Harkat Pendekar 29-35


HARKAT PENDEKAR
Saduran : Gan K. H


Bagian 29 - 35



Meja perjamuan tidak kelihatan. Bahwasanya tiada meja perjamuan di luar rumah. Tanah kosong yang semula becek itu kini ditaburi batu-batu hitam mengkilap. Di tengah taburan batu hitam bulat mengkilap itu hanya ada sebuah dipan kecil yang terbuat dari kayu cendana berbentuk persegi, terukir indah seluas satu meter persegi.

Di bagian belakang dipan persegi dengan ukiran antik itu, berdiri dua tiang kayu setinggi satu meter. Tiang kayu untuk tempat sangkutan kelambu yang menjuntai turun. Seorang laki-laki tinggi gede bercambang dengan telanjang dada berdiri di belakang dipan sambil membusungkan dada. Dari tampang dan kalung bundar besar yang menggelantung di telinga kirinya, dapat diperkirakan bahwa laki-laki gede ini adalah bangsa Persia. Pengawal Persia ini bermata biru melotot bundar dengan topi pendek warna merah terbuat dari beludru, di pinggir kanan dihiasi pita biru yang melambai ditiup angin, jaket sutera pendek ketat tanpa kancing berwarna hitam disulam garis-garis benang emas tersingkap di bawah ketiaknya. Ikat pinggangnya lebar lagi tebal berwarna merah maron, tangannya memegang gagang golok melengkung yang terselip di pinggangnya.

Bu-cap-sah duduk di atas dipan berkasur empuk, berbantal dua dan berkopiah mewah seperti hartawan yang suka pamer kekayaan. Dari tampang dan sikapnya, orang ini tidak mirip orang yang sebatang kara atau anak yang tidak beribu bapak, bukan orang yang tidak punya she, wajahnya yang halus putih bersih pasti tidak mirip orang gila.

Roman muka laki-laki yang duduk di atas dipan itu putih, kalau tidak mau dikatakan pucat, tapi kelihatan tampan. Sikapnya lembut tapi gagah. Dari mukanya yang pucat itu, sukar orang menebak berapa usianya. Gerak-gerik dan senyumnya menarik simpati orang lain, apalagi berpakaian mewah dan mahal. Orang akan silau oleh dandanan dan sikapnya yang perkasa, sehingga tidak memperhatikan lagi usianya.

Mungkin meja perjamuan belum dipersiapkan, padahal tamu yang hadir sudah cukup banyak. Coat-taysu dah kawan-kawannya, seperti juga orang lain, mereka berdiri berkeliling di sekitar dipan kayu itu. Kecuali dipan atau ranjang persegi itu, hakikatnya tiada meja kursi di tempat itu, juga tiada benda apa pun untuk mereka duduk kecuali duduk bersimpuh di atas batu-batu bulat hitam itu.

Tapi setelah Thiat Tin-thian dan Ong Ban-bu beranjak keluar, laki-laki di atas ranjang dengan sikapnya yang sopan dan ramah mempersilahkan para tamunya untuk duduk. Lalu ia menoleh kepada pengawal Persia itu, katanya, “Menurut pendapatmu, apakah masih ada tamu-tamu lain yang akan datang?”

“Kurasa tidak ada lagi, sekian saja sudah cukup,” sahut pengawal Persia itu.

Sekali lagi Bu-cap-sah yang sedang berbaring di atas dipan itu mengangkat sebelah tangannya menyilakan hadirin duduk. Kelakuannya persis seperti seorang cukong yang mengundang tamu-tamunya berpesta di restoran. Lalu dengan sikap dibuat-buat ia berkata, “Silakan duduk, silakan mencari tempat duduk. Sambil makan minum, boleh kita mengobrol.” Orang pertama yang duduk ternyata adalah Coat-taysu. Ia maju selangkah lalu duduk di atas kursi yang sama sekali tidak ada, kursi yang tidak kelihatan. Pantatnya bergantung di udara, namun gayanya persis seorang yang duduk santai di atas kursi sungguhan. Sesuai wataknya yang kaku, sikap dan rona mukanya juga kaku, namun kepandaiannya memang mengagumkan. Kuda-kuda kakinya memang kokoh kuat. Dengan cara jongkok seperti itu, sedikit pun ia tak kelihatan payah atau lelah.

Setelah ada contoh, maka orang banyak lantas meniru perbuatan Coat-taysu. Mereka pun duduk bergaya seperti Coat-taysu. Hanya Thiat Tin-thian yang tetap berdiri tegak di tempatnya.

Bu-cap-sah berpaling ke arahnya, lalu bertanya dengan nada tinggi, “He, kenapa tuan tidak duduk?”

“Aku suka makan sambil berdiri,” Thiat Tin-thian menjawab. “Makan sambil berdiri bukankah dapat gegares lebih banyak?”

“Masuk akal,” seru Bu-cap-sah sambil keplok. “Nah, kalian juga harus makan lebih banyak. Hari ini sengaja aku siapkan hidangan istimewa. Ikan hitam dari Tang-hay, ikan terbang dari Pak-hay, sarang burung dan udang galah dari Lamhay, sate kambing dari kotaraja dengan panggang bebeknya sekalian, ikan asin dari Kanglam, kepiting goreng dari Tiangkang, dan masih ada lagi panggang sapi dan kambing bakar utuh. Kurasa hidangan ini cukup kusediakan untuk makan kenyang kita semua.”

Bahwasanya menu yang diucapkan tadi tidak ada barangnya, tapi dia menyilakan para tamunya makan dengan sikap ramah, membujuk supaya makan lebih banyak. Kecuali beberapa menu yang disebutkan tadi, Bu-cap-sah juga menjelaskan tiga macam menu yang khusus disiapkan untuk Coat-taysu, hidangan vegetarian.

-----------------------------------------ooo00ooo-----------------------------------------------

Orang pertama yang bergaya dan bertingkah seperti orang makan ternyata juga Coat-taysu. Karena Coat-taysu sudah mulai makan, sudah tentu orang lain sungkan untuk diam saja. Padahal yang hadir adalah gembong-gembong silat yang pernah menggetarkan Bulim di wilayah masing-masing, orang-orang gagah dan ksatria Bulim. Tapi tingkah laku mereka sekarang mirip bocah yang lain mainan, semua bergaya duduk dan menggerakkan kedua tangan seperti gerak orang yang memegang sumpit dan mangkuk serta makan dengan lahapnya. Duduk di kursi yang tidak kelihatan, makan dan menyikat.

Ada satu perbedaan dengan mainan anak-anak yang lagi bersandiwara di panggung umpamanya. Orang tua atau tokoh-tokoh silat ini seperti tidak merasa bahwa kelakuan mereka amat lucu dan menggelikan, namun sikap dan mimik mereka kelihatan amat prihatin dan was-was. Kecuali Coat-taysu, rona muka hadirin seperti orang yang tercekik lehernya oleh sepasang tangan iblis yang tidak kelihatan.

Wajah Coat-taysu tidak menunjukkan perubahan. Sumpit di tangannya bergerak naik-turun seperti lazimnya orang yang lagi menjejalkan nasi dan lauk di dalam mangkuk ke mulutnya. Tidak jarang sumpitnya diulur ke depan seperti mengambil sayuran, ikan dan daging. Dengan lahap mulutnya bergoyang, lidah menari menikmati makanan yang dikunyah dengan penuh selera. Entah yang dikunyah itu amarah, penasaran atau ketakutan? Atau mungkin air liur yang getir?

Sejak Coat-taysu terkenal dan disegani orang, kapan pernah berlaku runyam di hadapan orang banyak, memalukan sekali. Tapi sekarang ia mengunyah dan menelan nama besar yang diperoleh dengan cucuran keringat dan jerih payah selama puluhan tahun, selahap orang yang melalap hidangan yang betul-betul sedap.

-----------------------------------ooo00ooo------------------------------------------------

Merinding sekujur badan Thiat Tin-thian menyaksikan kenyataan yang lucu ini. Ia tidak habis mengerti kenapa Coat-taysu sudi dan rela berbuat serendah itu? Sebagai pendekar, entah dibuang ke mana jiwa ksatrianya, kenapa begitu takut terhadap si gila yang satu ini?

Tapi lamat-lamat Thiat Tin-thian akhirnya mengerti, orang gila macam apa sebetulnya Bu-cap-sah. Tadi Toa-hoan sudah menggambarkan secara jelas, tapi Thiat Tin-thian baru sekarang betul-betul maklum. Padahal betapa jelas keterangan Toa-hoan tadi, tapi belum cukup menggambarkan betapa menakutkannya kegilaan orang ini. Bu-cap-sah mengawasi Thiat Tin-thian. Hanya Thiat Tin-thian yang berdiri diam, tidak menggerakkan tangan, tidak makan atau minum. “Kenapa kau tidak makan?” tanyanya kemudian dengan nada serak.

“Makan apa?” Thiat Tin-thian balas bertanya.

“Lihat, sate kambing dan ikan asin dari Kanglam ini, sedap rasanya. Panggang bebek ini juga harus dimakan mumpung masih hangat,” Bu-cap-sah mengoceh penuh semangat.

“Masa kau tak melihat hidangan sebanyak ini?” tanya Bu-cap-sah.

“Aku tidak melihat apa-apa.”

“Ah, orang lain bisa melihat, kenapa kau tidak lihat?”

“Ya, mungkin aku tidak sepandai mereka. Makanan yang kau sebut tadi hanya dihidangkan untuk orang-orang pandai, hanya bisa dilihat oleh orang pandai.”

Bu-cap-sah menatapnya sekian saat, mendadak ia bergelak tawa, “Ternyata kau ini orang pikun. Hidangan enak sebanyak ini, hanya orang pikun yang tidak bisa melihatnya.” Mendadak suaranya terputus, roman mukanya berubah beringas. Dengan melotot ia berpaling ke arah Pang Tio-hoan yang kebetulan berada di sampingnya, semprotnya dengan gusar, “Kenapa kau berbuat sekasar ini?”

“Aku berbuat apa?” tanya Pang Tio-hoan melenggong.

“Sekian banyak hidangan kusediakan di sini, kenapa kau justru merebut anak anjing bakar kesenanganku?”

“Anak anjing bakar apa?” Pang Tio-hoan berseru nyaring dengan nada tidak mengerti apa yang dimaksud orang. “Di mana ada anjing bakar?”

“Barusan ditaruh di pinggir sini. Tapi barusan telah kau gares, kulit, tulang dan dagingnya kau telan bulat-bulat,” kelihatannya ia bukan saja marah dan penasaran, ia pun amat sedih seperti anak kecil yang kehilangan boneka kesayangannya. “Anjing kecil itu sudah kupelihara sekian tahun, kupandang seperti anakku sendiri, gemuk dan banyak dagingnya, kenapa kau mengganyangnya? Kenapa kau rebut anjing bakarku?”

Berubah air muka Pang Tio-hoan. Hong-seng-thian Tayhiap Pang Tio-hoan sudah terkenal sejak tiga puluh tahun yang lalu. Dengan sepasang Gun-goan-thi-pay (Sepasang Tameng Besi) yang beratnya enam puluh tiga kati, ia malang melintang di antara gunung dan sungai, peristiwa apa yang tak pernah ia alami dan saksikan? Sudah tentu ia maklum bahwa Bu-cap-sah sengaja mencari gara-gara hendak mempersulit dirinya.

Sekilas Tio-hoan melirik ke arah Coat-taysu, ia harap temannya itu mau bantu bicara membela dirinya, bila perlu adu jiwa bersama si gila ini. Sudah sekian puluh tahun mereka sebagai kawan seperjuangan, apalagi sejak belasan tahun yang lalu mereka tidak pernah berpisah. Sebagai sahabat kental, pantasnya Coat-taysu campur bicara membela dirinya, memberi penjelasan umpamanya. Tapi tidak pernah ia bayangkan, bukan Coat-taysu si sahabat kental yang pertama membantu bicara atau membela dia, tetapi sebaliknya Thiat Tin-thian, musuh yang ia benci dan ia uber-uber selama ini.

Thiat Tin-thian berkata, “Bahwasanya di sini tiada hidangan seperti yang kau sebut tadi, apalagi anjing bakar segala. Tidak ada.”

“Kau orang pikun, orang pikun takkan melihat hidanganku,” Bu-cap-sah berteriak sambil menuding Thiat Tin-thian. “Aku sendiri melihat anjing bakar itu ditaruh di sini, pasti tidak keliru.”

“Mungkin kau salah lihat, kau melihat setan,” jengek Thiat Tin-thian.

“Jadi kau yakin di sini tidak ada hidangan anjing bakar?” damprat Bu-cap-sah.

“Pasti tidak ada. Yang bilang ada adalah orang gila!” teriak Thiat Tin-thian, ia pun mulai emosi.

“Tapi aku bilang ada, sudah ditelan bulat-bulat ke dalam perut orang ini,” wajah Bu-cap-sah menampilkan senyum gaib, senyum yang menggiriskan, “Kau berani bertaruh denganku?”

“Berani saja, bertaruh apa?”

“Bertaruh dengan batok kepalamu, kalau anjing bakar itu berada di dalam perutnya.”

Seketika Thiat Tin-thian merasa kaki tangannya menjadi dingin, perut mengkeret, isi perut hendak tumpah. Kecuali bergidik, Thiat Tin-thian juga ngeri, ia sudah meraba apa yang akan dilakukan si gila ini.

Sudah tentu Pang Tio-hoan juga maklum. Mendadak ia meraung, dengan kalap ia menerkam ke arah Bu-cap-sah.

Hou-jiu-kun dan Gun-goan-thi-pay adalah dua ilmu tunggal yang diyakinkan Pang Tio-hoan. Di samping sepasang tameng besi, ilmu cakar harimaunya juga pernah menggetarkan Koan-tang.

Sebelum kejadian, Pang Tio-hoan sudah dipengaruhi oleh suasana. Di saat kepepet dan terdesak lagi, pikirannya menjadi kacau dan kalap. Orang kalap selalu ceroboh, bertindak gegabah. Saking murka karena kalapnya, ia menerkam ke arah Bu-cap-sah tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya, tanpa siaga bahwa di belakang Bu-cap-sah berdiri pengawal Persia yang perkasa itu.

Begitu Pang Tio-hoan meraung kalap, berubah rona muka Coat-taysu, betapapun ia masih memperhatikan keselamatan temannya. Mendadak ia menjerit gugup, “Berhenti, lekas berhenti!” Sayang peringatannya terlambat.

Begitu Pang Tio-hoan menerkam maju, golok melengkung di pinggang pengawal Persia yang berdiri di belakang Bu-cap-sah segera terayun. Sinar golok berkelebat, darah pun muncrat seperti hujan deras.

Hanya ada satu cara untuk membuktikan apakah seseorang betul menelan seekor anjing kecil, yaitu dengan cara yang paling liar, cara liar yang dilakukan orang purba jaman dulu, menyembelih hewan buruannya dengan membedah perutnya. Cara menjagal binatang yang paling kejam dan keji, cara yang dilakukan oleh orang buas, manusia sinting. Kali ini orang gila alias Bu-cap-sah mempraktekkan cara liar itu di sini, terhadap Pang Tio-hoan.

Sudah tiga puluh tahun Pang Tio-hoan malang melintang di Kangouw, namun hanya dalam sekali sabet perut hingga dadanya telah robek dan merekah besar oleh golok melengkung orang. Isi perut pun berhamburan. Pang Tio-hoan menjerit ngeri dan mampus terkapar di tanah.

Wajah hadirin segera berubah. Yang tidak tahan sudah tumpah-tumpah, yang bernyali kecil segera melompat mundur dan lari. Ada juga yang menubruk ke depan secara nekat, daripada mati konyol lebih baik melawan sekuat tenaga.

Bu-cap-sah terloroh-loroh, tawa latah yang mengerikan. Siapa yang mendengar suara tawanya pasti merinding dan mengkirik bulu kuduknya. Selama hidup takkan melupakan loroh tawa yang ganjil dan menggiriskan itu.

Tidak ada orang yang mampu menyelamatkan diri dari tebasan golok sabit pengawal Persia itu. Di saat golok melengkung itu bergerak, sebutir batu hitam kecil tentu melesat lebih dulu dengan kecepatan kilat. Batu hitam yang dijentik jari tangan Bu-cap-sah. Si gila ini menjentik batu hitam dengan jari tengah. Begitu batu menderu kencang dan deras, batu tepat menutuk Hiat-to lawan sehingga lawan tak berkutik lagi. Saat itulah golok melengkung pengawal Persia menyambar lehernya.

Hanya Coat-taysu dan Thiat Tin-thian serta dua-tiga orang lagi yang mampu menyelamatkan diri, tapi mereka tidak mampu mendekati ranjang untuk menyerang Bu-cap-sah. Sinar golok dan muncratnya darah mengaburkan pandangan mereka. Boleh dikata mereka tidak melihat lagi bayangan Bu-cap-sah.

Pada saat kritis itulah, mendadak mereka melihat Ma Ji-liong.

Ma Ji-liong terjun ke kancah pertarungan, menerjang ke dalam sinar golok dan tabir darah yang berhamburan. Bukan mengantar jiwa, tapi keluar untuk menolong orang. Walau ia sendiri tidak yakin dapat menyelamatkan diri, mundur secara utuh, tapi untuk menyelamatkan kawan, ia harus berani menyerempet bahaya.

Tidak ada orang yang bisa mencegah dia, tidak ada orang yang bisa menariknya mundur. Biar diri sendiri berkorban, ia tidak bisa berpeluk tangan menyaksikan pembantaian kejam itu berlangsung. Orang-orang itu harus ditolong, mereka yang masih hidup harus dibebaskan dari renggutan elmaut. Dalam waktu sekejap, hakikatnya Ma Ji-liong tidak memikirkan mati hidupnya sendiri.

--------------------------------------ooo00ooo--------------------------------------------

Ma Ji-liong tidak mati, malah tidak terluka atau cedera. Meski sekujur badan berlepotan darah, namun ia berhasil menolong beberapa orang. Tapi begitu ia masuk ke dalam toko serba ada, begitu pintu tertutup, Ma Ji-liong lantas roboh terlentang dengan napas ngos-ngosan. Ia nekat, menyerempet bahaya, mempertaruhkan jiwa raga, lalu siapa saja yang berhasil ditolong oleh Ma Ji-liong?
Ma Ji-liong akhirnya sadar. Kegaduhan sudah sirap, alam semesta seperti dilingkupi keheningan yang membeku. Kini Ji-liong rebah di atas ranjang besar itu, ranjang satu-satunya yang ada di rumah itu. Sejak beberapa bulan yang lalu, baru pertama kali ini ia rebah di atas ranjang.

Cia Giok-lun duduk di samping mengawasinya dengan rasa kuatir dan penuh perhatian. Di dalam rumah itu hanya ada mereka berdua saja. Ma Ji-liong berusaha tersenyum, tapi senyumnya getir dan nyengir, segera ia bertanya, “Mana orangnya?”

“Orang siapa?” Cia Giok-lun balas bertanya.

“Orang-orang yang kutolong itu?”

Cia Giok-lun tidak menjawab, ia malah balas bertanya, “Tahukah kau siapa saja yang kau tolong?”

“Aku tahu,” sahut Ma Ji-liong. “Thiat Tin-thian kembali bersama aku.”

“Kecuali dia, masih ada siapa lagi?”

“Masih ada Coat-taysu,” sikap Ma Ji-liong kelihatan tenang dan wajar. “Coat-taysu kembali bersama kami.”

Cia Giok-lun malah emosi, serunya, “Sadarkah kau bahwa orang yang kau tolong adalah Coat-taysu?”

“Bagaimana aku tidak sadar?” Ma Ji-liong tertawa lebar. Kenapa ada sementara orang yang bisa tertawa di saat tidak pantas tertawa?

“Kau sadar?” Cia Giok-lun memekik sambil terisak. Ia tak dapat mengekang perasaannya lagi, suaranya melengking, “Kau sadar bahwa dialah yang menguber dirimu, orang yang hendak membunuhmu sehingga kau menjadi buronan yang kepepet dan menghadapi jalan buntu? Tapi kau masih mau menolongnya?”

“Yang kutolong adalah manusia,” sahut Ma Ji-liong tegas. “Asal dia manusia, perduli siapa dia, tak boleh aku berpangku tangan melihat dia mati di tangan si gila itu. Perduli dia temanku atau musuh yang hendak menuntut jiwaku, sikapku takkan berubah, aku tetap menolongnya tanpa kecuali.”

Cia Giok-lun menatapnya dengan pandangan aneh. Lama sekali baru ia bertanya, “Kau bicara jujur? Atau sengaja bermuka-muka di hadapanku?”

Ma Ji-liong tak menjawab, ia menolak memberikan jawaban.

“Kau betul-betul baik hati, kau tidak berpura-pura,” desis Cia Giok-lun. “Tadi kau betul-betul mempertaruhkan jiwa untuk menolong mereka.” Mendadak ia menghela napas, lalu lanjutnya, “Sebetulnya aku tidak percaya bahwa kau orang baik, tapi sekarang aku percaya.”

----------------------------------------ooo00ooo--------------------------------------------

Sejak tadi Coat-taysu berdiri mematung di pinggir rak toko di pojok sana. Sejak ia masuk ke dalam toko serba ada ini, ia berdiri di sana, tidak pernah pindah atau bergerak, juga tidak bersuara, melirik pun tidak kepada orang lain. Tapi badannya penuh berlepotan darah, pakaian sobek, badan pun terluka. Tapi ia tetap bersikap tenang dan wajar, luka-luka juga tidak diobati, darah dibiarkan mengalir.

Masih ada dua kerabatnya yang tertolong bersama Coat-taysu. Kecuali Thiat Tin-thian, ada dua orang yang ikut mengeroyok di rumah To Po-gi itu, tapi kedua orang ini menganggap tidak pernah melihat Coat-taysu berada di dalam rumah itu. Sikap mereka seperti jijik, seakan-akan bila didekati Hwesio yang satu ini, maka mereka akan ketularan penyakit jahat yang bisa merenggut jiwa mereka. Sudah tentu mereka tahu orang-orang yang ada di toko ini adalah musuh besar Coat-taysu, jelas kedua orang ini takut tersangkut oleh permusuhan kedua pihak.

Coat-taysu tidak memperdulikan orang lain. Pandangannya kosong, ia berdiri menjublek mirip orang linglung.

Setelah hening sekian lama, tiba-tiba Toa-hoan bersuara lebih dulu, “Aku tahu, setelah kejadian ini hatimu pasti mendelu. Asal kau mau berada di sini, kami pasti takkan mengusirmu.”

Coat-taysu tetap bungkam, tidak memberi reaksi.

Toa-hoan berkata pula, “Apakah kau ingin berbicara?”

“Ya,” tiba-tiba Coat-taysu berkata. “Tapi aku hanya ingin bicara dengan seorang saja.”

“Bicara dengan siapa?”

“Aku akan bicara dengan Ma Ji-liong saja.”

Rumah kecil di tengah pekarangan itu dalam keadaan kalang kabut, kotor dan tidak pernah dibersihkan. Di dalam rumah yang jorok itulah Toa-hoan sebagai Thio-lausit menetap empat bulan lamanya. Sungguh heran bahwa gadis yang biasanya suka kebersihan ini tahan tinggal di tempat yang kotor seperti kandang hewan itu. Kini ada dua orang yang sedang bicara di rumah kecil itu. Akhirnya Coat-taysu bertatap muka dengan Ma Ji-liong.

“Tadi kau telah menolongku,” demikian Coat-taysu membuka kata. “Jikalau bukan karena pertolonganmu, saat ini aku takkan berada di sini. Kalau aku tidak berada di sini, seperti juga orang-orang itu, pasti sudah mampus di luar sana.” Suaranya kalem, lalu ia melanjutkan, “Tapi urusanmu dengan aku belum selesai, persoalan itu tetap harus dibereskan. Sehari aku belum mati dan kau belum mampus, aku tetap akan membuat perhitungan dengan kau.”

Ma Ji-liong tertawa, katanya tawar, “Aku menolong kau bukan menuntut imbalan, bukan lantaran kau adalah Coat-taysu yang menuntut jiwaku. Aku tak akan memaksa kau untuk membatalkan urusanmu dengan aku, menuntut imbalan kepadamu. Kalau aku punya maksud demikian, buat apa aku menolongmu?”

“Akan tetapi, persoalan itu belum boleh dianggap beres.”

“Betul. Aku tidak perduli bagaimana sikapmu terhadapku sebelum ini, karena kita belum tentu dapat mempertahankan hidup sampai besok.”

“Tetapi sekarang kita belum mati,” Coat-taysu berkata. “Penjahit belum datang, pupur dan gincu juga belum diantar, si gila takkan menerjang ke mari dalam waktu dekat ini.”

“Ya, semoga demikian.”

“Tapi memang demikian,” ucap Coat-taysu. “Aku paham sepak terjang si gila itu. Ia anggap kita sebagai ikan dalam jaring, maka tidak perlu ia merenggut jiwa kita secara tergesa-gesa.” Demikian katanya pula, “Oleh karena itu, bukan mustahil kita masih punya kesempatan untuk meloloskan diri, maka aku ingin bicara dengan kau. Entah selanjutnya kita menjadi kawan atau lawan, dalam jangka waktu dekat ini, aku Sin Coat-cu akan tunduk pada perintah seorang yang bernama Ma Ji-liong saja. Selama hidupku, belum pernah tunduk apalagi diperintah orang, namun kali ini terkecuali.”

Ma Ji-liong menatapnya lekat. Lama sekali baru ia bertanya, “Untuk hal itukah kau ingin bicara dengan aku?”

“Ya,” pendek jawaban Coat-taysu.

Kecuali Thiat Tin-thian dan Coat-taysu, yang ditolong Ma Ji-liong masih ada dua orang lagi. Seorang adalah Ong Ban-bu. Meski sebelah lengannya dipelintir putus oleh Toa-hoan yang menyaru sebagai Thio-lausit, untung dia tidak mampus oleh sambaran golok sabit yang tidak mampu dikelit orang lain itu.

Di saat Coat-taysu berbicara dengan Ma Ji-liong, Toa-hoan bertanya kepada Thiat Tin-thian, “Aku tahu saudara angkatmu jatuh ke tangan Coat-taysu, apa kau tidak ingin tahu bagaimana nasib saudaramu itu?”

“Sudah tentu aku ingin tahu,” sahut Thiat Tin-thian.

“Kenapa tidak kau tanyakan kepadanya?” kata Toa-hoan.

“Aku tidak mau tanya, juga tidak ingin tanya,” tertekan suara Thiat Tin-thian. “Aku takut dia sudah mati di tangan Hwesio gundul itu.”

Jika benar Thiat Coan-gi sudah ajal ditangan Coat-taysu, Thiat Tin-thian harus menuntut balas, pasti takkan membiarkan Coat-taysu berdiri di rumah itu.

“Tapi aku tak boleh membunuhnya,” demikian kata Thiat Tin-thian lebih jauh. “Dengan mempertaruhkan jiwa, Ma Ji-liong menolongnya, maka aku tidak boleh melukainya, meski hanya seujung rambutnya saja.”

Saat mana Ma Ji-liong sudah kelihatan keluar dari rumah kecil itu, Ong Ban-bu mendadak berkata kepada Toa-hoan, “Aku juga ingin bicara empat mata dengan dia.”

“Dengan siapa?” tanya Toa-hoan. “Bicara dengan Ma Ji-liong?”

“Betul,” sahut Ong Ban-bu.

“Kau juga ingin omong?” Toa-hoan bertanya. “Apa yang ingin kau katakan apakah hanya boleh diketahui dia saja?”

Ong Ban-bu menganggukkan kepala. Di waktu mengangguk, matanya mengawasi Thiat Tin-thian, karena ia tahu Thiat Tin-thian pasti ingin bicara dengannya.

Thiat Tin-thian memang bertanya, “Tahukah kau kenapa kau belum mati?”

Ong Ban-bu menyahut, “Aku belum mati, karena kau melindungi aku. Dahulu kita memang kawan juga musuh, sekarang kau anggap aku sebagai teman baik lagi.”

“Tapi apa yang ingin kau katakan hanya boleh didengar Ma Ji-liong saja, kenapa kau tidak bicara dengan aku? Jelas kau tidak percaya kepadaku?”

“Aku percaya kepadamu, tapi aku lebih percaya kepada Ma Ji-liong.”

“Kenapa kau lebih percaya kepadanya?” desak Thiat Tin-thian.

“Karena Coat-taysu percaya kepadanya. Apakah Coat-taysu kawan baiknya?”

“Bukan.”

“Musuh besar dan kawan-kawan pun percaya kepada Ma Ji-liong, kenapa orang lain tidak boleh percaya kepadanya?”

Mendadak Thiat Tin-thian bergelak tawa, “Bagus,” serunya memuji. “Bagus sekali ucapanmu itu.” Dengan keras ia menepuk pundak Ong Ban-bu, “Baiklah, kau boleh bicara empat mata dengan dia.”

-------------------------------------ooo00ooo-----------------------------------------------

Ma Ji-liong tidak mengira bahwa Ong Ban-bu ingin bicara dengan dia, lebih tak diduganya lagi kalau persoalan yang dibicarakan Ong Ban-bu adalah rahasia yang sebetulnya tidak boleh diketahui orang lain.

“Aku belum mati bukan karena Thiat Tin-thian melindungi aku,” Ong Ban-bu berkata. “Aku belum mati karena Bu-cap-sah tidak ingin membunuh aku.” Lebih jauh ia membeberkan rahasia Bu-cap-sah. “Kepandaian Tan-ci-sin-thong atau Jentikan Batu Menutuk Hiat-to yang diyakinkan Bu-cap-sah memang sudah sempurna. Betapa cepat sambaran golok pengawal Persia itu juga lebih unggul dibanding orang lain, akan tetapi orang-orang yang mati oleh tebasan golok sabit itu bukan seluruhnya gugur oleh timpukan batu dan terbacok golok pengawal Persia itu.”

“O, tidak seluruhnya?”

“Orang-orang yang mati itu, sebagian besar adalah mereka yang mau diperbudak dan disogok oleh harta dan kedudukan,” demikian Ong Ban-bu menjelaskan lebih lanjut. “Thio-sam adalah kawan baik Li-si, mereka datang bersama. Thio-sam mau diperbudak setelah disiksa dan diancam jiwanya oleh Bu-cap-sah, hal ini di luar tahu Li-si. Begitu golok melengkung di tangan pengawal Persia menyabet, batok kepala Li-si terpenggal dan mati. Bukankah orang lain beranggapan bahwa kematian Li-si lantaran tidak mampu menyelamatkan jiwanya dari sambaran golok musuh?”

“Ya, pasti demikian anggapan orang,” ujar Ma Ji-liong.

“Apalagi orang lain melihat Bu-cap-sah menjentik jari dan batu pun terbang, apakah tidak beranggapan bahwa kematian Li-si lantaran tersambit Hiat-tonya oleh jentikan batu Bu-cap-sah?”

“Ya, betul.”

“Tapi kenyataannya bukan demikian,” tutur Ong Ban-bu. “Sebenarnya Hiat-to mereka bukan tertutuk oleh sambitan batu Bu-cap-sah, namun Hiat-to mereka tertutuk oleh kawan sendiri di saat keadaan sedang ribut. Li-si mati karena sebelumnya Hiat-tonya sudah ditutuk oleh Thio-sam, sudah tentu dia tidak mampu menyelamatkan diri dari tebasan golok melengkung itu.” Sampai di sini Ong Ban-bu menghela napas, “Aku membocorkan rahasia ini kepadamu karena aku tidak ingin kau menilai ilmu silat Bu-cap-sah terlalu tinggi. Kuharap kau tidak memandangnya sebagai malaikat yang digdaya.”

Ma Ji-liong bertanya, “Bagaimana kau tahu tentang rahasia ini?”

“Karena aku juga diperbudak oleh Bu-cap-sah,” Ong Ban-bu mengaku terus terang. “Sebagai salah satu alatnya yang terpercaya, maka aku tidak mati di arena pertempuran tadi.”

“Lalu kenapa kau membongkar rahasia ini kepadaku?” tanya Ma Ji-liong.

“Karena aku mempercayaimu,” kata Ong Ban-bu. “Sekarang aku sudah yakin, engkau pasti takkan mengkhianati orang lain.”

Kecuali Coat-taysu, Thiat Tin-thian dan Ong Ban-bu, masih ada seorang lagi yang ditolong oleh Ma Ji-liong.

Usia orang keempat ini belum terlalu tua kalau tidak mau dibilang masih setengah baya, tapi juga tidak muda lagi. Dilihat tampangnya, wajahnya tidak tampan, tapi juga tidak jelek, pakaiannya tidak mewah, namun pasti tidak sembarangan. Setiap hari di mana saja kau bisa bertemu banyak orang seperti laki-laki setengah baya ini. Mungkin karena kelihatannya dia biasa saja, tiada tanda-tanda yang menyolok pada dirinya.

Menjadi orang 'biasa' kadang kala juga merupakan suatu cara yang baik untuk mengelabui orang, suatu cara untuk menyelamatkan diri.

Jelas dan gamblang Toa-hoan adalah salah satu jenis orang seperti itu. Sejak tadi dia memperhatikan orang biasa ini, mendadak ia bertanya, “She apakah engkau?”

Orang 'biasa' ini hanya tertawa lebar, manggut-manggut lalu menggelengkan kepala pula, tingkah dan sikapnya seperti orang pikun dan linglung.

Toa-hoan bertanya pula, “Kau tidak mendengar pertanyaanku? Atau tidak bisa bicara?”

Orang 'biasa' ini tetap tidak bersuara. Kembali ia manggut-manggut lalu menggelengkan kepala pula, namun mimik mukanya selalu tersenyum ramah.

Tiada orang yang tahu apa arti kelakuannya yang jenaka ini, demikian pula Toa-hoan juga tidak habis mengerti. Mungkin orang 'biasa' ini sengaja bertingkah dengan lucu dan penuh teka-teki supaya orang lain tidak tahu.

Mendadak Toa-hoan tertawa juga meniru sikap dan tingkah orang, “Kau jelas bukan orang tuli dan bisu, namun kau tidak mau memperkenalkan diri,” suaranya tawar. “Memang kau boleh tidak menjawab setiap pertanyaanku, tapi kalau orang lain yang bertanya kepadamu, kalau kau tidak memberi keterangan, kan berabe jadinya.”

Mendadak orang itu bersuara, ia balas bertanya, “Bukankah kalian sedang menunggu seseorang?”

“Menunggu seseorang? Ah, tidak,” ujar Toa-hoan menggelengkan kepala.

“Lho, sudah lupa? Kalian kan menunggu tukang jahit,” demikian kata orang itu. “Tukang jahit utusan Bu-cap-sah untuk mengukur dan menjahit pakaian pengantin she Cia di sini.”

Toa-hoan menatap tajam, “Dari mana kau tahu kalau Bu-cap-sah mengutus seorang tukang jahit ke mari? Dari mana pula kau tahu kalau kami sedang menunggu dia?”

“Kenapa aku tidak tahu,” ucap orang itu. “Aku malah tahu bahwa penjahit itu sekarang sudah datang. Bukan saja kain, gincu dan pupur sudah dibawa, ia pun membawa sebuah tandu berhias kembang untuk menjemput mempelai perempuan.”

“Di mana penjahit itu sekarang?” tanya Toa-hoan.

“Berada di sini,” orang biasa itu mendadak mengunjuk tawa yang tidak biasa. “Aku adalah penjahit utusan Bu-cap-sah.”

Kalau dipandang dengan seksama, orang ini memang mirip penjahit. Tapi bila kau perhatikan lebih lanjut, kau akan merasa dia tidak mirip apa pun. Terserah kau mau bilang dia tukang apa atau ahli apa, orang lain pasti tak curiga.

Dalam setiap usaha yang ada di dunia ini, pasti ada orang sejenis dia, biasa dan awam. Tampang biasa, sikap dan tingkah laku biasa, sederhana dan ramah tamah serta murah senyum.

“Aku adalah penjahit yang baik. Seratus li di daerah ini, aku yakin tiada penjahit lain yang lebih baik dari aku,” demikian kata orang 'biasa' itu dengan senyum simpul. “Hasil karyaku cocok dan memenuhi selera, model mutakhir dan potongan pun memenuhi selera.”

Penjahit yang baik memang selalu disenangi dan banyak langganannya. Kecuali penjahit yang satu ini, dalam keadaan dan situasi begini, di tempat ini lagi, pasti tak ada orang yang senang kepadanya, tiada orang yang mau menerima kehadirannya.

Tawa Toa-hoan kelihatan dipaksakan, katanya, “Aku juga bisa melihat kau memang seorang penjahit yang baik. Tapi betapapun baik seorang penjahit, tanpa ada bahan untuk bekerja, dia tetap takkan bisa membuat pakaian.”

Bila pakaian selesai dijahit, Bu-cap-sah takkan memberi kesempatan kepada mereka untuk duduk dan mengobrol secara santai begitu. Maka mereka mengharap penjahit ini tak bisa menunaikan tugasnya, pakaian tidak rampung dijahit, karena jelas orang ini tidak membawa kain dan benang, jarum atau gunting.

Tukang jahit itu berkata, “Tadi aku sudah bilang, kain sudah kubawa, kutanggung mutunya juga yang terbagus, warnanya baik, coraknya juga indah, mutunya tinggi. Kutanggung takkan luntur meski dicuci seratus kali.”

“Di manakah bahan pakaian yang kau bawa itu?”

-----------------------------------------ooo00ooo
“Tadi aku sudah bilang kubawa, tentu ada di sini.”

Toa-hoan, Cia Giok-lun, Thiat Tin-thian dan Ong Ban-bu menyaksikan penjahit ini tidak membawa apa-apa, bertangan kosong, tetapi sambil bicara ia berputar satu lingkaran. Waktu ia menghadap pula ke arah mereka, tangannya sudah memegang dua blok kain. Satu blok kain sutera di tangan kanannya berdasar merah, malah tersulam kembang mawar kuning emas.

Sudah tentu Toa-hoan berempat berdiri melongo. Tak ada di antara mereka yang melihat jelas dengan cara apa penjahit ini menyembunyikan dan mengeluarkan dua blok kain sutera itu. Seperti main sulap saja, tahu-tahu bahan pakaian sudah tersedia. Beruntun penjahit itu mengeluarkan lagi sebungkus pupur wangi, gincu dan minyak wangi. Sukar orang membayangkan dan rasanya tidak masuk akal, barang sebanyak itu entah di mana ia sembunyikan.

Thiat Tin-thian berkata setelah menghela napas, “Sungguh tak dinyana, kami gembong-gembong silat yang sudah kawakan berkecimpung di Kangouw juga dapat kau kelabui dengan cara yang begini sepele. Aku rasa saudara tentu seorang kosen juga.”

Dengan senyum manis penjahit itu menggelengkan kepala, katanya, “Aku bukan orang kosen, sedikit pun aku tidak kosen. Yang pasti kau berperawakan lebih tinggi gede dibanding aku. Orang yang bertubuh gede akan makin gagah dan enak dipandang bila mengenakan pakaian karyaku.” Dari atas sampai bawah ia memperhatikan tubuh Thiat Tin-thian, “Hanya sayang pakaian yang melekat di tubuhmu sekarang jelek jahitannya, tidak cocok dengan potongan tubuhmu. Lain kali kalau ada waktu, akan kubuatkan beberapa perangkat pakaian untukmu.”

“Kalau tidak salah tadi aku mendengar kau bilang membawa juga tandu pengantin?” tanya Thiat Tin-thian.

“Kalau sudah tiba saatnya, tandu pengantin pasti akan ke mari,” demikian ujar penjahit itu. “Mempelai laki dan perempuan saja tidak gugup, tidak ingin lekas kawin, kenapa justru kalian yang terburu nafsu.”

Mendengar penjahit ini bicara tentang 'mempelai laki dan perempuan', roman muka semua orang pun berubah hebat. Terutama Cia Giok-lun, tubuhnya bergoncang dan berkeringat dingin.

Dugaan mereka tidak keliru. Ambisi Bu-cap-sah tidak kecil. Jika ia mempersunting puteri tunggal Bik-giok-san-ceng, Bik-giok Hujin pasti bisa mati saking marahnya. Toa-hoan juga harus bunuh diri dengan menumbukkan kepala ke dinding karena gagal menunaikan tugasnya.

Mendadak Thiat Tin-thian bertanya kepada Toa-hoan, “Apakah kita biarkan saja orang ini membuat pakaian untuk nona Cia?”

“Tidak boleh, jangan beri peluang dia bekerja di sini,” sahut Toa-hoan.

“Adakah penjahit di dunia ini yang tidak bisa membikin pakaian orang?”

“Kurasa ada, hanya dengan satu macam cara untuk membuat penjahit tidak bisa bekerja.”

“Dengan satu cara? Lalu penjahit macam apa yang takkan bisa bekerja itu?”

“Penjahit yang sudah putus jiwanya.”

Ternyata penjahit itu bersikap tenang dan wajar. Dengan asyik ia mendengarkan percakapan mereka dengan tersenyum ramah, seperti orang linglung yang tidak mengerti apa arti percakapan mereka. Akhirnya dia berkata, “Aku bukan penjahit mampus. Sekarang aku masih segar bugar, penjahit bagus yang selalu bekerja penuh gairah.”

“Sayang sekali, betapapun penjahit bagus akhirnya akan mampus juga,” demikian jengek Thiat Tin-thian. Perlahan ia mengulurkan tangannya ke depan. Luka-lukanya sudah hampir sembuh. Di mana telapak tangan besinya terangkat, ruas tulang tubuhnya mendadak berkeratakan seperti petasan.

Umpama penjahit itu orang pikun, manusia goblok, pasti juga paham apa maksud perkataan Thiat Tin-thian. Mendadak ia berseru sambil mengangkat sebelah tangan, “Tunggu dulu, aku masih ingin bicara.”

“Katakan, lekas.”

“Persoalan yang ingin kubicarakan, hanya akan kubicarakan empat mata saja dengan Ma Ji-liong,” demikian kata penjahit itu.

“Dia tidak akan mendengarkan obrolanmu,” jengek Thiat Tin-thian sambil mendesak dua langkah. “Aku tahu dia tidak akan mau mendengar.”

Mendadak Ji-liong menepuk bahu penjahit itu lalu menggandengnya keluar, ke belakang. Tidak ada yang mencegah, tidak ada orang yang berani menentang. Suatu yang diputuskan Ma Ji-liong, tidak ada orang yang berani menentang.

Rahasia apa yang dibicarakan penjahit itu dengan Ma Ji-liong? Kenapa hanya boleh dibicarakan dengan Ma Ji-liong seorang saja?

Tidak ada orang yang tahu, tiada orang yang ingin tahu. Semua orang percaya kepada Ma Ji-liong, seperti mereka percaya kepada diri sendiri. Siapa pun tidak tahu jelas, sejak kapan keadaan seperti ini terjadi dan seperti menjadi ketentuan di sini, yang jelas keadaan sekarang memang sudah demikian.

----------------------------------------ooo00ooo------------------------------------------

Cukup lama kemudian baru kelihatan Ma Ji-liong memasuki rumah besar pula. Toa-hoan berlari menyongsong sambil bertanya, “Mana penjahit itu?”

“Di belakang sedang mengukur badan Cia Giok-lun dan membikin pakaian.”

“Kenapa kau memberi izin dia bekerja?”

“Dia seorang penjahit, kehadirannya di sini untuk membuat pakaian. Lebih dulu mengukur badan, memotong kain lalu menjahit,” demikian ucap Ma Ji-liong kalem. “Kan bukan hanya dia seorang tukang jahit yang ada di dunia ini, kalau aku tidak memberi izin kepadanya, penjahit lain juga bisa diutus ke mari.”

Penjelasan Ma Ji-liong tidak memuaskan, hati orang tidak lega dan puas. Sekarang mereka perlu mengejar waktu, semenit lebih cepat, semenit lebih banyak peluang mereka.

Pantasnya Ma Ji-liong tahu akan hal ini, sayang ia justru berbuat bodoh, pura-pura tidak mengerti?

Di saat orang-orang di dalam toko serba ada itu menghela napas gegetun, Bu-cap-sah yang ada di luar toko malah bergelak tawa, “Sudah lama aku tidak pernah merasa kagum dan memuji orang lain,” demikian serunya. “Sekarang aku harus memuji kau.”

“Kau kagum padaku?” tanya Ma Ji-liong. “Kenapa kau memuji aku?”

“Karena kau adalah Ma Ji-liong. Laki-laki gundul itu adalah musuh besarmu, sejak lama dia ingin membekuk dan menguburmu hidup-hidup,” demikian ucap Bu-cap-sah lantang. “Tapi sekarang mereka tunduk kepadamu, rahasia apa pun hanya dibicarakan denganmu seorang saja. Umpama tahu apa yang kau lakukan adalah perbuatan seorang goblok, namun tiada orang yang menentang. Orang macam dirimu sebetulnya tidak setimpal mampus bersama mereka.”

“Memangnya aku harus bagaimana?” tanya Ma Ji-liong.

“Kau harus keluar, berhadapan dengan aku dan menjadi sahabatku. Hanya kau yang setimpal menjadi sahabatku.”

Ma Ji-liong segera menjawab dengan tegas, “Baik, aku segera keluar.”

Habis bicara Ma Ji-liong melangkah keluar. Siapa pun tak menduga bahwa Ma Ji-liong berani keluar dan betul-betul keluar, Bu-cap-sah sendiri juga tidak mengira.

Tapi Ma Ji-liong betul-betul melakukan perbuatan yang tidak mampu dilakukan orang lain meski di alam mimpi sekalipun. Apa betul ia ingin bersahabat dengan si gila itu? Apakah ia tidak tahu, begitu keluar jiwanya mungkin akan melayang di tangan si gila?

Apakah Ma Ji-liong juga seorang gila, gila seperti Bu-cap-sah? Biasanya ia kelihatan waras, padahal ia juga gila, orang edan?

-----------------------------------------------ooo00ooo---------------------------------------------------

Setelah Ma Ji-liong membuka pintu kecil di samping pojok sana, baru orang banyak terbelalak kaget. Toa-hoan memburu maju hendak menariknya, tapi batal. Thiat Tin-thian mengawasi Toa-hoan, Toa-hoan juga mengawasinya. Kedua orang ini seperti tak percaya bahwa Ma Ji-liong mendadak berubah menjadi manusia gila.

“Apakah dia juga sudah gila?”

“Kelihatannya tidak.”

Sebetulnya hanya Toa-hoan seorang di antara mereka yang paling paham tentang pribadi Ma Ji-liong, menyelami watak dan jiwanya, tapi sekarang Toa-hoan pun bimbang, ia tidak yakin apakah yang dirasakan selama ini pada pemuda yang satu ini adalah benar dan sehat.

“Kelihatannya dia bukan orang bodoh.”

“Otaknya memang amat cerdas.”

“Lalu kenapa dia keluar?”

“Hanya Thian yang tahu.”

Kejadian yang susah dimengerti, susah diterima nalar begini memang hanya bisa diketahui oleh Thian saja, kenapa hal ini harus terjadi?

Mendadak Thiat Tin-thian bertanya, “Menurut pendapatmu, apakah penjahit itu tidak mencurigakan?”

“Ya, aneh dan patut dicurigai, harus diawasi.”

Terhadap siapa saja, kalau seseorang dalam sekejap dapat menyulap dua blok kain hanya dengan sekali putar badan, mengeluarkan dua blok kain sutera sebesar itu dari dalam pakaiannya, maka dia pasti bukan orang biasa.

“Aku tahu di kalangan Kangouw ada sejenis ilmu yang dinamakan Sip-sim-sut (ilmu sihir), penonton dikelabui oleh kekuatan gaibnya sehingga pandangan kabur dan pikiran ngelantur.”

“Ya, memang ada ilmu seperti itu.”

“Menurut pendapatmu, apakah Ma Ji-liong bukan terpengaruh oleh ilmu sihir itu? Maka ia mendadak berubah gila?”

Dugaan itu mungkin tepat, mungkin juga keliru. Tapi masih ada kemungkinan lain, yaitu penjahit itu tengah menyandera Cia Giok-lun, lalu Ma Ji-liong diancam dan dipaksa melakukan permintaannya.

Agaknya jalan pikiran Thiat Tin-thian dan Toa-hoan sama. Tanpa berjanji kedua orang ini serempak menerjang ke dalam lewat pintu kecil bertirai itu. Tapi begitu berada di dalam, seketika mereka tertegun kaget, jauh lebih kaget dibanding waktu melihat Ma Ji-liong membuka pintu dan beranjak keluar tadi, lebih kaget dibanding bila mereka melihat setan yang mengerikan.

Sudah puluhan tahun Thiat Tin-thian malang melintang di Kangouw, kejadian apa saja pernah ia hadapi, tapi belum pernah ia menghadapi kejadian yang mengejutkan seperti kali ini. Mereka hampir tidak percaya oleh pandangan matanya sendiri, tidak percaya menghadapi kenyataan.

----------------------------------ooo00ooo-------------------------------------------
Keadaan di dalam rumah sudah berbeda dibanding waktu mereka meninggalkan tempat ini. Ranjang besar yang terletak di tengah ruang sudah dibongkar dan disingkirkan ke pinggir. Cia Giok-lun yang semula harus meronta-ronta untuk berganti pakaian dan membersihkan badan itu sekarang sudah berdiri tegak, berjalan atau bergerak dengan leluasa seperti orang sehat.

Tapi ini bukan sebab utama kenapa Thiat Tin-thian dan Toa-hoan kaget setengah mati. Mereka kaget karena di dalam rumah melihat Ma Ji-liong lagi. Yang berdiri jajar di pinggir Cia Giok-lun ternyata bukan penjahit tadi, tetapi adalah Ma Ji-liong. Ma Ji-liong masih dalam penyamarannya sebagai Thio Eng-hoat.

Padahal mata mereka belum lamur, melihat dengan nyata, dengan gamblang bahwa Ma Ji-liong lewat di depan mereka, tapi sekarang mereka melihat dengan jelas pula seorang Thio Eng-hoat alias Ma Ji-liong berdiri segar bugar di hadapan mereka.

---------------------------------------------ooo00ooo------------------------------------------------

Ternyata Thio Eng-hoat alias Ma Ji-liong yang mereka lihat beranjak keluar tadi bukan Ma Ji-liong yang asli. Jadi dua kali mereka melihat Thio Eng-hoat, padahal dalam kesan mereka Thio Eng-hoat adalah samaran Ma Ji-liong, dwi tunggal, dua orang yang menjadi satu. Kini di dalam rumah mereka saksikan lagi seorang Thio Eng-hoat, padahal laki-laki ini tadi sudah keluar rumah. Lalu dari mana dia masuk dan tahu-tahu sudah berada di dalam rumah pula. Lalu di mana tukang jahit tadi?

Karena ranjang besar itu dibongkar dan disingkirkan, kamar itu menjadi luang dan lebar. Bukan duduk atau mondar-mandir, ternyata Ma Ji-liong dan Cia Giok-lun berdiri diam penuh perhatian di tempat itu, di mana tadi ranjang itu berada. Mata mereka tertuju ke lantai, penuh perhatian mereka mengawasi lantai kosong itu. Begitu Toa-hoan dan Thiat Tin-thian menerobos masuk, Ma Ji-liong segera mengangkat jari telunjuk mendekap mulut, memberi isyarat dengan maksud supaya mereka tidak bersuara.

Syukur Toa-hoan dan Thiat Tin-thian adalah orang-orang yang tabah. Meski menghadapi kejadian yang mengejutkan, mereka tidak berteriak kaget. Agaknya mereka tidak lupa bahwa si gila mampu mendengar ular yang lagi bermain cinta dan kura-kura bertelur.

Sigap sekali Toa-hoan berlari keluar. Waktu masuk lagi dia membawa kertas dan alat tulis. Dengan tulisan ia bertanya pada Ma Ji-liong, “Siapa kau?”

Agaknya susah baginya membedakan apakah Thio Eng-hoat yang satu ini betul adalah samaran Ma Ji-liong tulen.

Orang ini betul adalah Ma Ji-liong. Cia Giok-lun memberikan kesaksian.

“Siapakah orang yang keluar tadi?” tanya pula Toa-hoan dengan tulisan.

“Tukang jahit itu,” kembali Cia Giok-lun yang menjawab, sudah tentu dengan tulisan pula.

Walau sudah menduga hal itu, tetapi Toa-hoan dan Thiat Tin-thian tak mau percaya begitu saja, “Bagaimana tukang jahit itu bisa berubah menjadi Thio Eng-hoat?”

Kali ini Ma Ji-liong tertawa. Dengan alat tulis ia menjawab pertanyaan itu, tulisannya bergaya indah, “Kalau dia mampu mengubah aku menjadi Thio Eng-hoat, kenapa dia sendiri tidak mampu merubah dirinya menjadi Thio Eng-hoat?”

Toa-hoan melongo. Ia betul-betul kaget dan heran, juga amat senang. Sungguh tak pernah terbayang dalam benaknya kalau orang ini bisa datang ke mari. Sekarang ia paham apa yang telah terjadi.

Tapi Thiat Tin-thian masih belum mengerti. “Siapakah orang yang kalian bicarakan itu?” tanyanya dengan tulisan juga.

Toa-hoan segera menulis 'Giok-jiu-ling-long Giok Ling-long, tokoh besar yang misterius, namanya sudah menggetarkan dunia persilatan sejak enam puluh tahun yang lalu.

-------------------------------------------ooo00ooo------------------------------------------

Persoalan yang kelihatannya ruwet dan mengejutkan, kalau sudah terbongkar, jawabannya ternyata amat mudah, sederhana dan sepele.

Sekarang Thiat Tin-thian juga sudah mengerti. Ling-long-giok-jiu Giok Ling-long, nama yang cukup memberi jaminan, memberi penjelasan tuntas.

Dengan tata rias yang tiada banding di dunia ini, menyamar menjadi seorang tukang jahit yang kelihatannya biasa dan tidak menarik perhatian orang, sebagai tukang jahit undangan Bu-cap-sah ia menyelundup ke mari. Tiada orang yang menduga bahwa ia akan dan sudah berada di sini, oleh karena itu tiada orang yang melihat gejala-gejala yang mencurigakan pada dirinya.

Kesempatan waktu ia berhadapan empat mata dengan Ma Ji-liong tadi, ia merubah dirinya menjadi seorang Thio Eng-hoat yang lain dengan bahan-bahan make-up yang selalu ia bawa ke mana-mana.

Baru sekarang Toa-hoan membayangkan, wajah tukang jahit tadi lapat-lapat memang ada sedikit mirip dengan Thio Eng-hoat, beberapa segi malah ada titik persamaannya. Dengan kemampuannya yang luar biasa, hanya sekedar memproses sini dan memperbaiki sana, dengan keahlian kedua tangannya, lekas sekali wajahnya sudah berubah menjadi Thio Eng-hoat. Jelas hal ini juga sudah ia rencanakan lebih dulu.

Kenapa Giok Ling-long berbuat demikian? Kenapa ia menampilkan diri pula dalam percaturan Kangouw sebagai Ma Ji-liong, berani keluar untuk menemui dan berhadapan langsung dengan Bu-cap-sah? Toa-hoan tidak habis mengerti, Thiat Tin-thian juga bingung.

Lantai kosong di mana ranjang besar tadi berada, kecuali debu kotoran yang tidak pernah disapu, tidak ada barang apa pun di lantai itu. Lalu apa yang dilihat dan diperhatikan oleh Ma Ji-liong dan Cia Giok-lun?

Kenapa ranjang besar itu mereka bongkar? Toa-hoan dan Thiat Tin-thian juga merasa bingung. Mereka bertanya dengan tulisan pada Ma Ji-liong, tapi yang ditanya hanya tertawa-tawa saja, tawa yang penuh mengandung arti. Terpaksa mereka hanya ikut berdiri melongo seperti orang bodoh mengawasi lantai kosong yang tidak ada apa-apanya yang bisa ditonton itu.

Di saat Toa-hoan dan Thiat Tin-thian menghela napas, merasa dirinya seperti orang bodoh, mendadak mereka berjingkat mundur. Kembali mereka menyaksikan kejadian luar biasa yang mengejutkan.

--------------------------------------ooo00ooo-----------------------------------------------

Mereka berjingkat karena melihat sebuah tangan, tangan manusia. Lantai kosong yang semula tiada apa-apanya itu, mendadak tanahnya kelihatan bergerak-gerak lalu mencuat minggir seperti digali oleh seekor tikus dari dalam tanah, lalu muncul sebuah tangan manusia dari bawah tanah.

Tangan manusia yang kelihatan kasar, kekar lagi penuh tenaga, mirip benih pohon yang mulai bersih mencuat keluar dari dalam tanah. Jari tengah, jari manis dan jari kelingking tegak berdiri, sementara jari telunjuk berpadu dengan ibu jari membuat lingkaran. Gaya tangan seperti itu umumnya memberi tanda bahwa segala urusan sudah beres, berarti dia sudah menunaikan tugas dengan baik, segala persoalan tidak perlu dikuatirkan.

Tangan siapakah yang muncul dari dalam tanah ini? Bagaimana mungkin tangan manusia muncul dari bawah tanah? Toa-hoan dan Thiat Tin-thian tidak ragu dan bimbang bahwa tangan itu benar milik manusia hidup. Tangan orang mati tak mungkin bisa bergerak dan memberi tanda dengan gerakan.

Sudah berapa lama Toa-hoan tinggal di rumah ini, tak pernah tahu ada sesuatu gejala yang mencurigakan bahwa di bawah tanah ini ada dihuni orang. Dengan kemampuan Toa-hoan, tidak mungkin diketahui bila ada manusia hidup dan tinggal di bawah tanah di mana mereka bertempat tinggal.

Toa-hoan dan Thiat Tin-thian amat kaget begitu melihat tangan itu muncul dari dalam tanah, tetapi Ma Ji-liong dan Cia Giok-lun ternyata bersikap adem-ayem, tidak kaget sama sekali, Cia Giok-lun malah tersenyum lega.

Ma Ji-liong maju selangkah lalu membungkuk badan, tangannya diulur, dengan jari telunjuk ia menutul tiga kali di ujung jari tengah tangan itu. Selang beberapa saat ia menutul tiga kali, beruntun ia menutul tiga kali tiga sama dengan sembilan kali.

Tangan yang mengejutkan itu mendadak mengkeret masuk ke dalam tanah. Tanah kosong yang tiada apa-apanya itu kini betul-betul menjadi kosong, hanya bertambah sebuah lubang. Lubang yang cukup besar untuk tangan orang diulur keluar atau tangan yang merogoh masuk ke dalam lubang. Tangan itu sudah lenyap, tiada kelihatan, tapi lubang itu masih menganga meski lubangnya tidak lebar.

-----------------------------------------------ooo00ooo----------------------------------------------------

Tangan keluar dari dalam lubang, lalu dari mana datangnya lubang itu? Tanah di bawah rumah ini jelas bersatu dengan bumi, tanah di bawah rumah ini jelas tidak berbeda dengan tanah di lain tempat. Di sini mungkin kau bisa menanam pohon atau rumput, pohon juga bisa tumbuh berkembang dan berbuah, tapi tak mungkin tanpa sebab mendadak bolong atau berlubang. Lubang yang sembarang waktu bisa dilalui tangan yang keluar dan masuk.

Toa-hoan mengawasi Thiat Tin-thian, Thiat Tin-thian juga mengawasi Toa-hoan, lalu mereka menoleh bersama ke arah Ma Ji-liong. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi, namun mereka yakin Ma Ji-liong bisa memberi penjelasan.

Ma Ji-liong masih asyik memperhatikan lubang itu, tidak memandang mereka, melihat pun tidak, seluruh perhatian ditujukan ke arah lubang itu.

Lubang itu semula selebar mulut gelas, mendadak tampak berubah makin besar, tanah di sekitar lubang mendadak bergerak seperti beriak. Makin lama riak gelombang makin besar, tanah juga berguguran ke bawah hingga bergolak seperti air mendidih di dalam kuali.

Mendadak tanah yang bergolak itu seluruhnya amblas ke bawah, lubang kecil itu mendadak berubah menjadi lubang gede, lubang sebesar permukaan meja bundar. Begitu lubang menjadi besar, dari bawah tanah muncullah seseorang, seorang berwajah persegi yang berlepotan tanah, namun cahaya matanya bersinar terang. Pertama dia mengawasi Ma Ji-liong sambil tertawa, lalu berganti menatap Cia Giok-lun, Toa-hoan dan Thiat Tin-thian.

Tetapi keempat orang ini tiada yang mengenalnya, sudah tentu laki-laki ini juga tidak mengenal mereka. Kedua pihak sama-sama belum pernah kenal, belum pernah bertemu apalagi kenal.

Orang itu melompat keluar dari dalam lubang, lalu membersihkan tanah di atas badannya, berdiri di pinggir lubang yang dibuatnya. Sambil tersenyum puas ia mengawasi lubang besar itu, sorot matanya tampak riang, puas dan bangga, seperti seniman yang sedang menikmati buah karyanya yang paling diagulkan.

Lama ia menikmati buah karyanya itu baru membalikkan badan. Alat tulis dan kertas masih ada di atas meja, ia mengambil pena lalu menulis, “Silakan tuan-tuan masuk.”

Lubang itu tidak begitu dalam, membelok lurus ke arah timur, mirip lubang gua yang amat dalam dan panjang. Sebetulnya lubang ini tidak mirip gua, lebih tepat kalau dikatakan gorong-gorong, lorong di bawah tanah yang sempit dan lembab.

Dapat diduga bahwa lorong ini digali dari tempat yang cukup jauh, mulut lorong pasti jauh terletak di luar perkampungan yang sudah dibongkar dan dikuasai oleh orang-orang Bu-cap-sah dengan pengepungan yang ketat.

Sekarang baru Toa-hoan paham, semua orang juga paham, lorong bawah tanah ini adalah jalan satu-satunya untuk mereka melarikan diri.

Sudah tentu tanpa diminta kedua kalinya, satu persatu mereka menyelinap masuk ke dalam lorong. Ternyata lorong ini lebih panjang dari yang mereka bayangkan semula. Mereka harus banyak memeras keringat dan tenaga, kadang kala mereka harus merangkak cukup jauh baru berjalan lagi sambil membungkukkan badan. Maklum lorong itu dibuat secara darurat, jadi tidak memenuhi syarat sebagai jalan rahasia di bawah tanah yang biasa dipersiapkan untuk melarikan diri. Mulut lorong memang berada jauh di luar perkampungan yang sudah kosong dan luas, malah melampaui beberapa jalan raya lalu membelok ke selatan.

Beberapa jam diperlukan untuk menerobos lorong yang pengap lagi lembab itu. Begitu melompat keluar dari dalam lubang, mereka menghirup napas segar dan rasa lega. Tak jauh dari mulut lorong berhenti sebuah kereta besar yang hanya dimiliki hartawan besar atau kaum bangsawan. Kereta bercat hitam itu mengkilap bersih. Kereta ditarik empat ekor kuda yang gagah dan kekar, jelas merupakan kuda-kuda pilihan yang sudah terlatih baik dan mampu berlari kencang.

Ada pula tiga buah kereta lain dalam bentuk dan ukuran sama berjajar di pinggir hutan sana. Tiga kereta itu masing-masing menuju ke tiga arah, kusir kereta sudah duduk di tempatnya siap menghalau kereta dengan cemeti di tangan.

Laki-laki kekar baju hitam yang menggali lubang itu melompat keluar lebih dulu. Setelah orang banyak melemaskan otot dan menenteramkan napas dan perasaan, segera ia memberikan penjelasan, “Untuk menghindari pengejaran Bu-cap-sah, maka kita sediakan tiga kereta lain yang sama bentuk dan ukurannya. Di atas kereta juga ditumpangi enam pria satu wanita, tujuh orang, bekas roda kereta yang ditinggalkan di jalan raya juga pasti sama, tidak banyak berbeda.”

Laki-laki ini bilang enam pria satu perempuan karena Toa-hoan masih berpakaian laki-laki, sementara ia juga akan mengiringi Ma Ji-liong dan lain-lain naik kereta yang terdekat.

“Kita tidak usah menunggu Giok-toasiocia, ia punya cara dan akal untuk menghadapi Bu-cap-sah, yakinlah bahwa dia dapat meloloskan diri tanpa kurang suatu apa,” sembari bicara laki-laki ini mengawasi Ma Ji-liong yang belum juga mau naik kereta. “Beliau sudah memberi pesan kepadaku supaya tidak usah menunggu dia, karena dia tahu kau ini paling bandel, maka beliau merasa perlu memberi pesan kepadaku.”

Untung kali ini Ma Ji-liong tidak membandel. Begitu ia duduk di atas kereta, sais kereta segera mengayunkan cemeti, “Tar!”, enam belas ekor kuda serempak menggerakkan kaki, tiga puluh dua roda kereta serempak menggelinding ke depan. Empat kereta empat arah yang ditempuh, keempat kereta itu meninggalkan bekas roda dan tapak kuda yang sama.

Laki-laki penggali tanah itu berkata, “Dari empat jalan raya yang kita tempuh ini, satu menuju ke Thian-ma-tong, satu lagi langsung menuju ke Siong-san, yang ketiga pergi ke Bik-giok-san-ceng.”

“Yang satu lagi menuju ke mana?” tanya Toa-hoan.

“Yang keempat ini adalah jalan yang dilalui Bu-cap-sah waktu datang ke sini,” penggali lubang menjelaskan. “Jalan ini menuju ke lembah mati.”

“Jalan mana yang kita tempuh?” tanya Cia Giok-lun penuh harap. “Apakah kita langsung pulang ke Bik-giok-san-ceng?”

“Bukan,” sahut Toa-hoan. “Pasti bukan.”

“Kenapa bukan?” tanya Cia Giok-lun.

Penggali lubang menjelaskan, “Karena Bu-cap-sah pasti juga sudah menduga bahwa kita mungkin akan menempuh jalan itu.”

Cia Giok-lun menghela napas. Toa-hoan berkata, “Ke mana kau akan membawa kami?”

“Lembah mati,” sahut penggali lubang. “Karena siapa pun pasti tidak menduga kalau kita justru pergi ke lembah mati, ke sarang Bu-cap-sah malah.” Lalu ia menambahkan setelah menarik napas, “Giok-toasiocia juga menganjurkan supaya kita menempuh jalan ini, ia bilang akan menyusul kita di sana.”

Tidak ada yang bertanya 'Kenapa dia juga akan ke sana?', karena setiap orang percaya, apa yang dilakukan Giok-toasiocia ada alasannya sendiri.

Kereta berjalan cepat dan tenang. Kabin kereta memang lebar dan panjang, mereka dapat duduk santai dan takkan merasa penat atau gerah. Sejak kereta berangkat, Toa-hoan selalu memperhatikan penggali lubang itu. Mendadak ia bertanya, “Tuan, apakah kau murid Kaypang?”

Melihat tindak-tanduk, dandanan dan tutur bicaranya, siapa pun akan beranggapan bahwa penggali lubang ini adalah murid Kaypang, karena hanya murid Kaypang saja yang mampu menunaikan tugas yang berat dan sukar ini. Hanya pihak Kaypang saja di bawah pimpinan Kanglam Ji Ngo yang berani mengambil-alih tugas dan mencampuri urusan ini.

Tapi penggali lubang itu menggelengkan kepala, “Aku bukan murid Kaypang.” Ia menjawab sambil tersenyum, “Bahwasanya aku tidak pernah berkecimpung di Kangouw.”

Jawabannya di luar dugaan orang banyak. Toa-hoan bertanya pula, “Kau she apa dan siapa nama tuan?”

Penggali lubang itu tampak bimbang sejenak. Agaknya ia segan memperkenalkan diri, seakan-akan bila ia memperkenalkan diri maka namanya akan mengundang ejekan orang, dirinya akan malu berhadapan dengan orang. Tapi setelah ditunggu dan diawasi sekian saat, akhirnya ia menjawab dengan terpaksa, “Aku bernama Ji Liok.”

“Ji Liok?” Toa-hoan berteriak. Orang banyak juga melengak heran. Toa-hoan bertanya pula, “Pernah apa kau dengan Kanglam Ji Ngo?”

“Ji Ngo adalah engkohku yang kelima,” sahut penggali lubang itu.

----------------------------------------ooo00ooo--------------------------------------------

Kanglam Ji Ngo terkenal di seluruh jagat, ia mengepalai Pang terbesar di dunia, anggotanya tersebar luas di seluruh pelosok Kangouw. Adalah pantas kalau adik Ji Ngo juga seorang yang terkenal, anehnya siapa pun tidak pernah mendengar seorang yang bernama Ji Liok, apalagi sebagai adik Ji Ngo.

“Kalian tentu tidak tahu kalau Ji Ngo masih punya adik seperti diriku,” demikian ucap penggali lubang yang mengaku bernama Ji Liok itu. “Kalian pasti heran, adik Kanglam Ji Ngo, kenapa tidak pernah muncul dalam percaturan dunia persilatan?”

“Ya, kau tidak pernah muncul, kami pun tak pernah mengenalmu.”

Ji Liok tertawa getir, katanya, “Kalau aku sudah punya engkoh seperti Kanglam Ji Ngo yang tersohor, memangnya apa yang bisa kuperoleh kalau berkecimpung di Kangouw? Umpama aku berjuang seratus tahun juga akan tetap sebagai adik Ji Ngo.” Ia mengawasi jari-jari tangannya yang kasar, lalu ia melanjutkan dengan perlahan, “Apalagi aku tidak punya kemampuan apa-apa, aku hanya pandai menggali lubang.”

Ma Ji-liong mengawasinya, sorot matanya berubah hormat dan kagum. Biasanya ia memang menghargai orang yang punya pambek, laki-laki yang tegas berpijak pada pendirian sendiri, menghormati harga diri orang yang berani berdikari.

“Kau bilang tak punya kemampuan apa-apa kecuali menggali lubang,” demikian timbrung Ma Ji-liong. “Padahal untuk menggali lubang bawah tanah dalam jarak sejauh itu, melampaui empat jalan raya sepanjang tujuh-delapan puluh tombak, bukanlah pekerjaan yang ringan, apalagi arah yang dituju sudah diperhitungkan dengan tepat, jalan keluarnya tepat menuju sasaran yang sudah ditentukan di tengah rumah toko serba ada itu.” Setelah menghela napas, Ji-liong menyambung pula, “Kau bilang tidak mampu berbuat apa-apa, tapi lorong tanah sepreti itu, kecuali kau siapa pula yang mampu menggalinya?”

Ji Liok tertawa lebar, “Mendengar pujianmu, aku baru merasa bahwa ternyata aku memiliki keahlian khusus juga.” Dengan senyum dikulum, ia melirik ke arah Ma Ji-liong, “Sekarang aku baru paham kenapa Ngo-ko berkata demikian kepadaku.”

“Apa yang dia katakan?” tanya Ji-liong.

“Ngo-ko bilang kau ini baik hati. Dalam keadaan apa pun kau tidak pernah melupakan kepentingan orang lain,” demikian ucap Ji Liok. “Dia juga bilang, orang seperti dirimu, dalam masa hidupnya hanya pernah melihat dua orang saja.”

“Dua orang yang mana?” tanya Ji-liong pula.

“Yang seorang sudah tentu dirinya sendiri,” kata Ji Liok tertawa. “Seorang lagi adalah engkau.” Sorot matanya tampak hangat dan bersahabat, “Maka dia menyuruh aku bertanya kepadamu, kau mau tidak bersahabat dengan orang yang hanya pandai menggali lubang?”

Ma Ji-liong segera mengulurkan tangan menjabat tangan Ji Liok.
Kanglam Ji Ngo adalah pendekar besar yang terkenal, seorang cerdik, pelajar ternama, ilmu sastra maupun ilmu silatnya jarang ketemukan tandingan, pokoknya serba bisa.

Tapi berbeda dengan Ji Liok yang satu ini. Seperti apa yang ia katakan sendiri, kelihatannya mirip orang kasar, orang desa atau kampung yang bersahaja, kaki besar tangan kasar, hidup tenteram dan sederhana. Menilai wajahnya yang persegi, kelihatannya tak cukup pintar, namun bila tersenyum maka orang baru membayangkan wajah Ji Ngo melekat pada wajahnya juga.

Kini setiap orang mulai tertarik kepadanya. Semua merasa pribadinya tidak seperti lahiriahnya yang sederhana dan biasa. Banyak persoalan yang ingin ditanyakan kepadanya, karena siapa pun ingin tahu lebih jauh siapakah dia sebenarnya.

“Kau belum pernah berkecimpung di Kangouw? Lalu apa kerjamu sehari-hari?” Ma Ji-liong bertanya lebih jauh.

“Kerja apa saja kulakukan,” sahut Ji Liok. “Namun belakangan ini aku sering memborong bangunan, jelasnya sebagai pemborong bangunan.”

“Kau ini tukang batu atau tukang kayu?” sela Toa-hoan.

“Tukang batu aku dapat bekerja, tukang kayu juga kulakukan, pokoknya kerja kasar yang halal dan dapat uang. Tapi dalam kerja besar ini aku hanya menggambar pola bangunannya saja.”

Untuk membangun rumah harus dibuat pola gambarnya lebih dulu. Setelah pola gambarnya dilukis dan diperinci secara cermat, baru kerja dimulai. Berapa tinggi bentuk rumah itu, berapa dalam pondasi yang harus ditanam? Berapa pula sudut miring wuwungan yang akan dibentuk? Berapa berat kekuatan yang ditopang? Setiap sudut ruang pun harus diperhitungkan dan direncanakan lebih dulu. Setelah seluruhnya diperinci secara jelas, bangunan yang sudah dirancang dengan baik itu pasti terbangun dengan hasil yang memuaskan. Karena sedikit salah perhitungan, bukan mustahil rumah itu akan ambruk dan akibatnya tentu fatal.

Demikian pula untuk menggali lubang di bawah tanah, juga harus diperhitungkan arah, jarak dan letaknya. Sedikit melenceng, jalan keluarnya pasti meleset jauh dari titik yang sudah ditentukan. Demikian halnya dengan lorong bawah tanah yang digalinya itu. Bila melenceng sedikit dan keluarnya di luar toko serba ada, atau malah muncul di depan Bu-cap-sah, bukankah berarti ia menggali liang kuburnya sendiri. Celakanya adalah ketujuh orang di dalam toko juga ikut menjadi korban sia-sia.

Toa-hoan menghela napas, katanya, “Sekarang baru aku tahu, kenapa engkohmu sengaja mengutus engkau untuk menggali lubang itu. Untuk menggali lubang panjang di bawah tanah seperti itu, jelas lebih sukar dibanding membangun sebuah gedung.”

“Seorang diri aku takkan mampu menggali lorong sepanjang itu. Orang-orang yang duduk di dalam kereta yang tiga itu adalah pembantuku yang boleh diandalkan.”

Jelas rencana kerja ini pun sudah diperhitungkan secara matang dan tepat. Saat datang orang-orang itu membantunya menggali lubang, waktu mau pergi dapat memancing Bu-cap-sah ke arah yang sesat, jelas setiap orang sudah mengembangkan daya kemampuannya.

“Tentunya mereka adalah orang-orang engkohmu yang diutus untuk membantu kau bekerja, betulkah mereka murid-murid Kaypang?” tanya Toa-hoan.

Siapa pun sependapat dengan pertanyaan ini. Ji Liok tertawa, katanya, “Mereka juga bukan murid Kaypang. Mereka adalah pembantuku yang biasa bekerja di bangunan. Sebagai pekerja bangunan, sudah layak bila mereka pun pandai menggali lubang.”

Ji-liong melengak. Toa-hoan melenggong, demikian pula Cia Giok-lun dan Thiat Tin-thian bungkam, heran dan takjub.

“Kau sendiri yang membuat rencana kerja ini?” tanya Ma Ji-liong.

Ji Liok tertawa pula, katanya, “Kalau engkohku menyuruh aku bekerja, maka aku akan bekerja lebih baik dan nilainya tentu jauh lebih memuaskan.”

-------------------------------------------ooo00ooo------------------------------------------------------

Rencana serapi itu, kerja besar yang memerlukan banyak tenaga, ternyata hanya dipimpin oleh seorang kasar saja. Kelihatannya ia memang serba kasar, kaki tangan dan mukanya kotor berlumpur, kuku jarinya juga hitam-hitam, tapi sekarang tiada orang yang berani menganggapnya kasar dan kotor.

“Di mana engkohmu sekarang?” tanya Toa-hoan.

Ji Liok menghela napas, sahutnya, “Setelah menyerahkan tugas ini, dia lantas pergi entah ke mana, tidak mau turut campur lagi.”

Mendadak Thiat Tin-thian menghela napas, katanya, “Jika aku punya saudara seperti kau, aku pun akan bersikap seperti Ji Ngo, persoalan apa pun tidak perlu kukerjakan sendiri.”

Waktu menghela napas, kedua matanya mengawasi Coat-taysu, siapa pun tahu bahwa dia sedang terkenang pada saudara angkatnya Thiat Coan-gi.

Memang Thiat Coan-gi, saudara angkatnya itu mungkin tidak sembabat dibanding adik Ji Ngo, tapi saudaranya itu juga mampu mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin bisa dikerjakan orang lain. Kini saudaraya itu sudah gugur demi mempertahankan jiwa raga saudaranya.

Coat-taysu tidak memberikan reaksi, Apa pun yang diucapkan orang lain, kritik apa pun yang ditujukan kepada dirinya, ia anggap tidak dengar saja.

----------------------------------------------ooo00ooo------------------------------------------------------

Malam makin larut.

Waktu mereka naik ke kereta dan berangkat tadi, hari baru saja gelap. Kini mereka sudah tiga jam menempuh perjalanan. Mereka berpendapat Ji Liok akan menempuh perjalanan semalam suntuk, tapi dugaan orang banyak ternyata meleset.

Waktu itu kereta sedang memasuki sebuah kota besar. Entah apa nama kota ini, yang pasti ada jalan raya yang cukup besar dengan gedung-gedung besar berderet di kedua pinggir jalan. Bila kereta membelok ke arah kanan, keadaan di sini jauh lebih sepi kalau tidak mau dikata lengang. Rumah-rumah penduduk di sini sudah tutup semua. Dari bentuk bangunan dan jalan raya yang beralas batu gunung yang tebal dan kuat, dapat diduga bahwa kota ini cukup besar dan makmur.

Diam-diam Toa-hoan dan Cia Giok-lun mengintip keluar lewat jendela. Di saat kereta membelok lagi ke kanan memasuki sebuah gang yang tidak begitu lebar, setelah maju lagi beberapa saat, tampak gang ini ternyata buntu. Meski cuaca sudah gelap, tapi dapat diketahui bahwa gang ini tiada jalan tembus. Di sini hanya ada rumah gedung yang terletak di depan, tampaknya milik hartawan kaya raya.

Pintu gerbang pelindung rumah ini bercat merah. Di kanan kiri luar pintu berjongkok dua batu singa besar, di tengah adalah jalan rata yang dapat dilewati kereta untuk keluar masuk.

Semula pintu gerbang bercat merah itu tertutup rapat, tapi kereta kuda itu terus maju ke depan, langsung mencongklang ke arah pintu gerbang yang tembus ke dalam gedung. Meski pintu gerbang masih tertutup, jarak juga makin dekat, tapi laju kereta tetap dalam kecepatan sedang. Kalau tidak segera dihentikan, sebentar lagi kereta kuda pasti akan menumbuk pintu gerbang yang tertutup rapat itu.

Belasan langkah sebelum kereta kuda itu tiba di ambang pintu, mendadak daun pintu gerbang yang besar dan berat itu terpentang ke kanan kiri, maka kereta terus menerjang masuk dan berhenti di pekarangan yang besar dan luas.

Begitu kereta kuda itu masuk ke pekarangan, pintu gerbang lantas tertutup lagi. Pintu kereta lantas dibuka oleh Ji Liok.

“Silakan kalian turun,” kata Ji Liok.

“Turun? Untuk apa turun?” tanya Toa-hoan.

“Malam ini kita menginap di sini,” demikian Ji Liok menjelaskan.

“Lho, kenapa harus menginap di sini?” Toa-hoan bertanya pula dengan nada keki.

Ji Liok tertawa, katanya, “Kurasa Bu-cap-sah akan mengira kita menempuh perjalanan dengan tergesa-gesa di tengah malam.”

Padahal Ma Ji-liong dan lain-lain juga beranggapan demikian. Kereta kuda dikira akan terus menempuh perjalanan hingga fajar, maka Ji Liok mengambil keputusan secara tegas, kereta berhenti dan menginap di gedung ini.

“Akalmu memang bagus,” demikian puji Thiat Tin-thian sambil tertawa.

-------------------------------------------ooo00ooo--------------------------------------------------

Pekarangan besar dan luas, gedung itu pun besar dan megah bentuknya. Dindingnya berkembang, sakanya terukir, jendela juga ditempel kertas putih bak salju, di tengah malam buta rata begini kelihatan mengkilap.

Tetapi gedung besar ini masih kosong melompong, tiada apa-apanya, tidak ada meja kursi atau perabot rumah tangga lainnya, juga tidak ada penerangan lampu. Walau gedung ini dalam keadaan gelap gulita, tetapi di luar sinar bintang berkerlap-kerlip, bulan sabit juga mengintip di balik mega, sehingga keadaan terasa sunyi dan sepi.

Ji Liok menjelaskan, “Inilah salah satu gedung yang kuborong untuk dibangun. Bangunan ini belum selesai, baru sembilan bagian rampung dikerjakan. Pemiliknya adalah seorang pembesar tinggi yang sudah pensiun, menurut rencana pertengahan bulan depan baru akan pindah ke sini.”

Saat itu masih tanggal muda, jadi masih ada satu setengah bulan lagi. Gedung ini belum dihuni orang, tak heran kalau keadaannya masih kosong dan sepi.

“Siapakah yang membuka pintu tadi?” Toa-hoan yang suka rewel lalu bertanya.

“Salah seorang pembantuku yang kusuruh menjaga gedung ini,” sahut Ji Liok. “Aku tanggung dia tidak akan membocorkan jejak kita.”

------------------------------------------------ooo00ooo---------------------------------------------------

Orang tua renta itu memang takkan bisa membocorkan rahasia siapa pun, karena dia seorang bisu tuli. Seorang tua renta yang setengah pikun dan bungkuk, timpang lagi, usianya sudah tua, badannya cacat lagi, jelas tidak punya gairah atau harapan hidup di masa depan, sudah tiada urusan apa pun di dunia ini yang menarik perhatiannya.

Sebuah gedung megah yang kosong melompong, seorang tua cacat yang setengah pikun, dengan hanya memiliki sebuah lampion kotor yang sudah buram cahayanya, di malam dingin yang gelap di musim semi, tujuh orang buronan.

Lampion yang sudah butut itu tampak bergoyang-gontai ditiup angin malam. Si kakek timpang tertatih-tatih berjalan di depan menunjukkan jalan. Orang takkan suka melihat wajahnya, terutama anak perempuan, agaknya orang tua ini juga segan memperlihatkan tampangnya yang buruk di depan umum, maka lampion ia gantung rendah dan ia pun berjalan sambil menunduk.

Tujuh orang dibagi empat kamar yang berbeda dan tersebar letaknya.

Ma Ji-liong sekamar dengan Ji Liok, Toa-hoan sudah tentu sekamar dengan Cia Giok-lun. Thiat Tin-thian sekamar dengan Ong Ban-bu, Coat-taysu seorang diri di satu kamar yang terpisah di tempat yang agak jauh.

Tidak ada orang yang mau bercampur dan sekamar dengan dia, ia pun segan bergaul dengan orang lain.

Di tengah malam yang dingin di musim semi ini, seorang beribadah seperti Coat-taysu, seorang diri tinggal di kamar kosong melompong, kenangan lama dan kejadian di depan mata, dendam lama dan sakit hati baru terbayang di benaknya. Entah bagaimana ia harus menenteramkan gejolak perasaannya?

Setelah menempuh perjalanan jauh, apalagi mereka harus merangkak dan merunduk jalan di dalam lorong bawah tanah tadi, badan terasa amat penat, tapi dalam keadaan seperti itu, jarang ada orang yang bisa tidur.

Cia Giok-lun tidak tidur. Di atas lantai ia lembari rumput kering, bagian atas dilapisi tikar, mereka tidur di lantai dengan hanya beralaskan tikar. Deru angin malam di luar jendela dirasakan seperti isak tangis perempuan yang ditinggal pergi oleh suami dan menyesali nasibnya sendiri.

“Kau sudah tidur belum?” tanya Cia Giok-lun.

“Belum.”

Toa-hoan juga tidak bisa tidur, maka Cia Giok-lun bertanya kepadanya, “Kenapa kau tidak bisa tidur? Apa yang sedang kau pikirkan?”

“Apa pun tidak mungkin kupikirkan, aku hanya tidak ingin lekas tidur.”

Mendadak Cia Giok-lun tertawa, katanya, “Tidak usah kau membohongi, aku tahu apa yang terkandung di dalam benakmu.”

“Oh?”

“Kau sedang merindukan Ma Ji-liong,” demikian ucap Cia Giok-lun berseloroh. “Aku tahu kau amat menyukainya.”

Toa-hoan tidak menyangkal juga tidak membenarkan, ia malah balas bertanya, “Kenapa tidak bisa tidur? Apa pula yang sedang kau pikirkan?”

Jawaban Cia Giok-lun ternyata cukup mengejutkan siapa saja bila mendengar perkataannya, “Seperti juga kau, aku juga sedang memikirkan Ma Ji-liong.” Setelah menghela napas, ia melanjutkan, “Beberap a bulan aku hidup serumah dengannya, tidur dalam satu kamar meski tidak satu ranjang, setiap malam aku mendengar deru napasnya, kenapa sekarang aku tidak merindukan dia? Sekarang aku berpisah dengan dia, bagaimana aku bisa tidur?”

Toa-hoan terdiam. Tanpa bicara, mendadak ia bangkit lalu melangkah membuka daun jendela.

Di tengah malam nan dingin seperti ini, seorang gadis seperti dirinya, jika isi hatinya dikorek orang, apa pula yang bisa ia katakan? Agaknya Toa-hoan punya banyak persoalan yang ingin dibicarakan dengan Cia Giok-lun. “Aku tidak punya kakak, tidak punya adik, sejak kecil sebatang kara, aku ini anak yatim piatu,” demikian kata Toa-hoan.

“Betul, aku juga anak tunggal, tidak punya saudara besar maupun kecil, sejak kecil orang yang terdekat dengan aku hanya engkau,” demikian kata Cia Giok-lun. “Selama hidup hingga kini tidak pernah aku membayangkan bahwa kau akan membuatku celaka begini. Aku sudah menganggap kau sebagai saudaraku sendiri, maka aku tidak pernah menaruh curiga sedikit pun terhadapmu. Oleh karena itu, waktu kau menutuk Hiat-toku hari itu, sungguh aku terkejut setengah mati.” Setelah menghela napas, Cia Giok-lun meneruskan, “Sekarang aku sudah mengerti, sudah maklum bahwa kau memang pantas menjadi saudaraku yang sejati. Apa yang kau lakukan memang bertujuan baik, demi masa depanku. Tetapi waktu itu, kecuali kaget, aku juga dendam dan membencimu.”

Toa-hoan berdiri diam saja menghadap keluar jendela, tidak menoleh juga tidak menanggapi perkataannya.

Cia Giok-lun melanjutkan, “Jika waktu itu aku pingsan oleh tutukanmu, mungkin agak mending. Sayang sekali, meski badan tidak bisa bergerak, tapi aku masih dalam keadaan sadar. Apa yang kau lakukan atas diriku bisa kurasakan dengan jelas, aku tahu apa yang kau lakukan atas diriku.” Suara Cia Giok-lun amat kalem, “Kejadian itu takkan kulupakan selama hidupku.” Setelah menghela napas, ia menyambung, “Kau membawa aku ke balaikota, kau mengurungku dalam sebuah kamar remang-remang, membelejeti pakaianku hingga aku telanjang bulat, lalu merebahkan aku di atas ranjang yang keras dan dingin. Tak lama kemudian kau membawa laki-laki untuk melihat badanku yang bugil, setiap perbuatanmu kuketahui dengan jelas.”

Mendadak Toa-hoan menghela napas, katanya, “Waktu itu aku kira kau sudah pingsan dan tidak sadarkan diri, maka.......”

Cia Giok-lun tidak memberi kesempatan, ia bertanya, “Tahukah kau, bagaimana perasaan hatiku waktu itu? Tahukah kau, bila gadis perawan dalam keadaan polos dilihat seorang lelaki, betapa remuk hatinya, saking malu rasanya ingin mati saja.”

“Aku tidak tahu,” sahut Toa-hoan. Ya, tidak tahu karena tidak mengalami dan merasakan sendiri.

“Sudah tentu kau tidak tahu,” ujar Cia Giok-lun. “Karena kau belum pernah dibelejeti pakaianmu, belum pernah ada laki-laki yang melihat tubuhmu dalam keadaan telanjang bulat.” Dengan tertawa Cia Giok-lun menyambung, “Tapi kutanggung kau akan segera merasakan sendiri.”

Muka Toa-hoan berubah, mendadak tubuhnya melompat ke atas menerobos jendela menerjang keluar. Sayang gerakannya masih terlambat setindak. Di saat tubuhnya melompat keluar, Cia Giok-lun sudah turun tangan dari belakang, sekali gerak beberapa Hiat-to di belakang tubuhnya telah tertutuk hingga tubuhnya tak berkutik lagi.

Cia Giok-lun hendak membalas. Toa-hoan sadar dan waspada, maka ia berusaha melarikan diri.

Siapa pun pasti berpikir demikian, dugaan demikian memang masuk akal. Tapi kalau berpendapat demikian, maka adalah salah besar, meleset.

Rona muka Toa-hoan berubah lalu melompat keluar jendela, itu benar, tapi Toa-hoan melompat keluar dan berubah kaget air mukanya bukan karena ia takut atas pembalasan Cia Giok-lun, bukan karena ia takut Cia Giok-lun menyerang dirinya. Hakikatnya ia tidak mendengar apa yang dibicarakan Cia Giok-lun tadi terhadap dirinya.

Mukanya berubah lalu melompat keluar karena Toa-hoan melihat suatu kejadian yang mengerikan, peristiwa yang menakutkan. Siapa saja pasti kaget melihat kejadian itu, kejadian yang tak pernah diduga akan disaksikan oleh dirinya sendiri.

Jika saat itu ia sempat membeberkan kejadian yang ia saksikan, kejadian yang lebih menakutkan tentu takkan berkepanjangan. Sayang Hiat-tonya tertutuk, ia tak bisa bicara. Cia Giok-lun sudah menutuk beberapa jalan darah di punggungnya, termasuk jalan darah di leher yang membuatnya bisu. Jangan kata bicara, menjerit pun tidak sempat lagi.

-----------------------------------------------ooo00ooo------------------------------------------------

Jika Cia Giok-lun tahu Toa-hoan telah menyaksikan suatu peristiwa yang mengerikan, pasti ia juga terkejut. Sayang Cia Giok-lun tidak melihat, juga tidak tahu, maka ia masih tertawa-tawa, tawa yang riang malah.

“Sekarang kau akan tahu bagaimana perasaan hatiku waktu itu,” kata Cia Giok-lun sambil cekikikan. “Karena akan kugunakan cara yang kau gunakan terhadapku tempo hari untuk membalas perbuatanmu sendiri. Biar Ma Ji-liong juga melihat tubuhmu yang bugil. Hihihi........”

-----------------------------------------------ooo00ooo--------------------------------------------------

Ma Ji-liong juga tidak bisa tidur. Ia ingin mengajak Ji Liok mengobrol. Sayang, begitu merebahkan diri, Ji Liok lantas mendengkur, tidur lelap.

Ji Liok bukan kaum persilatan, bukan pendekar Bulim yang kenamaan, juga bukan anak hartawan besar yang suka royal dan pelesir, anak orang berada yang suka kelayapan malam.

Ji Liok tidak punya sesuatu yang harus dibuat bangga seperti orang ternama yang harus jaga gengsi dan mempertahankan kedudukannya. Ia tak punya persoalan yang merisaukan benaknya seperti orang-orang gede yang banyak terlibat kegiatan.

Diam-diam Ma Ji-liong menghela napas, dalam hatinya timbul keinginan untuk menjadi manusia awam seperti Ji Liok saja, hidup bersahaja, setiap malam tidur menggeros dan lelap setiap rebah di ranjang, tanpa memikirkan tetek-bengek, merisaukan persoalan apa pun.

Sayang Ma Ji-liong ditakdirkan lahir dalam keluarga besar. Sayang dia adalah Ma Ji-liong, pendekar kita yang tidak boleh ditawar. Tapi perasaan Ma Ji-liong itu hanya sekedar pelampiasan kekesalan hatinya saja. Tidak pernah terbetik dalam benaknya rasa sesal karena dirinya terfitnah dan mengalami peristiwa yang membuatnya sengsara. Harkat seorang pendekar sudah melekat dalam sanubarinya. Seorang pendekar mutlak harus mengabdikan diri untuk kepentingan orang banyak, mempertahankan kepribadian, membela keadilan dan kebenaran. Harkat pendekar sudah berjiwa raga pada darah daging Ma Ji-liong.

------------------------------------------------ooo00ooo---------------------------------------------------

Daun jendela setengah tertutup, deru angin malam merintih-rintih di luar. Mendadak Ji-liong melihat bayangan seseorang yang sedang melambaikan tangan kepadanya di luar jendela.

Ma Ji-liong melihat Cia Giok-lun sedang melambaikan tangan dengan isyarat supaya ia keluar.

Begitu Ma Ji-liong berada di luar, Cia Giok-lun lantas berbisik, “Akan kubawa kau melihat sesuatu.” Bersinar bola mata Cia Giok-lun, “Kutanggung kau pasti senang melihatnya.” Tawanya penuh arti, tawa yang riang, sudah tentu Ma Ji-liong tertarik. Ia ingin tahu, maka tanpa bicara ia ikut saja waktu diseret Cia Giok-lun.

Mereka kembali ke kamar di mana Cia Giok-lun dan Toa-hoan tinggal. Lewat jendela mereka melompat masuk. Di atas lantai ada dua gulung tikar. Tadi Cia Giok-lun merebahkan Toa-hoan di salah satu gulungan tikar, lalu menutupnya pula dengan gulungan tikar yang lain.

“Coba kau singkap tikar penutup itu,” demikian pinta Cia Giok-lun. “Lihat dulu ujung yang sini, lalu lihat lagi ujung yang sana.” Pertama ia ingin Ma Ji-liong melihat kaki Toa-hoan, lalu melihat wajah, dada dan tubuhnya.

Tanpa bicara lagi Ma Ji-liong melakukan permintaan Cia Giok-lun. Ia menyingkap dahulu tikar di sebelah sini dan melongok ke bawah, seketika roman mukanya berubah. Bila ia melongok pula ujung yang sebelah sana, roman mukanya berubah jelek dan ngeri.

Cia Giok-lun masih tertawa cekikikan, katanya, “Semula aku tidak mengira kau akan terkejut sedemikian rupa, karena kau pasti bisa menduga bahwa aku harus dan berhak menuntut balas padanya.”

Makin menakutkan perubahan rona Ma Ji-liong. Cukup lama ia berdiri menjublek, lalu balas bertanya, “Kepada siapa sebenarnya kau hendak menuntut balas?”

“Sudah tentu kepada Toa-hoan,” ucap Cia Giok-lun sambil tertawa. “Dulu bagaimana dia memperlakukan aku, sekarang begitu pula aku balas mempermainkan dia.”

“Dulu bagaimana dia mempermainkan kau, sekarang dengan cara itu pula kau balas mempermainkan dia,” Ma Ji-liong mengulang perkataan Cia Giok-lun, suaranya seperti rintihan orang yang kesakitan setelah punggungnya dibacok dengan golok.

“Apakah kau juga menutuk Hiat-tonya? Apakah kau menutupnya di bawah tikar ini?” tanya Ma Ji-liong dengan suara gemetar.

Cia Giok-lun memanggut, menggigit bibir sambil tertawa senang.

Tanpa bicara lagi, mendadak Ma Ji-liong berjongkok terus menyingkap tikar penutup itu dengan sendalan keras ke pinggir.

Semula Cia Giok-lun masih tertawa riang, tapi mendadak kulit mukanya menjadi kaku, tawanya pun membeku menjadi seringai getir, mimik mukanya seperti orang yang ditusuk pisau pantatnya.

Masih segar dalam ingatannya, sekarang dirinya pun masih segar, jelas tadi ia merebahkan Toa-hoan di atas tikar lalu menutupnya dengan tikar yang lain. Tapi begitu Ji-liong menyingkap tikar ke pinggir, yang berada di bawah tikar ternyata bukan lagi Toa-hoan, tetapi si kakek timpang yang bungkuk lagi bisu tuli penjaga gedung ini.
Kakek timpang yang cacat ini tak berbeda lagi dengan kebanyakan manusia, karena sekarang dia sudah mati, mayatnya rebah di bawah tikar yang disingkap Ji-liong.

Setiap orang akhirnya pasti mati. Orang mati sudah tentu sama, kaku dingin tidak bernapas lagi. Entah bagaimana dia mati, mati dibunuh, mati sakit atau kecelakaan, setelah dia mati, tubuhnya akan kaku menjadi mayat. Peduli di masa hidupnya dia seorang Enghiong, seorang Pendekar, perempuan cantik atau ratu sekalipun, setelah mati dia akan berubah dalam bentuk yang sama, sebagai mayat yang tak mampu berbuat apa-apa lagi.

Namun dalam seribu satu kesamaan itu, ada satu perbedaannya. Perbedaan yang menyolok di atas mayat yang satu ini dengan mayat lain pada umumnya, walau kakek bungkuk lagi timpang ini sudah mati, namun sepasang tangannya saling genggam di depan perutnya. Seperti seorang budak miskin yang menggenggam kantong uangnya, harta miliknya yang dipertahankan dari rebutan pembunuhnya. Barang apakah yang tergenggam di kedua tangannya?

Perlahan Ma Ji-liong berjongkok, perlahan pula ia membuka genggaman tangan kakek timpang itu. Begitu jari tangan si kakek ia kendorkan dan terbuka, seketika air mukanya berubah pucat dan panik. Ternyata yang tergenggam di kedua tangan kakek cacat ini hanyalah sebutir batu, batu bundar hitam dan mengkilap sebesar buah duku.

Hanya di lembah mati ada batu hitam bulat dan mengkilap seperti ini.

Tanpa sadar Cia Giok-lun memekik seram, "Bu-cap-sah!"

Jikalau Bu-sap-sah yang datang ke mari, lalu di mana Toa-hoan?

Sudah tentu Ma Ji-liong dan Cia Giok-lun tidak bisa menjawab teka-teki ini, malah menduga atau memikir juga tidak berani.

Satu persoalan kembali mengganjal dalam sanubari mereka. Rencana Ji Liok cukup rapi dan amat dirahasiakan, dengan cara apa Bu-cap-Sah dapat menemukan jejak mereka dan menyusul ke mari?

------------------------------ooo00ooo-----------------------------

Semenjak jadi buronan, belum pernah Thiat Tin-thian dapat tidur pulas, demikian pula kali ini. Sebetulnya ia juga masih buron, tapi ia percaya akan rencana kerja Ji Liok, yakin bahwa kawan-kawan yang lain pasti dapat menanggulangi bersama segala persoalan. Badan agak segar setelah lukanya agak sembuh, namun setelah menempuh perjalanan cukup jauh, akhirnya merasa penat juga, maka Thiat Tin-thian kali ini dapat tidur dengan nyenyak. Umumnya kawakan Kangouw seperti dirinya, bila ada kesempatan tidur, biasanya tidak akan disia-siakan, apalagi ia yakin persembunyian mereka di gedung ini cukup aman. Akan tetapi sebagai kawakan Kangouw, meski tidur nyenyak juga mudah terjaga oleh sesuatu gerakan atau suara lirih sekalipun.

Thiat Tin-thian terjaga oleh suara yang aneh. Waktu ia celingukan, ternyata Ong Ban-bu sudah tidak kelihatan, tikar yang disediakan untuk alas tidurnya juga ikut lenyap. Padahal kamar itu hanya ada satu pintu dan satu jendela, pintu dan jendela masih terpalang dari dalam, jelas tidak pernah disentuh atau dibuka orang. Tin-thian yakin tidak mendengar suara Ong Ban-bu membuka jendela atau pintu, apalagi daun jendela tertutup rapat dan terpalang lagi, tidak mungkin Ong Ban-bu memasang palang lagi dari luar jendela. Tapi persoalan sudah jelas, pintu dan jendela tidak pernah dibuka, namun Ong Ban-bu lenyap tak keruan parannya, cara bagaimana dia meninggalkan kamar ini?

Penjelasan yang paling benar adalah di kamar ini ada pintu rahasia, atau lorong bawah tanah. Dalam gedung besar milik hartawan kaya raya, tidak heran kalau dibuat juga pintu rahasia atau dinding berlapis, apalagi gedung ini dibangun sendiri oleh Ji Liok yang serba ahli.

Dengan pengalamannya Thiat Tin-thian tak mampu menemukan pintu rahasia ini, sudah tentu ia lebih heran dan bertanya-tanya lagi. Maklum Ong Ban-bu juga seperti dia, baru pertama kali datang ke tempat ini. Kalau ia tidak bisa menemukan rahasianya, dari mana Ong Ban-bu bisa menemukannya dan menghilang?

Kecuali itu sudah tentu masih ada lagi persoalan lain.

Kenapa tadi Ong Ban-bu tidak tidur di tempat yang sudah disediakan untuk dirinya? Kenapa secara diam-diam mengeluyur keluar? Umpama ia mau keluar juga tidak perlu main sembunyi. Kecuali ada sesuatu yang harus dirahasiakan, apalagi keluar lewat jalan rahasia?

Thiat Tin-thian memang orang kasar. Beberapa persoalan ini tidak dipikir olehnya, satu hal yang tidak dimengerti memang tak pernah ia pikirkan lebih lanjut, sekarang ia mulai beraksi.

Waktu ia membuka pintu dan melangkah keluar, saat itulah Cia Giok-lun memanggil Ji-liong serta mengajak ke kamarnya.

Kebetulan Thiat Tin-thian memergoki mereka, tapi ia diam saja malah menyembunyikan diri tak mau mengganggu. Di malam dingin di bawah rembulan remang-remang, bila seorang pemuda berkencan dengan seorang gadis, bisik-bisik atau lagi bermain cinta, kenapa aku harus mengganggu mereka? Demikian batin Thiat Tin-thian. Maklum sebagai buronan yang sudah cukup lama terasing dari dunia ramai, Thiat Tin-thian juga adalah laki-laki normal meski usianya sudah lebih setengah abad, rangsangan nafsu masih menguasai jiwanya. Kecuali pantang mengganggu keasyikan orang, ia pun berusaha menghindarkan diri supaya tidak mengundang goncangan perasaan sendiri. Sekarang ia hanya ingin mencari Ong Ban-bu.

Kamar dimana mereka tinggal terletak di bagian luar dari bilangan tengah, di belakang kamar mereka adalah sebuah taman besar yang berada di paling belakang. Maklum gedung ini belum selesai dibangun seluruhnya, maka taman kembang ini juga masih setengah rampung. Di tengah malam yang dingin di musim semi ini, terasa keadaan di sini agak lembab dan seram.

Pelahan dan hati-hati, penuh kewaspadaan lagi, Thiat Tin-thian beranjak di jalanan kecil yang ditaburi batu-batu kerikil. Mendadak ia mendengar suara ganjil dari belakang gunungan sana, suara orang yang lagi mrerintih. Sukar Tin-thian membedakan suara rintihan siapa, namun terasa olehnya suara rintihan itu diliputi siksa derita yang luar biasa, gejolak nafsu yang tidak terlampias.

Di belakang gunungan batu karang itu terdapat sebuah kolam. Walau kembang teratai belum berbunga, tapi air kolam kelihatan jernih dan mengalir kalem ke pinggir selokan dengan suaranya yang gemercik lembut.

Waktu Thiat Tin-thian tiba di pinggir gunungan, tampak seorang muncul dari dalam air kolam yang jernih, begitu melompat keluar lalu menjatuhkan diri di pinggir kolam yang berlumpur, tubuh yang bugil itu tampak mengejang dan menggigil, kedua tangannya juga terangkap kaku di tengah kedua selangkangannya.

Laki-laki telanjang yang meringkel di tanah sambil merintih ini ternyata bukan Ong Ban-bu, dia adalah Coat-taysu.

------------------------------ooo00ooo-------------------------------

Thiat Tin-thian menjublek di tempatnya. Tak pernah terbayang dalam ingatannya bahwa Coat-taysu bisa berubah seperti itu di kala gejolak nafsunya tak terkendali lagi. Namun lekas sekali ia maklum kenapa Coat-taysu begitu menderita.

Coat-taysu juga manusia, laki-laki normal. Ia pun punya keinginan, punya nafsu, ada saatnya ingin menyalurkan keinginannya itu seperti laki-laki umumnya, kalau tidak punya bini bisa jajan di luar, tapi Coat-taysu adalah orang beribadat, tokoh silat yang meyakinkan ilmu dengan pantangan harus menjaga keperjakaannya alias tidak boleh kawin, sudah tentu sukar ia menyalurkan keinginan yang mendesak. Terpaksa di tengah malam buta rata, di luar tahu orang lain, seorang diri diam-diam ia membenamkan diri dalam air dingin berusaha menekan gejolak nafsunya itu, dengan air dingin ia berusaha mencuci otaknya.

Mendadak Thiat Tin-thian sadar Coat-taysu juga seorang yang harus dikasihani. Sikap yang dingin kaku, watak yang aneh adalah akibat dari nafsu yang sekian tahun terbenam, tertekan dan tak pernah tersalurkan secara wajar.

Mendadak Coat-taysu melompat sesigap kelinci karena terkejut oleh daya ciumnya yang tajam, inderanya memperingatkan sesuatu tengah mengintai gerak-geriknya. Lekas sekali ia meraih baju lalu mengenakannya, dengan tertegun ia mengawasi Thiat Tin-thian yang masih menjublek.

Selang beberapa kejap kemudian, Thiat Tin-thian menghela napas, katanya kalem, "Tidak usah kau kuatir dan takut, aku berjanji tidak akan membicarakan dirimu dengan orang lain. Apa yang kulihat malam ini, anggaplah tidak pernah terjadi, kejadian ini takkan diketahui orang ketiga. Kalau aku melanggar janji, biarlah aku mati tanpa liang kubur."

Dapat dibayangkan betapa kaget, gugup, malu, dan sesal perasaan Coat-taysu, apalagi yang memergoki dirinya adalah Thiat Tin-thian, musuh besarnya. Mendadak ia bertanya dengan beringas, "Apa kau tak tahu bahwa Thiat Coan-gi sudah mampus?"

Terkepal tinju Thiat Tin-thian, desisnya, "Kau yang membunuhnya?"

"Tak usah kau tahu siapa yang membunuhnya. Kalau kau ingin menuntut balas, sekarang juga boleh kau turun tangan padaku," demikian jengek Coat-taysu.

Thiat Tin -thian mengawasi dengan dada berombak, namun lambat laun ia dapat menguasai diri. Bukan saja tidak bermaksud turun tangan, ia malah menghela napas. "Sekarang aku tak boleh membunuhmu," demikian kata Thiat Tin-thian lesu.

"Kenapa?" Coat-taysu meraung.

Karena Thiat Tin-thian merasa simpatik dan kasihan terhadap Coat-taysu, nafsu membunuh tidak membakar hatinya. Sudah tentu Thiat Tin-thian tidak melontarkan pikirannya. Saat itulah, sebelum ia bicara, dari kejauhan di depan sana terdengar lengking jeritan.

Itulah jeritan Cia Giok-lun waktu ia melihat mayat di bawah tikar yang disingkap Ma Ji-liong.

------------------------------ooo00ooo-----------------------------

Tiada noda darah, mayat itu memang tidak terluka, kakek timpang ini mati karena jantungnya tergetar hancur oleh pukulan tenaga dalam yang amat dahsyat. Tenaga lunak yang mengandung kekuatan hebat, pukulan yang hanya menggetar hancur jantung orang, tapi tidak meninggalkan bekas pukulan sedikit pun di luar tubuh si korban.

Waktu Thiat Tin-thian memburu tiba, Ji Liok juga berlari datang. Sikapnya kelihatan gugup, kaget, dan gusar.

"Siapa yang membunuhnya?" tanya Ji Liok. "Mengapa membunuh orang cacat yang tidak berdosa?"

Thiat Tin-thian juga gusar, serunya, "Pembunuh itu tidak perlu memakai alasan untuk merenggut jiwa orang."

"Maksudmu Bu-cap-sah?" teriak Ji Liok penasaran.

"Siapa lagi kecuali dia?" ujar Thiat Tin-thian.

Ji Liok terbelalak kaget, serunya, "Bagaimana mungkin dia menemukan tempat ini? Apakah rencanaku kurang rapi?"

Hal ini juga terpikir oleh orang banyak.

"Ya, aku sudah mengerti," tiba-tiba Cia Ciok-lun berkata.

"Kau mengerti apa?" tanya Ji Liok.

"Kalau iblis laknat itu dapat mendengar suara kura-kura bertelur, tentu dia juga mendengar orang menggali tanah. Kukira dia sudah menunggu di mulut lorong bawah tanah itu, sejauh ini dia selalu mengawasi gerak gerik kita."

"Tidak benar," sahut Ji Liok tegas. "Dia pasti tak mendengar aku menggali tanah."

"Kenapa tidak mendengar?" tanya Thiat Tin-thian.

"Kalau dia mendekam di tanah dan mendekatkan telinganya ke bumi serta mendengarkan dengan seksama, mungkin bisa mendengar," demikian kata Ji Liok. "Kurasa dengan cara itu pula baru dia bisa mendengar kura-kura bertelur."

Apalagi 'kura-kura bertelur' paling hanya sebagai ungkapan kata untuk melukiskan ketajaman kuping seseorang belaka. Apa betul kura-kura bertelur mengeluarkan suara? Yakin tiada manusia di dunia ini yang pernah mendengarnya, siapa pun tidak tahu kapan dan bagaimana kura-kura bertelur.

"Waktu aku menggali tanah, seluruh perhatian Bu-cap-sah ditujukan untuk mendengarkan gerak-gerik kalian di dalam toko, mana mungkin mendengar suara orang menggali tanah di dalam bumi?" Ji Liok berkata penuh keyakinan. "Kami juga bekerja dengan waspada, amat hati-hati, boleh dikata setiap cangkul dan sekop bekerja tidak menimbulkan suara sedikit pun."

Kalau Ji Liok amat yakin pada dirinya, adalah lumrah bila orang lain menaruh kepercayaan penuh kepadanya, maka persoalan kembali pada titik keluar semula.

"Jika Bu-cap-sah tidak mendengar suara kalian menggali tanah, berarti rencana ini cukup sempurna, lalu cara bagaimana dalam jangka setengah malam dia mampu mengejar ke tempat ini?"

"Hanya ada satu titik kelemahan dalam rencana ini," mendadak Thiat Tin-thian bersuara.

"Di mana titik kelemahannya?" tanya Ji Liok.

"Pada Ong Ban-bu," sahut Thiat Tin-thian.

Ji Liok berkata, "Kau anggap dia mata-mata? Sepanjang jalan dia meninggalkan tanda rahasia sehingga Bu-cap-sah dapat menyusul ke sini?"

Pertanyaan ini sebetulnya merupakan jawaban pula. Kecuali Ong Ban-bu, tidak mungkin orang kedua di sini yang patut dicurigai sebagai mata-mata. Kalau tiada mata-mata lawan, bagaimana mungkin Bu-cap-sah dapat menguntit sampai di sini.

"Di mana sekarang Ong Ban-bu?" tanya Ji Liok.

"Dia menghilang tidak keruan parannya," sahut Thiat Tin-thian. "Waktu aku terjaga tadi, dia sudah menghilang entah ke mana."

"Kenapa kau terjaga?" tanya Ji Liok.

"Aku terjaga oleh suara aneh," tutur Thiat Tin-thian. "Sebetulnya sukar aku membedakan suara apakah itu, sekarang baru terpikir olehku, kemungkinan sekali suara orang membuka pintu rahasia di bawah tanah."

Ji Liok segera membuktikan kebenaran dugaan ini, "Kamar yang kau tempati ini, memang akan dijadikan kamar buku pemilik rumah ini. Di waktu dia menjabat pembesar tinggi dulu, mungkin tidak sedikit musuhnya, maka dia minta dibuatkan sebuah kamar rahasia di bawah tanah."

"Tapi aku tidak bisa menemukan," ujar Thiat Tin-thian.

Pintu rahasia di bawah tanah itu dibuat oleh Ji Liok, sudah tentu orang lain sukar menemukan, untung ia memberi petunjuk bagaimana menemukan dan membuka pintu rahasia itu.

------------------------------ooo00ooo-----------------------------

Sebagai kamar buku pemilik gedung besar yang kaya raya, sudah tentu kamar itu amat besar dan luas. Semula Ong Ban-bu tidur di dekat jendela sebelah pojok sana. Ternyata pintu rahasia itu tepat di bawah tikar di mana tadi dia tidur. Bila alat rahasianya diputar, pintu rahasia lantas terbuka, dengan mudah dia bisa melarikan diri lewat pintu rahasia yang menjeplak terbalik.

Bahwa Thiat Tin-thian tidak menemukan tombol untuk membuka pintu rahasia itu, karena alat rahasianya dipasang pada vas bunga di atas ukiran daun jendela di sebelah atasnya.

Begitu Ji Liok memuntir ukiran daun di atas jendela, papan atau tepatnya pintu rahasia lantas terbalik, maka muncullah pintu rahasia di bawah tanah. Lorong bawah tanah itu lembab lagi apek, jalan keluarnya di mulut sumur. Sudah tentu sumur yang satu ini juga tidak berair. Walau di sini tidak ada air, tapi mereka menemukan sesosok tubuh, seorang yang sudah menjadi mayat, sesosok mayat yang dibungkus tikar. Tikar adalah alas tidur. Tikar kasar dan murah harganya, orang yang tergulung dalam tikar itu memang bukan lain adalah Ong Ban-bu.
Mayat Ong Ban-bu juga tidak terluka, tiada noda darah pula, jantungnya tergetar hancur oleh pukulan lunak yang amat dahsyat, itulah penyebab kematiannya.

"Kenapa ia pun dibunuh?" yang bertanya adalah Cia Giok-lun.

Yang menjawab Thian Tin-thian, "Dia memang pantas dibunuh. Orang yang menjadi mata-mata, mengkhianati sahabat, memang beginilah nasibnya."

"Kau kira Bu-cap-sah sengaja membunuhnya supaya rahasia dirinya tidak terbongkar?" tanya Ji Liok.

Ya, memang demikian. Secara langsung pertanyaan itu sudab terjawab, satu-satunya kemungkinan, juga satu-satunya jawaban.

Pertanyaan yang tidak bisa dijawab orang yaitu Bu-cap-sah di mana? Toa-hoan di mana? Dengan cara keji apa Bu-cap-sah akan menyiksa atau mempermainkan Toa-hoan?

Mereka tidak berani memikirkan persoalan ini, menduga pun mereka tidak berani.

------------------------------ooo00ooo-----------------------------

Kentongan berbunyi tiga kali, kentongan ketiga adalah saat yang membuat orang putus jiwa dan melayang sukma.

Mendadak Thiat Tin-thian teringat pada Coat-taysu. Waktu mendengar jeritan kaget Cia Giok-lun tadi, Thiat Tin-thian langsung memburu ke sana, tapi Coat-taysu tetap berada di pinggir kolam di taman belakang.

Padahal ia pun mendengar jeritan itu, pantasnya ia menduga di sini telah terjadi sesuatu yang menakutkan, seharusnya ia pun memburu ke mari. Tapi ia tidak datang, bayangannya tidak kelihatan, entah apa yang sedang dilakukan di sana.

Apa Coat-taysu juga dibunuh seperti Ong Ban-bu? Setelah jiwa melayang, mayatnya disembunyikan di suatu tempat gelap dalam gedung kosong dan menakutkan ini?

Di tangannya juga menggenggam sebutir batu hitam?

Tempat ini mulai dilingkupi suasana seram, bayangan gelap yang sewaktu-waktu siap untuk merenggut jiwa manusia. Setiap orang di antara mereka mungkin menjadi korban berikutnya, disergap dan dibunuh secara keji.

Kakek timpang yang cacat tubuh itu sudah menjadi korban yang pertama, kedua adalah Ong Ban-bu dan ketiga mungkin sekali adalah Coat-taysu, lalu giliran siapa pula selanjutnya?

------------------------------ooo00ooo-----------------------------

Kentongan ketiga baru saja lewat, tabir malam makin kelam. Mungkin sekali korban berikutnya yang akan jatuh menjelang fajar lebih banyak. Pembunuh kejam itu laksana setan gentayangan, siap mengintai jiwa mereka, sedikit lena jiwa bisa melayang. Mungkin sekali dari tempat pcrsembunyiannya pembunuh itu sudah mengincar salah satu korban di antara mereka.

Ma Ji-liong insyaf sekarang sudah tiba saatnya untuk mengambil keputusan tegas. "Kalian lekas pergi saja," demikian katanya.

"Pergi?" teriak Cia Giok-lun. "Pergi ke mana?"

"Terserah kalian mau pergi ke mana, asal lekas meninggalkan tempat ini."

"Kau suruh kami pergi, lalu apa yang akan kau lakukan di sini?" tanya Cia Giok-lun sengit.

"Aku...." tersendat suara Ma Ji-liong.

Mendadak Cia Giok-lun berkata keras, "Aku tahu apa yang akan kau lakukan, kau akan tinggal di sini mencari Toa-hoan. Jika kau tidak menemukan dia, kau pasti tak mau pergi."

Ji-liong memanggut. Katanya, "Apa aku tidak pantas mencarinya?"

"Ya, memang kau pantas mencari dia," jengek Cia Giok-lun. "Tapi kenapa tak kau pikirkan? Apa kau bisa menemukan dia? Kalau ketemu memangnya kenapa? Memangnya kau mampu merebut dia dari tangan Bu-cap-sah? Apa kau kira Bu-cap-sah tak berani membunuhmu?" Makin bicara makin emosi, "Tujuanmu hanya mencari dia. Kecuali Toa-hoan, memangnya kami bukan manusia? Kenapa kau tak memikirkan kepentingan orang lain? Kenapa tak memikirkan keselamatanmu sendiri?" Pada kalimat yang terakhir, air matanya sudah tidak terbendung lagi, ia menangis terisak.

Mereka yang hadir sama-sama tahu kenapa Cia Giok-lun meneteskan air mata. Sudah tentu Ma Ji-liong juga maklum, tapi sepatah kata pun ia tidak bicara lagi. Tidak bicara maksudnya ia tidak perlu bicara lagi. Apa yang perlu dibicarakan sudah dibicarakan, apa pun anggapan orang lain, ia tetap akan tinggal di sini.

Cia Giok-lun menggigit bibir lalu membanting kaki, serunya, "Baiklah, kalau kau ingin mampus biar kau mampus sendiri, mari kita pergi." Jelas ia sudah bertekad pergi, tapi kakinya tidak melangkah meski hanya setengah tindak.

Mungkin karena ia membanting kaki sekuat tenaga hingga kakinya tertanam dan berakar di lantai. Mirip pohon besar yang sudah berakar dalam bumi, begitu berat untuk beringsut selangkah sekalipun.

Akhirnya Ma Ji-liong menghela napas, katanya halus, "Sebetulnya kau juga harus maklum. Jikalau yang hilang bukan Toa-hoan, umpama kau yang diculik musuh, aku juga akan tinggal di sini mencarimu."

Sebelum Ma Ji-liong habis bicara, Cia Giok-lun sudah menangis terisak-isak, air matanya bercucuran dengan deras.

Mendadak Thiat Tin-thian mendongak sambil bergelak tawa, katanya, "Sekarang aku sudah mengerti."

"Kau mengerti apa?" sentak Cia Giok-lun.

"Semula aku berpendapat, orang yang tidak takut mati adalah orang yang tidak punya perasaan, tidak kenal cinta kasih. Sekarang barulah aku sadar, aku salah," demikian kata Thiat Tin-thian. "Ternyata orang yang punya perasaan, punya rasa cinta terhadap sesamanya lebih tidak takut mati. Karena benih cinta bersemi dalam sanubari mereka, segala persoalan sudah dibuang jauh, sudah dilupakan seluruhnya." Dengan keras ia menepuk pundak Ma Ji-liong, "Kalau kau tidak pergi, kami pun takkan pergi. Sebelum Toa-hoan ditemukan, entah mati atau masih hidup, siapa pun takkan pergi atau berpisah dengan engkau."

Baru saja habis bicara, mendadak tubuh Thiat Tin-thian melompat jauh keluar jendela terus berlari secepat anak panah.

Ma Ji-liong dan Cia Giok-lun juga ikut memburu keluar.

Ternyata di saat mereka bicara, tepat waktu Thiat Tin-thian habis bicara, di luar terdengar ringkik kuda, ringkik kuda yang terkejut lalu dibedal kencang. Agaknya ada orang melarikan kereta kuda itu keluar dari pekarangan gedung.

Ternyata pintu gerbang besar dan berat itu juga sudah terbuka lebar. Ringkik kuda masih berkumandang di kejauhan, suara roda kereta yang menggelinding di jalan raya berlapis papan batu hijau itu pun menimbulkan gema yang ramai di tengah malam yang sunyi.

Kusir kereta yang memegang kendali waktu kereta datang tampak menggeletak di undakan. Kaki tangannya sudah dingin, di tangannya juga menggenggam sebutir batu hitam mengkilap.

Siapakah yang mengendalikan kereta? Siapa pula yang dibawa lari?

Kereta itu dilarikan dengan kencang sekali, hanya sekejap sudah pergi jauh. Tapi di tengah malam nan hening, derap lari kuda dengan roda kereta yang gemuruh sayup-sayup masih terdengar di kejauhan, maka untuk mengejarnya tidak perlu kuatir kehilangan jejak.

"Kejar!" teriak Thiat Tin-thian memberi tanda sambil mementang kedua lengan, segera ia kembangkan Ginkang Pat-pou-kan-sian (Delapan Langkah Mengejar Tonggeret), bagai anak panah tubuhnya meluncur tangkas mengejar ke arah larinya kereta.

Setiap insan persilatan sudah tahu adanya Ginkang lihai ini, siapa pun pernah mendengar nama Pat-pou-kan-sian. Tapi orang yang betul-betul mampu meyakinkan Ginkang yang satu ini, jelas tidak sebanyak yang diduga orang.

Untung Ma Ji-liong mewarisi Thian-ma-hing-khong dari leluhur keluarganya. Thian-ma-hing-khong juga salah satu ilmu meringankan tubuh yang sudah terkenal sejak puluhan tahun di Kangouw.

Lekas sekali Ma Ji-liong sudah menyusul Thiat Tin-thian. Dapat berlari kencang beradu pundak dengan Thiat Tin-thian yang sudah tersohor puluhan tahun di dunia persilatan, jelas merupakan kejadian yang patut dibuat bangga.

Thiat Tin-thian ikut merasa bangga mendapat sahabat selihai ini Ginkangnya, maka ia menepuk pundak Ma Ji-liong tanda memuji. Tapi lekas sekali mereka merasakan kemahiran Ginkang masing-masing yang dibanggakan sebetulnya tldak pantas terlalu diagulkan, ternyata Ginkiang mereka tidak sehebat yang pernah mereka bayangkan sendiri.

Cepat sekali Cia Giok-lun ternyata juga sudah menyandak mereka. Dengan berlari seringan kapas melayang, Cia Giok-lun sudah berada di belakang mereka. Tanpa terasa mereka sudah berlari beberapa li jauhnya, namun mereka tetap berjajar tiga. Kelihatannya Cia Giok-lun berlari tanpa mengeluarkan tenaga sedikit pun, masih tersenyum-senyum lagi.

Sejak munculnya tukang jahit samaran Giok-jiu-ling-long, Cia Giok-lun sudah dipulihkan keadaannya. Kesehatan maupun wajahnya sudah sembuh dan normal kembali. Ilmu silat serta lwekangnya sudah pulih seperti sedia kala.

Dengan kekuatan gabungan mereka bertiga, apakah cukup menghadapi Bu-cap-sah yang dibantu golok kilat pengawal Persia itu?

------------------------------ooo00ooo-----------------------------

Manfaat Ginkang yang paling utama bukan untuk menyerang musuh, tapi untuk mundur dan bertahan. Peduli dalam pertarungan macam apa pun, kegunaan mundur dan bertahan pasti tidak kalah besar artinya dibanding menyerang, karena kekuatan untuk berputar dan berkelit kadang kala jauh lebih besar daripada tenaga menyerang.

Demikian pula di saat pengembangan Ginkang. Karena tenaga, napas dan kondisi tubuh merupakan syarat penting yang menentukan, pasti tidak kalah besar artinya dibanding kalau seseorang sedang melancarkan jurus silat macam apa pun.

Sembari berlari Cia Giok-lun masih dapat membuka suara dengan sikap wajar, "Kita pasti tak dapat mengejarnya. Kuda penarik kereta itu kuda pilihan, bukan saja terlatih baik, daya tahannya juga cukup kuat dan lama. Waktu duduk di dalam kereta tadi, diam-diam sudah kuperhitungkan betapa pesat kecepatan lari keempat ekor kuda itu."

Sudah tentu untuk bicara Cia Giok-lun juga harus berganti napas, "Sejak di mulai, kita memang berlari lebih cepat dari keempat ekor kuda itu, maka dalam waktu singkat kelihatannya jarak makin dekat, kita seolah bisa mengejarnya. Namun dalam jarak yang jauh, kita akan makin lambat dan lemah, mereka justru berlari lebih kencang, mantap dan semangat."

Manusia adalah makhluk unggul di antara segala makhluk yang hidup di dunia, makhluk yang punya daya pikir. Manusia memperalat, menunggang, memecut dan menendang kuda, sementara orang malah ada yang makan daging kuda, tulang kuda juga dimanfaatkan, demikian pula kulit kuda untuk sepatu, tas dan lain sebagainya, tapi dalam hal adu lari temyata kuda lebih unggul dibanding manusia.

Di situkah letak kekurangan manusia? Ataukah berarti untuk menyindir? Tiada orang yang bisa memberi jawaban tentang pertanyaan ini.

Ma Ji-liong tahu perhitungan Cia Giok-lun tidak keliru, tapi ia tetap mengejar, tidak mengejar juga harus dikejar. Itulah jawaban. Karena manusia punya akal sehat, tekad yang bulat dan teguh, mempunyai keyakinan besar meski tahu dirinya tak unggul, tapi tetap akan mengejarnya. Itulah senjata manusia, karena senjata yang ampuh ini maka manusia bisa mempertahankan kelangsungan hidupnya turun-temurun.

------------------------------ooo00ooo-----------------------------

Mereka memang tidak mampu menyusul kereta kuda itu. Kereta itu makin jauh dan tak kelihatan lagi. Namun begitu derap kaki kuda dan suara roda kereta di depan itu lenyap dari pendengaran, dari belakang justru menyusul derap kaki kuda dan roda kereta yang berlari kencang bagai mengejar setan, makin lama makin dekat. Ternyata Ji Liok menyusul atau tepatnya mengejar dengan sebuah kereta lain. Ji Liok memang berangkat lebih lambat. Setelah memperoleh kereta, entah dari mana, segera ia memburu dengan kencang. Kereta yang dibawa Ji Liok ternyata lebih panjang dengan enam roda ditarik empat ekor kuda juga.

Lekas sekali ia sudah menyusul tiba serta suruh Ma Ji-liong, Thiat Tin-thian dan Cia Giok-lun naik ke atas kereta, kejap lain kereta besar itu sudah mencongklang ke depan pula.

"Kita pasti dapat menyusul kereta itu ke tempat tujuannya," demikian kata Ji Liok penuh keyakinan. "Jalan ini lurus dan tidak bercabang, hanya satu jalan ini yang bisa mereka tempuh."

"Jalan ini menuju ke mana?" tanya Cia Giok-lun.

"Ke lembah mati," sahut Ji Liok.

Memangnya kenapa dan mau apa setelah mereka mengejar ke lembah mati? Kalau mereka bukan tandingan Bu-cap-sah, setiba di tempat tujuan bukankah hanya akan menyerahkan jiwa belaka? Tapi mereka tidak peduli, mereka tidak mau berpikir soal mati atau hidup.

Sekarang Cia Giok-lun dan Thiat Tin-thian seperti dihinggapi atau tepatnya ketularan tabiat Ma Ji -liong, bekerja menurut prinsip, tidak peduli akibatnya.

Sikap Ma Ji-liong bisa dijelaskan dengan apa yang diucapkan oleh Cia Giok-lun, "Apa pun yang akan terjadi, karena bukan setiap orang dapat pergi ke lembah mati, kalau kita bisa pergi ke sana, mati pun tidak perlu dibuat kecewa."

------------------------------ooo00ooo-----------------------------

Siapa pun tidak pernah ke lembah mati, lembah yang tidak pernah dihuni manusia maupun binatang, maka tiada orang tahu di mana letak sesungguhnya lembah mati, seperti apa pula lembah mati itu?

Kini tiap orang bisa membayangkan, menduga-duga, tempat itu bukan lagi daerah belukar, gersang dan liar, daerah yang tak pernah dijelajah manusia. Dan di sana ada gunung emas, gudang emas yang belum pernah dibayangkan manusia meski dalam mimpi.

Emas murni akan merubah segala bentuk daerah itu dari wajahnya yang semula. Sudah banyak pemuda gagah sehat dan kemaruk harta ditarik ke tempat itu, ikut membangun istana megah yang serba antik dan kaya. Itulah bayangan yang terjangkau oleh akal sehat mereka, setiap orang pasti berpikir demikian.

Sayang sekali dugaan mereka keliru, mereka termakan tipu Bu-cap-sah, kenyataan tidaklah demikian.

Tidak ada komentar: