Harkat Pendekar 25-29
HARKAT PENDEKAR
Saduran : Gan K. H
Bagian 25 - 29
Kalau ada orang yang mau memborong dagangan, berarti jualannya laris. Dagang adalah dagang, kau punya barang apa, orang beli apa, apa yang orang ingin beli, kau harus menjualnya. Berapa banyak orang yang ingin beli, selama persediaan lengkap, kau harus melayaninya.
Tampak oleh Ji-liong, roman muka Thiat Tin-thian mulai berubah, Ji-liong sendiri juga merasakan air mukanya berubah.
Sayang ia tidak melihat roman muka Thio-lausit, namun ia mendengar Thio-lausit berkata, “Toko serba ada ini tidak besar, namun persediaan yang ada tidak kecil jumlahnya. Barang yang kami sediakan juga banyak ragamnya. Kau seorang diri mana mampu membawa sekian banyak?”
“Aku akan menyuruh orang bantu mengangkutnya dengan cikar,” demikian jawab pemborong itu. “Kau sebut saja berapa harganya, aku akan bayar tanpa menawar, nanti akan kusuruh orang ke mari mengangkutnya.” Suruh orang mengangkut, siapa yang akan disuruh mengangkut? Mengangkut barang dagangan? Atau mengangkut jiwa mereka?
Ma Ji-liong tetap tidak mau keluar menghapi pemborong itu. Mendadak ia merasa adanya sesuatu yang ganjil. Ia yakin Thio-lausit yang ada di luar mempunyai akal untuk melayani dan menghadapi pemborong itu.
Didengarnya Thio-lausit sedang berkata, “Aku hanya pegawai toko. Urusan jual-beli dalam jumlah sebesar itu, tak berani aku memutuskan.”
“Siapa yang bisa memberi keputusan?” tanya pemborong itu.
“Sudah tentu juragan kami,” sahut Thio-lausit.
“Juraganmu ada tidak?”
“Ada di dalam, kau boleh masuk dan langsung bicara dengan beliau.”
“Aku tidak mau masuk, suruh saja dia keluar.”
“Lho, kenapa kau tidak mau masuk?”
“Kenapa bukan dia saja yang keluar?” sikap pemborong ini mulai kaku dan ketus.
Jawaban Thio-lausit lebih ketus lagi, “Karena dia adalah juragan. Perduli juragan besar atau juragan kecil, ia punya gengsi sebagai juragan.”
Pemborong itu agaknya kurang senang, katanya, “Kalau dia tidak mau keluar, aku batal membeli.”
Tiba-tiba Thio-lausit memberi pernyataan lantang, “Kau sudah datang ke mari, kau sendiri yang menyatakan akan memborong seluruh isi toko ini, sebagai laki-laki, bicara mengapa plintat-plintut,” demikian tegur Thio-lausit. “Oleh karena itu, kau harus masuk.”
Sepenuh perhatian Thiat Tin-thian mendengarkan percakapan mereka, sorot matanya menampilkan rasa ragu, seperti menyelidik dan mengingat-ingat. Suara percakapan Thio-lausit berdua tidak lirih, setiap patah kata terdengar jelas dari dalam, sebetulnya tidak perlu ia pasang kuping, apalagi mendengarkan dengan seksama. Agaknya ia sedang membedakan, berusaha mengenali suara pemborong itu, mungkin ia pernah mendengar atau kenal suara pemborong itu.
Ji-liong siap bertanya apakah ia tahu asal-usul pemborong itu, mendadak Thiat Tin-thian sudah berseru, “Ong Ban-bu!” Suaranya tegang dan panik, “Awas, kedua lengan pegawaimu itu.”
Dalam Bulim hanya ada satu Ong Ban-bu, Hun-kin-joh-kut-jiu dan Tay-lik-eng-jiau-kang yang diyakinkan Ong Ban-bu menjagoi Kangouw, keculasan hati dan kegapahan tangannya serasi dengan ilmu silat yang ia latih, kedua ilmu tunggal itu dikuasai dengan sempurna dan terkenal tak pernah mendapat tandingan. Bila ia turun tangan, yang diserang adalah sendi tulang atau Hiat-to lawan yang penting dan mematikan, lawan yang terserang kalau tidak lumpuh seketika, cacat seumur hidup, jiwa pasti melayang.
Pemborong alias Ong Ban-bu yang berada di luar itu agaknya sudah turun tangan. Peringatan Thiat Tin-thian terlambat. Belum habis ia bicara, Ji-liong sudah mendengar suara tulang patah. Suara yang lirih, tapi cukup menusuk pendengaran, dari telinga langsung menusuk ke sanubari, menusuk perut meresap ke tulang.
Seketika Ma Ji-liong merasa perutnya mengkeret, tubuhnya mengejang kaku, sendi tulang sekujur badan mendadak linu. Perduli Thio-lausit seorang jujur tulen atau pura-pura jujur, jelek-jelek dia adalah pegawainya, selama tiga bulan dua puluh satu hari hidup bersama di dalam satu rumah.
Anehnya kupingnya hanya menangkap suara tulang patah, tapi tidak mendengar jeritan atau keluh kesakitan.
Hanya ada dua macam orang yang kuat menahan siksa dan kesakitan tanpa mengeluarkan jeritan. Orang pertama adalah laki-laki yang keras kepala, keras tulangnya, teguh pendirian. Macam kedua adalah orang yang sudah mati, atau orang yang mendadak semaput dan hampir mampus.
Ma Ji-liong sudah siap menerjang keluar, demikian pula Thiat Tin-thian sudah melompat berdiri hendak menerobos keluar. Tapi sebelum mereka bergerak lebih lanjut, seseorang sudah menyelinap masuk lebih dulu.
Orang ini masuk dengan mundur, lengannya tampak terjuntai sebatas sikut, ternyata sendi tulang di sikut kirinya terpelintir putus. Saking kesakitan, peluh dingin bercucuran di selebar mukanya, sekujur badan juga basah kuyup seperti ayam kecemplung ke air, namun dia menggertak gigi tanpa merintih.
Orang ini memang laki-laki jantan, laki-laki sejati. Insan persilatan di Kangouw, siapa yang tidak tahu bahwa Ong Ban-bu adalah laki-laki tabah, keras kepala dan tahan uji.
Yang berjalan mundur ke dalam bukan Thio-lausit yang mereka kuatirkan, sebaliknya Ong Ban-bu yang lihai dan telengas, Ong Ban-bu yang tersohor karena Hun-kin-joh-kut-jiu tidak pernah dikalahkan musuh, jago nomor satu yang termasyhur di Bulim, berkuasa di wilayah Hoay-lam, Ong Ban-bu yang pernah memelintir putus lengan dan mematahkan tulang rusuk jago-jago kosen, tak terhitung jumlah musuh yang kecundang di tangannya.
Sekarang lengannya malah yang putus, dipelintir oleh Thio-lausit, pegawai toko di sebuah kampung yang tidak ternama. Sudah tentu ia amat penasaran, namun bukti menunjukkan bahwa lengan kirinya putus. Demikian pula Thiat Tin-thian yang tahu pribadinya, Ma Ji-liong juga tidak percaya, tidak menduga bahwa pegawainya itu ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Peristiwa yang dianggap tak mungkin terjadi sudah menjadi kenyataan. Memang tiada sesuatu yang mutlak di dunia ini. Satu hal harus dicatat, diukir dalam sanubari setiap orang, kalau sesuatu yang dianggap tidak mungkin terjadi suatu ketika betul-betul terjadi, maka akan merasa kaget, heran dan menderita. Karena bila peristiwa yang dianggap tidak mungkin itu betul-betul terjadi, maka peristiwa itu pasti mengundang siksa derita. Ada kalanya derita itu jauh lebih besar dibandingkan siksa patah lengan atau putus kaki.
-------------------------------ooo00ooo-------------------------------------
Bukan hanya mengunjuk rasa heran, rona muka Ong Ban-bu juga mengunjuk rasa sakit, kaget dan takut. Selama hidup, belum pernah ia merasa takut seperti sekarang. Tapi pegawai toko serba ada yang tak dikenalnya ini benar-benar membuatnya jeri.
Hun-kin-joh-kut-jiu (Gerakan Memelintir Tulang dan Mengunci Urat Nadi) dan Tay-lik-eng-jiau-kang (Ilmu Cakar Elang Bertenaga Raksasa) adalah ilmu tunggal ciptaan Eng-jiau-ong (Raja Cakar Elang) dari Hoay-lam yang tiada taranya. Ong Ban-bu adalah ahli waris murni Eng-jiau-ong yang lurus, jago kosen nomor satu dari Hoay-lam-bun.
Tak pernah terbayang dalam benaknya, hari ini, di saat dirinya akan menggasak korban yang tak dikenal dan tidak ternama ini, dirinya malah kecundang. Hanya satu gebrak setengah jurus, pegawai toko ini sudah mengunci gerakannya dan menutup jalan mundur dirinya, sekaligus memelintir putus lengannya.
Selangkah demi selangkah ia mundur, mundur karena didesak dan diancam oleh Thio-lausit, mundur ke dalam rumah lewat pintu kecil yang berkain tirai itu.
Kain tirai menjuntai turun. Pegawai jujur yang bertampang biasa itu tidak kelihatan ikut masuk. Ong Ban-bu terus mundur tanpa memperhatikan bahwa di belakang dan di sekitarnya ada beberapa orang yang sedang memperhatikan dirinya, mengawasi dengan pandangan kaget, heran dan tak habis mengerti. Sorot mata Ong Ban-bu kelihatan amat sedih, kesakitan yang amat sangat, matanya lurus menatap ke depan seperti tidak melihat keadaan sekitarnya.
Mendadak Thiat Tin-thian maju selangkah seraya mengulurkan tangan menarik pundak orang sehingga Ong Ban-bu jatuh terduduk di kursi rotan itu.
Semestinya Ong Ban-bu mengenal Thiat Tin-thian, mereka pernah menjadi teman baik, kawan seperjuangan, tapi akhirnya mereka berselisih dan menjadi musuh bebuyutan, musuh besar jelas lebih sukar dilupakan daripada kawan. Tapi ia seperti tidak kenal, tidak melihat orang yang berdiri di depannya ini adalah Thiat Tin-thian, musuh yang ia segani dan takuti, seolah-olah matanya sudah buta tapi melek, tidak melihat ada orang berdiri di depannya.
Keringat masih bercucuran dari jidatnya, membasahi selembar mukanya, mulutnya mengigau seperti orang bermimpi, “Siapakah dia? Siapakah orang itu?”
Sudah tentu besar pula hasrat Thiat Tin-thian untuk mengetahui siapa sebenarnya pegawai toko itu, maka ia berpaling dan bertanya pada Ma Ji-liong, “Siapa sebenarnya pegawaimu itu?”
Ma Ji-liong menggelengkan kepala, ia tidak bisa menjawab. Ia pun tidak tahu siapa dan bagaimana asal-usul pegawainya. Ia hanya tahu pegawainya itu bernama Thio-lausit, seorang yang jujur dan setia, tindak-tanduknya mirip orang linglung. Dulu ia tidak punya pengalaman gemilang, kelak juga takkan punya masa depan cemerlang, seakan hidupnya cukup makan minum sampai mati di dalam toko serba ada yang makin kotor dan jorok ini.
Tiada orang yang kenal asal-usulnya, namun hanya dalam segebrak saja ia mampu melumpuhkan Ong Ban-bu, jago kosen yang sudah menggetarkan Bulim.
Ma Ji-liong juga tidak habis mengerti, maklum Thio Eng-hoat atau juragan toko serba ada yang sekarang bukan juragan yang lama, demikian pula pegawai yang satu ini juga bukan Thio-lausit yang asli, bukan pegawai lama yang jujur itu.
Seharusnya Ma Ji-liong bisa menduga hal ini sejak mula, namun kenyataan memang susah dimengerti, siapa sebetulnya pegawai ini. Ji-liong betul-betul tidak tahu.
-------------------------------------ooo00ooo----------------------------------------
Wajah Ong Ban-bu basah karena keringat, mulutnya terus mengigau, entah sudah berapa kali mengulangi pertanyaan yang sama.
Mendadak Thiat Tin-thian mengayunkan tangan menggampar mukanya. Selama hidup Ong Ban-bu mungkin tidak pernah digampar orang, apalagi setelah dia menduduki jabatan tinggi dari perguruannya. Patah sikutnya betul-betul membuatnya patah semangat, malu dan jatuh mental, sehingga dia mengigau seperti hilang ingatan. Namun tamparan Thiat Tin-thian cukup membuatnya kaget dan sadar. Seperti orang baru terjaga dari mimpi yang lelap, dia celingukan melihat orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Begitu melihat Thiat Tin-thian, matanya lantas memicing, bayangan ngeri terunjuk pada mimik mukanya. Kejadian masa lalu, kenangan lama segera terbayang di dalam benaknya.
“Engkau........” desis Ong Ban-bu. “Engkau.......... di sini.”
“Ya, aku di sini,” suara Thiat Tin-thian seperti tertelan dalam tenggorokan, jelas ia juga teringat akan masa lalu. “Seharusnya kau tahu kalau aku ada di sini.”
Beberapa kejap Ong Ban-bu mengawasi, sorot matanya berubah makin sedih dan tersiksa, katanya, “Aku tahu kau ada di sini, aku ke mari juga lantaran ingin merenggut nyawamu. Aku tahu aku pernah bersalah terhadapmu, aku pernah memfitnahmu, mengkhianatimu. Oleh karena itu aku makin membencimu, hasratku lebih besar lagi untuk membunuhmu.” Cukup tegas apa yang ia ucapkan, tapi kenyataan memang demikian.
Jika kau pernah mengkhianati orang, maka kau pasti membenci orang itu, kau akan berusaha membunuh dan melenyapkan dia dari hadapanmu. Selama dia masih hidup, hatimu takkan pernah tenteram. Selama hidup kau akan merasa berdosa, dibayangi oleh kesalahanmu sendiri. Setelah keadaan berlarut sejauh itu, yang kau benci mungkin bukan dia lagi, tapi dirimu sendiri.
“Sepuluh tahun yang lalu,” demikian kata Ong Ban-bu dengan suara bergetar. “Aku pernah memfitnah engkau, karena saat itu aku pernah melakukan kesalahan terhadapmu, aku takut kau tahu perbuatanku yang terkutuk itu, maka........ maka aku ingin meminjam golok orang lain untuk membunuh engkau.”
“Aku tahu,” kereng suara Thiat Tin-thian.
“Kalau betul kau tahu, kenapa tidak kau bunuh aku waktu itu?” sikap Ong Ban-bu kelihatan lebih tersiksa. “Aku rela mati di tanganmu. Kalau waktu itu kau bunuh aku, nasibku takkan seperti ini.”
Ini pun kenyataan. Dapat gugur di tangan Hoan-thian-hu-te, rampok besar Thiat Tin-thian, jauh lebih mending dibandingkan kecundang di tangan seorang pegawai toko.
Kekalahan yang terlalu fatal, teramat runyam, sangat mengenaskan. Thiat Tin-thian meresapi perasaannya, tahu betapa besar derita batinnya. Pengalaman masa lalu sudah lewat, namun duka lara tetap abadi sepanjang masa.
Di luar tidak terdengar suara apa pun, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Thio-lausit juga tidak masuk, tetap di luar menjaga toko, mirip seorang jujur, duduk di kursi yang berada di pinggir pintu, bekerja rajin dan setia menunggu barang dagangan, tiada orang yang tahu bahwa dia seorang jago silat kelas wahid yang memiliki ilmu silat tinggi.
Siapakah dia? Kenapa dia menemani Ma Ji-liong bersembunyi di toko ini? Mendadak Ma Ji-liong menerobos keluar, hasratnya lebih besar untuk mendapatkan jawaban itu dibanding Thiat Tin-thian.
Thio-lausit duduk tenang dan tegak di atas kursi, di mana dia biasa duduk. Keadaan toko ini pun seperti biasa, tapi keadaan di luar rumah justru berbeda dengan biasanya. Dalam waktu seperti itu, biasanya jalan kampung yang jorok dan becek kalau hujan itu selalu ramai, di sana kucing di sini anjing, keadaan biasanya ramai dan hiruk-pikuk. Meski jalan kampung ini dalam wilayah yang berpenduduk miskin, tapi kehidupan di sini tetap diliputi suasana riang gembira. Namun keadaan yang biasanya ramai itu kini berubah menjadi sepi lengang, bayangan seorang pun tidak kelihatan di luar rumah, anjing dan kucing juga tidak tampak. Jalan kampung ini mendadak berubah menjadi jalan mati, seperti tiada kehidupan di daerah sekitarnya.
Berbeda dengan lazimnya, toko serba ada yang satu ini tidak mirip dengan toko yang lain. Di toko lain ada meja dan lemari kasir. Di sini hanya ada sejilid buku yang sudah lusuh dan luntur warna sampulnya dan sebuah meja kecil yang berlaci satu untuk menyimpan uang--itulah meja kasir.
Ma Ji-liong menarik kursi lalu duduk di meja kasir. Dari tempat duduknya ia memperhatikan Thio-lausit.
Seperti biasanya Thio-lausit tetap lugu, reaksinya lamban, wajahnya jarang menampilkan mimik perasaan hatinya. Sekarang dia tetap dalam keadaan demikian. Kalau ada orang bilang dalam sekejap tadi dia mampu mengalahkan Ong Ban-bu yang tersohor sebagai jago nomor satu dari Hoay-lam, orang pasti tidak percaya.
Apakah wajahnya juga pernah divermak dengan tata rias Giok Ling-long dengan Giok-jiu-ling-longnya?
Siapakah dia sebenarnya?
Ada beberapa tokoh besar dalam Bu-lim ini yang mampu mengalahkan Ong Ban-bu dalam segebrak saja?
Lama Ma Ji-liong terpekur sambil memperhatikan orang ini. Mendadak ia membuka mulut memanggil nama orang, “Toa-hoan.”
“Toa-hoan?” Thio-lausit tampak gelagapan, gerak-geriknya seperti orang linglung, “Kau minta Toa-hoan (mangkuk besar)? Mangkuk besar ada di dapur, apa perlu aku mengambilnya?”
“Tidak,” sahut Ji-liong. “Toa-hoan yang kumaksud adalah nama seseorang.”
“O, nama orang?”
“Kau tidak pernah melihatnya?”
“Toa-hoan yang pernah kulihat adalah mangkuk besar--bukan manusia.”
Ma Ji-liong menghela napas, perlahan ia berdiri lalu menghampiri sampai di depan orang. Mendadak ia turun tangan, dengan dua jari telunjuk dan jari tengah ia mencolok kedua mata Thio-lausit.
Mata Thio-lausit segera terpejam. Hanya itu reaksinya. Kecuali kedua matanya, sekujur badannya tak memberi reaksi apa-apa.
Sudah tentu Ji-liong tidak menyerang sungguhan. Mendadak ia sadar bahwa dirinya adalah orang bodoh. Umpama Thio-lausit betul adalah orang jujur, betapapun tentu sudah tahu bahwa juragannya takkan turun tangan keji terhadap dirinya yang setia dan rajin bekerja, tiada alasan membuat dirinya cidera, sudah tentu ia takkan berhasil memancingnya mengeluarkan ilmu silat.
Ditanya tidak menjawab, dicoba juga gagal, lalu dengan akal apa baiknya? Di kala Ma Ji-liong sedang bingung, tidak tahu bagaimana ia harus bertindak lebih jauh, dilihatnya ada dua orang mendatangi dari ujung jalan kampung sebelah timur.
-------------------------ooo00ooo------------------------
Tok, tok, tok itulah suara sentuhan tongkat kayu yang beradu dengan tanah, dari kejauhan sudah terdengar jelas.
Yang datang ada dua orang, dua-duanya timpang, maka kedua orang ini memakai tongkat. Kalau dipandang dari jauh, badan bagian atasnya saja, kelihatan seperti terdiri satu orang.
Maklum wajah, pakaian, sikap dan bentuk tubuh mereka mirip satu dengan yang lain, seperti pinang dibelah dua, keduanya sama-sama memiliki kaki yang cacat, buntung dan tergantung di udara, betapa jijik dan jelek tampaknya.
Tapi rona muka dan sikap kedua orang cacat ini amat serius, sinar mata mereka dilembari keyakinan. Hanya ada satu perbedaan dari kedua orang ini, cacat kaki mereka yang satu di sebelah kiri, yang lain di sebelah kanan.
Melihat keadaan kedua orang ini, Ma Ji-liong lantas teringat kisah lama, kisah yang sudah lama tersiar luas di kalangan Bu-lim, yaitu dua tokoh besar yang sudah punya nama gemilang di masa silam. Di ujung utara Sing-siok-hay di puncak Kun-lun san, ada sepasang saudara kembar yang cacat badannya, mereka bernama Thian-jan dan Te-coat.
Karena cacat, mereka berjiwa aneh, sepak terjangnya menyeleweng dari kebiasaan umum, demikian pula ilmu silat mereka juga serong, murid-murid yang mereka terima juga harus saudara kembar yang cacat pula, anak-anak kembar dan cacat sejak dilahirkan.
Kaum persilatan angkatan tua banyak yang tahu tentang mereka, namun jarang ada yang pernah melihat atau berhadapan langsung dengan mereka. Murid-murid Sing-siok-hay juga jarang berkecimpung di Kangouw. Sudah beberapa tahun belakangan ini, tidak ada murid mereka yang datang ke Kanglam.
Berita yang tersiar luas di luar itu simpang siur, berbeda satu dengan yang lain. Ada sementara pihak yang bilang, pakaian murid-murid Sing-siok-hay mewah lagi mahal. Namun potongan atau modelnya lucu dan tidak lazim dipandang mata. Malah katanya ada murid Sing-siok-hay yang mengenakan jubah mutiara, maksudnya jubah yang dibuat dari rangkaian mutiara besar kecil. Maklum cacat badan membuat mereka rendah diri, aneh dan suka melakukan sesuatu yang menonjol, mereka senang menonjolkan diri dengan cara-cara yang tidak lumrah bagi pandangan manusia normal.
Berbeda dengan kedua pemuda cacat ini, pakaian mereka biasa saja, tiada sesuatu yang luar biasa pada kedua pemuda ini, tak berbeda banyak dibandingkan manusia umumnya.
Konon murid-murid Sing-siok-hay hanya boleh berkecimpung di Kangouw setelah mereka lulus ujian. Bila guru mereka beranggapan mereka cukup tangguh dan takkan kalah melawan jago-jago silat aliran lain, baru mereka diizinkan turun gunung, mengembara di Bu-lim mencari pengalaman.
Sebagai orang cacat, dalam meyakinkan ilmu silat sudah tentu jauh lebih sukar, makan tenaga dan memeras otak, jauh lebih menderita. Bila mereka lulus ujian dan mulai berkecimpung di Kangouw, tentu usianya sudah cukup tua.
Tapi kedua pemuda cacat kembar ini masih muda, gagah dan tampan, paling banyak berusia 24 tahun. Mungkinkah dalam usia semuda itu mereka mampu meyakinkan ilmu tunggal Sing-siok-hay? Sudah yakin bahwa mereka tak terkalahkan?
Semua yang diuraikan di atas adalah berita yang tersebar luas di kalangan Kangouw, namun berita itu sudah meresap, sudah berakar di sanubari orang-orang yang pernah mendengar tentang kisah mereka, kejadian sering kali lebih nyata dari sesungguhnya, jauh lebih mudah diterima oleh orang lain.
Ketika suara tongkat berhenti, kedua orang itu pun sudah berada di depan mata. Ma Ji -liong bangkit perlahan, lalu berputar menghadapi mereka. Dalam hati ia menduga, bahwa kedua pemuda cacat ini memang benar adalah murid Sing-siok-hay, tapi ia bertanya dengan suara lantang, "Kalian mau membeli apa?"
"Kami tidak akan berbelanja," yang cacat kaki kirinya berbicara lebih dulu, lalu yang kaki kanannya cacat menimbrung,"Kami hanya ingin melihat-lihat dan membuktikan sebetulnya kau ini orang macam apa, dengan cara apa kau mampu menawan Ong Ban-bu?" Mereka bicara blak-blakan, terus terang menyatakan maksud kedatangannya, tidak bermuka-muka juga tidak pasang aksi.
"Aku she Sun bernama Ca," yang cacat kaki kirinya bicara. "Dia adalah saudara kembarku, bernama Sun Jia."
"Soalnya aku dilahirkan sedikit lambat," yang cacat kaki kanannya menambahkan.
Nama mereka sangat sederhana, nama yang umum dan sering terdengar di kalangan rakyat jelata, tidak seperti murid-murid Sing-siok-hay yang sering berbuat aneh, mengada-ada dan tindak-tanduknya misterius.
Sun Ca berkata, "Kami terlihat seperti murid-murid Sing-siok-hay."
Sun Jia meneruskan pula, "Oleh karena itu, kau pasti juga beranggapan bahwa kami adalah murid Sing-siok-hay."
"Tapi kalau kau beranggapan demikian, kau keliru," ucap Sun Ca. "Dengan Sing-siok-hay, hakikatnya kami tidak punya hubungan."
"Sepuluh tahun yang lalu, pernah kami meluruk ke Sing-siok-hay," Sun Jia berkata. "Kami juga ingin mencari orang aneh yang diagulkan dalam berita itu, kami mengharap beliau suka mengajar ilmu silat yang lihai kepada kami, supaya kami memiliki kepandaian yang tiada taranya dan malang melintang di dunia Kangouw."
"Tapi kami amat kecewa, kami gagal menemui mereka."
"Puncak gunung itu hanya tanah belukar yang tidak pernah dijelajahi manusia. Musim panas mentari amat terik laksana bara, musim dingin hawa membuat beku tulang sumsum, orang biasa jelas takkan hidup di tempat itu."
"Kami menjelaskan tentang kenyataan ini, hanya supaya kau tahu ilmu silat yang kami yakinkan sekarang adalah berkat latihan kami sendiri, latihan yang rajin dan tekun."
"Oleh karena itu, kau tak usah kuatir dan jangan menganggap kami orang cacat, maka kau sungkan turun tangan."
Ma Ji-liong mendengarkan mereka bicara sampai habis, dalam hati ia meresapi sesuatu. Mereka adalah anak-anak muda, mereka tidak pura-pura, tidak bermuka-muka, tidak bertingkah, bersikap tegas tidak aleman dan sungguh-sunguh. Mereka ingin memperjuangkan hidup sendiri, mengangkat nama tanpa mendapat bantuan pihak lain. Walau mereka cacat badan, ternyata tak rendah diri, juga tidak uring-uringan dan gampang mengumbar adat.
Ma Ji-liong tidak ingin bermusuhan dengan kedua pemuda cacat ini. " Aku tidak ada maksud menahan kalian," katanya dengan suara tawar. "Setiap waktu kalian boleh datang ke mari, juga boleh pergi sesuka hati kalian."
Mereka tidak pergi. Sepasang kembar yang cacat ini menatap Ji-liong dengan pandangan yang sama, tajam dan mengancam, sorot mata mereka tampak ganjil.
Sun Ca pula yang membuka suara lebih dulu, "Kami tahu dan merasakan, kau tidak menganggap kami sebagai musuh. Sayang sekali kau adalah Ma Ji-liong. Kalau orang lain, kami ingin bersahabat denganmu."
"Ternyata kau bukan manusia rendah budi, bukan orang jahat yang berhati kejam seperti yang mereka gambarkan," demikian ucap Sun Jia. "Sayang sekali kau adalah Ma Ji-liong yang harus dibekuk dan dihukum."
Dua saudara kembar ini sama-sama menghela napas, sama-sama membalik badan, "tok, tok, tok", tongkat mereka berbunyi serempak, agaknya mereka siap meninggalkan tempat itu, seakan-seakan mereka segan atau tidak akan bermusuhan lagi dengan Ma Ji-liong. Tapi mereka tidak keluar, karena di saat tongkat mereka bergerak ketiga kalinya, baru saja ujung tongkat menyentuh lantai, tangan Thio-lausit mendadak bergerak.
Ma Ji-liong hanya mendengar desir angin tajam memecah udara, dua batang tongkat yang dipegang dua saudara kembar itu mendadak patah persis di bagian tengah, menyusul dua benda kecil menggelundung jatuh bersama tongkat yang patah itu. Waktu Ji-liong melirik ke sana, ternyata dua butir kacang tanah yang mematahkan tongkat kayu sebesar lengan bayi itu.
Thio-lausit gemar minum arak, kacang tanah adalah kawan intim bagi seorang yang suka minum arak, makan kacang supaya tidak lekas mabuk.
Di atas meja Thio-lausit selalu bertumpuk kacang tanah. Thio-lausit mampu menimpuk patah tongkat kayu sebesar lengan bayi yang montok, padahal dibacok golok pun tongkat itu takkan putus seketika.
Sun Ca dan Sun Jia tidak menduga. Walau mereka tidak jatuh karenanya, mereka masih berdiri dengan sebelah kakinya yang utuh, bendiri tegak seperti terpukau atau berakar di bumi. Tapi roman muka mereka tampak berubah hebat, demikian pula rona muka Ma Ji-liong juga berubah. "Apa yang kau lakukan?" serunya spontan.
"Terpaksa aku harus menahan mereka," sahut Thio-lausit, wajahnya tidak menunjukkan perubahan apa-apa. "Kau tak mau bertindak, biar aku yang menahan mereka."
Ma Ji-liong tidak sempat bertanya 'kenapa' lagi, karena dalam sekejap mata, ia merasakan datangnya perubahan pada ujung jari tangan dan kaki, mulut serta ujung mata dan setiap tempat yang peka. Begitu cepat perubahan terjadi, kejap lain ia merasakan juga badannya mulai kejang dan pati rasa.
Hanya sekejap setelah tongkat mereka patah, Sun Ca dan Sun Jia tiba-tiba melambung tinggi ke udara. Meski hanya menjejak dengan sebelah kaki, tapi tubuh mereka meluncur kencang bagai panah ke arah luar pintu.
Walau cacat badan, tapi di kala tubuh mereka melesat di udara, bukan saja gayanya indah, kecepatannya pun bagai elang mengejar burung dara. Meski kedua pemuda ini tuna raga, dari gerakan itu dapat dinilai betapa tinggi Ginkang mereka, jarang ada jago silat semuda mereka dapat menandingi kemampuannya.
-------------------------ooo00ooo------------------------
Menurut cerita, dalam jangka tiga ratus tahun mendatang, orang yang mempunyai telinga paling tajam di seluruh dunia persilatan adalah seorang tuli. Seorang tuli benar-benar, tuli tulen, namun dalam jarak tiga puluh tombak, dia bisa mendengar bisikan orang (baca Pukulan Si Kuda Binal).
Maklum dia bukan mendengar dengan telinga, tapi mendengar dengan mata. Cukup dia melihat gerak bibir seseorang, bentuk mulut waktu orang bicara, maka dia dapat mendengar apa yang diucapkan orang itu. ltulah ilmu tunggal orang tuli itu, kepandaian khusus yang tidak mungkin dimiliki atau diyakinkan orang lain, ilmu hasil latihan dan gemblengan berat. Karena dia tuli, maka dia berhasil meyakinkan ilmu tunggal yang tiada bandingannya.
Seseorang bila tubuhnya mempunyai ciri, entah ciri apa pun, jika dia bisa memanfaatkan kekurangannya sendiri, sering terjadi usaha yang tak kenal lelah, jerih payahnya akan mendatangkan sukses yang gemilang.
Bahwa Sun Ca dan Sun Jia yang tuna raga mampu meyakinkan Ginkang setinggi itu juga lantaran mereka tapa daksa. Karena tahu dirinya tuna raga, maka mereka mau menggembleng diri, latihan yang mereka lakukan jelas lebih sukar, lebih berat dan lebih menyiksa.
Secara mendadak tubuh mereka melambung tinggi begitu saja, seperti kaki mereka dipasang pegas, gerakan keduanya pun serasi, cepat, indah lagi mempesona.
Gerak tujuan mereka ke arah luar pintu. Namun di saat tubuh mereka melorot turun, ternyata kakinya tetap menginjak lantai di dalam toko. Begitu kaki anjlok ke bawah dan menginjak tanah, lalu tak mampu melompat lagi. Bukan hanya tidak mampu melompat, mereka pun tidak bisa bergerak, berdiri kaku seperti patung, ada empat Hiat-to di tubuh mereka tertutuk. Delapan butir kacang tanah menggelinding di lantai.
Tokoh silat kosen yang memiliki kepandaian sejati, meski hanya menggunakan kelopak kembang juga dapat melukai musuh, maka tidak perlu beran bila dengan kacang tanah seseorang yang memiliki ilmu silat tinggi dapat menutuk Hiat-to di tubuh orang.
Namun belum ada orang tahu bahwa Thio-lausit yang pegawai toko ini adalah seorang jago kosen yang memiliki kepandaian tinggi.
Kapan dan bagaimana Thio-lausit menyambitkan kacang tanah, bagaimana pula Sun Ca dan saudara kembarnya kecundang? Ma Ji-liong tidak tahu, juga tidak sempat menyaksikan karena keadaan dirinya juga sudah gawat, pandangannya mulai kabur, sekujur badan sudah mengejang kaku.
Ma Ji-liong tak merasakan, Thio-lausit segera berdiri dan menghampiri dirinya, dari dalam kantung Sun Ca dia merogoh keluar sebotol obat. Dari botol kecil itu ia menuang dua butir pil lalu dijejalkan ke mulut Ma Ji-liong, selang beberapa saat kemudian baru Ma Ji-liong mulai pulih kesadarannya.
Sikap Thio-lausit biasa saja, tidak menunjukkan rasa tegang, senang atau kaget, namun ia bertanya dengan suara tawar, "Sekarang tentu kau sudah tahu kenapa aku menahan mereka."
Ma Ji-liong sudah tahu. Ada beberapa adegan tidak sempat ia saksikan tadi, tapi ia maklum banyak peristiwa yang terjadi di dunia ini, tak usah kau saksikan sendiri pun kau bisa maklum sendiri.
Ia maklum kenapa dirinya mendadak kejang dan pati rasa, karena terkena racun jahat yang ditaburkan Sun Ca dan Sun Jia. Jenis racun yang tidak kelihatan, tidak bisa dirasakan dan tidak berwarna, ternyata lihai juga saudara kembar cacat ini menggunakan racun. Apa yang mereka ucapkan tadi mungkin setulus hati, hanya omongan jujur untuk menarik perhatian orang, hanya dengan bersikap jujur maka lawan dapat dibuat lena.
Di kala mereka bersikap tidak bermusuhan, saat itulah mereka menyerang dengan cara mereka yang khas dengan racun jahat. Tanpa bayangan, juga tidak menunjukkan gerakan yang mencurigakan. Umpama orang menganggap orang lain sebagai teman baiknya, tanpa hubungan yang baik, takkan ada kesempatan dia mengkhianati temannya itu.
-------------------------ooo00ooo------------------------
Bukan berarti Ma Ji-liong tahu jelas duduknya persoalan, tapi setelah ia bisa buka suara, ia lantas berkata, "Bebaskan mereka, sekarang juga biarkan mereka pergi."
"Kenapa kau melepaskan mereka?" tanya Thio-lausit heran.
"Karena aku adalah Ma Ji-liong. Karena melaksanakan tugas, mereka pantas berbuat demikian."
Mereka juga masih muda, sepak terjang anak muda umumnya memang demikian, mereka ingin terkenal, mendapat kedudukan dan disegani, ingin menjadi orang yang sukses, orang besar, maka mereka tidak salah. Seorang pemuda harus punya cita-cita, mengejar nama, maka usahanya itu pasti tidak salah.
Setelah Hiat-to yang ditutuk di tubuhnya dibebaskan, Sun Ca dan Sun Jia segera beranjak keluar, Waktu berjalan pergi, Sun Ca dan Sun Jia tidak berpaling, melirik pun tidak ke arah Ma Ji-liong, mereka juga tidak menghaturkan terima kasih.
Ma Ji-liong juga sengaja melengos ke jurusan lain, ia tidak ingin menambah beban batin dan rasa malu mereka. la bertanya pada Thio-lausit, "Apa betul kau tidak pernah melihat Toa-hoan? Juga tidak tahu siapa dia? Apa betul kau sudah menjadi pegawai toko serba ada ini selama delapan belas tahun?"
Thio-lausit tidak menjawab, ia membungkuk badan memungut kacang tanah yang berserakan di lantai, satu persatu diambil, dikuliti dan langsung dijejalkan ke dalam mulut. Sambil mengunyah kacang tanah di dalam mulutnya, ia menghela napas, lalu bergumam, "Persoalan yang harus dia ketahui tidak ditanyakan, kepada siapa dia harus bertanya juga tidak diperhatikan, malah bertanya persoalan yang tak berguna kepadaku."
"Aku tahu aku harus bertanya kepada Ong Ban-bu," demikian ucap Ma Ji-liong. "Berapa banyak orang mereka yang meluruk ke tempat ini? Siapa pemimpinnya dan tokoh-tokoh silat siapa saja yang ikut datang? Begitu?"
"Kalau sudah tahu, kenapa tidak kau tanya kepadanya?"
"Karena pertanyaanku yang kuajukan kepadamu kurasa lebih penting."
"Penting, apanya yang penting?" Thio-lausit menghela napas pula. "Memangnya kenapa kalau aku pernah melihat Toa-hoan? Bagaimana pula kalau tidak pernah melihatnya? Kenapa kau justru bertanya hal ini?"
"Karena aku ingin tahu sekarang dia di mana," tegas jawaban Ma Ji-liong. "Aku benar-benar ingin tahu."
"Dia ada di mana, apa sangkut-pautnya denganmu?"
"Sudah tentu ada sangkut-pautnya," Ma Ji-liong menatap Thio-lausit. "Jika kau juga pernah merindukan seseorang, kau pasti tahu dan maklum perasaanku sekarang.”
Wajah Thio-lausit tetap tidak menunjukkan perubahan apa-apa, tapi sisa kacang tanah yang masih digenggam di telapak tangannya mendadak berjatuhan di atas lantai. Bergegas ia berjongkok memungutinya lagi, seperti sengaja menghindari tatapan mata Ma Ji-liong yang tajam dan hangat bagaikan bara.
Di saat Ma Ji-liong berdiri menjublek, dari dalam rumah berkumandang teriakan Cia Giok-lun, "Kalau kau ingin tahu tentang Toa-hoan, kenapa tidak kau tanya kepadaku."
Bergegas Ji-liong melangkah ke dalam. Di saat ia membalik badan menutup kain tirai, mendadak dilihatnya sebaris orang dengan derap langkah lembut masuk ke jalan kampung dari arah utara.
Barisan ini terdiri dari 28 orang, muda, kekar, gerak- geriknya lincah dan tangkas, gerak kaki dan tangan mereka amat rapi dan rata. Ke-28 pemuda itu seluruhnya berpakaian hitam ketat dengan potongan dan model yang sama, dengan gerak kaki setinggi lutut berderap maju dengan rajin, tangan kiri mereka menjinjing kantong kain hitam yang bentuk dan besarnya sama.
Apa isi kantong kain hitam itu? Apa kerja ke-28 pemuda berpakaian hitam itu di tempat ini? Setiap orang pasti tertarik dan ingin tahu bila melihat barisan serapi itu. Yang sedang ber jalan menoleh, yang sedang bekerja berhenti, semua memperhatikan barisan yang menyolok pandangan, entah apa maksud kedatangan mereka.
Ternyata Ma Ji-liong tidak peduli, dia tetap melangkah ke dalam. Hanya sekilas ia menoleh dan menatap keluar, lalu menyingkap tirai menyelinap masuk. Kecuali Toa-hoan, orang lain, urusan lain, seperti tidak menarik perhatiannya.
Cia Giok-lun meronta berduduk, mimik mukanya kelihatan aneh, entah marah, derita atau penasaran? Mungkin juga sedih? Berbagai perasaan campur aduk dalam relung hatinya. Dengan melotot ia mengawasi Ji-liong. "Kau kenal Toa-hoan? Bukankah kalian bersekongkol, mengatur rencana busuk ini untuk mencelakai aku?"
Ma Ji-liong diam, tidak menyangkal, juga tidak membantah. Ia tidak ingin berdebat. Dalam keadaan seperti ini ia tidak bisa menyangkal, juga tidak perlu menyangkal.
Jari-jari Cia Giok-lun yang kurus kering itu mencengkeram ujung selimut kapas yang tebal itu, kelihatan tubuhnya gemetar.
"Selama beberapa bulan ini, kau selalu merindukan dia?" suara Cia Giok-lun berubah serak terisak. "Tiga bulan lebih kau mendampingi aku, tapi setiap hari kau malah merindukan dia?"
Ma Ji-liong tidak mungkir, hal ini memang tidak perlu dibantah.
Tubuh Cia Giok-lun berguncang lebih keras. "Kenapa kau merindukan dia? Apa kau mencintai wanita jelek itu?"
Pertanyaan ini setiap hari mengganjal dalam benak Ma Ji-liong. Kenapa aku selalu merindukan dia? Apa betul aku sudah kasmaran kepadanya? Kalau lagi kasmaran, maka perasaannya bukan lagi suka, tapi dirinya sudah jatuh cinta. Karena cinta maka ia kuat bertahan sekian lama menyembunyikan diri sebagai pemilik toko serba ada, karena cinta pula sehingga amat keras dan begitu besar rasa rindunya. Tapi hal ini tak pernah Ji-liong pikirkan, Ji-liong memang tak habis mengerti, kenapa dirinya punya pikiran demikian.
Mendadak Cia Giok-lun menghentikan isak tangisnya, badan juga tidak gemetar lagi, jengeknya sambil menyeringai dingin, "Ingin tidak kau tahu siapa dia?"
"Ingin sekali," jawab Ma Ji-liong dengan tegas, tanpa tedeng aling-aling.
"Jika kau tahu siapa dia sebenarnya, aku yakin kau akan kecewa;"
"Tidak, pasti tidak," tegas dan jelas jawaban Ma Ji-liong. "Peduli siapa dia, sikapku terhadapnya takkan pernah berubah."
"Baiklah, biar kujelaskan," suara Cia Giok-lun seperti memekik. "Dia adalah babu di rumahku."
Ma Ji-liong tetap bersikap tenang dan wajar, "Kau adalah Toa-siocia, nona besar, dia adalah babumu. Engkau seorang gadis cantik, sebaliknya dia buruk rupa. Tapi peduli kau siapa dan dia siapa, aku tetap merindukan dia." Habis bicara ia beranjak keluar pula.
"Kembali kau!" pekik Cia Giok-lun. "Masih ada yang akan kuberitahukan kepadamu."
Ma Ji-liong tidak berbalik, juga tidak berpaling. Apa pun yang akan dikatakan Cia Giok-lun, ia tidak mau mendengar lagi.
Dengan gemas Cia Giok-lun menjatuhkan diri, menyusupkan kepala ke bawah bantal, lalu menangis gerung-gerung, menangis dengan sedih. Sebagai Toa-Siocia, atau nona besar, ia memang amat binal, lebih brengsek dibandingkan putri raja, lebih agung dibanding bidadari. Belum pernah ada orang yang melihat ia mencucurkan air mata. Apa pun yang ia minta, apa pun yang ia inginkan di rumah maupun di luar, belum pernah tidak terkabul. Tapi kenapa kali ini ia menangis? Karena apa ia mencucurkan air mata?
Thio Eng-hoat duplikat Ma Ji-liong ini hanya juragan toko serba ada di kampung di mana sebagian besar penduduknya adalah kalangan rendah. Ma Ji-liong tidak lebih hanya keparat yang berani melakukan kejahatan, seorang buronan yang akan dijatuhi hukuman mati oleh kaum pendekar. Peduli untuk siapa dan kepada siapa, tidak pantas Cia Giok-lun mencucurkan air mata.
-------------------------ooo00ooo------------------------
Sejak tadi Thiat Tin-thian dan Ong Ban-bu hanya menonton saja dari samping, diam, bersikap dingin. Mendadak Thiat Tin-thian menghela napas, "Aku ini laki-laki bergajul, laki-laki yang suka pelesir, selama hidup entah berapa ratus perempuan yang pernah tidur denganku."
"Aku pun kira-kira demikian," ucap Ong Ban-bu.
“Tapi sejak mula hingga yang terakhir, belum pernah aku memahami jiwa mereka, menyelami hati perempuan, seumur hidupku mungkin tak bisa memahami hati wanita."
Ong Ban-bu juga menghela napas, katanya gegetun, "Aku pun demikian."
-------------------------ooo00ooo------------------------
Ma Ji-liong berada di luar, tidak mendengar percakapan mereka. Begitu berada di luar, ia kaget dan menjublek oleh perubahan yang terjadi di jalanan. Belum pernah ia membayangkan di lorong yang jorok dan kotor serta becek itu, bisa menyaksikan perubahan yang benar-benar mengejutkan.
Hanya Thio-lausit saja yang tidak berubah. Gelagatnya pegawai ini sudah terpengaruh oleh arak yang masuk ke perutnya. Poci arak sudah kosong dan menggeletak miring di atas meja yang sudah reyot. Thio-lausit mendekam di meja, entah masih sadar atau sudah tertidur? Sudah mabuk atau lagi sedih?
Keadaan biasa memang demikian, kejadian hari ini bukan untuk yang pertama kali. Perubahan yang mengejutkan telah terjadi dalam kampung yang berpenduduk serba kekurangan ini. Bayangan manusia dan hewan sudah tidak kelihatan lagi, penduduk yang tinggal di gubuk-gubuk reyot sepanjang kampung itu entah sudah lari ke mana. Rumah mereka yang terbuat dari papan beratap rumbia itu pun sudah tidak kelihatan, entah kapan dibongkar atau dipindah ke mana. Tanah kampung itu kini telah kosong.
Hanya sekejap mata, dalam waktu singkat, rumah-rumah penduduk di sekeliling toko serba ada ini telah dibongkar bersih. Dibongkar oleh ke-28 pemuda baju hitam yang berperawakan tegap, kekar dan kuat. Isi kantong hitam yang mereka bawa ternyata alat pertukangan, digunakan untuk menjebol dan membongkar rumah-rumah itu.
Gerak mereka rapi, hati-hati, kuat lagi cekatan. Genteng satu persatu dilempar ke bawah, demikian pula papan dinding satu persatu dipreteli, paku satu persatu dicabut. Lekas sekali bangunan rumah yang sudah dibongkar dipindahkan ke lain tempat.
Demikian pula perabot rumah tangga. Dari meja, kursi, almari, mainan anak-anak, harta benda besar maupun kecil, seluruhnya diangkut dan habis. Penduduk kampung ini dari keluarga miskin, namun dalam pandangan mereka, betapapun reyot dan miskin keadaan rumah mereka, setelah sekian tahun tinggal di tempat itu, berteduh dari teriknya matahari dan hujan lebat, berat dan sayang untuk meninggalkan tempat ini. Tidak sedikit malah penduduk kampung yang dilahirkan di sini, kampung halaman di mana mereka tumbuh dewasa dan tua. Tapi sekarang rumah mereka dibongkar, lenyap begitu saja, seluruh rumah di daerah ini sudah dirobohkan. Perkampungan ini sudah bukan lagi kampung. Jalan sempit itu juga bukan jalan kampung lagi. Segala apa yang ada di sini sudah berubah, semuanya sudah dipindahkan.
Dalam sekejap mata, perkampungan telah berubah menjadi tanah lapang yang kosong, tanah lapang yang sebagian berlumpur. Tanah kosong, tanah mati, daerah mati, tiada kehidupan lagi di tempat ini.
Mega putih, langit membiru. Di kejauhan masih ada bangunan rumah, ada toko, suara orang dan keributan yang lazim terjadi dalam perkampungan. Langit tetap membiru, kehidupan dalam toko itu pun masih berlangsung, tapi kehidupan dalam toko serba ada ini bukan lagi milik Ma Ji-liong sendiri, seolah kehidupan sejati makin jauh meninggalkan Ma Ji-liong.
Selepas mata Ma Ji-liong memandang, yang terlihat hanya tanah kosong belaka. Sekian lama ia menjumblek, kaget dan tidak mengerti, bagaimana perubahan ini berlangsung. Waktu ia menoleh, dilihat Thio-lausit sedang menggeliat dan menguap, seperti baru sadar dari pulasnya, entah sadar karena mabuk, atau karena sedih dan mendelu? Atau dari tidur pulas sungguhan? Ada kalanya orang sadar lebih celaka daripada tidur, lebih enak mabuk saja, karena begitu ia membuka mata, seketika ia membelalak, kecuali kaget, heran dan juga ngeri.
Ma Ji-liong bertanya kepada Thio-lausit, "Apa yang kau saksikan?"
"Tidak ada yang kusaksikan," sahut Thio-lausit. "Apa pun tidak menyaksikan." Tidak menyaksikan apa pun adalah amat menakutkan dibanding kau melihat sesuatu yang mengerikan, tidak tahu seolah-olah ditakdirkan menjadi ketakutan yang terbesar dan mendalam dalam kehidupan manusia.
Ma Ji-liong berkata pula, "Umpama mereka mengurung kita hingga mati kelaparan di sini, sebetulnya tak perlu membongkar rumah-rumah penduduk itu, mereka kan bisa bersembunyi di rumah-rumah itu untuk menyelidik keadaan kita di sini dari dekat." Ma Ji-liong tak habis mengerti, kenapa rumah-rumah penduduk dibongkar hingga rata dengan tanah dan daerah perkampungan itu menjadi tanah kosong. Dengan mengajukan pertanyaan, Ji-liong berharap Thio-lausit bisa memberi keterangan kepadanya, ikut memecahkan teka-teki ini.
Belum Thio-lausit menjawab, dari arah barat muncul barisan 28 pemuda berpakaian hitam ketat, mereka muncul dengan berbaris rajin dan rapi, langsung menuju ke depan tokonya. Ma Ji-liong dapat membedakan ke-28 pemuda yang ini bukan barisan yang tadi, namun mereka terdiri pemuda-pemuda kekar dan kuat juga, sama-sama berseragam hitam, hanya pakaian mereka masih kering, belum basah oleh keringat, karena mereka belum bekerja berat. Yang mereka bawa juga bukan kantong kain hitam, tapi keranjang bambu hitam.
Keranjang bambu ini kelihatan lebih berat karena isinya batu-batu hitam berbentuk bulat seperti bola hitam mengkilap hingga kelihatan seperti mutiara hitam. Sudah dua puluh tahun lebih Ji-liong hidup di dunia ini, tak pemah ia melihat batu seperti itu, susah ia mengenali anak buah siapakah pemuda-pemuda gagah tegap dan cekatan ini. Batu hitam bulat dan mengkilap seperti itu jelas susah ditemukan meski hanya satu atau dua butir saja. Gembong-gembong silat Kangouw yang mampu memelihara atau mendidik pemuda-pemuda berseragam hitam seperti mereka juga hanya beberapa gelintir saja.
Yang lebih aneh lagi, pemuda-pemuda itu menata batu-batu dalam keranjang bambu itu di atas tanah secara teratur, rapi dan rapat baris demi baris, mirip petani yang sedang menanam padi di sawah. Gerakan mereka rapi dan rajin serta seirama lagi cepat, tanah kosong yang berlumpur itu seketika tertutup oleh taburan batu hitam itu.
Lekas sekali keranjang bambu para pemuda Itu sudah kosong, kejap lain mereka sudah berlari pergi dengan derap yang tetap rapi. Belum lenyap bayangan ke-28 pemuda yang ini, dari arah Timur muncul lagi 28 pemuda lain dalam bentuk barisan yang sama, berseragam hitam juga membawa keranjang bambu hitam berisi batu-batu bulat warna hitam mengkilap pula, derap langkah mereka mirip pasukan kerajaan yang sedang mengadakan upacara di halaman istana.
Ma Ji-liong ingin bertanya pada Thio-lausit, apakah ia tahu anak buah siapa gerangan para pemuda ini? Atau menerka dari mana asal mereka? Entah apa yang sedang dilakukan oleh para pemuda itu?
Ma Ji-liong belum sempat bertanya karena mendadak dilihatnya perubahan yang ganjil pada wajah Thio-lausit. Sejak tadi Thio-lausit bersikap acuh tak acuh, malas dan mengantuk, namun sorot mata yang tadi guram kini mencorong terang dengan menampilkan rasa takut dan ngeri. Tanpa diperintah atau diminta oleh Ma Ji-liong, mendadak ia memburu keluar. Dengan kecepatan yang luar biasa, satu persatu ia pasang daun pintu toko serba ada dan menutupnya rapat. Padahal tadi ia bersikap bandel untuk tetap membuka toko ini seperti biasa supaya tidak menarik kecurigaan musuh, mengapa sekarang tanpa diminta ia malah menutup toko?
Ma Ji-liong melenggong, diam saja mengawasi kelakuan pegawainya yang aneh. Tiba-tiba Thio-lausit menarik lengannya terus diseret masuk ke dalam rumah. Hanya sinar pelita yang menerangi keadaan rumah itu, remang-remang saja di dalam. Tiga orang yang ada di dalam rumah kelihatan amat lesu dan kuyu. Tanpa bicara, begitu masuk Thio-lausit merogoh kantong di balik bajunya mengeluarkan sebuah botol hitam dari kayu, langsung ia angsurkan kepada Thiat Tin-thian. "Ini untukmu," suaranya gugup gelisah. "Makan dulu separuh, sisanya makan lagi setengah jam kemudian, kunyah dulu baru ditelan."
Sudah tentu Thiat Tin-thian bertanya, "Ini apa?"
"Itulah Bik-giok-cu," ujar Thio-lausit. "Dalam jangka setengah jam setelah kau makan obat itu, luka dalammu yang parah akan sembuh setengah bagian. Menjelang magrib nanti kau telan lagi sisanya yang separuh, tengah malam nanti kekuatanmu akan pulih delapan bagian dari keadaan semula." Mendadak ia menghela napas, lalu katanya pula, "Semoga kau kuat bertahan hingga saatnya nanti."
Mendengar 'Bik-giok-cu', bola mata Thiat Tin-thian seketika bercahaya. Tubuhnya bergetar keras, ia tahu obat dalam botol kayu hitam yang ia pegang sekarang adalah obat mujarab, satu-satunya obat penyembuh yang dapat menolong dirinya di kolong langit ini, obat mujizat yang tak ternilai harganya. Tetapi Thiat Tin-thian tidak segera menelannya, ada beberapa persoalan yang ingin ia ketahui lebih dulu, maka ia bertanya, "Siapa kau?" Pertanyaan itu ditujukan kepada Thio-lausit, lalu sambungnya, "Dari mana kau bisa memiliki Bik-giok-cu ini?"
"Semua itu tiada sangkut-pautnya dengan kau. Pokoknya lekas kau makan obat itu dan sembuh, titik."
"Siapa bilang tiada sangkut pautnya," tegas jawaban Thiat Tin-thian. "Selama hidup belum pernah Thiat Tin-thian menerima kebaikan atau bantuan orang lain. Kalau aku tidak tahu kau siapa, mana boleh aku menerima obatmu?" Laki-laki yang tegas membedakan budi dan dendam, lebih rela mati daripada hutang budi kepada orang lain, mati pun tidak mau berhutang budi kepada orang yang tidak dikenalnya.
Mendadak Ma Ji-liong menyeletuk, "Kau boleh menerima obatnya, juga harus menerima budi pertolongannya, malah tidak perlu kau membalas kebaikannya."
"Kenapa?" tanya Thiat Tin-thian.
"Karena dia adalah temanku, demikian pula kau," tandas ucapan Ma Ji-liong." Antara kawan, peduli siapa untuk siapa, tidak perlu menyinggung soal balas membalas kebaikan."
Tanpa bicara lagi, Thiat Tin-thian membuka tutup botol, lain menuang separuh isi obat di dalamnya ke mulut serta ditelan begitu saja.
Mendadak Ong Ban-bu menghela napas lega, katanya pula, "Thiat Tin-thian, sekarang boleh kau bunuh aku saja, sekarang mati pun aku tidak menyesal." Sekarang ia sudah tahu, orang yang mengalahkan dirinya jelas bukan tokoh sembarangan, karena hanya murid Bik-giok Hujin yang mempunyai Bik-giok-cu. Kalah di tangan anak murid Bik-giok Hujin jelas bukan peristiwa yang memalukan. Kenyataan dirinya sudah kalah, kecundang, mati pun tak perlu menyesal.
Walau Ong Ban-bu tidak menjelaskan, namun Thiat Tin-thian cukup maklum perasaan hatinya. Kini siapa pun berani memastikan bahwa Thio-lausit adalah anak murid Bik-giok Hujin. Selama seratus tahun terakhir ini, belum pernah ada berita yang menyatakan Bik-giok Hujin menerima murid laki-laki, maka dapat dipastikan bahwa Thio-lausit yang satu ini adalah penyamaran seorang perempuan, seorang gadis.
Ma Ji-liong menatapnya lekat, sepatah demi sepatah ia berkata, "Sekarang apakah belum tiba saatnya kau berterus terang?"
"Berterus terang tentang apa?" tanya Thio-lausit.
"Berterus terang bahwa kau adalah Toa-hoan."
Akhirnya Thio-lausit menghela napas panjang, ujarnya kemudian, "Betul, aku memang Toa-hoan."
Pegawai jujur yang tidak jujur ini memang betul adalah Toa-hoan. Bukan Toa-hoan yang berarti mangkuk besar, mangkuk besar yang sering dipakai nyonya rumah di dapur, tapi Toa-hoan yang satu ini adalah nama seorang gadis, gadis yang berdarah daging, manusia tulen, gadis yang berani berbuat berani bertanggung jawab, Toa-hoan yang selama ini membuat Ma Ji-liong rindu, gadis jelek yang membuat Ma Ji-liong kasmaran.
Apa selama ini Toa-hoan juga merindukan Ma Ji-liong? Jika muda-mudi ini sama-sama merindukan lawan jenisnya, kenapa selama tiga bulan lebih ia tega merahasiakan dirinya, tidak memberitahu kepada Ma Ji-liong-liong bahwa dirinya menyaru menjadi Thio-lausit, pegawainya yang jujur dan setia?
Ma Ji-liong tidak habis mengerti, hati perempuan memang sukar dijajaki, tak mudah diselami.
Toa-hoan sudah mengulur tangannya. Begitu ujung jarinya menyentuh tangan Ma Ji-liong, lekas ia menyurut mundur lagi. Tidak ada orang yang lebih kuasa mengendalikan perasaan hatinya seperti dia. "Tenaga Thiat Tin-thian akan segera pulih, Ong Ban-bu tidak perlu mati, demikian pula engkau," suara Toa-hoan dingin. "Asal ada kesempatan, kalian harus menerjang keluar."
Ma Ji-liong juga berusaha menahan gejolak hatinya, tapi tak tahan ia bertanya, "Dan kau bagaimana?"
"Aku......" Toa-hoan tergagap.
Mendadak Cia Giok-lun berteriak, "He, kenapa kalian tak bertanya pada diriku? Bagaimana nasibku nanti?"
Pelahan Toa-hoan membalik badan menghadapi Cia Giok-lun. Cia Giok-lun melotot gusar penuh emosi, wajahnya dilembari dendam dan kebencian. "Kenapa kau membuatku celaka begini rupa?" pekiknya dengan suara tersendat.
"Aku memang bersalah, berdosa terhadapmu," kata Toa-hoan. "Tapi kau harus percaya kepadaku, maksudku baik, aku tidak akan membuatmu celaka."
"Tapi kenapa kau lakukan semua ini?"
"Supaya tugas yang kuemban tidak sia-sia, dapat menunaikan tugas dengan baik, aku harus mencegah kau menikah dengan Khu Hong-seng," demikian jawab Toa-hoan. "Sejak kecil kita dibesarkan bersama, maka aku tidak boleh berpeluk tangan melihat kau menikah dengan orang yang keji, licik dan munafik itu."
Ma Ji-liong memekik kaget, "Jadi dia ini putri kesayangan Bik-giok Hujin?"
"Betul," sahut Toa-hoan. "Cia-hujin mengundang kalian berempat berkumpul di Han bwe-kok, maksudnya untuk memilih seorang di antara kalian sebagai calon menantunya."
"Jadi hari itu kau juga berada di Han-bwe-kok?" tanya Ma Ji-liong.
Toa-hoan manggut, "Ya, aku ada di sana waktu kejadian itu berlangsung, aku mengikuti seluruh peristiwa itu."
Siapa saja bila menyaksikan peristiwa itu serta mengikuti perkembangan selanjutnya, pasti berkesimpulan dan menuduh Ma Ji-liong sebagai pembunuhnya, biang keladi dari rentetan kasus yang berbuntut panjang itu.
Toa-hoan berkata, "Tapi aku berpendapat, dari pengamatanku di belakang tabir, di balik peristiwa ini tentu ada muslihat keji yang terselubung."
"Kenapa kau berkesimpulan demikian?" tanya Ma Ji-liong.
"Karena kejadian yang berlangsung secara 'kebetulan' dalam peristiwa itu terlalu banyak," Toa-hoan menjelaskan. "Aku tidak percaya kejadian yang selalu kebetulan." Liang lahat di tanah bersalju, batu jade milik Siau-hoan, tusukan tombak Kim Tin-lin yang tepat mengenai mainan kalung, Coat-taysu dan Peng Tio-hoan muncul pada saat yang tepat dan lain-lain, semua itu terjadi secara kebetulan. Peristiwa yang terjadi secara kebetulan, umumnya sudah diatur secara rapi, sudah direncanakan dengan sempurna.
Lebih lanjut Toa-hoan berkata, "Cia-hujin mengutus aku sebagai juri dengan tugas memilih calon menantunya. Aku mendapat kepercayaan penuh, tugas dan kewajibanku tidak ringan, apalagi peristiwa ini menyangkut masa depan Toa-siocia, maka aku hrus bekerja secara hati-hati dan teliti. Setelah menghadapi persoalan rumit itu, aku tak berani mengambil keputusan." Toa-hoan mengawasi Ji-liong, "Oleh karena itu, sengaja kubiarkan kau melarikan diri, aku belum yakin bahwa kaulah biang keladi kasus ini, aku masih ingin memancing dan mencoba dirimu, aku ingin tahu dari dekat, orang macam apa sebetulnya kau ini?"
Terpendam di bawah salju, sengaja memperlihatkan rambut kepala sambil merintih lemah, itulah percobaan pertama. "Kalau kau tidak berhenti dan menolong aku dari timbunan salju itu, hari itu juga aku sudah membunuhmu."
Pembunuh yang lagi buron pasti tak mau menolong gadis jelek yang tidak pernah dikenalnya, menyelamatkan jiwa sendiri lebih penting, apalagi Ji-liong menyerahkan jaket berbulu dan kudanya kepada orang yang telah ditolongnya.
Tapi percobaan pertama belum memuaskan, belum meyakinkan bahwa Ji-liong bukan pembunuhnya, maka perlu dilanjutkan dengan percobaan demi percobaan.
"Setelah beberapa kali kucoba, akhirnya aku percaya kau bukan orang jahat, kau orang baik, hanya sifatmu saja yang terlalu angkuh. Aku menjadi curiga terhadap Khu Hong-seng," demikian tutur Toa-hoan lebih lanjut. "Rencananya memang amat rapi dan sempurna, susah aku melihat titik kelemahan muslihatnya. Walau aku tahu kau terfitnah dalam kasus ini, namun aku tak berdaya menolong kau membersihkan diri." Setelah menghela napas panjang Toa-hoan melanjutkan, " Aku tak punya bukti. Untuk membuat Cia-hiujin percaya bahwa kau tidak berdosa dalam kasus ini, aku harus punya bukti."
Ma Ji-liong menyengir tawa, tawa yang getir, "Umpama Cia-hujin percaya, Coat-taysu dan lain-lain pasti tidak mau percaya. Aku tetap menjadi kambing hitam di tangan mereka."
Seorang yang sudah dianggap atau dituduh pembunuh kejam oleh orang-orang gagah dan pendekar, apalagi tokoh seperti Coat-taysu yang disegani dalam Bu-lim, mana mungkin menjadi calon menantu Bik-giok Hujin.
"Belakangan baru aku tahu," tutur Toa-hoan lebih lanjut. "Di saat aku menguntit dirimu, sebelum tugas selesai, penyelidikanku juga belum mencapai hasil, kudengar Cia-hujin sudah mengambil keputusan untuk memilih Khu Hong-seng sebagai calon menantu, malah hari pernikahan juga sudah ditetapkan."
Mendadak Ong Ban-bu menyeletuk, "Aku juga mendengar berita itu."
"Putusan yang sudah ditentukan Cia-hujin, jarang diubah, meski nasi sudah menjadi bubur juga tidak menyesal," demikian ucap Toa-hoan sinis. "Kecuali aku dapat mencari bukti bahwa peristiwa ini adalah rencana busuk Khu Hong-seng, Khu Hong-seng adalah biang keladi atau pembunuh utamanya."
Toa-hoan sudah bekerja keras, dibantu Ji Ngo lagi, namun sukar baginya menemukan bukti yang diharapkan.
Khu Hong-seng memang cerdik pandai, ia bekerja secara rapi dan penuh perhitungan, orang sukar menemukan kesalahannya. Lebih hebat lagi secara gamblang ía sudah memaparkan kunci persoalai peristiwa ini, secara blak-blakan bicara dengan Ma Ji-liong, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Umpama Ji- liong ganti memaparkan persoalan ini seperti apa yang diakui Khu Hong-seng kepada orang lain, penegak hukum pun takkan mau percaya. Memang sulit bagi Ji-liong untuk mengetengahkan alasannya. Bukan saja tak percaya, orang lain justru beranggapan Ji-liong sengaja memfitnah Khu Hong-seng, bahkan akan lebih meyakinkan lagi bahwa dialah pembunuh atau biang keladi dalam kasus ini.
Khu Hong-seng memang cerdas, sengaja ia meletakkan dirinya pada posisi yang paling celaka, pada kedudukan yang tidak menguntungkan, lalu secara licin meloloskan diri tanpa meninggalkan jejak, karena ia tahu dan mahfum titik kelemahan sifat manusia umumnya.
Toa-hoan menghela napas pula, “Rencana itu bukan saja rapi dan sempurna, juga telak, untuk itu harus diacungi jempol. Meski gagal menemukan bukti, gagal membongkar kejahatan Khu Hong-seng, aku tidak rela dan tidak boleh berpeluk tangan menyaksikan Toa-siocia dipersunting oleh keparat itu.”
Mendadak Cia Giok-lun menghela napas, “Waktu ibu mengumumkan pilihannya, aku sudah berangkat dari Bik-giok-san ceng. Bukan mencari Khu Hong-seng, tapi mencari kau.”
“Aku mengerti,” lembut suara Toa-hoan. “Meski perkataanmu kasar, sikapmu garang, namun aku tahu di dalam hatimu kau masih menganggap aku sebagai saudara kandungmu sendiri.”
Cia Giok-lun menyengir kecut, katanva, “Tapi mimpi pun aku tidak menduga, mendadak kau menutuk Hiat-toku.”
“Untuk menjernihkan suasana, untuk menunda perkembangan lebih lanjut, terpaksa aku harus mengamankan kau lebih dulu,” demikian Toa-hoan menjelaskan.
Toa-hoan perlu waktu untuk mencari bukti, ia bekerja sepenuh tenaga untuk membongkar kasus ini, maka jalan pendek yang perlu segera dilakukan adalah mengamankan Cia Giok-lun, memaksa Cia-hujin mengulur waktu atau menunda pernikahan putrinya. Jika mempelai perempuan mendadak lenyap tak keruan parannya, upacara nikah tentu tak bisa dilangsungkan.
"Setelah kupikir-pikir, cara yang terbaik adalah kalian harus disembunyikan bersama. Kecuali orang banyak sukar menemukan kalian, sekaligus kalian bisa bertatap muka, berkumpul dan hidup dalam satu rumah. Aku yakin dengan cara yang kugunakan ini, kau akan memperoleh kesempatan menyelami dan memahami orang macam apa sebetulnya Ma Ji-liong," ujar Toa-hoan lebih lanjut. "Sengaja pula kuberi kesempatan padanya supaya tahu kau adalah gadis jelita, perempuan sempurna, maksudku untuk mencoba dia pula dalam kamar gelap itu, apakah dia kuat menguasai dirinya."
"Untuk menjaga segala sesuatu, maka kau ikut menyamar dan tinggal di sini juga," ujar Cia Giok-lun. "Agaknya kau belum lega, kau masih kuatir, maka kau masih harus mengawasi dari dekat."
Toa-hoan mengangguk, katanya, "Kalau dia berani berbuat tidak senonoh terhadap kau, aku tidak akan membiarkan dia hidup sampai sekarang."
Mendadak Cia Giok-lun menghela napas. "Kau tidak salah menilai dia," suaranya mendadak berubah menjadi halus. "Dia memang bukan orang jahat."
Ma Ji-liong pasang kuping, mendengarkan saja, kunci persoalan berlika-liku, sekarang ia baru mengerti duduknya persoalan.
Thiat Tin-thian mendadak menghela napas, katanya, "Dia memang orang baik, kejadian ini sebetulnya kejadian baik, sayang sekali dia berkenalan dengan orang jahat."
"Kawan adalah kawan," Ma Ji-liong memberi komentar. "Kawan tidak perlu diperdebatkan baik atau buruk, karena kawan hanya ada satu macam. Jika ia bersalah terhadapku, mengkhianati aku, maka ia tak setimpal menjadi kawanku, tidak patut ia disebut kawan." Sikapnya serius lagi keren, lanjutnya, "Aku tidak percaya adanya setan atau malaikat, aku hanya percaya kepada kawan."
Ji-liong percaya kepada kawan, karena dia tidak pernah keliru mengartikan makna dari kebesaran dan keluhuran 'kawan' itu. Kawan memang hanya sebuah kata, satu pengertian yang agung, suci dan serius. Kawan tak boleh diartikan secara bengkok, juga tidak boleh dianggap remeh.
"Aku tahu maksudmu," kata Thiat Tin-thian. "Tapi kalau kau tidak punya kawan seperti aku, penyamaranmu takkan terbongkar, sekarang kau masih aman sebagai pemilik toko ini. Apa yang telah terjadi, akulah yang membuatmu celaka."
"Apakah kau menyesal berkawan dengan aku?” tanya Ma Ji-liong. "Atau kau akan memaksa aku menyesal telah berkawan denganmu?"
“Aku tidak menyesal," ujar Thiat Tin-thian. " Aku tahu kau pun pasti tidak menyesal."
Didorong oleh 'persahabatan' yang kekal, mereka memang tidak kenal apa artinya 'menyesal'.
Tiba-tiba Ong Ban-bu menghela napas, "Melihat persahabatan dua kawan seperti kalian, aku baru sadar, selama aku hidup hingga sekarang belum pernah aku punya kawan sejati."
-------------------------ooo00ooo------------------------
Rahasia penyamaran Ma Ji-liong memang terbongkar lantaran Thiat Tin-thian, lalu bagaimana dengan Toa-hoan? Kalau bukan karena Ma Ii-liong, siapa yang tahu Thio-lausit adalah samaran Toa-hoan? Siapa pula yang tahu kalau dia adalah murid Bik-giok-san-ceng? Kalau bukan karena Ma Ji-liong, mana mungkin rencananya terbengkalai dan gagal di tengah jalan? Tapi ia tidak marah, tidak mengomel, juga tidak menyesal. Kalau bukan karena Ma Ji-liong, bahwasanya ia tidak akan melakukan semua ini.
Ma Ji-liong bertanya, "Waktu kami terkepung, kaukah yang menolong kami dengan kabut hijau itu?"
"Ya," Toa-hoan menerangkan. "Kabut hijau itu dinamakan Jiu-han-yam buatan Bik-giok-san-ceng, lebih tebal dari kabut, juga lebih cepat buyar dibanding kabut. Bila asap dingin itu berkembang, apa pun tidak kelihatan meski jarimu sendiri."
"Karena kau menggunakan Jiu-han-yam, maka mereka tahu di sini ada orang Bik-giok-san-ceng," Ma Ji-liong mencari tahu.
"Betul, setelah mereka tahu ada orang Bik-giok-san-ceng di sini, mereka tidak berani bertindak secara gegabah," Toa-hoan berkata. "Selama mereka tidak beraksi, asal bisa mengulur waktu, mungkin kita punya kesempatan meloloskan diri. Sayang sekali keadaan sudah jauh berbeda, kita sudah tidak punya peluang untuk mengundurkan diri dari sini."
"Kenapa?" tanya Ma Ji-liong.
"Apa yang kau lihat di luar?" Toa-hoan balas bertanya.
"Kulihat puluhan pemuda berseragam hitam," sahut Ma Ji-liong.
"Apa kerja mereka di luar?" tanya Toa-hoan.
"Mereka menata batu-batu hitam bulat di atas tanah."
Apa yang menakutkan dari batu-batu hitam itu?
Asal orang tidak memaksa kau menelan batu itu, juga tiada orang yang menimpukkan batu itu di atas kepalamu, perduli apa bila batu itu putih, hitam, biru atau kuning? Batu hitam itu meski bentuknya bulat aneh tapi kan tidak perlu dibuat takut?
Anehnya Toa-hoan justru memperlihatkan rasa takut dan ngeri, demikian pula Cia Giok-lun setelah mendengar adanya batu-batu hitam bulat itu menunjukkan rasa takut dan panik.
Mendadak Cia Giok-lun bertanya, “Batu-batu bulat yang kau lihat itu, apakah hitam legam? Bundar lagi mengkilap?”
“Ya.”
“Di mana kau lihat batu-batu itu?” tanya Cia Giok-lun.
“Dibawa pemuda-pemuda berseragam hitam itu,” sahut Ji-liong. “Setiap pemuda membawa sekeranjang batu hitam.”
“Lalu?”
“Satu persatu batu bulat hitam yang sama besar kecilnya itu ditata di atas tanah dengan rapi.”
Cia Giok-lun tidak bertanya lagi. Mulutnya terkancing, sorot matanya seperti membayangkan peristiwa yang mengerikan. Sikap dan mimiknya seperti Toa-hoan, bak bocah yang mendadak melihat atau berhadapan dengan setan-iblis yang pernah disaksikannya dalam mimpi buruk.
Kenapa kedua nona ini begitu takut terhadap batu-batu hitam itu?
Thiat Tin-thian menjadi tertarik, maka ia bertanya, “Di daerah ini apakah ada batu-batu seperti itu?”
“Tidak ada, pasti tidak ada,” sahut Ji-liong. “Umpama ada batu bulat di sini juga tidak sebesar itu, hitam lagi warnanya.”
Ong Ban-bu mendadak menambahkan, “Waktu aku datang, sebelumnya sudah kuperiksa beberapa li di sekitar kampung ini. Batu macam apa saja ada, tapi yang bundar hitam dan mengkilap, jelas tak pernah kulihat meski hanya sebutir saja.”
“Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa batu-batu hitam itu jelas diangkut ke mari dari daerah yang jauh dari sini.”
“Ya, pasti dari jauh.”
Thiat Tin-thian heran, “Kenapa bersusah-payah mengangkut batu-batu sebanyak itu dari jauh ke mari serta menatanya rapi di depan pintu?”
Sebetulnya tidak ada orang yang bisa menjawab pertanyaan ini, tetapi Toa-hoan segera menjelaskan, “Karena dia seorang gila. Orang gila kan bisa melakukan apa saja yang tidak mungkin dilakukan orang lumrah.”
Apa betul orang gila harus ditakuti?
Banyak orang gila di dunia ini, berbagai macam orang gila. Asal kau tidak mengusik atau mengganggu dia, dia tidak usah ditakuti. Banyak orang yang tidak gila, orang waras di dunia ini, justru lebih menakutkan dibanding orang gila.
Toa-hoan menerangkan, “Orang yang betul-betul gila tidak perlu ditakuti. Yang menakutkan adalah orang yang kelihatan waras, lebih normal dibanding orang biasa, padahal dia seorang yang betul-betul gila.”
Lebih jauh Toa-hoan menjelaskan, “Biasanya kau lihat dia bekerja secara sopan, teratur dan rapi. Sikapnya juga ramah tamah, tutur katanya lembut, tapi bila penyakit gilanya kumat, perbuatan apa pun berani dilakukan. Perbuatan yang tidak mungkin dilakukan orang gila juga bisa dia lakukan.”
Lebih menakutkan lagi karena siapa pun tidak tahu kapan dia akan gila. Tidak bisa ditebak kapan sakit gilanya itu kumat, maka orang takkan siaga, tidak menduga. Di saat kau kira dia waras dan normal, mungkin saat itulah dia akan memotong hidungmu untuk umpan anjing. Setelah hidungmu hilang, kau masih juga tak percaya bahwa dia benar-benar telah gila, dia yang telah melukai dirimu.
“Begitulah gambaran orang gila yang kumaksud, orang gila yang menakutkan,” Toa-hoan mengakhiri ceritanya.
“Kau pernah melihatnya?” Thiat Tin-thian bertanya.
“Aku tidak pernah melihatnya. Semula kukira selama hidup aku tak akan melihatnya,” setelah menghela napas, Toa-hoan menambahkan, “Sayang sekali, tak lama lagi aku akan melihatnya, bahkan berhadapan langsung dengan dia.”
Mendadak Cia Giok-lun mengulurkan tangan menarik lengannya, “Apa betul dia ke mari?”
“Dia pasti datang,” ujar Toa-hoan. “Jui-ham-yan telah mengundangnya ke mari.”
“Setelah kau melihat batu hitam itu, kau tahu bahwa dia sudah datang?” tanya Ma Ji-liong.
“Betul,” sahut Toa-hoan. “Di kolong langit ini, batu-batu hitam bulat seperti itu hanya ada di tempat tinggalnya sana.”
“Dia tinggal di mana?” tanya Ji-liong.
“Di lembah mati,” sahut Toa-hoan. “Lembah mati yang tak ada apa-apanya, yang ada hanya batu-batu bulat hitam mengkilap.”
Dengan suara tertekan ia bercerita lebih jauh, “Lembah itu tak pernah diinjak manusia, lembah yang kering kerontang, burung juga susah hidup di sana, apalagi manusia. Tetapi berbeda dengan manusia yang satu itu, ternyata dia bisa bertahan hidup, malah hidup panjang hingga sekarang.”
“Kenapa dia tinggal di lembah seperti itu?”
“Manusia adalah manusia. Meski dia gila, sebetulnya tidak mau dan tak rela tinggal di lembah mati itu, tapi ada orang yang memaksanya.”
“Siapa yang memaksa dia?”
“Di dunia ini hanya seorang yang bisa dan mampu memaksa dia,” demikian tutur Toa-hoan. “Hanya orang itu yang bisa memaksa dia melakukan apa yang tidak ingin dia lakukan,” tuturnya. Mendadak Toa-hoan bertanya, “Tahukah kalian, tiga puluh tahun yang lalu, di kalangan Kangouw pernah muncul seorang tokoh besar bernama Bu-cap-sah?”
“Bu-cap-sah?” Ma Ji-liong mengulang nama itu.
“Ya, Bu-cap-sah, artinya Tiga Belas Tidak Punya.”
“Kenapa dia bernama Bu-cap-sah?”
“Katanya dia tidak punya she, tidak punya nama, tidak punya ayah, tidak punya ibu, tidak punya abang, tidak punya adik laki, tidak punya kakak, tidak punya adik perempuan, tidak punya bini, tidak punya putra, tidak punya putri dan tidak punya kawan.”
“Kan hanya dua belas 'tidak punya'?” tanya Ma Ji-liong. “Satu lagi tidak punya apa?”
“Tidak punya tandingan.”
“Tidak punya tandingan?” Ma Ji-liong tidak percaya. “Betulkah dia tidak punya tandingan?”
“Tiga puluh tahun yang lalu, dalam usia dua puluh tiga tahun, dia sudah menyapu jagat tanpa menemukan tandingan, kepandaian silatnya tiada bandingan di seluruh dunia.”
Ma Ji-liong masih tidak percaya, “Peristiwa yang terjadi tiga puluh tahun yang lalu sebetulnya masih belum terlalu lama, kenapa sampai sekarang belum ada orang yang tahu?”
Mendadak Thiat Tin-thian menimbrung, “Ada orang yang tahu, banyak yang tahu, aku juga tahu.” Thiat Tin-thian berkata penuh keyakinan. “Tahun itu kebetulan aku berusia 19 tahun, tepatnya hari raya Ciong-yang, aku mendengar orang membicarakan tentang dirinya.”
“Kau masih ingat dengan jelas?” tanya Ma Ji-liong.
“Sudah tentu jelas, karena hari itu kebetulan hari kelahiranku,” Thiat Tin-thian bercerita. “Pada hari ulang tahunku itu, kebetulan dia berhasil mengalahkan Lian San-hun.”
Lian San-hun adalah jago silat paling top masa itu. Dengan Heng-hun-jik-jit dan Si-cap-kau-kiam, dia malang melintang di Kangouw, terutama 49 Jurus Ilmu Pedang Penyapu Mega Menutup Matahari itu teramat lihai, jelas tidak asor dibanding Wi-hong-bu-liu Si-cap-kau-kiam ciptaan Ko-tojin dari Pa-san.
“Setelah berhadapan, belum sempat dia melancarkan ilmu pedangnya yang 49 jurus itu, Lian San-hun sudah roboh binasa secara mengenaskan. Dikalahkan oleh pemuda yang baru terjun di dunia persilatan.”
“Lian San-hun dikalahkan oleh Bu-cap-sah?” tanya Ma Ji-liong.
“Waktu itu aku tidak tahu siapa dia, aku hanya mendengar ada seorang jago pedang tersohor di seluruh jagat bernama Yan Cap-sah. Tapi tiga bulan kemudian, aku selalu mendengar orang bercerita tentang Bu-cap-sah seorang,” tutur Thiat Tin-thian, lalu ia menekankan, “Tiga bulan tepat, sembilan puluh hari.”
Tak tahan Ma Ji-liong bertanya lagi, “Bagaimana kau ingat bahwa tepat sembilan puluh hari dia menggegerkan dunia persilatan?”
“Karena dari hari raya Ciong-yang hingga tanggal 8 bulan 11 tepat 90 hari. Dalam jangka waktu 90 hari itu dia berhasil mengalahkan 43 jago-jago silat kosen yang paling terkenal pada masa itu,” demikian tutur Thiat Tin-thian. “Yang terakhir dia kalahkan adalah Ciangbunjin Thiat-kiam-bun. Saat itu dia sedang berkumpul dengan anak muridnya, akan berpesta makan bubur ayam campur tiram. Belum ada satu gebrakan, Ciangbunjin Thiat-kiam-bun ini dikalahkan lalu dijungkir-balikkan ke dalam wajan di mana bubur ayam sedang dimasak.”
“Selanjutnya bagaimana?”
“Selanjutnya tidak ada.”
“Tidak ada? Apa maksudnya tidak ada?”
“Tidak ada, maksudnya sejak hari itu Bu-cap-sah tidak pernah muncul lagi,” Thiat Tin-thian bercerita. “Selanjutnya, tiada orang persilatan yang mendengar kabar beritanya, tiada orang yang pernah melihat jejaknya.”
“Apa betul tiada orang yang tahu ke mana dia pergi?”
“Ya, tidak ada.”
“Ada,” tiba-tiba Toa-thoan menyeletuk. “Ada orang yang tahu di mana dia berada, akulah orangnya.”
Apa yang aku tahu, orang lain pasti tidak tahu.
Suatu hari, entah dengan cara apa Bu-cap-sah berhasil menemukan Bik-giok-san-ceng dan meluruk ke sana. Sehari menjelang tutup tahun, jadi pada saat orang-orang mempersiapkan diri untuk menyambut datangnya tahun baru, Bu-cap-sah menantang bertanding Bik-giok Hujin di Pui-kui-poh di luar Bik-giok-san-ceng.
Bik-giok Hujin memiliki kepandaian silat yang tiada taranya, tiada kaum persilatan yang tahu sampai di mana taraf kepandaiannya. Yang pasti, belum pernah ada tokoh lihai mana pun yang mampu mengalahkan dia. Maka dalam duel seru di luar Bik-giok-san-ceng itu, Bu-cap-sah akhirnya kalah setelah bertempur ratusan jurus. Kemampuan Bu-cap-sah sudah memecahkan rekor dari para lawan yang pernah berhadapan dengan Bik-giok Hujin. Tidak ada orang yang bisa mengalahkan dirinya, sejak dulu hingga saat ini, belum ada yang mampu mengalahkan dia.
Anehnya, di luar kebiasaan, Bik-giok Hujin tidak membunuh lawannya yang kurang ajar ini, tapi hanya mengurung atau tepatnya menghukumnya di dalam lembah mati. Bu-cap-sah diharuskan bersumpah selama hidup takkan keluar dari lembah itu dan membuat onar lagi di luar.
Rumput atau pohon tidak tumbuh, burung pun tidak bisa hidup di lembah itu. Seperti juga Sing-siok-hay yang terletak di kutub utara, dingin lagi belukar, belum pernah ada manusia yang hidup di tempat itu.
Sejak saat itu Bu-cap-sah tidak pernah muncul lagi. Riwayatnya menjadi legenda kaum persilatan, namun lekas sekali keperkasaannya sudah dilupakan orang.
Toa-hoan berkata, “Tapi aku tidak pernah melupakan dia, karena Hujin sering bilang kepada kami, di dunia ini hanya ada seorang yang bisa hidup di lembah mati, orang itu pasti hanya Bu-cap-sah saja. Kalau dia mampu bertahan hidup di sana, bila dia merasa dirinya sudah mampu menuntut balas, akan datang suatu hari dia pasti akan melanggar sumpah, keluar dari lembah dan merajalela di dunia Kangouw.”
Ma Ji-liong berkata, “Apakah lembah mati itu hanya dihuni dia seorang saja?”
“Ya, hanya dia seorang,” sahut Toa-hoan.
“Tapi kenyataannya ia punya delapan puluh empat orang anak buah yang cekatan.”
Toa-hoan menghela napas, katanya, “Mungkin Hujin sendiri tidak menduga, entah bagaimana dia bertahan hidup di lembah itu, juga takkan menyangka orang-orang itu juga bisa hidup di tempat gersang itu. Tapi Hujin juga pernah bilang, suatu yang tidak bisa dilakukan orang lain, Bu-cap-sah pasti bisa dan mampu melakukannya.”
-------------------------------------ooo00ooo-------------------------------------------
Keadaan di luar semula amat tenang dan sepi. Mendadak berkumandang tawa seseorang yang lantang. Dengan nada riang dan bangga, seseorang berkata di luar, “Banyak terima kasih atas pujian Toa-siocia dan Toa-kohnio. Sebetulnya aku tidak bisa melakukan apa-apa, hanya saja nasibku memang jauh lebih mujur dibanding orang lain, itu saja.”
Dari suaranya, dapat diperkirakan jarak pembicaraan dengan rumah ini masih cukup jauh, tapi setiap patah kata yang diucapkannya dapat didengar dengan jelas oleh semua orang yang ada di dalam rumah.
Setiap patah kata pembicaraan Ma Ji-liong dengan Toa-hoan di dalam rumah juga ternyata dapat didengarnya dengan jelas.
Sambil mendongak, Toa-hoan bertanya, “Kaukah Bu-cap-sah?” Sengaja ia bicara dengan nada rendah, suaranya tidak keras.
“Ya, aku di sini,” sahut orang di luar itu.
Sengaja Toa-hoan menghela napas, katanya, “Kupingmu sungguh tajam, lebih tajam dibanding telinga kelinci.”
Toa-hoan sengaja memancing amarah orang di luar itu, supaya orang menerjang masuk ke dalam dan mudah disergap atau dijebak. Ternyata orang di luar juga cerdik, dia hanya bergelak tawa, tawa yang riang malah, “Telingaku memang amat tajam, hasil latihanku selama beberapa tahun di lembah yang sepi itu. Aku hidup sebatang kara dua puluh tahun di lembah mati, suara apa pun tidak kudengar. Saking sebal dan pengap hampir gila rasanya, maka aku berdaya upaya untuk mendengarkan suara yang tidak mungkin didengar orang lain.”
“Suara apa?” tanya Toa-hoan.
“Umpamanya suara sepasang ular yang lagi bermain cinta di lubang istananya, kutu cilik yang merayap di tanah, ular menelan katak, rayap menggerogoti akar pohon, suara kura-kura yang sedang bertelur,” sambil tertawa Bu-cap-sah berkata dengan bangga, “Pernahkah kalian mendengar suara-suara itu? Sungguh mengasyikkan.”
“Tidak ada, pasti tidak ada orang yang dapat mendengar ular bermain cinta dan kura-kura bertelur.”
Terdengar Bu-cap-sah berkata pula, “Tapi sekarang aku bisa mendengar semua, malah mendengar dengan jelas sekali.”
Bila manusia bisa mendengar suara-suara yang mendekati gaib itu secara jelas, suara apa pula yang tidak bisa dia dengar?
Lebih jauh Bu-cap-sah berkata, “Untung sekarang aku tak perlu mendengarkan suara-suara itu.”
“Lho, kenapa? Kau tidak suka lagi?” tanya Toa-hoan.
“Ya, aku tidak perlu mendengarnya lagi. Sejak lima tahun yang lalu, aku sudah punya banyak teman untuk kuajak bicara,” demikian kata Bu-cap-sah. “Lembah mati yang semula tidak pernah dihuni manusia dan hewan, sekarang ada delapan ratus dua puluh empat orang yang bisa kuajak bicara di sana. Kusuruh mereka bilang apa, mereka mengatakan apa. Aku ingin bilang apa, mereka segera mengutarakan isi hatiku.”
“Bagaimana kau bisa mencari orang sebanyak itu untuk menemani kau bicara?” tanya Toa-hoan.
“Karena nasibku amat mujur,” Bu-cap-sah tertawa riang. “Kecuali batu hitam, dalam lembah itu masih ada benda lain yang lebih berharga.”
“Benda apa?” Toa-hoan ingin tahu.
“Emas, emas murni,” amat riang suara Bu-cap-sah. “Kutanggung, seumur hidup kalian belum pernah melihat logam mulia sebanyak itu.”
Kalau seseorang memiliki sebongkah logam mulia bagaikan gunung, kerja apa saja yang tidak dapat dia lakukan?
Bu-cap-sah berkata lagi, “Setelah memiliki harta sebanyak itu, dari hari ke hari hidupku makin gembira, senang dan tenteram. Ilmu silatku juga setingkat lebih maju, maka timbul keinginanku keluar melihat keramaian dunia. Tujuanku yang utama sudah tentu untuk menengok Cia-hujin dan Toa-siocia. Jika bukan lantaran dia, bagaimana aku bisa kaya-raya seperti sekarang?”
Tidak tahan Toa-hoan bertanya pula, “Dari mana kau tahu Toa-siocia berada di sini?”
“Sudah tentu aku tahu,” ujar Bu-cap-sah tertawa. “Seorang yang sudah memiliki emas banyak, jarang ada persoalan di dunia ini yang tidak diketahuinya.”
“Kenapa kau tak masuk ke mari menengoknya?” Toa-hoan memancing.
“Buat apa tergesa-gesa. Sudah dua puluh tahun aku menunggu, apa salahnya aku menunggu beberapa hari lagi?”
“Apa yang kau tunggu?”
“Aku sudah menyuruh orang membeli sutera dan kain halus lainnya. Sudah kupanggil tukang jahit pakaian yang paling ahli untuk mengukur dan menjahit pakaian baru untuk Toa-siocia. Sengaja kusuruh orang ke kotaraja untuk membeli bahan-bahan rias yang termahal buatan Pek-sek-cay,” demikian ujar Bu-cap-sah dengan tawa lebar. “Setelah Toa-siocia berganti pakaian, berdancan dan dirias, aku pasti akan masuk dan bertemu dengannya. Sekarang aku tidak perlu buru-buru, aku tidak suka perempuan yang kotor.”
-------------------------------------------ooo00ooo------------------------------------------------
Riang gembira nada suaranya, tutur katanya juga sopan lagi halus. Tapi perasaan Toa-hoan seperti batu yang kecemplung air dingin. Ia tahu makna menakutkan dari perkataan Bu-cap-sah.
Bu-cap-sah menyenangi gadis yang didandani, gadis yang sudah bersolek, molek jelita. Bila Cia Giok-lun sudah kelihatan ayu, ia siap mempersuntingnya. Biasanya kaum lelaki hanya memakai satu cara untuk menyenangkan perempuan. Demikian pula bila lelaki akan memberi hajaran, menuntut balas kepada perempuan, juga menggunakan cara yang satu ini.
Sudah tentu Thiat Tin-thian maklum cara apa yang akan digunakan orang gila itu. Mendadak ia bertanya pada Toa-hoan, “Apakah dia manusia?”
“Kelihatannya mirip,” sahut Toa-hoan.
“Bagus sekali,” seru Thiat Tin-thian. “Kalau dia manusia, aku juga manusia, kenapa aku tidak keluar menemuinya?”
Bu-cap-sah yang ada di luar segera berkata, “Silakan keluar, lekas keluar, di sini aku sudah menyiapkan sebuah meja perjamuan. Kutunggu kehadiran kalian di luar.”
Thiat Tin-thian tertawa besar, katanya, “Memang aku ingin makan minum dengan lahap dan sepuasnya.” Mendadak ia bertanya pada Ong Ban-bu, “Kau ikut tidak?”
Ong Ban-bu segera berdiri, katanya, “Aku juga ingin makan.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar