Harkat Pendekar 21-24
HARKAT PENDEKAR
Saduran : Gan K. H
Bagian 21 - 24
Manusia kenapa harus mempertahankan hidup? Apakah karena ia ingin melaksanakan tugas dan kewajiban yang harus dilakukan? Kalau seorang beranggapan tugas yang mutlak ia kerjakan tak mampu ia lakukan, lalu apa artinya ia bertahan hidup?
Sumur itu terletak di tengah pekarangan. Mentari pagi sudah memancarkan cahayanya yang benderang, hawa sejuk dan nyaman, tampak merah darah. Darah memang berceceran di tanah. Darah orang lain, juga darah dari tubuh Thiat Tin-thian dan Thiat Coan-gi.
Waktu Thiat Tin-thian menerjang keluar, sebilah Bian-to menyongsong batok kepalanya. Golok tipis itu membacok lurus dengan jurus lihai, namun sekali raih sambil menundukkan kepala, Thiat Tin-thian berhasil menangkap pergelangan tangan orang terus dipelintirnya ke kiri, berbareng tangan yang lain mencengkeram pundaknya. Di tengah raungan gusarnya, lengan orang ini ia betot hingga putus seperti pengemis menarik paha ayam panggang layaknya. Sayang yang menjadi korban kelihaian permainan telapak tangannya bukan Coat-taysu, juga bukan Pang Tio-hoan, tapi seorang jago silat yang tidak terkenal.
Di luar pintu dapur ditaruh dua kursi, Coat-taysu dan Pang Tio-hoan tampak bercokol dengan kereng tanpa bergerak. Dengan dingin mereka mengawasi buronan yang mirip tikus di tengah jalan raya, terkepung rapat dan tak mampu melarikan diri. Jumlah orang yang berkumpul di sini tidak sedikit, mereka adalah orang-orang yang ingin mengganyang gembong iblis pembunuh saudara atau keluarganya, maka mereka pula yang harus beraksi, berebut pahala. Kecuali menuntut balas, Coat-taysu dan Pang Tio-hoan segan turun tangan, mereka menjaga gengsi, tidak mau menghadapi lawan yang sudah terluka.
Coat-taysu, Pang Tio-hoan dan lain-lain memang tidak menyangka kalau di bawah sumur masih ada orang ketiga. Setiap manusia, siapa pun orangnya, bila menghadapi suatu peristiwa di luar dugaan atau di luar perhitungannya, sedikit banyak tentu akan terkejut. Begitu lena sekejap saja, maka akan mengundang kesalahan yang fatal akibatnya.
Mumpung ada kesempatan, sebetulnya Ma Ji-liong sudah siap memberikan sergapan yang mematikan. Asal seorang di antara dua gembong silat ini berhasil dilumpuhkan, itu berarti ia punya harapan dan peluang untuk merobohkan lagi yang lain.
Sayang sekali perhitungan Ma Ji-liong meleset jauh dari dugaan semula. Begitu ia menerjang keluar, ternyata Coat-taysu dan Pang Tio-hoan jauh beberapa tombak dari mulut sumur. Namun Ma Ji-liong sudah terlanjur bertindak, sudah terlanjur bergerak, maka ia tetap menerjang ke sana. Ia sudah bertekad berbuat sesuai rencana dan keinginan hatinya, tidak memikirkan gagal atau berhasil. Apalagi keadaan segenting ini, ia tidak boleh berhenti atau membatalkan rencana.
Ma Ji-liong masih berpakaian hitam dari kain kasar, kedok kepalanya yang hitam entah sejak kapan sudah ia tanggalkan, mungkin waktu pertama kali ia terjun ke dasar sumur tadi.
Selama berkecimpung di kalangan Kangouw, belum pernah Ma Ji-liong merasa gentar menghadapi persoalan pelik, sekalipun di saat dirinya masih normal, normal dalam arti dirinya adalah Ma Ji-liong tulen, bukan Thio Eng-hoat seperti sekarang. Wajah yang sekarang sudah tentu bukan wajah Ma Ji-liong yang pernah dikenal oleh Coat-taysu, Thio Eng-hoat tidak dikenal atau pernah dilihat oleh orang persilatan di mana pun.
Bahwasanya kepandaian Ma Ji-liong belum terhitung kelas wahid atau jago kosen kalangan Kangouw, tapi sejak ia mulai belajar berjalan, ayah bundanya sudah melatih dirinya hingga umur tujuh tahun mulai dipupuk dasar pelajaran silat. Ilmu silat Ji-liong mungkin tak sejajar dengan ilmu silat Siau-lim dan Bu-tong yang sudah tercatat dalam lembaran sejarah sebagai aliran silat yang ternama, perguruan besar yang disegani dan ditakuti, namun ilmu silat Thian-ma-tong mempunyai ciri khas dan keistimewaan sendiri.
Seseorang bila berhasil dan sukses mengejar karir hingga terkenal, kuat bertahan sampai lama, pasti mempunyai kemampuan yang luar biasa, keistimewaan yang boleh diagulkan, terutama Ginkang dari keluarganya, ilmu ringan tubuh dari Thian-ma-tong.
Sudah puluhan tahun, turun temurun Ginkang Thian-ma-tong malang melintang, bagai kuda terbang yang melesat di udara. Di kala menyergap musuh dari udara, perbawanya memang amat mengejutkan.
Seorang laki-laki baju hitam yang kelihatan kasar, sederhana dengan gerak tubuh secepat kilat mendadak menerjang keluar dari dalam sumur yang semula dikira tidak ada orangnya lagi, langsung menubruk ke arah dirinya, sudah tentu Coat-taysu amat kaget dan heran. Menghadapi kejadian di luar dugaan, siapa pun pasti kaget dan panik, apalagi penyergap ini memiliki Ginkang yang tinggi.
Sigap sekali Thiat Tin-thian melemparkan korbannya ke samping. Dengan raungan keras ia menjejakkan kaki, tubuhnya melesat ke depan mengejar Ma Ji-liong dengan tubrukan katak, kedua tangannya ternyata dapat mulur beberapa senti lebih panjang. Tangkas sekali ia berhasil mencengkeram ikat pinggang Ma Ji-liong, berbareng jari telunjuk dan jari tengahnya menutuk Hiat-to di belakang pinggangnya. Di saat suara raungannya belum sirap, sekuat tenaga ia menarik dan melemparkan Ma Ji-liong ke belakang dari atas kepalanya. Mati pun Thiat Tin-thian tidak rela sahabatnya ini berkorban untuk dirinya, ia harus mencegah perbuatan nekad Ji-liong.
Di saat Ma Ji-liong menyergap dari udara, dilihatnya Coat-taysu sudah berdiri sambil mengulurkan kedua tangannya ke depan. Telapak tangannya dengan jari-jari setengah tertekuk bagai cakar elang sudah berubah dua kali, dari warna hijau pupus menjadi merah maron, demikian pula urat hijau di punggung tangannya juga berubah merah kuning, mirip cahaya matahari di kala tenggelam ke peraduannya, mulai redup tapi gemerdep.
Tidak ada orang lain yang lebih paham kecuali Thiat Tin-thian, betapa mengerikan pukulan Sam-yang-coat-hu-jiu itu. Secara lahir batin Thiat Tin-thian sudah merasakan betapa besar siksa derita orang yang terkena pukulan keji ini, maka ia harus mencegah Ma Ji-liong menyerempet bahaya demi dirinya.
Coat-taysu yang sudah berjingkrak berdiri dan siap menyerang dengan kedua telapak tangannya, kini menurunkan lagi kedua tangannya, lalu duduk pula di tempatnya, tatapan matanya dingin, “Siapa orang ini?” pertanyaannya dingin kaku.
“Seorang kawan,” sahut Thiat Tin-thian.
“Hm, kau juga punya kawan?” jengek Coat-taysu.
Thiat Tin-thian tertawa latah, serunya, “Orang she Thiat membunuh orang tak terhitung banyaknya, musuh tersebar luas di seluruh pelosok dunia, tapi yakin kawanku tidak kalah banyak dibanding kau. Apalagi kawan seperti dia, aku yakin selama hidupmu kau justru tak pernah punya kawan seperti kawanku yang satu ini.”
Lama Coat-taysu menatapnya dengan memicingkan mata, perlahan ia menoleh ke arah Ma Ji-liong yang berdiri tak jauh di pinggir sana. “Apa betul kau kawannya?”
“Betul,” tegas jawaban Ma Ji-liong.
“Apa betul kau rela berkorban untuk kawanmu ini?”
Ma Ji-liong menjawab, “Aku berani berkorban untuk diriku sendiri, jiwaku berani kupertaruhkan.” Ia tidak sengaja merubah suara, tapi suaranya memang berubah.
Giok Ling-long dengan Giok-jiu-ling-long yang lihai bukan saja merubah bentuk wajahnya, dia juga merubah suaranya.
Sudah tentu Coat-taysu juga tidak kenal suaranya, maka ia bertanya pula, “Tahukah kau, kenapa aku hendak membunuhnya?”
Ma Ji-liong menggelengkan kepala, ia memang tidak tahu.
Coat-taysu bertanya pula, “Tahukah kau siapa tiga saudara Nyo yang dijuluki orang 'teman bak saudara, setia dan adil tiada bandingan'?”
Ma Ji-liong tahu. Meski tidak kenal, ia pernah mendengar kebesaran nama Nyo bersaudara ini. Mereka tinggal di Ho-tiong, keluarga besar persilatan ini sudah turun temurun menjagoi daerah itu dengan kekayaan yang berlimpah-limpah. Meski tiga saudara, namun mereka hidup akur dan rukun, tri-tunggal yang kokoh kuat dan tak tergoyahkan, punya uang, ternama, berkuasa, berjiwa besar, luhur budi, setia kawan, berbakti, suka membela keadilan. Tiga saudara dengan keluarga masing-masing tinggal di dalam satu perkampungan besar, secara bergilir mereka meladeni ayah bundanya yang sudah lanjut usia.
Sikap Coat-taysu tampak prihatin, berat dan sedih, katanya pula, “Nah, dua puluh sembilan orang anggota keluarga marga Nyo itu, besar kecil, tua muda, seluruhnya mati dalam sekejap mata oleh golok Thiat Tin-thian. Tujuh belas perempuan muda yang masih hidup, ia jual ke markas tentara di perbatasan untuk dijadikan babu dan pelampias nafsu tentara yang rakus berahi itu.”
Mendadak Thiat Coan-gi meraung gusar sambil memburu ke depan, “Jangan kau mengoceh demi kebenaranmu sendiri. Tahukah kau kenapa ia berbuat demikian?” Suaranya beringas dan memilukan, “Tahukah kau dengan cara bagaimana ketiga saudara Nyo itu menyiksa dan membunuh ayah bundaku? Menggagahi isteriku dan membantai putra-putriku?”
Coat-taysu menyeringai dingin, jengeknya, “Itulah pembalasan atas perbuatanmu.”
“Betul, juga pembalasan atas perbuatan mereka!” hardik Thiat Tin-thian. “Tiga saudara Nyo dan seluruh keluarganya, akulah yang membunuhnya. Aku yang berbuat, aku yang bertanggung-jawab, tiada sangkut-paut dengan orang lain.” Lalu ia menuding beberapa orang yang tersebar di pekarangan, mereka adalah murid-murid berbagai perguruan yang dibawa Coat-taysu untuk menuntut balas, mereka siap menjagal Thiat Tin-thian dan Thiat Coan-gi, “Orang-orang ini tentu sanak-kadang atau teman baik keluarga Nyo, mereka sudah tahu kalau aku telah terluka oleh Sam-yang-coat-hu-jiu. Mereka juga tahu, bila dapat membunuh aku, nama mereka akan terangkat dan boleh menepuk dada di muka umum sebagai penumpas kejahatan. Sebaliknya kau adalah pendekar besar, Coat-taysu yang tersohor, tidak perlu kau ikut rebutan pahala, celaka kalau kau gugur di tanganku.”
Coat-taysu diam saja, hanya sorot matanya tampak gusar dan beringas.
Thiat Tin-thian juga makin beringas, lebih emosi, teriaknya, “Tapi aku belum mampus, kalian ingin merenggut jiwaku, maka kau undang orang-orang bodoh yang gila jasa ini, tapi yakinlah, sebelum aku ajal, aku masih mampu memelintir putus leher beberapa orang, memukul remuk badan mereka.”
Coat-taysu menyeringai, katanya, “Mereka membela keadilan, mengejar kebajikan, mati demi menuntut balas sakit hati teman, tidak perlu dibuat menyesal, aku tidak bisa dan takkan mencegah mereka berjuang demi kemuliaan.”
Thiat Tin-thian berkata, “Baiklah, aku akan menyempurnakan mereka sekuat tenagaku.” Lalu ia menuding Ji-liong, “Apa yang pernah kulakukan sedikit pun tiada sangkut-pautnya dengan orang ini. Asal kau membiarkan dia pergi, terserah siapa yang kau suruh memenggal leherku, aku pasti takkan membalas.”
Lama Coat-taysu mengawasinya dengan mata terpicing, sekilas ia menoleh ke arah Ma Ji-liong, “Sebelum hari ini, aku belum pernah melihat kau, kelihatannya kau bukan orang jahat.”
Ma Ji-liong hanya mendengar, tidak bicara, tidak bertanya, tidak membantah juga tidak memberi komentar.
“Sejak kapan kau berkenalan dengan Thiat Tin-thian?” tanya Coat-taysu.
“Baru saja,” sahut Ma Ji-liong.
“Ya, kapan?” desak Coat-taysu.
Thiat Tin-thian menimbrung, “Belum setengah hari ia kenal denganku.”
Coat-taysu menghela napas, katanya, “Kenal belum setengah hari tapi sudah rela mengadu jiwa untuk orang lain? Memang jarang ada manusia seperti dirimu.” Mendadak ia menoleh ke arah Ma Ji-liong, lalu katanya sambil mengulapkan tangan, “Kau pergi saja.”
----------------------ooo00ooo------------------------------------
Ma Ji-liong tetap berdiri di tempatnya, berdiri tegak tidak bergeming.
Coat-taysu menatapnya lagi sekian lama, kemudian ia bertanya, “Kau tak mau pergi?”
“Aku tidak akan pergi,” sahut Ma Ji-liong tegas. “Pasti takkan pergi.”
That Tin-thian meraung lagi, “Kau harus pergi, lekas pergi.”
“Hanya ada satu cara untuk memaksa aku pergi,” suara Ma Ji-liong lantang tapi tenang dan wajar, tegas lagi berani, “Bunuh aku dan gotong pergi.”
Memicing mata Coat-taysu, jengeknya, “Tidak sukar membunuhmu. Tadi kalau dia tidak menarikmu, sekarang kau sudah digotong pergi, tahu.”
“Aku tahu.”
“Kau ingin digotong pergi?”
“Ya, bila perlu dan terpaksa.”
“Kenapa kau ngotot ingin membela mereka?”
“Tidak kenapa.”
Bahwasanya jawaban ini tidak kena sasaran. Seseorang boleh 'tidak kenapa' berkenalan dan bersahabat dengan orang lain yang dianggap cocok, tidak memikirkan untung ruginya, tidak perduli akibatnya, juga tiada maksud dan tujuan tertentu. Tetapi setelah berkenalan dan bersahabat dengan orang itu, apa yang ia lakukan untuk temannya, bukan lagi dinilai dengan dua buah kata 'tidak kenapa', tapi lantaran suatu ikatan atau tepatnya karena adanya jalinan persahabatan yang meresap akrab lahir batin, yang pasti jalinan persahabatan itu sukar dijelaskan bentuknya.
Karena suatu tujuan lantas berbuat atau melakukan, demi keadilan berani melakukan, keberanian yang ditunjang kesetiaan, untuk memberikan pertanggungan jawab terhadap nurani dan rohani, supaya dirinya tidak bisa tidur di tengah malam mana kala sedang bermimpi buruk. Supaya dirinya tidak berdosa, menanggung beban batin di kala hidup, biar mati juga lega, mati dengan tenteram.
Kenapa bisa terjadi 'tidak kenapa'? Kalau sukses bagaimana? Kalau gagal kenapa pula? Kalau hidup kenapa? Kalau mati bagaimana?
Sukses atau gagal, mati atau hidup tetap takkan goyah, terus maju tak mau berpaling, tidak mau menundukkan kepala.
-----------------------------------ooo00ooo---------------------------------
Ma Ji-liong mengangkat kepala, sinar mentari menyorot mukanya. Walau wajahnya bukan lagi muka yang gagah dan tampan, bukan wajah yang bisa mempesona para gadis hingga jatuh cinta padanya, tapi siapa pun yang melihatnya, sikapnya pasti hormat dan serius.
Thiat Tin-thian mengawasinya, “Transaksiku tadi sebetulnya cukup baik, boleh sekarang juga teken kontrak, kenapa kau malah tidak setuju?”
“Karena aku juga akan menawarkan transaksi yang lebih baik untuk mereka, kutanggung bila syaratnya sudah kujelaskan, mereka akan menerima dengan senang hati,” demikian bantah Ji-liong.
“Transaksi apa?” tanya Coat-taysu. “Ada persoalan apa yang lebih baik daripada transaksi yang ia tawarkan tadi?”
“Mereka mempertaruhkan dua jiwa untuk menebus diriku,” demikian ujar Ma Ji-liong tertawa. “Jelas transaksi ini mengundang kerugian, kenapa aku setuju?”
“Lalu bagaimana dengan transaksimu?” tanya Coat-taysu.
“Kebalikannya, yaitu dengan satu jiwa menebus dua jiwa mereka,” sahut Ma Ji-liong.
Coat-taysu menyeringai dingin, “Transaksimu tak bisa diterima.”
“Lho, kenapa?”
“Tidak ada orang yang dapat menebus jiwa kedua orang ini,” sinis nada perkataan Coat-taysu. “Tidak ada jiwa seseorang di dunia ini yang bernilai setinggi itu.”
“Ada, hanya seorang saja,” seru Ji-liong. “Aku tahu ada seorang yang cukup setimpal untuk menebus jiwa mereka berdua.”
“Siapa dia?” tanya Coat-taysu.
“Ma Ji-liong.”
Memicing mata Coat-taysu begitu mendengar nama Ma Ji-liong, dahi pun berkerut.
Ma Ji-liong alias Thio Eng-hoat ini juga memicingkan mata. “Aku tahu orang yang ingin kalian cari bukan Thiat Tin-thian, Ma Ji-liong adalah buronan kalian yang utama.”
Coat-taysu mengangguk.
“Dengan jiwa Ma Ji-liong, setimpal tidak untuk menebus jiwa mereka?”
“Ya, cukup setimpal,” ujar Coat-taysu, jelas sekali perubahan mimik mukanya berusaha menekan emosi. “Sayang sekali siapa pun tidak bisa menemukan jejak Ma Ji-liong.”
“Ada orang yang bisa menemukan dan menunjukkan di mana sekarang ia berada,” seru Ma Ji-liong lantang. “Paling sedikit ada seorang yang dapat menunjukkannya.”
“Siapa yang bisa menunjukkan jejak Ma Ji-liong?”
“Aku!” teriak Ma Ji-liong lantang, jelas ia pun berusaha mengendalikan diri. “Bila kalian membebaskan kedua orang ini, aku tanggung kalian akan menemukan Ma Ji-liong.”
Mendadak Thiat Tin-thian bergelak tawa, “Kau memang kawan baik, transaksimu juga bagus sekali, sayang siapa pun takkan mau meneken kontrak yang kau tawarkan itu.” Suaranya serak dan tersendat. “Siapa mau percaya obrolanmu.”
Coat-taysu diam saja, tidak perduli. Ma Ji-liong juga tidak menghiraukan ocehan Thiat Tin-thian. Dua orang ini berhadapan, bertatap muka, saling pandang, meski mata memicing, tapi sorot mata mereka setajam jarum.
Sepatah demi sepatah Ma Ji-liong berkata, “Kau tentu tahu dan yakin, bahwa apa yang kuucapkan bukan obrolan. Aku tidak membual.”
“Ya, aku tahu,” sahut Coat-taysu. “Tapi aku tak bisa dan tidak akan membebaskan mereka lebih dulu sebelum memperoleh jaminan atau bukti.”
“Kau tidak percaya kepadaku?”
“Bila kau serahkan Ma Ji-liong, mereka segera kubebaskan.”
“Aku saksinya,” seru Pang Tio-hoan dari samping.
Ma Ji-liong menyeringai, “Kalian tidak percaya kepadaku, kenapa aku harus percaya kepada kalian?”
“Karena aku adalah Pang Tio-hoan dan dia adalah Coat-taysu, sebaliknya kau adalah manusia yang belum dikenal asal-usulnya.” Sebetulnya alasannya kurang tepat, tapi justru merupakan jawaban yang kena sasaran.
“Kalau kau ingin aku teken kontrak, kau harus patuh kepada kami,” demikian Coat-taysu menegaskan. “Kalau tidak, terpaksa kami bunuh Thiat Tin-thian lebih dulu, lalu membunuhmu.” Pernyataan yang tegas, memang Coat-taysu orang yang serba tegas, hatinya kaku, pendiriannya tidak pernah goyah, perasaannya beku, membunuh orang tanpa kenal kasihan.
Ji-liong tersudut, tiada pilihan lain, “Baiklah.” Sambungnya kemudian, “Aku percaya padamu.” Tinjunya mengepal, “Aku adalah orang yang kalian cari.”
“Jadi kaulah Ma Ji-liong.”
“Aku adalah Ma Ji-liong.”
Laki-laki setengah baya pemilik toko serba ada ini adalah Ma Ji-liong. Ma Ji-liong menyerahkan diri sendiri, mengkhianati diri sendiri. Kalau ada orang yang bertanya, “Kenapa kau menyerahkan diri?” Ma Ji-liong pasti tak bisa menjawab, karena tidak mungkin ia bilang 'tidak kenapa' lagi.
Padahal Ji-liong sendiri tidak sadar, tidak tahu apa yang mendorong ia berbuat demikian. Mungkin karena emosi? Atau karena darah yang mendidih di rongga dada? Karena setia kawan? Atau karena kobaran semangat dan ingin menjebol belenggu keadilan yang tak terpecahkan?
Kenapa orang disebut manusia, karena manusia punya perasaan, punya peri-kemanusiaan. Peri kemanusiaan yang paling diagungkan di dalam kemanusiaan itu sendiri justru sering tak bisa dijelaskan, susah dimengerti.
Ma Ji-liong mengangkat kepalanya, cahaya mentari masih menyinari mukanya, “Kau tidak mengenalku karena wajahku sudah dirias orang,” demikian ucap Ma Ji-liong. “Di sini aku bersembunyi sebagai pemilik toko serba ada, cukup lama orang tidak menemukan jejakku.” Karena tidak bisa memperlihatkan aslinya, terpaksa Ma Ji-liong membuka rahasia sendiri, soalnya Ji-liong tidak mampu mencuci bersih atau merubah wajahnya yang sudah dipermak menjadi wajah Ma Ji-liong yang asli. Giok Ling-long dengan Giok-jiu-ling-long-nya telah merubah kulit wajahnya dengan operasi yang tak mampu dilakukan orang lain. Namun rahasia ini tak mungkin Ji-liong jelaskan secara terperinci, karena rahasia orang lain pantang ia bocorkan. Tapi dalam perkara yang dihadapinya ini, Ma Ji-liong telah bicara dengan jujur, setiap patah kata adalah kenyataan. Maka ia bertanya, “Sekarang, apakah kalian mau membebaskan mereka?”
Coat-taysu menoleh ke arah Pang Tio-hoan, Pang Tio-hoan juga sedang mengawasinya. Rona muka mereka tidak kelihatan berubah.
“Bagaimana menurut pendapatmu?” tanya Coat-taysu.
“Bagaimana pendapatmu?” Pang Tio-hoan malah balas bertanya. “Kalau benar dia adalah Ma Ji-liong, apa alasan dia berkorban untuk menolong Thiat Tin-thian?”
“Ya, tiada alasan,” ujar Coat-taysu. “Sedikit pun tidak ada alasannya.”
Mendadak Thiat Tin-thian bergelak tawa, “Aku tahu kau tidak akan dapat menipu mereka, aku juga tahu siapa pun takkan mau percaya obrolanmu.” Begitu keras ia tertawa sampai napasnya sesak, mulut pun megap-megap.
Ma Ji-liong juga ingin tertawa, tertawa sepuas-puasnya, tapi ia tidak bisa tertawa. Ucapannya bukan bualan, setiap patah kata yang ia ucapkan adalah kenyataan, tetapi tidak ada orang yang percaya kepadanya. Bukankah kejadian ini amat lucu dan menggelikan? Kejadian yang mengundang gelak tawa orang hingga air mata meleleh.
Kalau Ji-liong bisa tertawa, kalau air matanya meleleh, termasuk jenis apakah air matanya?
Thiat Tin-thian masih berloroh-loroh, tampak air matanya sudah meleleh di pipi, termasuk jenis apa pula air matanya?
“Kau adalah keroco yang tidak diketahui asal-usulnya, tapi aku adalah Hoan-thian-hu-te, perampok besar yang kejam, umpama jiwamu rangkap sepuluh juga takkan dapat menukar satu jiwaku, lekas kau pergi saja.”
Ma Ji-liong membandel, dia tidak mau pergi.
Loroh tawa Thiat Tin-thian mendadak berhenti, mendadak ia meraung, “Kontrak dagangmu jelas gagal, kenapa tidak lekas kau enyah dari sini?”
“Karena ia adalah kawanmu, kawanmu adalah sahabat baikmu,” dingin suara Coat-taysu. “Sebagai sahabat baik, ia bertekad untuk mengiringi kematianmu di sini.”
Mendadak Thiat Tin-thian membalikkan tubuh, menatapnya dengan beringas, sorot matanya memancarkan sinar gusar, ngeri dan panik. “Tadi kau bilang suruh dia pergi.”
“Ya, aku pernah bilang, kusuruh dia pergi.”
“Sekarang apakah kau tetap menyuruhnya pergi?”
“Bukan aku yang melarang dia pergi, tapi dia sendiri yang tidak mau pergi,” dingin suara Coat-taysu. “Tidak pernah aku memaksa orang, maka siapa pun kularang memaksa dia pergi. Kalau ada yang berani memaksa dia pergi, biar aku yang membunuhnya lebih dulu.”
Melotot bola mata Thiat Tin-thian, ujung matanya seperti hampir merekah, “Aku mengerti, aku sudah mengerti.” Desis suaranya setengah memekik sedih, “Sekarang aku sudah tahu.”
“Kau tahu apa?” tanya Coat-taysu.
Gemertak gigi Thiat Tin-thian, tinjunya terkepal, desisnya geram, “Jiwamu sempit pikiran cupat, hati kejam tangan gapah. Aku masih menganggap kau sebagai manusia lumrah, tapi kau tidak bisa membedakan atau tidak mau membedakan salah dan benar, main bunuh habis perkara, aku tetap menganggapmu sebagai manusia. Thiat Tin-thian malang melintang seumur hidup, tak terhitung manusia yang terbunuh oleh kedua tanganku, bukan mustahil aku pernah salah membunuh orang yang tidak berdosa, membunuh orang yang terfitnah, lalu apa artinya kalau suatu ketika aku juga difitnah orang, umpama terpenggal batok kepala atau hancur luluh tubuhku juga lumrah.” Dengan nada tinggi dan beringas, ia meraung pula, “Tapi sekarang aku tahu, kenyataan membuktikan bahwa kau bukanlah manusia.”
Coat-taysu mendengarkan sambil memicingkan mata, lalu ia bertanya, “Kau ingin melihat kawanmu mati lebih dulu? Atau ingin membiarkan temanmu melihat kau mampus dengan konyol?”
Mendadak Thiat Tin-thian memekik keras, bagai serigala kelaparan ia menjejakkan kaki terus menubruk dengan kalap ke arah Coat-taysu. Tenaganya sudah hampir habis, tapi tubrukan kalap dengan sisa tenaganya ini seperti singa mengamuk.
Pada saat genting itulah, dari luar pekarangan mendadak berkumandang suara merdu yang melengking tajam, “Semua orang ingin hidup sehat, kenapa di sini ada orang yang ingin mati?”
Di saat nada tinggi merdu itu bergema di udara, dari luar tembok tampak muncul segumpal halimun tebal yang melayang kencang ditiup angin, halimun tebal warna hijau pupus yang melebar secara cepat itu ternyata berbau harum seperti kembang melati.
Bila beberapa patah kata ucapan merdu tadi selesai diucapkan, halimun tebal tadi sudah berubah menjadi kabut hijau yang berkembang luas, setebal asap cerobong tungku besar yang bergulung-gulung ke empat penjuru. Padahal halimun hijau itu bukan kabut, kabut hijau itu bukan halimun.
Tak ada kabut warna hijau di dunia ini, tapi kelihatan bahwa yang tertiup oleh hembusan angin lalu itu adalah kabut. Dalam jarak dekat, orang yang terbungkus dalam kabut tidak bisa melihat orang atau keadaan di sekitarnya.
Seumpama Ma Ji-liong betul adalah Ma Ji-liong, tapi kalau dipandang dan diamat-amati ternyata tidak mirip dan bukan Ma Ji-liong.
Tubrukan nekat Thiat Tin-thian sebetulnya merupakan tubrukan mengadu jiwa dengan sisa tenaga terakhir, sergapan yang akan menentukan mati atau hidup. Thiat Tin-thian sudah bertekad mati, rela berkorban untuk menyelamatkan Ma Ji-liong, tetapi ia tidak mati, karena di saat tubuhnya terapung di udara, tahu-tahu tubuhnya malah tertarik mundur ke belakang.
Ternyata berbareng dengan tubrukan Thiat Tin-thian itu, Ma Ji-liong juga menubruk di belakangnya. Dengan kedua tangan ia cengkeram ikat pinggangnya serta menarik sekuat tenaga. Di sana Coat-taysu juga sudah siap menyambut tubrukannya, tapi ia tidak jadi melontarkan pukulannya.
Begitu suara merdu itu bergema, kabut pun datang, gerakannya pun terhenti, wajah yang semula kaku mendadak menunjukkan mimik aneh, romannya kelihatan ganjil.
Hanya sekejap Coat-taysu sudah tidak melihat Thiat Tin-thian lagi, kabut hijau itu seperti terhembus keluar dari mulut iblis raksasa, seakan-akan pekarangan kecil itu mendadak ditelan bulat-bulat. Kecuali kabut tebal itu, apa pun tidak terlihat lagi.
Lekas Ma Ji-liong membawa Thiat Tin-thian pulang kembali ke toko serba ada miliknya itu.
Coat-taysu dan kawan-kawannya juga tidak bisa melihat apa pun, sudah tentu mereka tidak berani sembarangan bertindak, demikian pula Ma Ji-liong yang seperti orang buta di tempat itu. Tapi sebagai penduduk yang sudah sekian bulan tinggal di daerah itu, sedikit banyak ia sudah hafal keadaan sekelilingnya, apalagi ia pernah beberapa kali dolan ke rumah To Po-gi. Maka Ji-liong tidak kuatir dirinya salah langkah seperti yang dikuatirkan Coat-taysu. Ia tidak takut dibokong, juga tidak takut menumbuk tembok hingga tulang patah dan kepala bocor. Seorang yang sudah berani mempertaruhkan jiwa raga, sudah siap berlaga dan mati di medan perang, lalu apa lagi yang ditakuti? Dengan leluasa Ji-liong sampai di rumah tanpa kurang suatu apa pun.
-----------------------------------ooo00ooo--------------------------------------
Umumnya kalau orang tidur agak dini tentu bangunnya juga lebih pagi. Penduduk kampung itu kebanyakan tidur sore-sore, biasanya begitu kokok ayam mulai bersahutan penduduk sudah banyak yang bangun. Begitu fajar menyingsing, toko serba ada itu juga sudah buka pintu.
Tapi hari ini agak berbeda, keadaan tidak seperti biasanya.
Dengan menggendong Thiat Tin-thian, Ma Ji-liong melompat masuk lewat pintu samping. Sebelumnya ia sudah putar kayun keluar masuk lorong-lorong kampung yang sempit, jorok dan bau untuk menghilangkan jejak dari pengejaran musuh. Setelah yakin dirinya tidak dikuntit, langsung ia berputar ke belakang dan melompat masuk dari tembok belakang.
Begitu diturunkan, Thiat Tin-thian tampak lemah dan lesu, mirip orang lumpuh. Walau sergapannya tadi berhasil digagalkan oleh Ji-liong, tapi dia sudah terlanjur mengerahkan seluruh sisa tenaganya, kini tenaga seperti lepas dari badan sehingga sekujur tubuh terasa lemas lunglai.
Waktu Ma Ji-liong menyeretnya lari tadi, terpaksa dia menurut saja, padahal dia tidak bisa melupakan saudaranya, Thiat Coan-gi. Walau Thiat Coan-gi bukan saudara kandungnya, tapi selama beberapa tahun belakangan ini mereka berjuang bersama dan bertempur berdampingan, mati hidup juga harus bersama. Di antara dua saudara ini sudah terjalin ikatan batin yang kental, persahabatan yang kekal, lebih kental dibanding kentalnya darah.
“Aku tak boleh meninggalkan Coan-gi di sana,” demikian desis Thiat Tin-thian waktu dirinya digendong Ma Ji-liong. “Kita harus kembali dan menolongnya juga.”
Kalau saat itu putar balik bukan saja sudah tidak keburu, salah-salah jejak mereka bisa ketahuan musuh pula.
“Yang diburu Coat-taysu bukan dia,” demikian bujuk Ma Ji-liong. “Sebelum kau jatuh ke tangan mereka, mereka pasti tidak akan membunuhnya.”
Pekarangan belakang toko serba ada ini, bentuk dan luasnya mirip dan sama dengan pekarangan rumah To Po-gi, cuma di sini tidak ada sumur. Di tengah pekarangan dibangun sebuah rumah tambahan di mana Thio-lausit tidur. Kamar tempat tinggal Thio-lausit tampak terbuka, Thio-lausit tidak berada di kamarnya, juga tidak ada di dapur, sementara pintu kamar mandi terpalang dari luar.
Umpama belum tidur pulas, Cia Giok-lun tentu terlena meski hanya sekejap, demikian batin Ma Ji-liong. Perlahan-lahan dan dengan sangat hati-hati, Ma Ji-liong mendorong daun pintu, lalu menyelinap masuk. Tiada gangguan atau suara lirih sekalipun yang dapat mengejutkan seseorang sehingga terjaga dari tidurnya.
Setelah diturunkan, Thiat Tin-thian dibimbing duduk di kursi rotan di mana ia biasa duduk istirahat. Lalu ia berlari ke toko untuk mengambil segentong garam dan sekeranjang telur ayam, ditaruh di dekat Thiat Tin-thian. Bayangan Thio-lausit ternyata juga tidak kelihatan di dalam toko.
Setelah melalap beberapa genggam garam dan dua butir telur ayam, keadaan Thiat Tin-thian kelihatan lebih segar, barulah ia bicara, “Ini toko serba ada milikmu?”
“Ehm,” Ma Ji-liong mengiakan.
“Siapakah perempuan di atas ranjang itu?” tanya Thiat Tin-thian. “Binimu?”
Susah Ji-liong menjawab pertanyaan orang. Ia tidak ingin membohongi Thiat Tin-thian, namun ia juga tidak tahu, pantaskah ia mengakui hal itu? Atau harus menyangkal? Hakikatnya ia tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Untung Thiat Tin-thian tidak bertanya lagi, ia menghela napas, “Seharusnya kau tidak membawa aku ke tempat ini, tidak pantas aku berada di sini.”
“Bukan saja kau harus kubawa ke mari, aku pun harus menyelamatkan jiwamu.”
“Kenapa?” tanya Thiat Tin-thian tidak habis mengerti.
“Karena di sini ada seseorang yang mungkin dapat menyembuhkan lukamu.”
Bercahaya bola mata Thiat Tin-thian, betapa pun ia senang, bergairah dan menyala semangatnya. Asal ada orang yang dapat menyembuhkan luka-lukanya, itu berarti ia punya keyakinan lagi untuk menghadapi Coat-taysu, menuntut balas sakit hatinya. Dulu ia terlalu percaya diri, terlalu yakin bahwa dirinya mampu dan kuat, sepenuh tenaga pukulan mengadu kekuatan melawan Coat-taysu, umpama bukan tandingan juga harus gugur bersama. Kini setelah pengalaman membuktikan dirinya bukan tandingan lawan, bahkan terluka parah lagi, maka Thiat Tin-thian tidak berani mengulangi kesalahan, memburu keinginan yang belum pasti.
“Siapa yang dapat menyembuhkan lukaku?” ingin Thiat Tin-thian bertanya, tapi belum ia membuka suara, seseorang sudah menyeletuk bicara.
Ma Ji-liong mengira Cia Giok-lun yang diam tak bergerak itu sudah tertidur pulas, tapi mendadak ia bersuara, “Memang tidak pantas kau membawa orang ini ke sini. Ketahuilah, di sini pasti tiada orang yang bisa menyembuhkan luka-lukanya. Kecuali keluarga Cia dan orang-orangnya, siapa pun takkan dapat menolong jiwanya.”
“Tapi kau........”
Mendadak Cia Giok-lun melotot, serunya, “Aku bukan anggota keluarga Cia yang kau maksud, aku adalah bini pemilik toko serba ada ini.”
Cia Giok-lun tahu, inilah kesempatan dirinya untuk memaksa Ma Ji-liong membeberkan kenyataan, sudah tentu ia tidak mau mengabaikan peluang baik ini.
Mendadak Thiat Tin-thian berdiri, ia mencomot lagi beberapa genggam garam serta ditelannya, lalu mencaplok dua butir telur ayam, “Biar aku pergi saja.” Lalu ia betul-betul melangkah pergi. Sudah dua puluh tahun ia malang melintang, ia tahu di balik persoalan dan keadaan di rumah ini, pasti terselip sesuatu yang tidak boleh dijelaskan. Ia tidak ingin menyudutkan Ma Ji-liong, membuatnya serba susah. Ia tidak mau dan pantang membuat teman yang mempercayai dirinya susah.
Jikalau kau ingin bersahabat dengan seorang teman, kau harus mengukir perkataan ini di dalam sanubarimu. Seorang kawan sejati, pasti tak membiarkan kawannya susah, apalagi menderita.
Cia Giok-lun tidak memberi kesempatan Ma Ji-liong bicara, katanya, “Kau memang harus lekas pergi, sekarang juga.”
Tidak dinyana Thiat Tin-thian malah duduk kembali, “Aku tidak boleh pergi.”
“Kenapa?” tanya Cia Giok-lun.
Jawaban Thiat Tin-thian justru ditujukan pada Ma Ji-liong. “Biar aku tinggal di sini. Bila mereka meluruk ke mari, aku akan membantu kalian menghalau mereka atau mengadu jiwa.”
“Mencari aku?” Ji-liong menegas dengan bingung. “Mana mungkin mereka mencari aku?”
“Bukankah Ma Ji-liong adalah buronan mereka yang utama, maka sekarang kaulah orang yang mereka cari dan uber.”
Ma Ji-liong menggelengkan kepala, ia tidak mengerti.
Thiat Tin-thian menghela napas, katanya, “Apa kau kira mereka tidak percaya pada perkataanmu tadi?”
“Kau kira mereka percaya?”
“Pasti percaya, percaya sekali.”
“Tapi, bukankah mereka tidak mau menerima usulku?”
“Jangan bodoh. Kalau mereka menerima usulmu dan mengakui bahwa kau benar adalah Ma Ji-liong, maka mereka harus membebaskan kami berdua,” ujar Thiat Tin-thian sambil menyeringai dingin. “Kita bertiga sudah terkepung, seumpama burung dalam sangkar, siapa pun tak mampu lari atau meloloskan diri, kenapa mereka harus menerima persyaratanmu? Kenapa harus membebaskan aku?”
Ma Ji-liong melenggong, berdiri menjublek sekian saat, mulutnya bungkam tak bisa tertawa. Sekarang ia sadar dan mengerti, betapa keji dan culas hati manusia yang sudah berkecimpung di Kangouw, lika-liku kehidupan kaum Bulim kadang kala sukar dibayangkan dengan nalar sehat.
Sejak tadi Cia Giok-lun diam dan mengawasi Ma Ji-liong, mendadak ia meronta bangun dan duduk, serunya, “Jadi kau inilah Ma Ji-liong, penjahat besar yang buron itu?” Suaranya serak, “Kau inikah Ma Ji-liong yang durjana dan sudah kelewat batas melakukan kejahatan itu?”
Darah seperti mendidih di rongga dada Ma Ji-liong, amarahnya berkobar, rasa penasaran membuat ia naik pitam, “Betul, aku adalah Ma Ji-liong,” suaranya juga serak. “Aku adalah Ma Ji-liong, keparat yang telah banyak melakukan kejahatan.”
Thiat Tin-thian menjublek di atas kursi.
Tahun-tahun belakangan ini, jarang ada kejadian apa pun di dunia ini yang bisa membuatnya kaget, apalagi menjublek. Tapi perempuan ini seharusnya adalah bini Ma Ji-liong, kenapa dia tidak tahu kalau Ma Ji-liong adalah Ma Ji-liong?
Ternyata Cia Giok-lun juga menjublek di tempatnya, lama sekali baru dia menarik napas panjang, desisnya perlahan, “Kau bukan Ma Ji-liong.”
“Akulah Ma Ji-liong, Ma Ji-liong tulen.”
“Kau bukan Ma Ji-liong, bukan Ma Ji-liong!” demikian teriak Cia Giok-lun, tegas suaranya. “Ma Ji-liong adalah penjahat keji lagi telengas, perbuatan kotor apa pun berani dan pernah ia lakukan......” Mendadak suaranya berubah halus dan lembut, “Tapi sudah tiga bulan dua puluh hari aku tinggal di sini berdampingan denganmu, aku tahu dan yakin kau pasti bukan orang jahat, kau alim dan bajik, jujur lagi.”
Ji-liong diam saja, ia memang tak mampu bicara, tenggorokannya seakan tersumbat. Sejak kasus ini terjadi, ia sudah mulai biasa dihina, dicaci maki, difitnah. Rasa kasihan dan simpati orang lain terhadapnya malah mengundang rasa sedih, murung dan masygul serta membuat hatinya mendelu.
Pada saat itulah di dalam toko mendadak terdengar suara orang, suara Thio-lausit. Ji-liong sungkan berhadapan dengan Cia Giok-lun, maka ia segera memburu keluar.
Ternyata Thio-lausit memang ada di dalam toko, sedang menyapu lantai, gelagatnya ia siap membuka toko.
Ma Ji-liong menatapnya beberapa kejap. “Kau sudah pulang?” tanyanya.
“Aku tidak pulang,” sahut Thio-lausit. “Aku tidak pernah keluar, kenapa harus pulang?”
Apa betul dia tidak keluar? Jelas tadi dia tidak berada di dalam rumah, juga tidak ada di dapur, di toko juga tidak kelihatan bayangannya. “Tadi aku berada di kakus,” demikian Thio-lausit menerangkan.
Padahal pintu kakus dipalang dari luar, itu berarti dia juga tidak berada di sana. Siapa pun pasti maklum, orang yang membuang hajat tentu menutup dan memalang daun pintu dari dalam, hal ini sudah diperiksa dan diperhatikan oleh Ma Ji-liong.
Setelah mengalami musibah ini, Ma Ji-liong sudah belajar banyak, sudah pandai memperhatikan urusan-urusan kecil, karena sekarang ia sudah tahu, banyak urusan besar berhasil dilihat, dinilai dan dibongkar dari urusan kecil yang tidak berarti. Kini diam-diam Ji-liong merasa bahwa pegawainya yang setia ini ternyata tidak jujur.
Pada umumnya sebelum membuka pintu, toko serba ada perlu mengadakan pemeriksaan pada barang-barang persediaannya, barang apa yang kurang dan perlu ditambah, menata kembali secara rapi dan lain sebagainya, persiapan selalu diperlukan demi memberikan pelayanan yang baik. Sebagai pegawai lama dan sudah berpengalaman, Thio-lausit setiap pagi mengerjakan semua itu dengan rapi dan beres. Apalagi sudah delapan belas tahun sejak toko serba ada ini dibuka Thio-lausit sudah bekerja di sini, ia rajin bekerja, jujur dan setia, pengadaan barang berada dalam tangannya, kalau di dalam toko mendadak kehilangan segentong garam dan sekeranjang telur ayam, tidak mungkin ia tidak tahu.
Tapi Thio-lausit justru diam saja, seperti sudah tahu di mana barang itu berada, maka ia bersikap adem-ayem saja.
Kemarin sore turun hujan lebat, lumpur di jalan kampung itu cukup tebal dan becek. Sepatu Thio-lausit juga kelihatan berlumpur meski sedikit, belum kering juga, ini menandakan bahwa barusan ia berada di jalanan. Apa betul barusan ia keluar? Ke mana? Kenapa tidak berterus terang?
Mendadak Ma Ji-liong sadar, bukan saja pegawainya ini tidak jujur, gerak-geriknya juga misterius, aneh dan patut dicurigai.
Sudah dua kali Ma Ji-liong dihinggapi perasaan seperti ini.
Thio-lausit sudah siap membuka daun pintu.
Tapi baru saja tangan Thio-lausit menurunkan palang pintu, Ma Ji-liong mendadak berkata, “Hari ini kita tutup toko saja.”
Thio-lausit menoleh dengan memiringkan kepala, katanya kemudian, “Apakah hari ini hari besar?”
“Bukan.”
“Hari ini kita merayakan sesuatu?”
“Tidak.”
“Lalu kenapa kita tidak membuka toko?”
Sudah tentu Ma Ji-liong tidak bisa memberikan penjelasan, juga tak bisa mengarang cerita untuk mencari alasan. Ji-liong memang bukan pembual. “Toko ini adalah milikku, aku yang berkuasa di sini,” terpaksa Ma Ji-liong mengada-ada. “Kalau aku bilang hari ini tutup, maka toko tidak buka.”
Thio-lausit menundukkan kepala, beberapa kejap ia terpekur. Alasan yang dikemukakan majikannya sebetulnya tidak tepat, tapi sebagai pegawai ia harus tunduk dan patuh pada perintah majikan. Tapi nyonya majikan yang berada di kamar justru menentang.
“Hari ini toko kita tetap buka seperti biasa, apa yang ia katakan jangan dituruti.” Itulah suara Cia Giok-lun. Di mana-mana, omongan juragan perempuan memang jauh lebih manjur, lebih berwibawa dan disegani dibanding juragan sendiri.
Ma Ji-liong memburu masuk, ia mulai naik pitam, “Kenapa omonganku tak boleh dituruti? Kenapa kau mencampuri urusanku?”
“Bukannya aku mencampuri urusanmu, tapi temanmu ini yang meminta aku turut campur,” demikian sahut Cia Giok-lun.
Thiat Tin-thian berkata, “Toko serba ada ini harus dibuka seperti biasa.”
Ma Ji-liong menggelengkan kepala, ia tidak mengerti.
“Sekarang mereka sudah tahu bahwa pemilik toko serba ada ini adalah Ma Ji-liong. Setiap saat mereka bisa meluruk ke sini, kenapa aku harus membuka pintu mengundang mereka masuk?”
“Justru mereka sudah tahu kau ada di sini, maka kau harus tetap membuka toko seperti biasa.”
“Kenapa?”
“Kalau toko serba ada ini tutup, mereka pasti meluruk ke mari dan menerjang masuk dengan kekerasan, dengan menjebol pintu,” demikian kata Thiat Tin-thian. “Biar kita buka saja pintu toko seperti biasa. Mereka belum tahu bagaimana keadaan kita di sini, aku berani menjamin mereka takkan berani sembarangan bertindak.”
Dengan suara dingin Cia Giok-lun menimbrung, “Kelihatannya setiap orang yang ada di sini dapat berpikir lebih cermat dibanding engkau.”
Terpaksa Ma Ji-liong mengancing mulut, terpaksa ia harus mengakui apa yang dipikir Cia Giok-lun dan Thiat Tin-thian memang lebih cermat dan teliti, tapi bagaimana dengan Thio-lausit? Apakah pegawai yang belum pernah berkecimpung di Kangouw ini juga memikirkan hal ini?
------------------------------------ooo00ooo-------------------------------------
Empat lembar daun pintu sudah diturunkan dan ditaruh di pinggir, toko serba ada dibuka seperti biasa. Thio-lausit memegang sapu, melanjutkan pekerjaannya membersihkan lantai dan barang-barang dalam toko dibetulkan letaknya, seolah-olah ia sudah menyadari sebentar lagi toko ini akan dibanjiri pembeli yang royal membuang duit, maka ia rajin bekerja sebagai tanda hormat untuk menyambut mereka.
Suasana di jalan kampung ternyata tenang-tenang saja, tidak terdengar suara apa pun.
Waktu Cukat Bu-hou (Cukat Liang) di jaman Sam Kok merancang muslihat kota kosong yang terkenal itu, bukankah ia juga menyuruh tentara-tentara yang lanjut usia dan cacat badan untuk membersihkan jalan dan membuka pintu kota untuk menyambut kedatangan Suma Gi?
Bukankah Suma Gi yang banyak curiga itu tak berani menerjang masuk ke dalam kota setelah melihat keadaan itu?
Demikian pula peristiwa hari ini, bukankah seperti kenyataan dulu, padahal hikayat kuno itu sampai sekarang masih sering dipuji dan diperbincangkan orang banyak, siapa pun mengacungkan jempol memuji kecerdikan Cukat Liang. Pembuat karya cerita ini jelas juga seorang cerdik pandai.
Mendadak Thiat Tin-thian bertanya, “Orang yang menyapu di luar itu, apakah dia pegawaimu?”
“Ya, pegawai lama.”
“Orang macam apa dia?”
“Orang jujur, pegawai setia,” seolah-olah Ma Ji-liong sedang membohongi diri sendiri. “Ia bernama Thio-lausit.”
Bercahaya bola mata Thiat Tin-thian, katanya, “Aku suka orang jujur.” Omongannya mengandung arti 'hanya orang jujur yang bisa menipu orang-orang jahat, keji dan banyak curiga'. Ia menyeringai dingin, “Coat-taysu yang terkenal di seluruh jagad sebagai kuncu itu, jelas adalah manusia rendah yang jahat dan banyak curiga.”
Ji-liong meresapi perkataan orang, betapa berang hatinya.
“Ia percaya kalau kau adalah Ma Ji-liong, ia bisa membunuh Thiat Tin-thian lebih dulu baru menjagal Ma Ji-liong. Kalau ia berani berbuat demikian, aku malah kagum dan memujinya,” Thiat Tin-thian tertawa dingin, sambungnya, “Tapi ia tidak berani, di hadapan orang banyak ia tidak akan melakukan perbuatan yang ingkar janji dan menjilat ludah sendiri, ia harus bersikap sedemikian rupa supaya orang tahu bahwa ia betul-betul gembongnya yang membenci kejahatan.” Dengan kencang ia mengepalkan tinju dan mengacungkannya di atas kepala, “Sungguh gemas dan benci, kenapa aku tidak dapat mencacah hancur Kuncu palsu itu, ingin aku memberantas jiwa munafik orang-orang yang berkedok Kuncu.”
Mendadak Cia Giok-lun menghela napas panjang, katanya, “Sayang sekali kau tidak mampu membunuhnya, tiada seorang pun Kuncu yang pernah kau bunuh, kau sendiri malah yang akan mampus.”
Kenyataan memang demikian, siapa pun tidak akan membantah, kenyataan tak pernah kenal kasihan. Betulkah kenyataan itu kejam?
Cia Giok-lun berkata pula, “Umpama mereka tak tahu keadaan di sini, belum berani sembarangan bergerak, tapi toko serba ada ini tentu diawasi, sudah dikepung, jangan harap kalian bisa meloloskan diri dari tempat ini.” Suaranya mengandung makna yang aneh. Entah merasa kasihan? Sedih atau menyindir? “Kalian dipaksa menunggu di sini, aku pun dipaksa menunggu bersama kalian. Tapi pasti, entah cepat atau lambat mereka akan menyerbu, bukan mustahil sekarang juga sudah mengutus orang untuk menyelidiki keadaan di sini. Tidak sukar untuk mencari tahu keadaan kalian, karena tempat ini adalah toko serba ada, siapa pun boleh ke mari pura-pura membeli ini dan itu.” Dengan suara tawar, Cia Giok-lun melanjutkan, “Bila mereka meluruk datang, mungkin aku harus mampus bersama kalian, aku akan mati konyol dan penasaran.”
Ini pun kenyataan, tidak bisa dibantah. Cia Giok-lun mengawasi Ma Ji-liong, “Aku tidak perduli apa dulu kau pernah melakukan kejahatan. Aku ingin tanya kepadamu.” Pertanyaannya ini terasa seperti pecut, “Kau menyeret aku ke dalam kancah ini, mati secara penasaran, apakah dalam sanubarimu tidak merasa berdosa?”
Begitu pertanyaan itu dilontarkan, pecut seperti menghajar tubuh Ma Ji-liong. Tidak boleh, ia tidak boleh berbuat dosa terhadap gadis yang tidak bersalah, maka Ma Ji-liong berkata, “Aku akan memberitahu kepada mereka bahwa kau tidak bersalah, tidak tahu apa-apa, tiada sangkut-paut dengan kasus ini.” Serak gemetar suaranya, lanjutnya, “Aku bisa mengantar kau keluar lebih dulu.”
Cia Giok-lun menyeringai dingin, “Ke mana kau bisa menyingkirkan aku? Mereka mau percaya bahwa aku tidak terlibat dalam kasus ini? Agaknya kau ingin melihat mereka menyeret diriku seperti mencincang anjing kurap ke tempat jagal? Supaya aku disiksa dan dikompas?”
Ma Ji-liong sudah merasa dirinya seperti disiksa dan dikompas, ia kehabisan akal, “Memangnya apa yang harus dilakukan?”
“Bukan aku ini suka ribut dan bikin gara-gara, aku hanya menuntut beberapa hak milikku saja.”
“Hak milik apa? Apa yang harus kukembalikan?”
“Kembalikan wajah asliku, pulihkan kondisi badan dan ilmu silatku,” mendadak Cia Giok-lun memekik dengan luapan amarah yang tak terbendung. “Entah dengan cara apa kau membuatku begini. Jika kau seorang bajik, masih punya nurani, sekarang juga pulihkan keadaanku.”
Sudah tentu Ma Ji-liong mati kutu, mana mungkin ia mengembalikan apa yang dituntut oleh Cia Giok-lun itu? Karena tak berani beradu pandang, Ji-liong melengos ke arah lain. Ia tahu dirinya mirip maling kesiangan, dalam hati ia berharap gadis yang satu ini memegang cemeti, ia rela dirinya dihajar dan disiksa dengan cara yang paling kejam daripada memikul beban batin yang tak berujung pangkal.
Di tengah keheningan itulah, tiba-tiba Thiat Tin-thian buka suara dengan nada rendah, “Kelihatannya langganan pertama sudah datang untuk berbelanja.”
Setiap pembeli, entah siapa pun dia, mungkin adalah utusan Coat-taysu atau mata-mata yang ditugaskan untuk menyelidiki keadaan di sini.
Otot hijau di jidat Thiat Tin-thian tampak merongkol keluar, “Coba kau dengar, dia membeli apa? Apa betul membeli barang-barang keperluan yang dibutuhkan? Atau akan membeli jiwa kita?”
Yang datang adalah nyonya muda yang sedang hamil tua itu.
Sebelum keluar Ma Ji-liong sudah mendengar tawa cekikikan nyonya centil itu. Di sekitar kampung ini, nyonya muda ini memang terkenal cerewet dan suka mencampuri urusan orang lain. Kecuali suka mengobrol, ia juga perempuan yang paling suka tertawa.
Hari ini dia kelihatan riang, senyum lebar selalu menghiasi wajahnya, riang dan senang karena benih-benih kehidupan yang dikandungnya genap sembilan bulan, tak lama lagi bakal lahir dari rahimnya.
Ma Ji-liong tidak keluar, ia berdiri di belakang pintu. Terhadap orang yang satu ini, ia boleh merasa lega. “Dia langganan lama yang tinggal di sebelah, setiap hari dia datang membeli ini itu.”
“Setiap hari datang? Membeli apa?” tanya Thiat Tin-thian.
“Paling sering membeli gula merah,” tutur Ma Ji-liong. “Ia berpendapat gula merah seperti Jin-som, bukan saja dapat menambah kesehatan badan, juga bisa menyembuhkan berbagai penyakit.”
Orang biasa tidak mampu membeli Jin-som karena mahal harganya, terpaksa mereka membeli gula merah. Jin-som dan gula merah sama-sama adalah kepercayaan hidup manusia, seperti orang yang memuja malaikat dewata, ada pula yang memuja roh suci.
Di luar dugaan, nyonya muda yang hamil tua itu hari ini bukan membeli gula merah. Ma Ji-liong mendengar ia sedang bicara dengan Thio-lausit, “Aku tahu kau pasti heran,” demikian katanya merdu dengan cekikikan, “Karena hari ini aku tak membeli gula merah seperti biasanya.”
“Kau mau beli apa?” Thio-lausit bertanya.
“Beli garam,” sahut nyonya muda itu.
Di toko ini memang ada menjual garam, setiap keluarga setiap harinya membutuhkan garam, maka tidak perlu dibuat heran kalau ada orang yang membeli garam.
“Beli berapa?” tanya Thio-lausit pula.
“Malam nanti aku akan membikin dendeng dan telur asin, makin asin makin enak, rasanya tanggung lezat,” nyonya muda itu sengaja memberi penjelasan. “Aku beli tiga puluh kati garam.”
Setiap hari banyak penduduk kampung yang membeli garam untuk masak atau keperluan lain, namun jarang ada yang sekaligus beli tiga puluh kati. Padahal toko serba ada di mana pun jarang ada yang menyediakan garam lebih dari dua puluh lima kati, persediaan sebanyak itu pun sebulan baru habis terjual.
Suasana menjadi tegang di dalam rumah. Otot hijau di jidat Thiat Tin-thian tampak lebih besar. “Suruh dia masuk ke mari,” desisnya dengan suara gemetar. “Kalau dia tidak mau masuk, bekuk dan seret dia.”
Ma Ji-liong tidak bergerak dari tempatnya, ia hanya menggelengkan kepala.
“Kenapa kau tidak keluar?”
“Perutnya besar,” ucap Ma Ji-liong tegas.
Ada sementara persoalan dalam keadaan bagaimana pun tidak boleh dilakukan, tidak mau melakukan. Biar mati tetap tidak akan dilakukan.
Tin-thian menatapnya sekian lama. Mendadak ia menghela napas dengan lesu, ujarnya, “Kau memang orang yang baik, belum pernah aku melihat orang sebaik kau, sayang jarang ada manusia seperti kau di dunia ini, umpama ada jumlahnya juga sangat sedikit.”
Tiba-tiba Cia Giok-lun juga menghela napas gegetun, katanya, “Betul, aku pun tak pernah melihat orang sebaik dia.”
---------------------------------ooo00ooo-----------------------------------------
Nyonya muda itu sudah pergi sambil membusungkan perutnya yang besar. Thio-lausit sudah memberitahu kepadanya, “Garam sudah terjual habis, persediaan belum datang, lebih baik nanti sore kau kembali lagi.”
Sebelum pergi nyonya muda itu cekikikan geli. Agaknya ia merasa lucu, toko serba ada sampai kehabisan bahan persediaan, tidak heran kalau ia cekikikan geli.
Thiat Tin-thian berkata, “Kau biarkan dia pergi, berarti kau memberitahu Coat-taysu bahwa aku ada di sini, karena garam yang ada di toko ini diperuntukkan buatku.”
Sudah tentu Ma Ji-liong maklum dan tahu akan hal ini.
Thiat Tin-thian berkata pula, “Oleh karena itu, aku berani bertaruh, tokomu akan kebanjiran pembeli, daganganmu akan laris.”
Ramalan Thiat Tin-thian memang menjadi kenyataan. Tak lama kemudian, pembeli kedua pun datang. Orang ini adalah pemborong. Dengan lagak seperti cukong, ia melangkah masuk ke dalam toko, katanya dengan suara agak rendah sambil bertolak pinggang, “Aku membutuhkan banyak barang, persediaan barang apa saja yang ada di toko ini, semua kuborong.”
“Setiap barang yang tersedia di sini akan kau beli?” tanya Thio-lausit.
“Ya, semua kubeli,” ucap orang itu. “Semua kuborong.”
----------------------------------ooo00ooo-----------------------------------------
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar