia sedang sakit, makin lama penyakitnya makin parah hingga sepanjang hari rebah di ranjang, berdiri pun tidak bisa.”
Jago silat kosen yang mampu menjebol tembok dengan langkah seenaknya, bagaimana mungkin mendadak jatuh sakit? Ma Ji-liong bukan laki-laki yang suka rewel, tidak suka bertanya, hatinya sudah membayangkan bagaimana datangnya penyakit itu. Kepandaian Toa-hoan cukup mampu membuat seseorang jatuh sakit dan itu bukan pekerjaan yang sukar.
Ma Ji-ling berkata, “Kelihatannya dia tidak mirip bini seorang pemilik toko.”
“Saat ini tidak mirip, sebentar lagi akan persis, kutanggung dia akan berubah persis bentuk aslinya.”
“Apa betul Giok Ling-long punya kemampuan selihai itu?”
“Betapa besar kemahirannya, boleh kau buktikan sendiri.”
Ma Ji-liong menghela napas, katanya, “Sebetulnya aku sih tidak ingin melihatnya.”
“Bila dia sadar nanti, dirinya sudah rebah di ranjang dalam kamar besar yang terletak di belakang toko serba ada itu.”
“Dan aku?”
“Sebagai suami, kau harus merawat dan menjaganya di pinggir ranjang, kalian adalah suami isteri yang hidup rukun belasan tahun lamanya.”
Ji-liong menyengir kecut, katanya, “Wah, bisa geger dan dia mungkin akan mencaci maki diriku.”
“Sudah pasti dia akan ribut, kau harus bersikap lebih sayang dan prihatin karena kesehatan isterimu makin buruk. Binimu itu she Ong bernama Kwi-ci. Sudah 18 tahun kalian menikah, tanpa dikaruniai anak seorang pun. Apa pun yang ia katakan, keributan apa saja yang ia lakukan, kau harus sabar, menjaga, dan meladeninya dengan penuh pengertian.”
“Bila aku membandel, berkata bahwa ia adalah isteriku sejak 18 tahun lalu, ia pasti bingung dan heran, bertanya-tanya dalam hati, siapa dia sebenarnya.”
“Syukur kau sudah mengerti.”
“Masih ada satu hal yang tidak kumengerti.”
“Coba jelaskan.”
“Aku tidak kenal siapa dia, tidak pernah bermusuhan, kenapa dia harus kuperlakukan demikian?”
“Karena kejadian ini amat berguna bagi dirimu, juga bermanfaat untuknya, dua pihak sama-sama mendapatkan keuntungan. Kurasa hanya dengan cara begini kau bisa mencuci bersih fitnah itu, membongkar muslihat keji ini,” sikap Toa-hoan menjadi serius, nada perkataannya tegas dan tulus. “Aku tahu sebagai pemuda jumawa, perbuatan yang merugikan orang lain ini tak sudi kau lakukan, kali ini anggaplah kau bekerja karena aku, demi diriku. Aku percaya padamu, maka paling sedikit kau juga harus percaya kepadaku. Lakukan apa yang telah kami atur dan rencanakan ini.”
Ma Ji-liong tidak bicara lagi, dia memang jumawa, tidak mau berhutang budi kepada orang lain. Tentang perbuatannya ini, setelah kejadian usai, apakah fitnah terhadap dirinya dapat dicuci bersih, hakikatnya tidak terpikir lagi olehnya.
Apa yang dilakukan Ma Ji-liong biasanya memang bukan untuk kepentingan pribadinya. Umpama ada orang bertanya kepadanya, “Orang macam apakah kau ini?” Jawabannya pasti berbeda dengan sebelum Ji-liong mengalami musibah. Setiap orang yang pernah mengalami siksa derita dan gemblengan hidup yang nyata, baru akan mengenal dirinya sendiri, maka ia bertanya, “Sekarang apa yang harus kulakukan?”
“Kau harus minum. Sekarang akan kusuguh arak kepadamu,” Toa-hoan tertawa lebar. “Ji Ngo di sini, kau juga di sini. Kalau kalian tidak diberi kesempatan minum sepuas-puasnya, bukankah aku ini tidak tahu diri?”
---------------000000------------
Di belakang kedua deret rumah itu terdapat rumah besar tunggal yang letaknya agak jauh. Wuwungan rumah berbentuk serong, tembok berwarna kelabu gelap. Siapa pun yang berada di tempat ini akan merasa seram dan bergidik.
Dilihat dari luar, dari bentuknya, orang akan membayangkan bahwa rumah besar ini adalah gudang mayat. Di dalam gedung inilah para petugas membedah mayat yang terbunuh, maka orang akan membayangkan di sana terdapat berbagai jenis alat dan perkakas, berbagai jenis pisau, juga ada ganco yang karatan, jarum, benang, dan masih banyak lagi benda-benda yang tak terpikir oleh orang.
Namun bila sudah masuk dan berada di dalam rumah itu, jalan pikiran akan berbalik berubah.
Di luar dugaan, rumah ini amat bersih, luas dan bercahaya, dinding bagian dalam putih bersih, jelas tidak lama baru dikapur. Meja dilembari taplak putih. Di meja ini tersedia enam menu masakan dan enam guci arak ukuran sedang. Empat guci diantaranya tersegel rapat, isinya adalah Sian-yang, dua guci yang lain adalah Li-ji-ang yang beratnya dua puluh kati.
Orang biasa bila melihat arak sebanyak itu, belum minum pun sudah mabuk.
Ma Ji-liong bukan orang biasa, terutama dalam hal minum meminum. Setiap melihat arak hatinya amat getol. Minum dan mabuk-mabukan memang bukan perbuatan baik, tapi berhadapan dengan Ji Ngo, kalau tidak minum, lebih baik menjahit mulut sendiri saja. Kali ini Ma Ji-liong akan membalas meloloh Ji Ngo hingga mabuk, ia sudah berkata dalam hati akan membatasi minum.
Ji Ngo sedang mengawasinya dengan senyum lebar, seolah sudah dapat menerka apa yang terpikir di dalam benaknya.
“Aku tahu kau gemar minum Li-ji-ang, sayang di tempat ini sukar memperoleh Li-ji-ang lebih dari dua guci.”
“Sian-yang juga arak bagus.”
“Mari kita habiskan dulu Li-ji-ang baru dilanjutkan dengan Sian-yang,” Ji Ngo tampak gembira, tawanya lebar. “Satu orang satu guci, setelah habis satu guci, minum arak lain juga akan sama.”
“Satu orang satu guci,” ujar Ma Ji-liong ke arah Toa-hoan, “Dia bagaimana?”
“Hari ini aku tidak minum,” Toa-hoan berkata dengan tertawa, “Giok-toasiocia memberi tahu kepadaku, perempuan kalau minum banyak bukan saja lekas tua, juga mudah ditipu orang.”
Ma Ji-liong menghela napas, ia maklum apa yang dipikir tadi tiada harapan dan tak mungkin terlaksana.
------------------00000-------------
Giok-toasiocia bukan lain adalah Giok Ling-long.
Giok Ling-long berda di rumah besar itu, duduk di depan sebuah meja. Meja besar dan panjang. Di atas meja menggeletak sebuah mainan jade dan sebuah kotak perak, belasan kaleng bundar yang terbuat dari perak murni. Di pinggir meja terdapat sebuah baskom besar yang juga terbuat dari perak.
Dalam baskom berisi air hangat, Giok Ling-long menurunkan tangan ke dalam baskom untuk mengukur suhu panas air, apakah sesuai dengan kebutuhan Toa-siocia yang satu ini. Meski sudah lanjut usia, sudah patut menjadi nenek, tapi gaya dan gerak-geriknya tidak kelihatan tua. Apalagi dipandang dari belakang, gerak kaki maupun tangan, kepala maupun sekujur badannya, demikian pula kerlingan matanya tetap terlihat muda dan manis serta luwes. Bila lebih diperhatikan, maka akan terasa dia belum tua, bukan nenek peyot. Ya, harus maklum karena Giok ling-long tidak pernah merasa dirinya tua.
“Silakan minum sepuasnya, aku akan mulai bekerja,” demikian kata Giok Ling-long dengan tertawa, “Aku tidak pernah minum arak, tapi tidak pernah pula melarang orang minum arak. Aku malah senang melihat orang minum.”
Toa-hoan tertawa, katanya, “Biasanya aku pun demikian, melihat orang minum jauh lebih nikmat daripada aku sendiri yang minum.”
Giok Ling-long sependapat, katanya, “Ada orang mabuk yang mengoceh tidak karuan, membuat ribut dan brengsek, tapi ada juga orang mabuk yang menjadi patung malah, sepatah kata pun tidak mau bicara. Ada juga orang mabuk yang menangis, ada yang tertawa ngakak, aku jadi geli dan senang melihat tingkah lakunya yang lucu.” Mendadak dia bertanya kepada Ma Ji-liong, “Bagaimana keadaanmu setelah mabuk?”
“Aku tidak tahu,” Ma Ji-liong menjawab. Memang tiada orang tahu bagaimana keadaan diri sendiri waktu mabuk. Seseorang bila mabuk pikirannya seperti meninggalkan badan. Setelah sadar akan merasa lidahnya terbakar, tenggorokannya kering, kepala pusing. Persoalan apa pun dilupakan, persoalan yang harus diukir dalam sanubari dilupakan, sebaliknya persoalan yang harus dilupakan justru terukir di dalam sanubarinya.
Giok Ling-long tertawa, katanya, “Sejak muda sampai setua ini usiaku, hanya pernah kulihat dua pria yang betul-betul cakap dan tampan. Kau adalah salah satu diantaranya. Aku percaya umpama sudah mabuk tampangmu msih kelihatan bagus.”
Ji Ngo bergelak tawa, serunya, “Bagaimana keadaannya setelah mabuk, sebentar dapat kau saksikan sendiri.”
Kali ini Ma Ji-liong bertahan lebih lama baru mulai sinting. Setelah habis tiga guci baru betul-betul mabuk. Sambil minum ia memperhatikan gerak-gerik Giok Ling-long.
Setelah merendam sepasang tangannya di air panas dalam baskom, lalu diambilnya handuk kecil untuk mengeringkan telapak tangannya. Dari sebuah kotak perak ia mengeluarkan sebilah pisau lengkung kecil lalu mulai membersihkan kuku jari.
Apa pula isi peti perak itu?
Setelah membersihkan kuku, dari tujuh delapan kaleng yang berbeda-beda di atas meja itu, ia menuang tujuh delapan jenis obat yang berbeda warna. Ada puyer, ada cairan seperti minyak, ada kuning dan kelabu, ada juga yang berbuih biru. Tujuh delapan bahan obat yang berbeda itu ia tuang ke dalam baskom yang lebih kecil lalu diaduk dengan sendok perak.
Ma Ji-liong tahu ramuan obat itu merupakan persiapan pertama untuk mengubah bentuk wajah orang. Melakukan kerja apa pun kalau sebelumnya sudah dipersiapkan secara teliti dan baik, buah karyanya tentu amat bermutu.
Setelah tiga guci arak masuk ke perut Ma Ji-liong, pikirannya mulai kabur, “Giok Ling-long pandai merias wajah orang, yang jelek menjadi cantik, yang tua menjadi muda demikian pula sebaliknya. Kenapa dia tidak merias wajah sendiri? Mengubah dirinya menjadi nona jelita?”
Seperti dapat meraba jalan pikiran Ma Ji-liong saja, Giok Ling-long berkata, “Aku hanya bekerja untuk orang lain, tak pernah bekerja untuk diriku sendiri.” Sembari tertawa ia melanjutkan, “Sebabnya, umpama aku berubah menjadi muda, katakanlah berhasil menipu orang lain, tetap tidak bisa menipu diriku sendiri.” Suaranya menjadi tawar, lalu menyambung dengan suara keras, “Kerja untuk membohongi orang lain bisa kukerjakan, menipu diri sendiri aku emoh melakukannya.”
Sembari bicara tangannya merogoh peti perak. Ia mengeluarkan beberapa jenis alat dan perkakas yang semuanya terbuat dari perak. Ada gunting, pisau, obeng, dan sekop kecil, ada juga gergaji mini.
Untuk apa ia mempersiapkan alat-alat itu?
Kalau Ji-liong belum mabuk, masih segar bugar, melihat perkakas yang dipersiapkan untuk mengoperasi dirinya, mungkin dia akan cepat-cepat kabur alias angkat langkah seribu. Sayang badannya lunglai oleh pengaruh arak yang ada di perutnya. Keadaan Ma Ji-liong sudah hampir mabuk. Satu kejadian yang masih sempat terlintas dalam benaknya adalah jari-jari Giok Ling-long meraba, memijat, dan mengelus wajahnya. Tangan orang terasa halus, dingin, gerakannya lincah lagi lembut.
Malam itu Ma Ji-liong hanya makan nasi dengan lauk ikan goreng lombok, satu macam menu saja, ada satu mangkuk kuah tulang daging babi juga tersedia di meja, semangkuk kuah ini untuk bininya yang sakit.
Bininya digotong ke atas ranjang dan diselimuti, sudah sadar, tapi rebah diam tidak bergerak, matanya melotot mengawasi langit-langit rumah.
Habis makan Ma Ji-liong merasa iseng, ia duduk santai di kursi malas yang terbuat dari rotan di sisi ranjang. Otaknya memikirkan banyak persoalan, mengenang masa lalu, segala kejadian dan perbuatan dirinya di masa lalu yang patut dibanggakan.
Apa betul perbuatannya dulu patut ia lakukan? Pantaskan diagulkan dan membuatnya bangga?
Manusia dengan manusia, kenapa terdapat jurang pemisah sebesar itu? Kenapa ada sementara orang hidup dalam kemelaratan? Kenapa ada juga orang yang hidup berkelebihan?
Ji-liong sadar, jika bisa memperpendek jarak antara manusia dengan manusia itu, barulah patut berbangga diri. Di sinilah letak kemajuan Ma Ji-liong, setelah merasakan, bisa meresapi, jika sekarang ia masih hidup dalam lingkungan lama, pasti tidak pernah Ma Ji-liong berpikir sejauh dan seluas ini.
Dalam mengarungi hidup, jika manusia mengalami proses hidup yang tidak menyenangkan, menderita pukulan lahir batin, bukankah kejadian itu langsung membawa manfaat bagi dirinya?
Toa-hoan berbuat demikian terhadap Cia Giok-lun, apakah lantaran sebab itu juga? Teringat akan hal ini, perasaan Ma Ji-liong menjadi lega malah, gejolak hatinya jauh lebih tenteram.
Ia yakin, meski belum pernah mengenal pribadi gadis ini, Cia Giok-lun pasti seorang gadis yang suka berbangga hati, gadis ini memang mempunyai nilai tinggi untuk membanggakan diri.
Entah sejak kapan Cia Giok-lun mengawasi dirinya, lama menatapnya. “Coba ulangi sekali lagi,” demikian pintanya dengan nada datar.
“Apa yang harus kuulangi?” tanya Ma Ji-liong.
“Katakan, kau siapa dan aku siapa?”
“Aku bernama Thio Eng-hoat, kau bernama Ong Kwi-ci.”
“Kita adalah suami isteri?”
“Ya, suami isteri sejak 18 tahun yang lalu, sejak menikah kita tinggal di sini membuka toko serba ada, dagang kecil-kecilan hingga sebesar ini, lumayan. Para tetangga di kampung ini siapa yang tidak kenal kau dan aku?” Ma Ji-liong menghela napas, lalu berkata pula, “Mungkin kau merasa kehidupan ini serba kekurangan, sudah bosan dan sebal tinggal di rumah bobrok ini, maka ingin melupakan pengalaman hidup masa lampau.” Ma Ji-liong berganti nada, “Sebenarnya kehidupan begini juga ada baiknya, paling sedikit kita hidup tenteram dan berkecukupan meski sederhana, hanya sayang kita tidak punya anak.”
Cia Giok-lun mendengar sambil menatapnya lekat. “Dengarkan,” katanya kemudian dengan nada tegas. “Aku tidak tahu dan tidak kenal kau siapa, juga tidak tahu apa yang telah terjadi atas diriku, tapi aku yakin kejadian ini kau lakukan karena disuap atau diperalat orang lain untuk membuatku celaka begini.”
“Siapa yang membuatmu celaka? Kenapa membuatmu celaka?”
“Apa betul kau tidak tahu siapa diriku yang sebenarnya?”
Ma Ji-liong memang tidak tahu, tapi dia bertanya, “Kau kira kau ini siapa?”
Cia Giok-lun menyeringai dingin, katanya, “Kalau kau tahu siapa diriku, kau bisa mati saking kagetnya.” Nadanya tinggi mengandung rasa bangga dan jumawa, “Aku putri malaikat, tiada perempuan di dunia ini yang bisa menandingi aku, setiap saat aku bisa membuatmu kaya raya, tapi juga bisa membunuhmu. Oleh karena itu, lekas kau antar aku pulang, kalau tidak akan datang suatu hari aku akan mengiris tubuhmu untuk dimakan anjing.”
Gadis ini memang jumawa, terlalu membanggakan diri, tidak pandang sebelah mata kepada orang lain, jiwa raga orang lain tidak berharga sama sekali, kecuali dirinya, jiwa siapa pun tidak ada nilainya. Perempuan galak dan bawel seperti ini memang pantas dihajar adat, biar merasakan sedikit derita, biar kapok, kejadian ini akan membawa manfaat bagi dirinya.
Ji-liong menghela napas, katanya, “Penyakitmu kumat lagi, lekas tidur saja.” Setelah melontarkan ucapannya, baru Ji-liong sadar, masalah tidur menjadi persoalan bagi dirinya. Di dalam rumah itu hanya ada satu ranjang, di mana ia harus tidur malam ini?
Tentu Cia Giok-lun juga memikirkan hal ini, mendadak ia berteriak, “Awas, berani kau tidur di sini, berani kau menyentuh aku, aku akan.... aku akan.....” Ia tak meneruskan omongannya.
Bahwasanya ia takkan berbuat apa pun terhadap gadis yang berdiri pun tidak kuat, kalau Ma Ji-liong mau berbuat kasar dan main kekerasan, jelas gadis ini takkan mampu melawan.
Untung Ma Ji-liong tidak berbuat apa-apa terhadapnya. Ma Ji-liong memang pemuda yang tulus lagi bijak, tidak sia-sia namanya menjulang tinggi dalam percaturan dunia persilatan, hakikat seorang pendekar memang melekat pada dirinya.
Ma Ji-liong adalah laki-laki sejati, sehat lagi kuat dan normal, pernah melihat wajah dan tubuhnya yang polos semampai, tahu bahwa gadis ini rupawan lagi jelita. Dalam kamar yang remang-remang, di atas ranjang yang tertutup kain mori...... Pandangan sekilas itu terukir dalam relung hatinya, seumur hidup takkan terlupakan. Tapi Ma Ji-liong adalah Ma Ji-liong, pendekar muda, harkat pendekar melekat pada pribadinya, maka Ma Ji-liong tidak berbuat apa-apa, tindakan maupun perkataan.
Walau jalan pikirannya sudah berubah, sekarang Ma Ji-liong sadar dirinya tidak perlu membanggakan diri seperti dulu, tapi ada sementara perbuatan yang tak mungkin mau ia lakukan, umpama memaksa dengan mengancam akan membunuhnya juga pantang ia lakukan. Hal ini saja patut membuat dirinya bangga.
----------------------------ooo00ooo--------------------------
Hidup ini berkembang, berlalu dari hari ke hari, dari minggu menjadi bulan, lambat laun Cia Giok-lun menjadi betah dan tenang, meski tanpa kerja dan hanya berbaring saja di atas ranjang dengan tenteram dan damai, hanya tidak bisa bergerak atau turun dari ranjang. Maklum, bila seorang menghadapi kenyataan apa boleh buat, siapa pun akan menerima nasib secara penuh kesabaran, penuh pengertian. Memangnya mau apa kalau tidak sabar, apa yang bisa dilakukan, umpama menjadi gila, ribut dan bergulingan di tanah, kecuali nekad menumbukkan kepala ke tembok untuk bunuh diri.
Lalu bagaimana dengan Ma Ji-liong selama ini?
Tata kehidupan ini jelas bertolak belakang dibanding kehidupannya sebagai anak hartawan, sebagai pendekar muda yang gagah terkenal, kini hidup terpencil dalam sebuah rumah, setiap hari mendampingi wanita yang tidak bisa berbuat apa-apa, malah harus meladeninya dengan penuh kesabaran, putus hubungan dengan orang-orang yang ia kenal, dengan keluarganya. Orang-orang yang dulu ia pandang rendah dan bodoh serta miskin, sekarang ia temukan gambaran lain di balik kemiskinan mereka yang bijak lagi sederhana itu.
Datang saatnya ia juga merasa risau lagi bebal, bosan dan murung, ingin keluar mencari berita, pergunjingan apa yang telah terjadi di Kangouw selama ini, ingin pergi mencari Toa-hoan dan Ji Ngo. Sayang dalam keadaan dirinya sekarang, meski keinginan teramat besar dan susah dibendung, namun orang lain tidak mengizinkan ia berbuat demikian. Karena ia juga sadar bahwa dirinya sekarang adalah Thio Eng-hoat, walau bukan Thio Eng-hoat tulen.
------------------------ooo00ooo--------------------------
Beberapa hari ini, secara beruntun menjelang maghrib, tokonya kedatangan seorang pembeli. Orang yang membuka toko jamak kalau kedatangan pembeli yang membutuhkan sesuatu untuk keperluan hidup sehari-hari. Tapi lain dengan pembeli yang satu ini, pembeli aneh, karena setiap datang selalu membeli dua puluh butir telur ayam, dua kilo kertas merang, dua kilo garam dan sekati arak beras merah.
Adalah lumrah bila orang punya duit setiap hari makan telur, tapi jarang ada orang yang makan dua puluh butir telur setiap hari, untuk apa pula dua kilo kertas merang dan garam, siapa pun pasti akan menaruh perhatian dan prasangka. Kejadian ini memang aneh dan mencurigakan, tapi pembeli itu justru tidak merasa aneh. Telur ayam, kertas merang, garam dan arak adalah barang biasa untuk keperluan sehari-hari. Pembeli itu seorang laki-laki berperawakan tinggi agak kurus dengan muka legam, tak ubahnya lelaki umumnya, hanya sikap dan tindak-tanduknya saja yang kelihatan agak gelisah, gugup dan keletihan.
Hingga pada suatu hari, tepatnya pada hari kedelapan, kebetulan nyonya muda yang hamil tua juga melihatnya di depan toko. Setelah pembeli aneh itu pergi, baru nyonya muda hamil tua itu bertanya dengan setengah berbisik kepada Ma Ji-liong, “Siapakah orang ini? Belum pernah aku melihatnya?” Sejak itu baru Ma Ji-liong menaruh perhatian.
Nyonya muda itu dilahirkan dan dibesarkan di kampung ini, setiap penduduk di kampung ini ia kenal dengan baik. Dasar perempuan yang satu ini memang cerewet, maka ia bertanya lagi dengan nada tegas, “Eh, siapakah dia? Laki-laki ini pasti bukan penduduk asli, dulu pasti tak pernah datang ke mari. Entah kalau penduduk baru yang pindah belum lama ini.”
-------------------------ooo00ooo-------------------------
Diam-diam Ma Ji-liong menaruh perhatian terhadap pembeli yang misterius ini, memperhatikan secara seksama. Sebetulnya Ma Ji-liong tidak berpengalaman dan tidak mahir membuat penyelidikan, apalagi mencari tahu asal-usul orang lain. Tuan muda yang dilahirkan dari keluarga besar dan kaya raya seperti dirinya, biasanya jarang dan bukan kegemarannya untuk mencari tahu hal-ihwal orang lain. Kalau memerlukan suatu keterangan, cukup memberi perintah pada orang untuk mencari tahu, kapan pula ia pernah turun tangan sendiri. Tapi dari pengamatan yang cermat, apalagi setelah beberapa bulan hidup prihatin, Ji-liong mendapatkan beberapa titik persoalan yang ganjil pada laki-laki langganannya yang baru ini.
Perawakan laki-laki itu kurus tinggi, tapi tangan dan kakinya luar biasa kasar dan kuat. Waktu mengambil barang dan mengulurkan uang, selalu bergerak ragu-ragu tetapi cepat dan tangkas, seperti ingin menyembunyikan tangannya yang panjang dan besar, maksudnya supaya orang tidak memperhatikan tangannya, tapi justru tingkah-lakunya yang takut-takut ini malah menarik perhatian Ma Ji-liong.
Setiap hari menjelang maghrib, di saat penduduk sekitarnya siap makan malam, saat itu jarang ada penduduk di luar atau berlalu-lalang di jalanan.
Perawakan lelaki ini memang tinggi, satu kepala lebih tinggi dari Ma Ji-liong, kakinya kekar, kasar lagi kuat, lengannya bergerak enteng, setiap datang hampir tidak terdengar langkah kakinya, tahu-tahu orangnya sudah berdiri di depan toko. Sore hari itu kebetulan turun hujan, jalan kampung becek dan licin, tapi sepatu rumput laki-laki ini tidak kelihatan kotor seperti sepatu orang lain yang berjalan di tanah becek.
Musim dingin sudah lewat, musim semi pun menjelang, tapi hawa masih terasa dingin. Orang lain masih memakai baju tebal, tapi laki-laki ini hanya berpakaian tipis saja, namun tidak kelihatan kedinginan.
Betapapun Ma Ji-liong pernah berkecimpung di Kangouw, meski belum lama dan tak banyak pengalaman, namun berdasarkan beberapa kenyataan itu, ia menarik kesimpulan bahwa lelaki ini pasti pernah meyakinkan ilmu silat, malah ilmu silat yang hebat dan lihai, sepasang telapak tangannya kasar, mungkin pernah meyakinkan Thi-soa-ciang, Ilmu Pukulan Pasir Besi, atau sejenisnya.
Seorang jago Bulim setiap hari membeli telur ayam, kertas, garam dan arak untuk keperluan apa? Kalau menyembunyikan diri dari pengejaran musuh yang menuntut balas kepadanya, rasanya tidak perlu setiap hari membeli barang-barang itu.
Jika anak buah Ji Ngo yang diutus ke sini untuk menjaga dan melindungi Ma Ji-liong berdua, rasanya tidak perlu melakukan langkah-langkah yang bisa mengundang perhatian orang.
Mungkinkah Khu Hong-seng, Coat-taysu dan lain-lain sudah tahu adanya gejala-gejala tidak normal di toko serba ada ini, maka mengirimkan anak buah untuk mengawasi gerak-geriknya?
Kalau betul demikian, kan tidak perlu membeli dua puluh butir telur ayam dan dua kilo kertas dan garam setiap harinya?
Beberapa persoalan ini sukar mendapatkan jawabannya. Persoalan yang tidak bisa dimengerti lebih baik tak usah dipikir, tapi Ma Ji-liong mulai tertarik oleh kejadian ini.
Setiap orang pasti menaruh perhatian terhadap sesuatu menurut kesenangannya, demikian pula Ma Ji-liong dan Cia Giok-lun pun tak terkecuali, lama-kelamaan ia pun tahu adanya pembeli aneh setiap maghrib yang mencurigakan itu, maka suatu petang Cia Giok-lun bertanya, “Orang yang kalian bicarakan itu, apa betul seorang laki-laki?”
“Sudah tentu laki-laki.”
“Mungkinkah samaran perempuan?” tanya Cia Giok-lun.
“Tidak mungkin, pasti lelaki tulen.”
Walaupun bukti sudah di depan mata, Ma Ji-liong sudah berkenalan langsung dengan keajaiban tata rias, tapi ia percaya lelaki pembeli garam itu pasti bukan perempuan yang menyamar.
Dilihatnya Cia Giok-lun memperlihatkan rasa kecewa.
Ma Ji-liong merasa pertanyaan orang agak aneh, maka ia balas bertanya, “Kenapa kau tanya dia laki atau perempuan? Kau mengharap pembeli itu seorang perempuan?”
Lama Cia Giok-lun diam tidak memberi jawaban. Setelah menghela napas, baru dia berkata, “Kalau perempuan, mungkin sekali sedang berusaha menolong aku.”
Mengapa kalau pembeli itu perempuan, maka akan menolong dirinya?
Ma Ji-liong tidak bertanya, ia hanya berkata tawar, “Delapan belas tahun kau menikah dengan aku, selama ini aku baik terhadapmu, kenapa orang lain harus menolongmu dan membawamu pergi?”
Cia Giok-lun melotot gemas setiap membicarakan hal ini, sorot matanya memancarkan derita, dendam dan kebencian. Bila terjadi perubahan pada mimik dan sikap perempuan yang satu ini, Ma Ji-liong lekas menyingkir, tidak tega dan kasihan, tidak berani ia bertatap muka dan beradu pandang dengannya.
------------------------ooo00ooo----------------------------
Suatu malam, belum lama setelah laki-laki misterius itu datang membeli keperluan yang itu-itu juga, nyonya muda yang hamil tua itu datang lagi dengan langkahnya yang gontai seperti bebek, sikapnya kelihatan tegang lagi gugup, tapi juga bangga. “Aku sudah tahu, aku sudah tahu,” napasnya sedikit memburu. “Aku tahu di mana orang itu tinggal.”
Sungguh heran, Thio-lausit yang biasanya tak banyak mulut dan tidak mau mencampuri urusan orang lain, kali ini bertanya, “Dia tinggal di mana?”
“Tinggal di rumah To Po-gi,” nyonya muda itu menerangkan. “Dengan mata kepalaku sendiri kulihat dia masuk ke sana.”
To Po-gi adalah kepala opas di wilayah kampung itu, kabarnya dulu pernah berlatih silat, tapi dia sendiri tidak pernah bilang atau mengagulkan diri, tidak ada orang yang pernah melihat ia berlatih silat. Ia menempati sebuah rumah setengah permanen yang cukup besar menurut ukuran rumah penduduk di sekitarnya, rumahnya bertembok dengan genteng merah.
Seorang kepala opas tentu punya banyak kawan, pergaulan luas. Kalau ada teman yang tinggal di rumahnya, sepatutnya tak perlu dibuat heran. Tapi keluarga To Po-gi hanya terdiri dari suami-isteri saja tanpa anak, ditambah seorang tamu, umpama tiap hari mampu menghabiskan dua puluh butir telur ayam, rasanya tak mungkin makan dua kilo garam. Isteri To Po-gi juga bukan pedagang makanan atau mengerjakan sesuatu yang memerlukan garam sebanyak dua kilo setiap harinya, dua kilo garam cukup membuat tiga orang itu kering menjadi ikan asin.
Nyonya muda itu berkata pula, “Tadi sengaja aku bermain ke rumah To Po-gi dan berbincang-bincang dengan isterinya, dari depan aku berkeliling ke belakang, namun bayangan orang itu tidak kelihatan, padahal jelas aku melihat dia masuk ke rumah itu. Secara bisik-bisik aku bertanya pada bini To Po-gi, untuk apa setiap hari orang itu membeli dua kilo garam? Entah kenapa, dengan suatu alasan yang kurang wajar, To Po-gi mendadak mengajak ribut mulut dengan bininya. Tanpa mendapat jawaban, terpaksa aku mengeluyur pulang.”
Thio-lausit hanya mendengarkan, mendadak dia bertanya pada perempuan itu, “Hari ini kau tidak membeli gula merah?”
“Hari ini aku tidak membeli apa-apa.”
“Juga tidak membeli kecap?”
“Kecapku belum habis.”
Thio-lausit menarik muka, katanya, “Kalau begitu, kenapa tidak lekas kau pulang tidur saja?”
Nyonya muda itu berkedip-kedip matanya, sejenak berdiri melongo, tanpa bicara lagi lekas ia mengeluyur pulang.
Thio-lausit bersiap menutup toko, mulutnya menggerundel, “Mencampuri urusan orang lain tidak baik. Aku paling benci melihat tampang yang suka mencampuri urusan orang lain.”
Ma Ji-liong mengawasinya, mendadak ia menemukan sesuatu yang aneh pada orang jujur ini, untuk pertama kalinya Ma Ji-liong merasakan adanya keanehan pada Thio-lausit yang jujur dan setia ini.
Seperti biasanya, malam itu Ma Ji-liong menggelar tikar untuk tidur di lantai di pinggir ranjang. Tapi dia tidak bisa tidur.
Agaknya Cia Giok-lun juga tidak bisa tidur, mendadak ia bersuara, “He, kau belum tidur?”
“Hampir saja pulas, tapi belum tidur.”
Orang yang sudah tidur mana mungkin diajak bicara.
“Kenapa kau tak bisa tidur?” Cia Giok-lun bertanya. “Apa kau sedang memikirkan persoalan orang itu?”
“Persoalan apa?” sengaja Ma Ji-liong balas bertanya.
“Bila opas itu pernah meyakinkan ilmu silat, mengapa kau tidak menduga kalau dulu ia seorang begal atau penjahat besar? Orang yang tiap hari membeli garam itu adalah komplotannya, kehadirannya di sini mungkin sedang merencanakan sesuatu?”
“Maksudmu melakukan kejahatan? Apa sangkut-pautnya dengan membeli garam?” bantah Ma Ji-liong. “Apa pula sangkut-pautnya dengan kita?”
“Siapa tahu dia menaksir tokomu dan akan merampoknya habis, membeli garam hanya untuk mencari tahu seluk-beluk tokomu ini.”
Tak tahan Ma Ji-liong bertanya, “Ada barang penting atau berharga apa di toko kita yang harus direbut orang lain?”
“Hanya ada satu.”
“Satu yang mana?”
“Akulah yang mereka incar.”
“Kau kira mereka hendak merebut atau menculik dirimu?” Kali ini Ma Ji-liong tidak bisa tertawa, karena ia maklum rasa kuatir Cia Giok-lun memang beralasan.
Mendadak Cia Giok-lun menghela napas, katanya, “Mungkin kau memang tidak tahu siapa aku sebenarnya, tapi kau harus percaya, jika aku jatuh ke tangan kawanan penjahat itu........” Suaranya menjadi lemah, lidah seperti kaku, seolah-olah membayangkan akibat yang mengerikan, sorot matanya tampak panik dan takut. Sesaat lamanya baru ia mendesah pula, “Selama ini aku tidak habis pikir, kenapa kau berbuat begini terhadapku, tapi setelah hidup bersama dalam rumah ini sekian bulan, aku juga sudah melihat dan tahu, kau bukan orang jahat, sukalah kau menolong aku mencari tahu asal-usul orang itu.”
“Bagaimana aku harus mencari tahu asal-usulnya?” tanya Ma Ji-liong.
Mendadak Cia Giok-lun tertawa dingin, katanya, “Kau kira aku tidak tahu bahwa kau juga pandai silat, umpama betul kau adalah pemilik toko serba ada ini, dulu kau pasti pernah berkecimpung di Kangouw, mungkin seorang terkenal di Bulim, aku menilai ilmu silatmu tidak rendah.”
Ji-liong menunduk bungkam. Seorang pesilat kosen yang sudah belasan tahun berlatih ilmu silat, banyak segi dan kondisi yang berbeda dengan orang biasa. Ia percaya apa yang dikatakan Cia Giok-lun memang benar, setiap hari orang selalu memperhatikan gerak-geriknya. Maklum Cia Giok-lun memang benar, setiap hari orang selalu ia perhatikan, tiada buku yang dapat ia baca di rumah ini.
Cia Giok-lun menatapnya sekian lama, lalu katanya, “Kalau kau tidak melaksanakan permintaanku ini, aku akan........”
“Kau akan apa?”
“Sejak saat ini aku akan mogok makan dan minum, yang pasti aku sudah tidak ingin hidup tersiksa seperti ini.”
Akal bagus dan tepat. Sudah tentu Ma Ji-liong tidak akan membiarkan dia mati kelaparan.
“Bagaimana?” desak Cia Giok-lun.
“Kapan aku harus melakukannya?”
“Sekarang, sekarang juga harus kau lakukan,” sejenak ia berpikir, lalu menambahkan, “Kau harus berganti pakaian hitam, menutup kepala dengan kain hitam pula. Jika jejakmu ketahuan orang dan dia mengejarmu, jangan langsung lari pulang. Aku tahu kau pun tidak suka kalau asal-usulmu diketahui orang, benar tidak?” Ternyata perempuan ini juga paham lika-liku kehidupan kaum persilatan.
Cia Giok-lun berkata lebih lanjut, “Kau harus bekerja menurut petunjukku, aku sendiri belum pernah berbuat seperti apa yang kuanjurkan tadi, tapi ahli Kangouw mengajarkan dan memberi petunjuk kepadaku.” Setelah menghela napas ia menyambung, “Aku rela dan tinggal diam selama ini di atas ranjang yang menyebalkan ini, dengan satu tekad: apa yang terjadi, apa yang kualami ini, akan datang suatu hari nanti seorang pasti datang menjelaskan kejadian sebenarnya, maka jangan kau biarkan orang lain mencariku. Kalau kau abaikan peringatanku, kita berdua bisa mati konyol.”
Ma Ji-liong hanya mendengarkan, hanya tertawa getir. Selama hidup belum pernah ia bertindak sembunyi-sembunyi, tapi kali ini harus bekerja secara diam-diam macam panca-longok saja.
-------------------------ooo00oo---------------------------
Larut malam.
Keluarga miskin, karena kerja keras di siang hari, umumnya penduduk kampung beristirahat lebih dini. Kecuali menghemat minyak, juga untuk mengejar hiburan, menikmati kesenangan yang bisa dilakukan di dalam rumah gelap, tanpa merogoh kantong. Mungkin juga ada berbagai alasan lain, maka mereka selalu tidur pagi-pagi.
Jalan kampung yang sempit panjang itu gelap gulita tiada lampu, juga tak ada orang lewat. Sesekali hanya terdengar anjing menggonggong dan kucing brengsek yang lagi bermain cinta.
Dengan Ginkang yang tinggi Ma Ji-liong keluar dari toko serba ada, pakaiannya ketat serba hitam, dengan kain penutup kepala hitam pula, yang kelihatan hanya sepasang matanya saja.
Menetap tiga bulan lebih di kampung itu, Ma Ji-liong pernah juga keluyuran ke rumah tetangga, maka ia tahu di mana letak rumah To Po-gi. Rumah To Po-gi dibangun dengan batu bata dan genteng merah, seluruhnya ada lima bangunan rumah, tiga terang dua gelap, namun lampu sudah dipadamkan. Di belakang rumah ada pekarangan yang tidak begitu besar, di sebelah kiri pekarangan ada dapur, ada gudang kayu, di bagian tengah ada sebuah sumur.
Hampir empat bulan lamanya Ma Ji-liong tidak pernah latihan, malam ini ia mengembangkan Ginkangnya yang tinggi, dengan seksama memeriksa dari luar hingga ke belakang rumah To Po-gi. Tapi tiada sesuatu yang ditemukan, tiada yang menarik perhatian, suara apa pun tidak terdengar.
Isteri To Po-gi masih muda, segan ia mengintip kamar tidur orang dari jendela. Setelah yakin tiada sesuatu yang berhasil diselidiki, segera ia pulang ke rumah.
-------------------------------ooo00ooo--------------------------
Cia Giok-lun belum tidur, matanya masih terbuka lebar, melotot mengawasi langit-langit rumah yang gelap, ia menunggu dengan penuh kesabaran. Dengan terbelalak ia mendengar laporan Ma Ji-liong, lalu menghela napas, katanya kemudian, “Aku keliru. Tadi aku bilang kau terkenal, sekarang baru aku sadar dugaanku ternyata keliru. Kenyataannya kau masih hijau, tidak paham seluk-beluk dan segi kehidupan kaum persilatan.”
Sebetulnya Cia Giok-lun tidak keliru. Seorang ternama belum tentu kawakan Kangouw, kawakan Kangouw belum tentu terkenal.
Ma Ji-liong tidak ingin berdebat, pokoknya dia sudah pergi melaksanakan tugas, memberi keterangan sesuai kenyataan.
Ternyata Cia Giok-lun tidak puas, ia menganggap Ma Ji-liong belum menunaikan tugasnya dengan baik, maka ia berkata, “Tempat yang tidak perlu diperiksa sudah kau periksa, tempat yang harus kau perhatikan justru kau abaikan.”
“Tempat apa yang harus kuperiksa?” tanya Ma Ji-liong.
“Kau sudah memeriksa dapur?” tanya Cia Giok-lun.
“Tidak,” Ma Ji-liong tidak mengerti. “Di dapur tidak ada orang, kenapa aku harus memeriksa dapur?”
“Kau harus periksa apakah dapur masih digunakan, apakah tungkunya masih hangat.”
Ma Ji-liong bingung, tidak habis mengerti. Dapur digunakan untuk memasak atau tidak, apa sangkut-pautnya dengan persoalan ini?
Cia Giok-lun berkata, “Pernahkah kau memeriksa sumur itu? Apakah sumur itu berair?”
“Kenapa sumur itu harus kuperiksa.”
“Karena dapur yang tidak dipakai, sumur yang tidak ada airnya adalah tempat bagus untuk bersembunyi. Di dalam dapur atau sumur bukan mustahil ada lorong rahasia di bawah tanah.”
Ma Ji-liong menghela napas, katanya, “Ahli silat yang mengajar berbagai segi kehidupan kaum persilatan kepadamu itu, agaknya luas sekali pengalamannya.”
“Betul, apa yang pernah kupelajari, sekarang kuajarkan kepadamu.”
“Maksudmu, aku harus ke sana lagi?”
“Lebih baik kau segera berangkat, periksa lagi dengan teliti.”
------------------------ooo00ooo-----------------------------
Tungku masih hangat, di pinggir tungku ada arang yang masih menyala, di atas tungku juga ada wajan yang berisi air hangat.
Sumur itu memang tidak ada airnya.
Apa betul orang itu bersembunyi di dasar sumur? Dasar sumur amat gelap, Ma Ji-liong tidak melihat apa-apa kecuali kegelapan.
Waktu kecil Ma Ji-liong pernah meyakinkan Pia-hou-kang (Ilmu Cecak Merambat). Untuk memeriksa keadaan dasar sumur tidak sukar, tapi kalau benar ada orang bersembunyi di dasar sumur, bila ia melorot ke bawah, tentu akan mudah disergap dan mungkin terbunuh secara konyol. Kalau betul orang itu buronan, jejaknya tentu pantang diketahui orang, maka jiwanya nanti takkan diampuni.
Dengan bekal kepandaiannya, Ma Ji-liong mungkin mampu mempertahankan diri, mungkin juga mampu balas menyerang. Tapi kenapa harus menyerempet bahaya? Tiada alasan dan tujuan apa pun untuk berkorban secara konyol, ia sudah siap meninggalkan tempat itu, siap mendengarkan omelan Cia Giok-lun pula.
Walau belum pernah menikah, belum menjadi suami, namun Ma Ji-liong sudah maklum, sudah paham, seorang suami kalau selalu diomeli isterinya yang cerewet, bagaimana rasa dan keadaannya.
Sebelum Ma Ji-liong beranjak meninggalkan mulut sumur, mendadak didengarnya suara dingin berkumandang dari dasar sumur, “Thio-laupan, kau sudah datang?” Suaranya serak rendah, betul adalah suara pembeli garam itu, Ji-liong kenal suaranya. Sebelum dirinya melihat persembunyiannya, orang sudah tahu kedatangannya.
Ma Ji-liong tertawa getir, sahutnya, “Ya, aku datang.”
Pembeli garam berkata pula, “Kalau sudah datang, kenapa tidak turun ke mari dan duduk mengobrol sebentar?”
Kalau mau Ma Ji-liong bisa tinggal pergi dengan leluasa, tiada orang yang bisa merintangi, tapi orang di dasar sumur sudah tahu kedatangannya, umpama sekarang pergi, orang akan meluruk ke toko untuk membuat perhitungan dengan dirinya. Seorang buronan tentu harus merahasiakan jejaknya.
Ma Ji-liong maklum dan tahu akan hal ini, karena ia juga terhitung buronan, sekarang ia juga sedang menyembunyikan diri. “Baik, aku akan turun,” sahutnya kemudian.
--------------------------ooo00ooo-------------------------
Sinar api mendadak menyala di dasar sumur yang semula gelap gulita, setitik sinar lampu kecil.
Di dasar sumur ternyata ada dua orang, seorang adalah pembeli garam, seorang lagi orang yang makan garam. Pemakan garam ini berpundak lebar, kaki panjang, jidat tinggi, tulang pipi menonjol, seharusnya terhitung laki-laki yang bertubuh kekar, namun sekarang sudah menjadi kurus kering tinggal kulit membungkus tulang, keadaannya tidak menyerupai manusia umumnya, kulit badannya kering.
Anehnya ia terus meneguk air, seteguk air segenggam garam, lalu menelan sebutir telur ayam. Bukan saja tak takut asin, juga tidak mati karena terlalu banyak makan garam, air yang tertelan ke perutnya entah mengalir ke mana. Kulit badannya kelihatan mirip tanah liat yang kering kerontang lalu merekah.
Pembeli garam duduk di pinggir sambil minum arak, hanya sebotol arak untuk dirinya sendiri. Ia minum seteguk demi seteguk, minum perlahan-lahan, gayanya mirip setan arak yang kikir, mau minum tidak mau merogoh kantong, yang pasti ia gemar minum tapi sayang keluar uang.
Di sini, di dasar sumur ini, tidak bisa tidak harus minum arak, tapi tidak boleh mabuk. Badan harus selalu segar, pikiran harus selalu jernih, karena harus menjaga keselamatan dan merawat kesehatan saudaranya, mengawasi orang yang tidak takut asin dan terus melalap garam seperti kakap mencaplok teri itu.
Dasar sumur ternyata amat lebar dan luas, di situ ada sebuah pembaringan, sebuah meja dan satu kursi.
Lampu minyak kecil terletak di atas meja.
Pemakan garam duduk setengah tiduran di ranjang, pembeli garam duduk di kursi. Duduk diam dan tenang mengawasi Ma Ji-liong yang melorot turun dengan Pia-hou-kang.
Tangan yang memegang botol kelihatan gede dan kasar, kuku jarinya mengkilap, jelas pernah meyakinkan ilmu pukulan sejenis Cu-soa-ciang yang keji. Di pinggir kursi tergeletak sebatang Cu-coat-pian yang berat, ruyung beruas tujuh yang terbuat dari baja murni, selintas pandang bobotnya mungkin ada empat-lima puluh kati. Senjata itu tergeletak di tempatnya, pembeli garam itu juga tetap duduk minum, yang pasti Ma Ji-liong disambut dengan sikap dingin dan pandangan tajam penuh selidik.
Dengan menatap dingin, pembeli garam berkata, “Thio-laupan, kami sudah menduga, cepat atau lambat, kau pasti ke mari, terbukti sekarang kau berada di sini.”
“Kau tahu aku akan ke mari?” tanya Ma Ji-liong tidak mengerti. “Dari mana kau tahu?”
Pembeli garam meneguk araknya sekali, seteguk kecil saja, lalu berkata, “Jika aku membuka toko, tiap hari ada orang yang membeli dua kilo garam, aku pun akan curiga.” Sambil menyeringai dingin, ia melanjutkan, “Tapi seseorang yang betul-betul membuka toko, berusaha mencari nafkah secara jujur, umpama merasa heran dan curiga terhadap langganannya, ia pasti takkan mencampuri urusan orang lain, sayang kau bukan pengusaha toko.”
“Aku bukan apa?”
“Kau bukan pengusaha toko yang baik, pengusaha tulen,” demikian desis si pembeli garam. “Seperti juga aku, tidak pantas membeli garam di tokomu itu.”
“Agaknya kau pandai melihat kenyataan,” ujar Ji-liong.
Pembeli garam berkata, “Kau ingin tahu asal-usulku, bukan? Ketahuilah, aku pun sudah mencari tahu tentang dirimu. Seharusnya kau bernama Thio Eng-hoat, delapan belas tahun membuka toko, kau punya bini yang sakit-sakitan dan seorang pegawai yang jujur setia, selama hidup Thio Eng-hoat tidak suka ikut campur urusan orang lain.” Sampai di sini ia menghela napas, “Sayang kau bukan Thio Eng-hoat yang sesungguhnya, pasti bukan.”
“Dari mana kau tahu aku bukan Thio Eng-hoat?” tanya Ma Ji-liong.
“Kuku jarimu terlalu bersih, rambut pun tersisir rapi, malah setiap hari kau mandi. Aku sudah mencari tahu, Thio Eng-hoat yang asli adalah laki-laki yang jorok dan bau, laki-laki yang pelit lagi kikir, dua tiga hari bisa tidak mandi atau ganti pakaian, tapi teliti menghitung laba rugi dagangannya. Karena rajin kerja itulah maka isterinya selalu mengomel dan menggerutu, sehingga jatuh sakit.”
Ma Ji-liong diam saja, tidak membantah. Ia maklum dirinya sedang berhadapan dengan kawakan Kangouw yang banyak pengalaman. Sebelum Ma Ji-liong menaruh curiga terhadapnya, orang sudah lebih dulu menaruh perhatian terhadap dirinya.
“Kalau kau bukan Thio Eng-hoat, lalu siapa kau? Kenapa kau menyaru sebagai Thio Eng-hoat? Thio Eng-hoat yang asli kau apakan? Di mana dia sekarang?” ujar si pembeli garam. Lebih jauh ia berkata, “Persoalan ini sering kupikirkan, sejak lama kupikirkan.”
“Kau sudah mendapatkan jawabannya?”
“Hanya sedikit, tidak berarti.”
“Sedikit bagaimana?”
“Aku yakin kejadian ini pasti direncanakan secara cermat. Setiap segi, setiap langkah sudah diperhitungkan dengan seksama. Kau bisa menyamar sebagai Thio Eng-hoat, dapat mengelabui isterinya yang sudah menikah dan hidup bersama selama belasan tahun lamanya, demikian pula pegawainya, ini membuktikan bahwa kau berganti rupa dengan tata rias yang luar biasa baiknya,” nadanya tegas dan pasti, lalu sambungnya, “Meski tidak sedikit kaum persilatan yang ahli di bidang tata rias, tapi yang mampu berbuat sebagus ini, di kolong langit ini mutlak hanya satu orang saja.”
Yang dimaksud orang yang satu ini tentu Ling-long-giok-jiu Giok Ling-long.
Lebih jauh pembeli garam berkata, “Giok-toasiocia pernah bilang, dua puluh tahun beliau tidak mencampuri urusan Kangouw, tapi ada seorang yang dapat menyeretnya keluar untuk mengembangkan keahliannya.”
“Ya, memang hanya satu orang saja,” ucap Ma Ji-liong.
“Mutlak hanya satu orang. Kecuali Kanglam Ji Ngo, tiada orang lain yang bisa mengundang dan meminta bantuannya.”
Ma Ji-liong menyengir kecut. Akhirnya dia paham, di dunia ini tiada rencana betapa pun sempurnanya yang tidak bisa dibongkar, tidak ada titik kelemahannya, juga tidak ada rahasia yang selalu bisa mengelabui orang.
Sayang, sejauh ini Ma Ji-liong belum berhasil membongkar rahasia Khu Hong-seng.
Pembeli garam berkata pula, “Kau sudah diatur sedemikian rapi, memakan banyak waktu dan tenaga, berjerih payah menyamar sebagai pemilik toko serba ada, itu berarti kau sama dengan kami, kau juga seorang buronan, menyingkir dari muka umum dan bersembunyi dari pelacakan musuh. Berbagai hal di atas dapat kami simpulkan, bahwa musuh yang menuntut jiwamu pasti jauh lebih menakutkan dibanding musuh kami.” Dengan tertawa pembeli garam menambahkan, “Sebagai sesama buronan, orang yang dikejar-kejar musuh, buat apa harus menyelidiki rahasiamu? Sebetulnya kau tidak perlu mencari tahu tentang diriku, karena setiap hari aku akan membeli garam di tokomu.”
“Sebetulnya aku tidak punya niat ke mari,” ujar Ma Ji-liong menghela napas.
“Tapi kau sudah berada di sini,” ujar pembeli garam.
“Apa kau hendak membunuhku?” tanya Ma Ji-liong.
“Kanglam Ji Ngo mau membantumu, kalau kau keroco, kuyakin dia takkan bersusah payah, kau pasti punya latar belakang yang meyakinkan. Umpama aku berniat membunuhmu, belum tentu aku berhasil.” Dengan tertawa pembeli garam berkata, “Jika betul kau adalah orang yang kuduga, bila mau turun tangan, mungkin aku yang mati lebih dulu di tanganmu.”
Ma Ji-liong berkata, “Siapakah orang yang kau duga itu?”
“Ma Ji-liong,” sahut si pembeli garam. “Tuan muda Thian-ma-tong, Pek-ma Kongcu Ma Ji-liong.”
Berdebar keras jantung Ma Ji-liong. Kalau wajahnya tidak dipermak oleh Giok-jiu-ling-long, orang pasti melihat betapa jelek perubahan mimik mukanya. Ji-liong balas bertanya, “Berdasarkan apa kau mengira aku Ma Ji-liong?”
“Ya, aku punya alasan.”
Alasannya adalah buronan terbesar yang sedang dikejar-kejar kaum persilatan saat ini adalah Ma Ji-liong. Hanya Ma Ji-liong saja yang mungkin mendapat bantuan Kanglam Ji Ngo.
Pembeli garam berkata lebih jauh, “Dalam kalangan Kangouw, ada tiga marga besar persilatan dan Ngo-toa-bun-pay (Lima Perguruan Besar), mereka berani mengeluarkan hadiah lima laksa tahil emas murni bagi siapa saja yang bisa membekuk atau membunuh Ma Ji-liong. Jago-jago kelas wahid yang dikerahkan untuk mencari jejakmu ada lima-enam puluh orang, hanya murid-murid Kaypang saja yang tidak ikut berlomba memperebutkan hadiah sebesar itu, mereka seperti tutup mata dan menyumbat telinga, seolah-olah segan mencampuri urusan ini.”
Murid Kaypang tersebar luas, jumlahnya juga tidak terhitung banyaknya, kekuasaan mereka berkembang terus makin luas dan besar. Di seluruh pelosok dunia ada orang mereka yang bisa memberi informasi yang tidak mudah diperoleh pihak lain, tidak sedikit ahli-ahli mereka yang pandai melacak jejak orang. Dapat kita bayangkan betapa besar ongkos kehidupan untuk keperluan organisasi besar ini, lima laksa tahil emas bukan nilai yang kecil.
Pembeli garam berkata pula, “Kenapa mereka tak ikut berlomba memperebutkan hadiah besar itu? Bagiku sudah jelas, karena Kanglam Ji Ngo punya hubungan intim dengan Ji-liong.”
Lama Ma Ji-liong terpekur, lalu berkata perlahan, “Sebetulnya tidak perlu kau bicara sepanjang itu.”
“Setelah kubeberkan rahasiamu, kau akan membunuh aku? Kau kira aku ingin lima laksa tahil emas murni itu?”
“Apa kau tidak ingin kaya?” Ma Ji-liong menegas.
“Aku tidak ingin kaya,” sahut pembeli garam.
“Kenapa?” tanya Ma Ji-liong.
Sebelum pembeli garam menjawab, pemakan garam menyeletuk, “Karena aku.”
----------------------------ooo00ooo------------------------
Laki-laki kurus ini terus mengganyang garam dengan lahap, garam kasar lagi murni, garam yang asin. Sukar dibayangkan ada manusia yang suka makan garam sebanyak itu.
Sudah separoh dari dua kilo garam itu dilalap orang ini. Setelah 10 butir telur ayam masuk ke perutnya, rona wajahnya baru kelihatan merah, baru leluasa ia bicara, katanya, “Selama dua puluh tahun, orang-orang yang ingin menjagal kepalaku, yakin tidak kalah jumlahnya dibanding dengan mereka yang mengejarmu. Bagaimana rasanya orang yang difitnah, aku sudah kenyang merasakannya.” Kelihatan ia lemah lagi kurus, tapi waktu berbicara sikapnya kelihatan berwibawa. “Lima laksa tahil emas memang tidak sedikit, tapi jumlah sebesar itu tidak terpandang dalam mataku.”
“Dari mana kau menduga kalau aku difitnah orang?”
Pemakan garam menjelaskan, “Karena aku percaya kepada Ji Ngo. Kalau bukan terfitnah, maka dialah orang pertama yang akan membunuhmu.”
“Kau siapa?” tanya Ma Ji-liong.
“Seperti kau, aku juga sering difitnah orang, seorang yang kepalanya berharga ribuan tahil, seorang yang terpaksa menyembunyikan diri seperti tikus yang takut dilihat orang. Kami belum ingin mati, kami ingin membersihkan diri, umpama akhirnya mati juga harus mempertahankan nama baik, maka sebelum masuk liang kubur, kami harus membongkar dulu kasus itu, membekuk orang yang memfitnah kami, menangkap biang keladinya.”
Pemakan garam tertawa besar, tawa yang getir lagi memilukan, “Tentang siapa namaku, lebih baik kau tidak tahu.”
Ma Ji-liong menatapnya lekat sekian lama, lalu menoleh ke arah pembeli garam, katanya, “Aku percaya kau tak akan mengkhianati aku.”
“Aku juga percaya padamu,” ujar pemakan garam sambil mengulurkan tangannya.
Seperti juga telapak tangan pembeli garam, jari dan telapak tangan pemakan garam ini pun kasar, besar lagi dingin. Waktu Ji-liong bergenggam tangan dengan orang, timbul rasa hangat di dalam dadanya.
Pemakan garam tertawa lebar, katanya, “Pergilah, aku tidak merintangimu.”
“Kalau kalian memerlukan garam, aku tidak akan banyak usil lagi.”
Pemakan garam mengawasinya, lalu menghela napas, ujarnya, “Sayang baru hari ini kita bertemu, aku terluka dalam separah ini, mungkin aku takkan bisa membersihkan nama baikku, membongkar fitnah keji itu. Kalau bisa bertahan hidup lebih lama lagi, aku ingin bersahabat dengan engkau.”
“Sekarang belum terlambat kau bersahabat denganku, bersahabat dengan kawan tidak harus saling memperalat, tetapi harus saling membantu.”
Pemakan garam bergelak tawa, suaranya serak lagi pendek, ternyata ia tidak bisa tertawa lagi, tapi sikap dan perbawanya kelihatan gagah dan berwibawa, katanya, “Aku tidak perduli apakah kau Ma Ji-liong atau bukan. Perduli siapa kau, aku suka dan senang bersahabat dengan engkau.”
Dengan kencang Ma Ji-liong menggenggam tangan orang, “Aku juga tidak perduli siapa kau, aku pun senang bersahabat dengan kau.”
-----------------------------ooo00ooo------------------------------
Saat itu belum terang tanah, cuaca masih gelap, hawa dingin sekali.
Tapi perasaan Ma Ji-liong amat hangat, sekujur badan terasa panas, dadanya seperti dibakar. Hari ini, tepatnya pagi ini, ia bersahabat dengan seorang gagah, laki-laki jantan, kawan setia.
Bersahabat dengan seorang yang tidak dikenal asal-usulnya, tanpa perduli apa akibat dan bagaimana tanggung-jawabnya, tapi mereka benar-benar tahu sama tahu, seia sekata, kawan karib, sahabat sejati. Jika menemukan dan bersahabat dengan kawan seperti itu, maka ia akan dapat menyelami perasaan Ji-liong.
Sayang sekali, jarang ada manusia di dunia ini yang bisa bersahabat seperti jalinan batin pemakan garam dengan Ma Ji-liong.
-------------------------------ooo00oo-------------------------------
“Kau bersahabat dengan dia,” Cia Giok-lun belum tidur. Pertanyaan pertama yang diajukan sejak mendengar laporan Ma Ji-liong. “Padahal siapa dia kau tidak tahu, tapi kau mau berkenalan dan bersahabat dengan dia?”
Ma Ji-liong berkata, “Biar seluruh umat manusia di dunia ini menganggap dia sebagai musuh, semua orang ingin mencincang atau mencacah tubuhnya, aku tetap bersahabat dan rela berkorban untuknya.”
“Lho, kenapa?” Cia Giok-lun menegas dengan nada tidak mengerti.
“Tidak kenapa.”
Tidak kenapa. Dua patah kata yang besar maknanya, dua patah kata yang menjalin persahabatan dua insan manusia yang berbeda. Jika 'karena sesuatu' kau bersahabat dengan orang, sahabat macam apakah kenalan baikmu itu? Terhitung teman macam apa pula kau ini?
----------------------------ooo00ooo-------------------------------
Cahaya sudah tampak memutih di luar jendela. Ma Ji-liong duduk di bawah jendela, Cia Giok-lun mengangkat kepala mengawasinya dengan badan miring. Lama sekali baru ia menghela napas, katanya, “Aku tahu maksudmu, tapi aku tak bisa berbuat seperti itu.”
Seorang gadis muda yang dapat memahami segi-segi kehidupan yang serba ruwet tentang citra rasa dan perasaan memang jarang ada, memang jarang ada orang yang bisa berbuat seperti itu.
Mendadak Cia Giok-lun bertanya, “Tahukah kau kenapa temanmu itu harus makan garam?”
Ji-liong menggelengkan kepala, ia tidak tahu karena tidak bertanya.
“Aku tahu,” ujar Cia Giok-lun. “Karena terkena pukulan Sam-yang-coat-hu-jiu.”
“Sam-yang-coat-hu-jiu,” Ma Ji-liong adalah keturunan keluarga persilatan, namun belum pernah ia mendengar nama ilmu pukulan keji itu.
“Ilmu pukulan yang sudah lama putus turunan, maksudnya sudah lama tidak pernah dipelajari manusia lagi. Orang yang terkena pukulan ini sekujur badannya akan kehilangan kadar air, kulit badan akan mengering dan merekah, lebih celaka lagi sekujur badan pati rasa, keinginannya hanya makan garam melulu. Makin banyak garam yang dimakan, makin banyak air yang ia butuhkan, luka dalamnya juga akan lebih parah. Bila mati, sekujur badan akan pecah, seperti roti kering yang merekah karena dipanggang terlalu lama di perapian yang bersuhu tinggi,” sejenak Cia Giok-lun termenung, lalu melanjutkan, “Makan telur ayam memang lebih baik dibanding minum air, tapi paling lama hanya bisa memperpanjang usianya setengah bulan, akhirnya akan tetap mampus juga.”
“Mutlak tidak bisa ditolong?” tanya Ma Ji-liong.
Tidak menjawab pertanyaan Ma Ji-liong, Cia Giok-lun malah balas bertanya, “Orang macam apakah temanmu itu? Bagaimana tampang dan perawakannya?”
“Kupikir semula dia seorang laki-laki kekar, perawakannya tinggi tegap, kedua pundaknya setengah kaki lebih besar dibanding pundak orang biasa, tangan besar kaki gede, pukulan tenaga luarnya tentu diyakinkan dengan sempurna,” demikian tutur Ma Ji-liong. “Walau dia terluka parah hampir mati, waktu bicara dan gerak-geriknya tetap kelihatan gagah dan berwibawa.”
Sorot mata Cia Giok-lun seperti bercahaya, “Sudah terpikir siapa dia,” katanya.
“Siapa?”
Cia Giok-lun tidak menjawab langsung, “Ilmu pukulan jenis ini jauh lebih keji, lebih dahsyat dibanding Sam-im-coat-hu-jiu dari keluarga Im dan Cui, jauh lebih sukar diyakinkan, karena orang yang meyakinkan ilmu ini selama hidup tidak boleh bergaul dengan perempuan.”
Selama hidup tidak boleh bergaul dengan perempuan maksudnya adalah tidak pernah kawin, alias tidak punya bini, berapa banyakkah orang-orang Kangouw yang jejaka kecuali Hwesio?
“Menurut apa yang kutahu,” ujar Cia Giok-lun lebih lanjut. “Selama lima puluh tahun ini, yang meyakinkan ilmu ganas dan keji itu hanya seorang.”
“Siapa?” Ma Ji-liong mendesak.
“Coat-taysu,” ucap Cia Giok-lun. “Coat-taysu selalu bertindak tegas dan tuntas dalam perkara. Setiap musuh yang dianggap jahat, tidak pernah diberi ampun, tapi jarang menggunakan ilmu pukulan keji yang amat dirahasiakan itu. Kecuali lawan memang gembong silat yang benar-benar lihai dan menakutkan, itu pun kalau dia kepepet dan kewalahan baru melancarkan ilmu pukulan itu.”
Sudah lazim bahwa tokoh silat kosen di Kangouw menyembunyikan ilmu tunggal yang diyakinkannya. Jika jiwa tak terancam bahaya, tidak akan mengeluarkan ilmu kebanggaannya. Apalagi ilmu pukulan jahat seperti Sam-yang-coat-hu-jiu harus diyakinkan dengan syarat tidak boleh kawin selama hidup.
Bagi kaum persilatan yang punya kedudukan dan nama besar di Bulim, bila selama hidup tidak bergaul dengan perempuan alias tidak kawin, tentu dipandang tidak wajar dan aib, orang akan membayangkannya sebagai laki-laki tidak normal, laki-laki mandul, lelaki impoten, mana ada tokoh silat yang mau dipandang sebagai pendekar impoten.
“Jika tidak terpaksa terdesak oleh keadaan hingga tiada pilihan lain, Coat-taysu takkan melancarkan Sam-yang-coat-hu-jiu,” kata Cia Giok-lun, lalu ia bertanya pada Ma Ji-liong, “Berapa banyak jago silat di Kangouw yang bisa menyudutkan Coat-taysu hingga ia bernasib mengenaskan?”
“Ya, hanya beberapa orang saja,” sahut Ma Ji-liong.
“Pernah dengar nama besar Hoan-thian-hu-te (Membalik Langit Mengaduk Bumi) Thiat Tin-thian?” Cia Giok-lun bertanya. “Dia masuk hitungan tidak?”
Ma Ji-liong tahu dan sadar bahwa air mukanya pasti berubah waktu mendengar nama julukan orang itu. Sebagai insan persilatan, wajar kalau Ji-liong pernah mendengar ketenaran nama Hoan-thian-hu-te Thiat Tin-thian, tokoh legendaris yang sudah malang melintang sejak dua puluh tahun yang lalu, membunuh orang seperti membabat rumput, tak terhitung jumlah korban jiwa di tangannya, perkaranya menumpuk bagai gunung. Betapa banyak kaum persilatan yang ingin memenggal kepalanya, umpama tidak ribuan pasti ada ratusan banyaknya, tokoh besar atau penjahat yang ditakuti orang, tingkat kejahatan yang pernah ia lakukan tak berlebih kalau dijuluki Membalik Langit Mengaduk Bumi.
Jejak Hoan-thian-hu-te bagai mega, orang sukar mengikuti jejaknya, apalagi ilmu silatnya amat tinggi, hati kejam tangan telengas, orang-orang yang kesamplok atau musuh yang menemukan jejaknya juga pasti tergetar bubar sukmanya, kalau kepala tidak pecah tentu badan yang terpukul remuk oleh telapak tangan besinya.
“Coba pikir, mungkin tidak temanmu itu adalah Thiat Tin-thian?” tanya Cia Giok-lun.
Ma Ji-liong menunduk, mulutnya bungkam.
Orang itu jelas adalah Thiat Tin-thian. “Selama dua puluh tahun, betapa banyak orang yang ingin memenggal kepalaku, ratusan lipat lebih banyak dibanding musuh yang menginginkan jiwamu. Lima laksa tahil emas tidak terpandang dalam mataku”. Kecuali Thiat Tin-thian, siapa lagi yang berani mengucapkan kata-kata demikian. Tapi ia pun pernah berkata begini, “Bagaimana rasanya difitnah orang, aku juga sudah mengalaminya.”
Mendadak Ma Ji-liong mengangkat kepala, katanya lantang, “Aku tidak perduli siapa dia, perduli apa yang pernah ia lakukan, kupikir ada latar belakang yang tidak diketahui orang sehingga terpaksa melakukan kejahatan. Situasi mendesak dan memojokkan dirinya, terpaksa ia bertindak lebih ganas, lebih banyak korban jatuh, dipandang dari kaca mata kaum pendekar, ia adalah gembong penjahat yang harus ditumpas.”
“Apakah Coat-taysu juga memfitnah orang baik?” tanya Cia Giok-lun.
Ma Ji-liong tertawa dingin, katanya, “Orang-orang yang ia fitnah bukan hanya Thiat Tin-thian saja.”
Cia Giok-lun menghela napas, katanya, “Kau ini memang orang baik. Bisa berkenalan dengan kau, siapa pun akan merasa beruntung, sayang sekali persahabatan kalian tidak akan bertahan lama.”
“Apa betul luka dalamnya tak bisa ditolong lagi?”
Tawar suara Cia Giok-lun, “Kalau aku adalah Toa-siocia dari keluarga Cia, mungkin aku bisa menolongnya.” Sengaja ia menghela napas, “Sayang, aku hanya bini seorang pemilik toko yang sakit-sakitan, berjalan juga tidak mampu, penyakitku sendiri tak mampu kuobati, bagaimana mungkin mengobati orang lain?”
Ma Ji-liong kehabisan kata. Dia maklum apa yang dimaksud Cia Giok-lun. Kalau ia membeberkan duduk persoalannya, mungkin Cia Giok-lun mau menolong Thiat Tin-thian. Tapi kalau ia berbuat demikian, itu berarti ia ingkar terhadap Toa-hoan, juga mengkhianati Ji Ngo, mereka juga teman baiknya.
Cia Giok-lun membalikkan badan, mungkur ke arah dinding, katanya, “Kau sudah lelah, tidurlah.”
Ma Ji-liong tidak tidur, ia tahu dirinya pasti tak bisa tidur.
Entah pura-pura tidur atau benar-benar sudah lelap, ternyata Cia Giok-lun tidak bergerak, juga tidak mengajak bicara lagi.
Fajar baru saja menyingsing, di luar masih belum terdengar suara orang. Perlahan Ma Ji-liong mendorong pintu, dengan kalem ia melangkah keluar.
---------------------------ooo00ooo----------------------------
Beberapa langkah setelah meninggalkan rumah, baru Ma Ji-liong mendengar suara tangis bayi dari rumah seberang. Beberapa langkah kemudian, sebuah pintu kecil yang ditempel kertas gambar malaikat rejeki terbuka.
Nyonya muda dengan perutnya yang buncit itu sedang berdiri di depan pintu, mengantar suaminya yang masih muda tegap berangkat kerja di ladang.
Ma Ji-liong sengaja pura-pura tidak melihat. Suami muda itu juga tidak menoleh ke kanan kiri, dia beranjak pergi sambil menjinjing buntalan dan memanggul pacul. Nyonya muda itu juga tidak memperhatikan Ma Ji-liong, ia memutar tubuh terus merapatkan pintu.
Bagai anak panah terlepas dari busurnya, mendadak Ma Ji-liong menjejakkan kaki, tubuhnya melejit ke depan, beberapa kali lompatan langsung menerobos ke pekarangan belakang To Po-gi.
Ada suara di dapur, suara ketikan batu untuk menyalakan api, lalu suara membasuh beras hendak menanak nasi. Isteri To Po-gi memang perempuan yang rajin dan setia, tahu apa kewajibannya, sepagi ini sudah siap menanak nasi untuk suami yang akan bekerja di kantor.
Ma Ji-liong tidak perduli, tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya, To Po-gi pernah berlatih silat, dulu mungkin pernah menjadi anak buah Thiat Tin-thian, tidak perlu kuatir dirinya kepergok oleh suami isteri itu. Dengan kecepatan tinggi, Ji-liong bergerak lincah melompat ke dalam sumur.
---------------------------------ooo00ooo-----------------------------------
Sekati arak beras sudah diminum habis, pembeli garam kelihatan lebih segar meski semalam suntuk tidak tidur, ia sedang membenahi pembaringan temannya.
Pemakan garam juga tidak tidur, sisa setengah bungkus garam tadi sudah dimakan lagi hingga tinggal seperempat. Melihat kedatangan Ji-liong, mereka tidak menunjukkan sikap kaget atau heran, seolah-olah sudah tahu bahwa Ma Ji-liong bakal kembali lagi.
Begitu kakinya menginjak dasar sumur, Ma Ji-liong langsung bertanya, “Kau adalah Thiat Tin-thian, bukan?”
“Betul,” sahut pemakan garam, suaranya tegas dan gamblang. “Aku adalah rampok besar Thiat Tin-thian yang gemar membunuh orang.”
“Kau terpukul Sam-yang-coat-hu-jiu Coat-taysu?”
“Betul,” sikapnya tampak heran dan kaget, tapi Thiat Tin-thian tidak balas bertanya dari mana Ma Ji-liong mendapat tahu.
“Luka dalammu masih bisa ditolong?” tanya Ji-liong pula.
Kali ini Thiat Tin-thian balas bertanya, “Kenapa kau mencampuri urusanku?”
“Karena kau adalah temanku.”
“Kau sudah tahu kalau aku adalah Thiat Tin-thian, masih berani kau berkawan dengan aku?”
“Aku sudah bersahabat denganmu. Perduli siapa kau, sikapku tidak berubah.”
Thiat Tin-thian menatapnya lekat-lekat, mendadak ia tertawa lebar, “Selama hidup betapa banyak kesalahan yang pernah dilakukan Thiat Tin-thian, tapi belum pernah keliru bersahabat dengan orang.”
Thiat Tin-thian benar-benar tertawa, tawa yang riang. Setelah bersahabat dengan seorang kawan, umpama dirinya terbunuh juga akan mati dengan meram, tidak menyesal.
Pembeli garam menyeletuk, “Selama hidup dia memang banyak melakukan kesalahan, karena berwatak kasar, berangasan, gegabah dan emosional. Demi membela seorang teman, perbuatan apa pun berani dilakukannya.” Dengan suara tandas pembeli garam meneruskan, “Kali ini pasti tidak berbuat salah.”
Apa yang ia lakukan kali ini? Bagaimana sampai difitnah orang?
Ji-liong mengulangi pertanyaannya tadi, ia percaya orang ini, “Luka-lukamu bisa disembuhkan?”
“Bisa,” sahut pembeli garam. “Hanya sejenis obat di dunia ini yang dapat menolong jiwanya.”
“Obat apa?”
Pembeli garam menghela napas, roman mukanya guram, katanya, “Kujelaskan juga tidak berguna, karena obat itu mutlak tidak bisa kami peroleh.” Dengan tertawa getir ia menambahkan, “Bukan saja sukar untuk memperolehnya, dicuri juga tidak bisa, direbut apa lagi, kalau bisa tentu sudah kurebut atau kucuri.” Untuk menolong jiwa temannya, umpama harus mencuri dan merebut milik orang lain, apakah perbuatan itu terhitung salah?
Ma Ji-liong tertawa pula, “Obat yang kalian maksud apakah bisa diperoleh dari keluarga Cia?”
Terbeliak mata si pembeli garam, suaranya juga meninggi, “Dari mana kau tahu kalau keluarga itu she Cia?” Perubahan roman mukanya terlalu cepat, menyolok dan aneh.
“Kenapa aku tidak bisa tahu?”
“Karena.......” suaranya terhenti, sikapnya bimbang.
Untuk membeberkan rahasia, jelas tidak berani berterus terang.
Dengan suara keras Thiat Tin-thian menimbrung, “Orang itu tidak mau orang luar tahu dirinya she Cia. Dulu ia pernah mengalami pukulan batin yang menyedihkan. Siapa saja, bila menyinggung perkara lama, pasti tak diberi ampun.”
“Siapakah dia?” desak Ma Ji-liong.
“Bik-giok Hujin dari Bik-giok-san-ceng, lukaku hanya dapat disembuhkan dengan Bik-giok-cu milik keluarganya.”
Ma Ji-liong melenggong.
Bik-giok Hujin ternyata she Cia, pernah ada hubungan apa Cia Giok-lun dengan Bik-giok Hujin? Apa gadis itu ada hubungannya dengan Bik-giok-san-ceng? Mendadak Ji-liong sadar, urusan ini pasti ada latar belakang yang ruwet lagi genting. Dulu tak pernah ia memikirkan persoalan ini, tapi sekarang harus memutar otak.
Sekonyong-konyong seseorang tertawa dingin dan berkata di mulut sumur di sebelah atas, “Thian Tin-thian, kau tak bisa lolos dari sini. Thiat Coan-gi, kau juga menyerah saja, jiwamu boleh diampuni.”
Para pengejar itu akhirnya menemukan sumur ini, jejak mereka sudah ketahuan. Bila buronan berada di dalam sumur, umpama ikan di dalam kuali, jelas takkan bisa lolos lagi, memangnya ke mana mereka bisa melarikan diri?
Perasaan Ma Ji-liong seberat batu yang tenggelam ke dasar air dingin. Ia kenal suara orang yang bicara di mulut sumur, bukan lain ialah Pang Tio-hoan. Kalau Pang Tio-hoan sudah datang, Coat-taysu pasti juga berada di sini, demikian pula Cia-go Hwesio dan Giok-tojin pasti ikut datang. Umpama bukan dirinya yang menjadi buronan, dirinya juga bisa keluar dari tempat ini.
Ma Ji-liong sudah akan bicara, mendadak Thiat Tin-thian mendekap mulutnya dengan sebelah tangan. Dengan tangan yang lain dia menjejalkan garam ke dalam mulut sendiri. Setelah garam tertelan, baru ia bergelak tawa, serunya, “Betul, aku memang ada di sini, adikku juga ada, kami menunggumu.”
Sesaat tidak terdengar jawaban dari atas. Orang-orang di atas seperti sedang heran dan bingung, kenapa Thiat Tin-thian belum mampus setelah terpukul Sam-yang-coat-hu-jiu yang ganas itu? Nada bicaranya juga masih segar dan bertenaga.
Sesaat kemudian baru terdengar Coat-taysu berkata dengan nada dingin, “Thiat Tin-thian, naiklah ke atas, jiwa Thiat Coan-gi akan kuampuni.”
Thiat Coan-gi adalah pembeli garam, “Kami bersaudara sudah seia sekata, bersumpah setia, sehidup semati, kalau harus mati biarlah kami mati bersama.”
“Bagus,” teriak Thiat Tin-thian bergelak tawa. “Ayolah turun kalau kalian hendak menagih jiwa kami berdua.”
Coat-taysu tidak turun, tiada orang yang berani turun. Sumur itu memang buntu, tiada jalan lain untuk meloloskan diri, tapi siapa yang berani turun pasti mengantarkan jiwa dengan percuma.
“Mana mereka berani turun,” Thiat Tin-thian merendahkan suara setengah mengejek. “Mereka diagulkan sebagai pendekar besar, buat apa gagah-gagahan di sini.”
“Ya, mereka yakin kita tak dapat melarikan diri,” Thiat Coan-gi juga bicara dengan suara rendah. “Mereka pasti menunggu di atas.”
“Tetapi mereka pasti tak mau menunggu lama,” ujar Thiat Tin-thian. “Pasti mencari akal untuk memancing kita keluar, entah menyerang dengan api atau asap, mengguyur air ke dalam sumur atau dengan cara keji lainnya.”
Ma Ji-liong berkata, “Sebagai pendekar yang diagulkan, apakah mereka juga berbuat sekeji dan sekotor itu?”
Thiat Tin-thian menyeringai, katanya, “Berani saja, namanya saja pendekar, padahal perbuatannya tidak beda dengan bajingan, apalagi punya alasan untuk berbuat demikian.” Senyum wajahnya dilembari cemoohan dan rasa sedih serta penasaran. “Menghadapi kawanan penjahat kejam seperti kita, cara apa pun berani mereka lakukan, sebab diagulkan sebagai pendekar, orang lain tidak menganggap perbuatan mereka rendah. Tapi kalau kami yang menggunakan cara seperti itu terhadap mereka, nilainya tentu berbeda.” Mendadak ia menggenggam tangan Ma Ji-liong. “Apa betul kau sahabatku?” tanyanya tegas.
“Sudah pasti,” sahut Ma Ji-liong tegar.
“Usiaku jauh lebih tua, pantas tidak kau tunduk padaku?” ujar Thiat Tin-thian dengan nada tinggi. “Menghadapi situasi genting ini, kau harus patuh terhadapku.”
“Kasus apa yang kau maksud?”
“Mereka akan menyerang entah dengan api atau air, kami akan menerjang ke atas.”
“Bagus,” tanpa sangsi Ma Ji-liong berkata. “Sekarang juga kita bisa menerjang keluar bersama.”
“Kami yang kumaksud adalah aku dan Thiat Coan-gi, adikku, bukan dengan engkau,” suara Thiat Tin-thian lebih lirih. “Mereka hanya tahu aku dan Coan-gi bersembunyi di sini, tapi pasti tidak tahu ada orang ketiga berada di sini.”
“Ya, mereka pasti tidak menduga majikan toko serba ada di kampung ini juga berada di sini, apalagi bersahabat dan menjadi kawan rampok besar macam Thiat Tin-thian yang ditakuti dan dibenci orang banyak.”
“Yang akan mereka bekuk adalah kami berdua. Bila berhasil mereka pasti segera berlalu, takkan memeriksa tempat ini.”
“Setelah mereka pergi, kau boleh keluar dan mengundurkan diri,” Thiat Tin-thian menggenggam tangan Ji-liong lebih kencang. “Perpisahan kita hari ini, mungkin menjadi perpisahan untuk selamanya. Aku tidak ingin kau menuntut balas bagi kematianku, juga tidak minta kau mencuci bersih nama baikku, membongkar kasus terpendam itu hingga fitnah ini tersingkap tabirnya. Aku hanya berharap kau bertahan hidup, menyelamatkan diri, berarti kau sudah bertanggung jawab terhadapku.”
Untuk apa ia berkawan dengan Ma Ji-liong? Tidak untuk apa-apa. Dalam batin ia berdoa supaya temannya ini selamat, karena dia tahu ada sementara orang, kalau bertahan hidup adalah suatu usaha, suatu perjuangan yang serba sulit.
Ma Ji-liong hanya mendengarkan saja, diam tanpa memberi reaksi, juga tidak berbicara. Banyak yang ingin diucapkan, tapi sepatah kata pun tidak keluar karena ia merasa tak perlu melimpahkan isi hatinya. Dalam hati diam-diam ia sudah mengambil keputusan.
Thiat Tin-thian juga tidak bicara lagi, kembali ia melalap segenggam garam, segenggam demi segenggam terus dijejalkan ke dalam mulut dan langsung ditelannya. Selama hayat masih dikandung badan, selama dirinya masih bernapas, masih bisa berjuang, ia berani dan harus mengadu jiwa. Wataknya mirip Ma Ji-liong, dua orang yang berwatak sama seperti sengaja dipertemukan di dasar sumur.
-------------------ooo00ooo-------------------------------------
Sudah sekian lama belum ada gerakan apa-apa di atas sumur, sudah pasti orang di dasar sumur takkan bisa melarikan diri, Coat-taysu memang orang yang sabar, tahan uji dan ulet.
Dari ikat pinggangnya Thiat Coan-gi meloloskan sebilah Bian-to, perlahan ia mengelus mata golok tipis itu dengan jari-jarinya yang panjang. Mendadak ia mendesis penuh kebencian, “Biar tubuhnya tercacah hancur, aku akan berusaha mengganyangnya lebih dulu.”
“Siapa yang hendak kau ganyang?” tanya Thiat Tin-thian.
“Siapa lagi, To Po-gi tentunya,” sahut Thiat Coan-gi dengan penuh dendam.
“Jangan, tidak boleh kau membunuhnya.”
“Dia telah mengkhianati kita, kenapa aku tak boleh mengganyangnya?”
“Karena dia sudah berkeluarga, punya bini yang akan melahirkan keturunannya. Bukan To Po-gi seorang yang mengkhianati temannya di dunia Kangouw, bukan hanya sekali ini kau dan aku dikhianati teman, lalu kenapa kau harus membunuhnya?” mendaak ia menghela napas panjang, “Kalau kau ingin membunuh orang, pertama yang harus kau bunuh sekarang bukanlah To Po-gi, tapi aku.”
“Kau?” teriak Thiat Coan-gi terbelalak.
“Jika bukan lantaran diriku, nasibmu takkan sejelek ini.”
Thiat Coan-gi memandang saudaranya dengan tatapan tajam, mendadak ia terloroh-loroh, serunya, “Betul, kau memang betul, kalau tiada kau, mana mungkin keadaanku menjadi begini. Ayah-bundaku disembelih, isteriku digagahi secara bergiliran, anakku pun dibantai. Para pendekar itu beranggapan, kejadian itu adalah akibat perbuatan jahatku sendiri, ganjaran atas dosa-dosaku, aku harus menelan karma, menerima pembalasan atas kejahatanku. Bila tiada kau, siapa yang membantu aku menuntut balas, melampiaskan dendam kesumatku? Aku.......” Makin bicara makin emosi, suaranya menjadi serak dan tersendat. Kulit mukanya mengkeret basah oleh air mata, mendadak ia melompat berdiri sambil meraung, “Thiat Tin-thian malang-melintang selama hidup, aku membunuh orang tak terhitung banyaknya, hari ini umpama batok kepalaku terpenggal, biar kujual kepada kalian, apa salahnya jiwaku melayang? Lekaslah kalian ambil saja.”
Padahal dia Thiat Coan-gi, bukan Thiat Tin-thian. Ia berkata demikian hanya ingin menerjang keluar lebih dulu, biar orang lain mengira dirinya Thiat Tin-thian dan mengincar jiwanya, biar dirinya berkorban asal saudaranya lolos dan selamat. Dia tidak memikirkan lagi mati hidupnya.
Ji-liong tahu maksudnya, demikian pula Thiat Tin-thian juga maklum. Mendadak ia bergelak tawa, “Kau tak boleh rebutan dengan aku. Kalau harus mati, biar aku yang gugur lebih dulu. Selama hayat masih dikandung badan, siapa pun jangan harap mengusik dirimu.” Di tengah gelak tawanya yang panjang, tubuhnya yang kurus kering mirip tengkorak hidup, mendadak menubruk ke depan bagai harimau mengamuk. Sebelah kakinya menginjak pundak Thiat Coan-gi, sekali jejak tubuhnya lantas melesat mumbul keluar mulut sumur.
Kejap lain, terdengar kumandang jeritan yang mengerikan dari mulut sumur.
Tangkas sekali Thiat Coan-gi juga ikut melompat keluar. Tidak perduli siapa mati duluan atau mati belakangan, mereka harus mati bersama.
Kalau kejadian ini berlangsung setahun yang lalu, melihat teman segagah dan begitu perwira, air mata tentu berkaca-kaca di pelupuk mata, tapi sekarang air mata tidak berlinang, hanya darah yang bergolak di rongga dada.
Darah panas mendidih, seorang yang sudah bertekad mengucurkan darah, biasanya takkan mengucurkan air mata lagi. Dia tahu, apa yang dikatakan Thiat Tin-thian memang tidak salah.
“Jika Ji-liong mau bersembunyi di dasar sumur, setelah kedua sahabatnya itu mati, musuh tentu akan pergi, dirinya akan punya waktu untuk meloloskan diri dan selamat pulang ke tokonya.
Hari-hari selanjutnya takkan ada orang yang membeli garam sebanyak itu, rahasia dirinya tetap adalah rahasia. Dia bisa melupakan peristiwa ini, melupakan orang yang bernama Thiat Tin-thian dan lupa bahwa dirinya pernah mengenal seorang penjahat yang berjiwa ksatria.
Sebaliknya kalau sekarang ia ikut menerjang keluar, maka dirinya akan gugur bersama Thiat Tin-thian. Maklum bila dirinya keluar dari sumur, Coat-taysu dan begundalnya tentu akan mengeroyok, dan akan ketahuan pula siapa dia sebenarnya.
Seorang pemilik sebuah toko, hidup tenteram dan rukun, pasti tak mau membela Thiat Tin-thian yang terkenal jahat dan ganas, apalagi mau mempertaruhkan jiwa raga sendiri. Demikian pula seorang yang berpikiran sehat dan punya akal budi lumrah, pasti tak mau melakukan perbuatan bodoh, mengorbankan jiwa sendiri secara percuma.
Ji-liong bukan orang bodoh. Ia juga tahu, cara bagaimana harus mempertahankan jiwa raga sendiri. Manusia hanya hidup sekali, hanya punya satu jiwa. Seperti juga manusia umumnya, ia pasti sayang dan ingin mempertahankan hidupnya.
Sayang sekali pada detik-detik yang genting ini, mendadak Ji-liong sadar, ia menemukan sesuatu yang lebih berharga dibandingkan dengan jiwa orang hidup di dunia ini.
-------------------------------------ooo00ooo------------------------------------
Coat-taysu memang menduga di dalam sumur hanya ada dua orang saja. Jika ada orang yang mendadak menerjang keluar, mereka pasti amat kaget. Di saat mereka kaget itulah, kesempatan yang amat berharga untuk Ma Ji-liong turun tangan.
Meski hanya sedikit kesempatan, Ma Ji-liong takkan mengabaikannya. Umpama tak ada kesempatan, Ji-liong tetap akan menerjang keluar melabrak musuh. Maka dengan tekad bulat, dengan mengerahkan seluruh kekuatan, ia pun menerjang keluar.
-------------------------------------ooo00ooo-------------------------------------
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar