Harkat Pendekar 36-Tamat
HARKAT PENDEKAR
Saduran : Gan K. H
Bagian 36 - Tamat
Lembah mati tetap lembah mati, tiada perubahan. Di sini tiada emas, tiada istana, apa pun tidak ada.
Secara misterius kereta kuda yang mereka kejar lenyap tak keruan parannya begitu masuk ke mulut lembah mati, lenyap tanpa bekas.
-----------------------ooo00ooo----------------------
Fajar menyingsing, sang surya telah terbit. Sinar pagi menyoroti batu-batu hitam yang kelihatan mengkilap, terang gemerdep seperti sinar emas. Sayang batu hitam tetap batu hitam,tidak bisa berubah jadi emas. Betapa pun terang sinar gemerdep yang dipantulkan oleh pancaran sinar surya di permukaan batu bundar itu, ia tetap batu hitam yang tiada harganya, bukan emas murni yang dapat membuat manusia kaya, juga dapat membuat manusia edan.
Di manakah adanya emas murni di dalam lembah ini?
Kalau di sini tidak ada emas, dengan apa Bu-cap-sah menarik pemuda-pemuda sebanyak itu? Kalau di sini ada emas seperti yang diceritakan Bu-cap-sah, kenapa pasir emas pun tidak kelihatan?
-----------------------ooo00ooo----------------------
Yang menarik perhatian Ma Ji-liong bukan emas juga bukan batu hitam, tapi Toa-hoan. Ia yakin bila kereta itu ditemukan, mereka pasti dapat menemukan Toa-hoan juga.
Kereta kuda itu lari ke mana? Padahal kereta besar dengan empat kuda penariknya bukan barang kecil yang bisa diangkat lalu dimasukkan dan disembunyikan di dalam kantong, bagaimana mungkin dalam sekejap mata kereta kuda itu lenyap seperti kabut dihembus angin lalu?
"Di bawah," mendadak Ma Ji-liong menarik kesimpulan.
"Apa yang di bawah?" tanya Cia Giok-lun.
"Kereta kuda, emas, manusia, semua ada di bawah," demikian ucap Ma Ji-liong. "Mereka pasti membangun istana di bawah tanah, istana yang besar dan megah."
lni bukan khayalan. Emas dapat menghancurkan segala persoalan yang semula tidak bisa dihancurkan. Dengan emas bisa melakukan perbuatan apa pun yang semula tidak bisa dilakukan, dengan emas bisa mengendalikan setan untuk mengerjakan sesuatu yang diinginkan.
Kalau betul di tempat ini ada lubang rahasia, di antara mereka yang mampu menemukan rahasianya hanyalah Ji Liok. Tapi Ji Liok menggelengkan kepala. "Kau keliru," katanya. "Mereka pasti tak di bawah tanah, tapi mereka di atas."
"Di atas?" Ma Ji-liong menoleh lalu mengangkat kepala memandang ke atas menurut arah pandangan Ji Liok, maka matanya tertumbuk pada golok melengkung yang terselip di ikat pinggang warna merah lombok itu, golok melengkung itu gemerdep ditingkah sinar surya pagi.
Tampak pengawal Persia itu berdiri merentangkan kedua kakinya sambil bertolak pinggang, berdiri di batu cadas yang bergantung di dinding gunung di atas mulut lembah. Pengawal Persia itu menyeringai sambil melambaikan tangan kepadanya.
"Ma Ji-liong," suara pengawal Persia itu serak lagi keras, bergema di dalam lembah memantulkan gelombang suara tinggi, "Siapa yang bernama Ma Ji-liong, kalau kau ingin mencari Toa-hoan, ikutlah aku. Kalau ada orang yang ikut ke mari, Toa-hoan akan segera kupenggal kepalanya."
-----------------------ooo00ooo----------------------
Cuaca cerah, langit membiru, sinar surya kuning keemasan. Kehidupan begini semarak, siapa yang rela meninggalkan dunia seindah ini?
Namun ada sejenis manusia di dunia ini, berani menyerempet bahaya, melakukan apa yang dia ingin lakukan meski jiwa terancam bahaya. Karena dia beranggapan kerja ini harus dia lakukan, meski berkorban jiwa sekalipun juga takkan mundur, tetap maju dan berani menghadapi ancaman apa pun.
Ma Ji-liong adalah simbol manusia jenis ini. Perlahan ia membalikkan badan menghadapi para kawannya, sudah tentu kawan-kawannya paham dan mengerti orang macam apa sebetulnya Ma Ji-liong.
Sebetulnya Thiat Tin-thian tidak ingin bicara, karena apa pun yang ia katakan tidak akan ada gunanya. Tapi ada kalanya sepatah kata pun harus diucapkan meski dalam keadaan yang paling buruk, sepatah kata pesan, "Dia orang gila, membunuh orang tidak pakai alasan."
"Aku tahu," sahut Ma Ji-liong memanggut.
"Sekarang ia punya alasan untuk membunuh kau," tegas suara Thiat Tin-thian. "Kau pernah menipunya, maka ia takkan mengampunimu. Setelah ia membunuh kau, ia tetap akan membunuh Toa-hoan juga."
" Aku tahu," kembali Ma Ji-liong mengiakan.
"Kau tetap akan memenuhi panggilannya?" Thiat Tin-thian memekik.
Ma Ji-liong menatapnya bulat-bulat, "Jikalau kau menjadi aku, kau penuhi tidak panggilannya?"
Thiat Tin-thian menghela napas, sikapnya tampak amat gregetan, katanya, "Aku akan memenuhi panggilannya, aku akan pergi menemuinya." Maju beberapa langkah, ia menggenggam pundak Ma Ji-liong, Ji Liok juga mendekat menggenggam pundak yang lain, tanpa bicara mereka melengos dan menyingkir.
Mereka tahu Cia Giok-lun pasti ingin bicara juga. Ada pesan yang perlu dibicarakan dengan Ma Ji-liong. Mereka tidak mau mendengar, juga tidak tega mendengarnya.
-----------------------ooo00ooo----------------------
Sinar matahari yang merambat dari balik bukit kebetulan menyorot wajah Cia Giok-lun. Cahaya mentari begitu cemerlang, namun wajahnya tampak begitu pucat.
"Aku juga tahu dan maklum kau pasti pergi menunaikan kewajibanmu," kali ini Cia Giok-lun tidak menangis, suaranya malah tenang dan tertawa sendu. "Jika aku yang jatuh di tangan mereka, kau juga akan berusaha menolong aku. Tapi sebelum kau pergi, kuharap kau tahu dan mengerti akan satu hal."
"Tentang hal apa?" tanya Ma Ji-liong melengak.
"Perduli kau mati atau hidup, kembali atau tidak, perduli siapa yang kau cintai, sudah pasti aku adalah milikmu, milikmu tunggal," kata Cia Giok-lun dengan tertawa manis. "Kau sudah melihat tubuhku, pernahkah kau bertanya pada dirimu sendiri, kecuali kau, apakah aku boleh menikah dengan laki-laki lain?"
Ji-liong sudah pergi tanpa meninggalkan pesan sepatah kata pun. Ia tak bisa menjawab pertanyaan Cia Giok-lun, tak berani menjawab, tak tega melihat betapa pedih senyum tawanya.
Setelah Ma Ji-liong pergi, cuaca tetap cerah ceria, cahaya mentari makin benderang, batu-batu hitam yang bertaburan di tanah tetap berkilauan, dunia takkan berubah hanya lantaran mati hidup seseorang. Sudah cukup lama Ma Ji-liong pergi, belum juga kelihatan ia kembali.
"Kalian pulang saja," mendadak Cia Giok-lun bersuara.
"Kau suruh kami pulang?" tanya Thiat Tin-thian. "Kenapa kami harus pulang?
"Kalian tahu Ji-liong tidak akan kembali," demikian sahut Cia Giok-lun. "Lalu untuk apa kalian menunggunya di sini? Apa gunanya kalian menunggu lebih lama di sini?"
"Ada gunanya!" mendadak Ji Liok bersuara keras.
"Apa gunanya?" tanya Cia Giok-lun.
"Aku sudah menemukan," sahut Ji Liok.
"Apa yang kau temukan?" tanya Cia Giok-lun pula.
Ji Liok tidak menjawab dengan mulut, tapi menjawab dengan aksi. Ia sudah menemukan rahasia lembah mati ini, sudah menemukan kunci rahasia untuk masuk ke dalam lembah mati.
-----------------------ooo00ooo----------------------
Batu-batu hitam yang bertaburan di tanah itu disinari cahaya matahari, semua berkilauan. Ribuan atau laksaan batu-batu hitam itu kelihatannya sama bentuk dan warnanya.
Padahal ada perbedaannya.
Jika punya pengalaman dan pandangan tajam seperti Ji Liok, sejenak diperhatikan dengan seksama, pasti dapat ditemukan sesuatu yang ganjil di antara laksaan batu-batu hitam itu, sedikitnya ada empat puluh sembilan butir batu di antaranya yang bentuk dan warnanya agak berbeda.
Ma Ji-liong memang tidak salah. Rahasia lembah mati memang berada di bawah tanah, mulut lubang rahasia di bawah tanah itu memang betul terletak di lingkaran ke empat puluh sembilan batu yang berbeda itu.
Sayang sekali, Ji Liok menemukan rahasia lembah mati setelah Ma Ji-liong pergi, ia tidak tahu dan takkan melihat kebenaran dugaannya.
-----------------------ooo00ooo----------------------
Gunung belukar jalanan pun berbahaya, tanah gersang, pohon dan rumput tidak tumbuh di sini. Hanya setiap musim semi saja rumput liar bisa tumbuh bersemi.
Tanpa bicara Ma Ji-liong mengikuti langkah pengawal Persia itu naik turun batu-batu gunung yang terjal. Entah ke mana dirinya akan dibawa? Entah berapa jauh mereka akan berjalan? Tapi dia sudah tahu di mana sekarang kereta kuda yang mereka kejar tadi.
Di luar lembah tadi mereka mencari jejak kereta, ternyata kereta ini tidak lenyap seperti yang mereka duga, juga tidak masuk ke dalam lembah, tapi hanya berputar mengitari sebuah gundukan batu besar dan tepatnya berada di tanah belukar di pegunungan luar sebelah pinggir jurang. Siapa pun pasti tidak menyangka di atas pegunungan belukar yang tidak pernah dijelajah manusia ini, ternyata ada jalan setapak yang cukup lebar untuk jalan sebuah kereta. Di medan pegunungan ini, kereta biasa pasti takkan mungkin berjalan di tempat seperti ini, namun kenyataannya kereta besar dan mewah itu dapat berjalan di semak belukar pegunungan seperti ini, adalah pantas kalau orang merasa kagum dan takjub. Agaknya pembuatan kereta mewah itu memang sudah dirancang dengan baik, kecepatan larinya sudah diperhitungkan secara khusus, maka dengan leluasa kereta ini bisa berlari kencang di tanah pegunungan yang tidak rata, kalau kereta biasa tentu sudah terjungkal.
Tapi di ujung jalan pegunungan yang belukar ini tidak ada istana mewah seperti yang mereka bayangkan semula. Bentuk rumah umumnya juga tidak kelihatan, yang ada hanyalah sebuah lubang raksasa yang kelihatannya seperti gua yang dalam, kereta besar itu pun bisa masuk dengan leluasa.
Gua ini menghadap ke barat maka sinar matahari tak dapat menyorot ke dalam gua. Setelah berada di dalam gua, Ji-liong dapat melihat keadaan gua besar yang kosong melompong ini. Tiada orang di sini kecuali Bu-cap-sah seorang diri yang berdiri di ambang gua sambil menggendong kedua tangannya, tampak santai sikapnya. Sekarang Ma Ji-liong melihat dari dekat orang ini, berhadapan langsung dengan Bu-cap-sah.
Bu-cap-sah juga mengawasinya, dua orang berdiri berhadapan saling bertatap muka. Lama sekali baru tampak perubahan rona muka Bu-cap-sah yang kaku dan pucat itu, secercah senyum yang ganjil menghias wajahnya. Mendadak ia mengeluarkan perkataan yang tak diduga oleh siapa pun termasuk Ma Ji-liong.
Bu-cap-sah bertanya kepada Ma Ji-liong, "Apakah sandiwara yang kita perankan bersama ini belum juga berakhir?"
Di bawah tanah tiada emas, tiada istana, kereta kuda itu pun tidak kelihatan bayangannya.
Mulut lorong itu memang dibangun secara bagus oleh tangan seorang ahli, tapi keadaan di bawah jauh lebih sempit dan buruk dibanding yang pernah mereka pikirkan.
Lorong yang berbentuk kerucut itu tembus ke sebuah kamar batu. Di kamar bawah tanah itu hanya ada sebuah ranjang, sebuah meja, satu kursi, semua terbuat dari tanah, bagian luar atau lapisan luarnya semua dilapisi batu-batu hitam bulat yang ditata sedemikian rupa bagusnya.
Di kamar bawah tanah inikah tempat tinggal Bu-cap-sah?
Bu-cap-sah adalah pendekar aneh, tokoh silat yang disegani kaum persilatan tanpa tandingan pada masa jayanya dulu, mungkinkah ia bertempat tinggal di kamar batu seperti ini?
Siapa saja yang masuk ke kamar ini pasti kaget, heran, kecewa dan tidak percaya. Tapi bila mau berpikir secara cermat, segera akan paham bahwa tempat ini memang sejak mula sudah begini keadaannya.
Kamar batu ini terletak di dalam lembah mati, lembah mati yang dikenal orang luar sebagai daerah tandus gersang, tiada kehidupan di lembah ini. Bu-cap-sah adalah manusia biasa, bukan malaikat bukan dewa. Walau ia punya otak cerdik, punya tekad, keteguhan iman, keprigelan tangan untuk membuat lorong rahasia sebuah kamar batu di bawah ini, namun secara gaib tak mungkin menciptakan sebuah ranjang batu begitu saja.
Karena Bu-cap-sah ingin tidur di atas ranjang, maka ia harus membikin sendiri dari tanah batu hitam, karena di sini hanya ada tanah batu hitam. Hal ini mudah dimengerti oleh slapa pun.
Hanya ada satu persoalan yang membuat mereka tidak habis pikir, yaitu anak buah yang berjumlah puluhan dengan tubuh kekar gagah, cekatan lagi, bagaimana Bu-cap-sah dapat melatih pemuda-pemuda sebanyak itu di tempat seperti ini? Dari mana ia menarik atau menggaruk pemuda-pemuda sebanyak itu? Lalu di mana pula pemuda-pemuda sebanyak itu tinggal?
Lebih aneh lagi, Bu-cap-sah ternyata tidak mampu membuat atau mendapatkan sebuah ranjang yang normal, ranjang sesungguhnya, entah terbuat dari besi atau kayu. Demikian pula meja kursi yang lumrah juga tidak mampu dibuatnya sendiri. Menarik perhatian pula bahwa di atas ranjang ada selimut, di atas meja juga ada lampu.
Selimut tebal berbulu warna merah di atas ranjang itu ternyata buatan toko terkenal di kotaraja, terbuat dari sutera dan kapas yang kering empuk. Bagian muka selimut tebal itu disulam dengan benang warna-warni menggambarkan burung bangau dihiasi kembang warna-warni.
Lampu di atas meja tanah itu tidak mudah ditemukan pada keluarga biasa, kecuali hartawan yang berkantong tebal, karena lampu kaca itu buatan Persia yang tinggi harganya, lampu kaca yang menggunakan minyak kayu.
Umpama betul di sini tidak ada apa-apa, tiada emas tiada perak, ranjang meja kursi pun terbuat dari tanah, lalu dari mana datangnya selimut apik dan lampu kaca itu?
------------------------ooo00ooo-------------------------
Tiap kali keluar pintu Ji Liok selalu membawa batu ketikan untuk menyulut api, lekas sekali ia sudah menyulut lampu minyak di atas meja. Begitu lampu menyala cahayanya menerangi kamar batu yang lebarnya lima kali lima meter. Mendadak Cia Giok-lun menjerit kaget takut sambil mendekap mulut, langkahnya mundur mendekati Thiat Tin-thian, waktu Thiat Tin-thian menoleh ke arah ranjang, ia pun menyurut kaget. Ia berpengalaman luas, lama berkecimpung di Kangouw, julukannya saja tangan besi, nyali besi, maksudnya sebagai orang tabah pemberani, tak urung kali ini ia pun menjerit tertahan.
Di kamar batu itu mereka melihat sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Mereka melihat seorang. Sesuai namanya, lembah mati ini memang tidak pernah dihuni manusia maupun hewan, memang sukar mempertahankan hidup di tempat yang tandus lagi gersang seperti ini, apalagi di kamar bawah tanah yang lembab ini. Tapi kenyataannya seseorang sedang tidur nyenyak di atas ranjang, tidur mungkur menghadap dinding, sekujur badannya tertutup selimut, hanya kelihatan kepalanya. Entah sengaja atau memang terlalu lelap orang ini tidur, kehadiran mereka yang banyak menimbulkan suara ternyata tidak membuatnya terjaga.
Karena orang itu tidur mungkur ke dalam, sulit bagi mereka melihat tampangnya, yang kelihatan hanya rambut kepalanya yang sudah setengah ubanan di luar selimut berserakan diatas bantal.
Dengan menebalkan keberaniannya, Thiat Tin-thian memburu maju mendahului Cia Giok-lun dan Ji Liok, dua tindak di depan ranjang ia berhenti dan bertanya dengan suara menggelegar, "Siapa kau?"
Kecuali orang tuli, umpama orang pikun yang lagi tidur nyenyak juga pasti terjaga bangun oleh suara Thiat Tin-thian yang menggeledek itu.
Tapi orang itu tetap tidur lelap, tidak bergerak sedikit pun. Maka dapat disimpulkan sekarang, kalau orang ini bukan tuli, mungkin sesosok mayat yang sudah kaku dingin, lalu siapakah orang yang sudah menjadi mayat ini?
Bagaimana mungkin di tempat yang tersembunyi ini ada manusia mati?
Thiat Tin-thian juga manusia biasa, bukan manusia hebat, tapi nyalinya memang besar. Mendadak ia melangkah maju sambil mengulurkan tangan menyingkap selimut tebal itu.
Dua orang kembali menjerit kaget dan ngeri. Cia Giok-lun segera melengos, Thiat Tin-thian juga menyurut mundur dengan terbelalak. Yang tidur nyenyak di bawah selimut bukan lagi manusia lumrah, juga tidak benar kalau dianggap mayat, tapi lebih tepat kalau disebut jerangkong. Kecuali rambut kepalanya yang masih kelihatan utuh, sekujur badan orang ini sudah tinggal kerangka tulangnya saja, pakaiannya juga sudah lapuk. Di atas kerangka, tepatnya di bagian dada, sebatang bambu sebesar ibu jari yang runcing ujung depannya, menancap dari punggung menembus jantung hingga muncul di depan dada.
------------------------ooo00ooo-------------------------
Melihat keadaan posisi tidur kerangka tulang manusia ini, jelas orang ini dibokong dari belakang waktu sedang tidur, jelasnya dibunuh orang dengan maksud jahat, maka tidak tampak adanya tanda-tanda perlawanan atau dengan kata lain si korban mati seketika tanpa meronta, sekali tusuk jiwa melayang.
Pembunuh keji yang membokong itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, serangan telak yang lihai dan kejam. Jika gerak-geriknya tidak lincah cekatan, tentu pembunuh ini sudah apal seluk-beluk tempat ini, malah mungkin kehadirannya di tempat ini tidak pemah dicurigai oleh sang korban, maka sang korban tidak siaga dan pembunuh itu pun dapat turun tangan dengan leluasa.
Siapakah pembunuh itu? Kenapa Bu-cap-sah meninggalkan sesosok mayat di atas ranjangnya? Siapakah korban pembunuhan ini?
Akhirnya Cia Giok-lun berani mendekat. Selang beberapa kejap, baru Cia Giok-lun dapat berbicara, "Orang atau jerangkong ini adalah Bu-cap-sah."
Thiat Tin-thian dan Ji Liok berjingkat kaget seperti disengat kala, dengan melenggong mereka mengawasi Cia Giok-lun. "Kau bilang orang yang sudah mati ini adalah Bu-cap-sah?" tanya Thiat Tin-thian.
"Ya, pasti benar," sahut Cia Giok-lun penuh keyakinan.
"Dari mana kau tahu kalau orang ini Bu-cap-sah?" tanya Thiat Tin-thian.
"Bu-cap-sah pernah berkunjung ke Bik-giok-san-ceng," sahut Cia Giok-lun.
"Waktu Bu-cap-sah berkunjung ke Bik-giok-san-ceng, kau sudah lahir?"
"Belum."
Thiat Tin-thian menghela napas, katanya dengan senyum getir, "Waktu itu kau belum lahir, bagaimana kau yakin kalau jerangkong ini adalah Bu-cap-sah?"
Ji Liok menimbrung, "Umpama kata kau pernah melihatnya, tapi sekarang setelah dia mati begini, bagaimana kau dapat mengenali dirinya?"
Memang tak mudah untuk mengenali tulang kerangka manusia, sukar membuktikan siapa nama korban ini, berapa usianya dan bagaimana riwayat hidupnya.
Tapi Cia Giok-lun tenang-tenang saja, ia amat yakin bahwa pendapatnya pasti benar, mungkin ia punya alasan atau bukti kenapa berani berkata demikian.
"Sejak dilahirkan belum pernah aku melihat Bu-cap-sah, tapi aku bisa membuktikan bahwa orang yang sudah mati ini adalah Bu-cap-sah."
"Bagaimana kau bisa membuktikannya?"
"Ibu sering bercerita tentang sepak terjang dan seluk-beluk kehidupannya," demikian tutur Cia Giok-lun. "Berdasarkan satu di antara keterangan ibuku itu, aku dapat mengenal siapa korban pembunuhan keji ini. Maksudku, korban pembunuhan yang tinggal tulang kerangka ini betul adalah Bu-cap-sah."
"Satu keterangan?" seru Ji Liok. "Satu keterangan apa?"
"Tentang giginya," ujar Cia Giok-lun.
"Tentang giginya? Kenapa giginya?" tanya Ji Liok pula.
"Betul, tentang giginya," ujar Cia Giok-lun. "Wajah seseorang bisa berubah, dimakan umur umpamanya, tapi giginya pasti takkan berubah. Apalagi pertumbuhan gigi setiap orang tidak sama satu dengan yang lain."
Gigi juga pasti takkan bisa membusuk seperti tulang-tulang manusia lainnya.
Cia Giok-lun bercerita lebih lanjut, "Ibuku sering bilang, manusia yang giginya tumbuh paling aneh di dunia ini mungkin hanya Bu-cap-sah saja."
Ji Liok dan Thiat Tin-thian maju lebih dekat, dengan seksama mereka perhatikan dan periksa gigi tulang kerangka itu, namun susah membedakan di mana letak perbedaan atau keanehan gigi kerangka orang ini di waktu masih hidup dulu.
Karena tidak mengerti, Thiat Tin-thian bertanya, "Apa yang aneh pada giginya?"
"Hitunglah giginya itu, jumlahnya empat lebih banyak dibanding gigi manusia umumnya," demikian Cia Giok-lun memberi keterangan. "Dia memiliki tiga puluh delapan gigi, ditambah dua lagi gigi silang di bagian belakang, jumlah seluruhnya ada empat puluh, betul tidak?" Lalu ia bertanya pada Thiat Tin-thian, "Pernah kau melihat manusia yang punya empat puluh gigi?"
Sudah tentu tidak pernah, Thiat Tin-thian tahu umumnya manusia hanya memiliki tiga puluh dua buah gigi, demikian pula Ji Liok juga tahu tentang hal ini. Seperti setiap manusia memiliki dua mata, satu hidung, dua telinga, dua kaki, dua tangan dengan masing-masing sepuluh jari.
Kembali Ji Liok dan Thiat Tin-thian menghitung, memang benar gigi tulang kerangka ini berjumlah empat puluh.
"Aku sendiri sudah nlenghitung dua kali," kata Cia Giok-lun. "Oleh karena itu, aku berani bertaruh bahwa tulang kerangka ini adalah Bu-cap-sah."
------------------------ooo00ooo-------------------------
Thiat Tin-thian menjublek, Ji Liok juga melongo, lama sekali mereka tidak buka suara.
"Kalau betul orang yang sudah mati ini adalah Bu-cap-sah," hampir berbareng mereka bertanya. "Lalu siapakah Bu-cap-sah yang berlagak itu?"
"Bu-cap-sah yang palsu," sahut Cia Giok-lun tenang.
"Palsu?" Ji Liok dan Thiat Tin-thian menjerit bersama.
"Bahwasanya di tempat ini tidak ada emas, tidak mungkin Bu-cap-sah mengundang orang sebanyak ini untuk menjadi kacungnya segala, maka berani kupastikan bahwa Bu-cap-sah yang satu ini adalah palsu," ujar Cia Giok-lun, lalu ia menambahkan, "Apalagi tiada orang pernah mengenal atau melihat Bu-cap-sah, orang sukar membedakan tulen atau palsu, setiap orang mungkin saja memalsu dirinya."
"Mengapa harus memalsu Bu-cap-sah?” desak Thiat Tin-thian.
Cia Giok-lun belum menjawab, mendadak mereka mendengar seorang lain berbicara.
Di dalam kamar batu di bawah tanah itu hanya ada tiga orang, suara yang mereka dengar pasti diucapkan oleh mulut seseorang, jelasnya oleh orang keempat. Suaranya perlahan, kedengarannya dari tempat yang amat jauh, tapi mereka mendengar dengan jelas. Terdengar orang keempat itu berkata, "Bukankah sudah saatnya sandiwara ini berakhir?"
Setiap orang harus bernapas, kamar di bawah tanah ini pun perlu udara segar, maka dibuat sebuah lubang angin di langit-langit kamar. Karena adanya lubang angin yang tembus ke kamar bawah tanah ini, maka mayat Bu-cap-sah yang meninggal entah kapan sudah membusuk sejak lama, kini tinggal kerangkanya saja.
Sebatang bambu besar dipotong sepanjang yang dikehendaki, setiap ruas bambu itu dibikin lubang, bambu besar yang sudah berlubang itu pun dijadikan lubang angin yang menyerap hawa segar di luar ke dalam kamar batu di bawah tanah ini. Suara pembicaraan yang mereka dengar datang dari lubang angin di langit-langit kamar itu.
Pertama kali mendengar suara itu, mereka sukar membedakan orangnya, tapi menyusul terdengar pula suara orang bertanya dengan nada kaget dan heran, "Sandiwara? Siapa yang main sandiwara? Main sandiwara apa?"
Suara orang ini cukup lantang, mereka cukup kenal suara itu, karena yang bicara adalah Ma Ji-liong. Dengan siapa Ma Ji-liong berbicara?
"Sudah tentu kau dan aku yang bermain sandiwara."
"Jadi kau bukan Bu-cap-sah?" tanya Ma Ji-liong.
"Siapa bilang aku Bu-cap-sah," orang itu tertawa. “Kau membayar lima ribu tahil perak supaya aku berperan sebagai Bu-cap-sah, kenapa kau pura-pura pikun malah?"
“Aku menyuruh kau berperan sebagai Bu-cap-sah dengan bayaran lima ribu tahil perak?" melengking suara Ma Ji-liong, heran dan gusar.
"Siapa lagi kalau bukan kau."
"Kenapa aku harus bersandiwara segala?"
"Supaya orang banyak beranggapan kau sebagai manusia terbaik yang tiada bandingan di kolong langit, sebaliknya aku adalah tokoh jahat yang tiada bandingan di jagad. Sengaja permainan sandiwara ini dibuat ribut dan ruwet, rencanca telah kau atur sedemikian rupa sehingga di tengah kekacauan, mereka saling gontok dan bunuh. Setelah mencapai babak akhir, kau memberi kesempatan kepada pengawal Persia itu untuk membabat kepala mereka dengan golok melengkungnya, dalam permainan ini aku kan hanya boneka belaka."
"Ke mana orang-orang yang membongkar rumah-rumah penduduk itu?"
"Lho, mereka kan orang-orangmu, siapa yang tidak tahu Thian-ma-tong punya duit, besar pengaruhnya, pekerjaan apa yang tidak bisa dilakukan orang-orang Thian-ma-tong?" dengan tertawa orang itu berkata lebih lanjut. "Sungguh aku amat kagum padamu, entah bagaimana kau dapat merangkai cerita khayal itu, tapi mereka memang percaya bahwa di lembah mati ini ada emas, kau memang seorang cerdik."
Ma Ji-liong bungkam.
Dengan tertawa orang itu berkata pula, "Lebih lucu lagi, aku ini orang biasa, orang lemah, memikul air segantang juga tidak kuat, maka kau buatkan alat jepretan untuk menyambitkan batu hitam, kau suruh aku menyimpan alat jepretan itu dalam lengan baju, supaya orang beranggapan aku memiliki tenaga luar biasa, memiliki kepandaian menimpuk yang tepat dan telak."
Lama sekali baru terdengar Ma Ji-liong bertanya, "Apa betul kau tidak pandai main silat?"
"Main silat sih bisa sedikit, gerakan cakar kucing saja, tapi kalau dibanding kau, Pendekar Besar Ma Ji-liong, jelas bedanya seperti langit dan bumi."
Ma Ji-liong manggut-manggut, "Cara bagaimana kau dapat mendengarkan percakapan kami di dalam toko?"
"Mendengar percakapan apa?" orang itu balas bertanya. "Sepatah kata pun aku tidak mendengar percakapan kalian."
"Jadi bukan kau yang berbicara di luar waktu itu?"
"Sudah tentu bukan."
"Memangnya siapa kalau bukan kau?"
"Mana aku tahu, yang benar tidak ada orang bicara di luar waktu itu." Orang itu membela diri, "Aku jadi heran. Kecuali pemain watak yang ulung, kau juga sebagai pengatur laku dalam permainan sandiwara ini, seluk-beluk organisasinya juga hanya kau yang tahu. Aku hanya pemain kecil, apa yang kutahu tidak sebanyak yang kau kuasai." Setelah menghela napas, orang itu menyambung, "Apa pun yang telah terjadi, sandiwara ini harus segera diakhiri, nona Toa-hoan dan Hwesio gundul itu berada di dalam gua, lekas kau ajak mereka keluar saja. Kali ini kau berhasil berperan sebagai orang gagah, pendekar besar yang membela dan menolong gadis cantik, Hwesio gundul musuhmu itu pasti akan takluk dan kagum serta tunduk lahir batin kepadamu. Aku hanya pemain bayaran, sebab dan akibat permainan sandiwara ini tiada sangkut pautnya dengan aku, namun lima ribu tahil adalah imbalan yang kurang setimpal untuk perananku. Kalau kau berhati baik, tolong tambah bayaranku......"
Belum habis ia bicara, suaranya mendadak terhenti, tepat di saat suaranya terputus, terdengarlah suara lain yang kedengarannya aneh, "Cres", hanya sekali dan pendek.
Lalu keadaan menjadi hening, pembicaraan terhenti, keadaan sepi lengang.
----------------------------ooo00ooo----------------------------
Suasana di kamar bawah tanah juga sepi, tidak ada orang bicara, sepatah kata pun tiada yang bersuara.
Ma Ji-liong adalah kawan mereka, sekarang terjadi peristiwa seperti ini. Dari pembicaraan di atas, mereka dapat mengambil kesimpulan, duduk persoalan peristiwa ini sudah gamblang, setelah kasus ini terbongkar, apa yang bisa mereka lakukan? Apa yang bisa mereka katakan?
Entah berapa lama kemudian, Ji Liok menarik napas panjang, katanya dengan suara rawan, "Sungguh tak nyana, Ma Ji-liong ternyata orang demikian."
Siapa pun sukar menduga dan meraba. Kalau mereka tidak menemukan kamar bawah tanah ini, mendengar percakapan itu dengan jelas, mereka pasti terus dikelabui seumur hidup. Untunglah Thian Maha Kuasa, Maha Adil, memberi ganjaran setimpal kepada setiap umatnya yang melakukan kejahatan.
Mendadak Thiat Tin-thian berkata, "Masih ada persoalan yang belum kupahami."
"Persoalan apa yang tak kau pahami?" tanya Cia Giok-lun.
"Bu-cap-sah palsu tadi bilang dia tidak bicara atau mendengar percakapan kita di dalam rumah, padahal kami mendengar jelas apa yang dikatakan Bu-cap-sah, lalu siapa yang bicara?"
"Kalau dugaanku tidak meleset," demikian kata Ji Liok. "Pasti yang bicara seorang yang berada di dalam toko juga."
"Tapi adakah orang di dalam toko yang bicara waktu itu?" Thiat Tin-thian balas bertanya.
"Memang tidak ada yang membuka mulut, tapi ada sementara orang tanpa buka mulut juga bisa berbicara," Ji Liok coba meyakinkan mereka.
"Orang macam apa yang dapat bicara tanpa pakai mulut?" tanya Cia Giok-lun.
"Orang yang pandai ilmu Hok-gi-sut (Ilmu bicara dengan perut)," ucap Ji Liok. "Aku pernah menyaksikan orang yang dapat bicara dengan perut." (Sampai sekarang masih ada orang yang mahir ilmu bicara dengan perut, terutama dalang 'boneka bicara', ilmu bicara dengan perut dinamakan ventriloquisme.)
"Betul," sahut Tin-thian. "Aku pun pernah melihat orang yang pandai bicara dengan perut. Jelas kau dengar suaranya berkumandang dari tempat lain, padahal orang yang bicara ada di depanmu." Sejenak ia berhenti, lalu menghela napas, "Tak heran, waktu itu aku sudah merasakan nada suara orang itu aneh dan agak sumbang, apalagi yang bicara seperti dekat di pinggir telingaku."
"Umpama benar orang itu bicara di dalam rumah dengan ilmu bicara dalam perut, coba kau terka siapa kira-kira orang yang pandai bicara dengan perut di antara kita?"
"Siapa lagi kalau bukan Ong Ban-bu," ujar Thiat Tin-thian. "Aku yakin tentu dia."
"Berdasar apa kau yakin kalau yang bicara dengan perut adalah Ong Ban-bu?" tanya Ji Liok.
"Sebetulnya dia tidak perlu menyerahkan diri, maksudku masuk ke dalam toko," demikian Thiat Tin-thian menjelaskan. "Kehadirannya dalam toko serba ada itu memang disengaja sesuai rencana, tujuannya untuk membuat kita panik, supaya kita berpendapat bahwa Bu-cap-sah memang memiliki sesuatu yang luar biasa dan tak mampu ditandingi orang lain, supaya kita percaya Bu-cap-sah yang itu betul adalah Bu-cap-sah tulen."
"Maka di saat tenaganya tidak diperlukan lagi, ia pun harus dilenyapkan dari muka bumi, sudah tentu maksudnya supaya rahasianya tidak terbongkar," demikian Ji Liok menerangkan.
Thiat Tin-thian menyeringai, katanya, "Manusia khianat seperti Ong Ban-bu memang pantas memperoleh ganjaran yang setimpal."
Lalu ganjaran apa yang harus diterima oleh Ma Ji-liong?
"Mari kita tunggu Ji-liong di atas," kata Thiat Tin-thian menggenggam kedua tangan sendiri. "Mari kita saksikan apa pula yang bisa ia katakan kepada kita." Sembari bicara ia mengulurkan tangan hendak menggandeng Ji Liok keluar.
"Tunggu sebentar," Cia Giok-lun yang sejak tadi diam saja mendadak bersuara.
"Tunggu apa lagi?" tanya Ji Liok.
"Barangku ada yang jatuh di sini," ucap Cia Giok-lun. "Aku harus menemukan dulu baru boleh keluar dari sini."
Cia Giok-lun datang bersama mereka, sejak masuk tak pernah bilang bahwa barangnya ada yang hilang dan jatuh di tempat ini, kenapa sekarang mendadak mencari barangnya yang jatuh? Kapan barangnya jatuh? Barang apa yang jatuh?
Tapi Cia Giok-lun memang menemukan barang yang jatuh di kamar ini, yang ia temukan adalah tiga butir mutiara sebesar buah kelengkeng di pojok dinding yang gelap di dekat pintu.
Thiat Tin-thian dan Ji Liok terbeliak heran. Sejenak mereka saling beradu pandang, lalu berbareng mereka bertanya, "Mutiara itu milikmu?"
"Kalau bukan milikku, memangnya aku serakah mengambil milik orang lain?"
"Mengapa mutiaramu jatuh di sini? Kapan?" Thiat Tin-thian bertanya.
Jawaban Cia Giok-lun amat mengejutkan, "Dulu waktu aku datang ke sini, kalung mutiaraku putus, tiga di antaranya ketinggalan di sini."
Keruan Thiat Tin-thian dan Ji Liok menjublek sekian lama, tanpa berjanji mereka bertanya pula bersama, "Bagaimana kau bisa datang ke tempat ini? Untuk apa kau datang ke sini?"
"Aku ke mari hendak menengok Khu-khu (adik ibu)," sahut Cia Giok-lun.
"Kau punya Khu-khu?" seru Thiat Tin-thian. "Apakah Bu-cap-sah adalah Khu-khumu?"
"Ya, beliau adalah adik kandung ibu, kenapa bukan Khu-khuku?" Cia Giok-lun balas bertanya sambil menghela napas.
"Tapi belum pernah aku melihat dia, karena laki-laki tidak boleh tinggal di Bik-giok-san-ceng. Umpama saudara kandungku sendiri juga tidak terkecuali. Sejak dilahirkan, kalau dia laki-laki harus segera dibawa keluar perkampungan, disingkirkan ke tempat yang jauh."
Baru sekarang Thiat Tin-thian maklum kenapa Bu-cap-sah menamakan dirinya Bu-cap-sah.
Agaknya setelah dia tahu riwayat hidupnya, karena gusar dan penasaran serta sedih, timbullah tekad dan putusan tegas, dia bersumpah untuk menganggap dirinya yatim piatu, tidak berayah bunda, tidak punya saudara laki maupun perempuan, dengan rajin dan tekun dia belajar ilmu. Setelah malang melintang dan yakin bahwa ilmu silatnya cukup tinggi, maka dia meluruk ke Bik-giok-san-ceng untuk melampiaskan rasa dongkol dan penasaran hatinya, hendak mendobrak aturan keluarga yang dianggapnya usang, ingin membalas dendam.
Sayang sekali usahanya gagal, dia dikalahkan oleh Bik-giok Hujin, kakak kandungnya sendiri yang mewarisi ilmu silat keluarga yang digdaya.
Sekarang Thiat Tin-thian maklum kenapa Bik-giok Hujin melanggar kebiasaan dan mengampuni Bu-cap-sah. Padahal setiap musuh yang berani menyatroni Bik-giok-san-ceng tidak ada seorang pun yang diberi ampun, semua dibunuh, habis perkara.
Meski Bik-giok Hujin berkuasa penuh di Bik-giok-san-ceng, tetapi dia tidak pernah mengabaikan nasib saudara laki-lakinya yang terpaksa harus disingkirkan dari perkampungan itu. Leluhurnya sudah menentukan laki-laki tidak boleh tinggal di perkampungan itu, maka sejak dia memegang kekuasaan di sana, peraturan ini pun tidak pernah dilanggarnya. Meski sejak lahir Bu-cap-sah disingkirkan dari perkampungan, jarak usia mereka pun terpaut belasan tahun, tapi biasanya hidup Bu-cap-sah sejak kecil ditanggung oleh Bik-giok-san-ceng, seluk-beluk kehidupannya juga selalu dilaporkan anak buahnya yang bertugas di luar. Tidak perlu dibuat heran kalau Bik-giok Hujin tahu persis pertumbuhan gigi Bu-cap-sah yang lain daripada yang lain.
Cia Giok-lun berkata, "Walau ibuku menyingkirkan dan mengurungnya di lembah mati, tapi beliau tidak pernah melupakan saudaranya ini. Di hadapan kami sering kali menceritakan sepak terjangnya. Oleh karena itu, setelah dewasa aku berkeputusan untuk menemui beliau di lembah mati ini."
"Jadi kau sudah lama tahu kalau Bu-cap-sah telah mati, kau pun tahu kalau Bu-cap-sah yang bersandiwara itu pun palsu," demikian tanya Thiat Tin-thian.
"Betul, aku sudah tahu sebelumnya," ujar Cia Giok-lun.
"Kenapa tidak kau bongkar muslihatnya?"
"Sejak kedatanganku yang pertama dan menemukan Khu-khu mati dibunuh orang secara keji, timbul niatku untuk menuntut balas dan membongkar kasus pembunuhan ini secara tuntas. Kebetulan ada peristiwa yang menimpa Ma Ji-liong, diriku pun terlibat, mumpung ada kesempatan baik ini, maka tidak kuabaikan peluang baik ini, aku tahu inilah satu-satunya kesempatan bagiku untuk membongkar beberapa kasus pembunuhan sekaligus."
Hanya pembunuh kejam yang membokong Bu-cap-sah yang tahu bahwa Bu-cap-sah sudah mati, maka pembunuh itu pun berani menyaru sebagai Bu-cap-sah.
"Aku yakin bila berhasil membongkar kasus yang melibatkan Ma Ji-liong ini, menangkap biang keladinya, karena kedua kasus ini merupakan mata rantai yang tak terpisahkan, maka pembunuh laknat itu pasti dapat kutemukan."
Tak urung Ji Liok menarik napas panjang, katanya gegetun, "Tentu kau tidak mengira kalau pembunuh durjana itu adalah Ma Ji-liong."
Mendadak Cia Giok-lun berputar menghadapi Ji Liok, sorot matanya menampilkan rona ganjil saat menatap tajam ke muka Ji Liok. Agak lama kemudian baru dia berkata sepatah demi sepatah, "Kau keliru."
"Aku keliru? Dalam hal apa aku keliru?" tanya Ji Liok membelalakkan mata.
"Pembunuh durjana itu bukan Ma Ji-liong," tegas suara Cia Giok-lun. "Pasti bukan Ji-liong."
"Kalau bukan Ma Ji-liong, memangnya aku?"
Cia Giok-lun menatapnya lekat-lekat. Sorot matanya mulai berubah gusar dan benci serta dendam, perlahan mulutnya mendesis, "Ya, kaulah pembunuhnya." Jarinya menuding hidung Ji Liok, "Kaulah biang keladi kasus ini, kau pembunuh Bu-cap-sah. Kau pula yang membunuh Toh Ceng-lian, Sim Ang-yap dan lain-lain."
Ternyata Ji Liok tenang-tenang saja, malah tertawa lucu dan geli, "Kau pasti sedang bergurau, sayang banyolanmu ini takkan mengundang gelak tawa orang banyak."
"Betul, orang banyak tidak akan tertawa oleh perbuatanmu, kejadian ini memang bukan senda gurau."
"Jadi kau menuduh aku sebagai pembunuhnya."
"Semula memang tidak pernah aku mengira akan dirimu," kata Cia Giok-lun kalem. "Untung secara kebetulan aku tahu suatu rahasia yang tidak diketahui orang lain."
"Kau tahu rahasia apa?" tanya Ji Liok, sikapnya tetap tenang dan wajar.
"Aku tahu Ji Ngo tidak punya adik, Ji Ngo adalah saudara termuda di antara lima bersaudara," tandas suara Cia Giok-lun. "Maka Ji Ngo pasti tidak punya adik." Tekanan suaranya lebih keras lagi, dilanjutkan dengan kata-kata yang lebih tegas, "Aku tahu jelas silsilah keluarganya karena kebetulan Ji Ngo juga adik kandung ibuku."
Thiat Tin-thian berdiri menjublek.
Ternyata Ji Liok masih meremehkan tuduhan Cia Giok-lun, sikapnya masih tenang dan tertawa malah, santai saja, "Hanya berdasarkan pengakuanmu itu, kau lantas menuduhku sebagai pembunuh? Besar amat nyalimu, bisa kau membuktikan bahwa aku adalah pembunuh?"
"Ya, bukti itu memang belum cukup," sahut Giok-lun. "Untung secara kebetulan Toa-hoan melihat dan memergoki kejadian yang sebetulnya tidak pantas dia saksikan."
"Kejadian apa?" tanya Ji Liok melotot.
"Dia melihat kau memukul dada Ong Ban-bu, kau membunuhnya. Toa-hoan melihat dengan mata kepalanya sendiri."
Wajah Ji Liok membesi, tawanya tadi juga berubah kaku.
Cia Giok-lun berkata pula, "Waktu itu aku tidak memberi kesempatan kepadanya untuk membongkar muslihatmu, karena saat itu kami belum tahu siapa kau sebetulnya."
Ji Liok bertanya, "Sekarang kau sudah tahu siapa diriku?"
"Sekarang aku sudah tahu. Kau merencanakan muslihat keji ini dengan tujuan menjerumuskan Ma Ji-liong, memfitnah dia. Ma Ji-liong kau jadikan kambing hitam, tapi karena perkembangan selanjutnya tidak menguntungkan, kau tahu orang banyak sudah melihat wajah aslinya, sudah tahu orang macam apa dia sebenarnya, semua orang mulai goyah curiganya. Dari berbagai kenyataan orang mulai percaya bahwa dia tidak mungkin melakukan perbuatan jahat, maka kau lantas berdaya upaya dengan cara yang kotor memfitnah dia sebagai pembunuh." Sampai di sini Cia Giok-lun menoleh, lalu bertanya kepada Thiat Tin-thian, "Tahukah kau, siapa yang paling besar hasratnya mencelakai jiwa Ma Ji-liong?"
Thiat Tin-thian tahu, dia sudah mengikuti perkembangan peristiwa ini dengan seksama, maka tanpa pikir ia menjawab, "Sudah tentu Khu Hong-seng."
"Betul," seru Cia Giok-lun, "Memang Khu Hong-seng." Lalu ia menuding Ji Liok sambil berkata sepatah demi sepatah, "Dia inilah Khu Hong-seng."
Ji Liok dituduh sebagai pembunuh, dituduh sebagai Khu Hong-seng, tertawa lebar malah. "Agaknya kau sudah tahu seluruh persoalannya, kurasa aku pun tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi," dengan kelam Ji Liok mengaku terus terang. "Betul, aku memang Khu Hong-seng."
Cia Giok-lun menghela napas lega, katanya, "Syukurlah kalau kau berani mengaku. Tak kuduga kau berani berterus terang."
"Masih ada satu hal, aku yakin tidak pernah kau duga."
"Hal apa?"
"Aku adalah murid tunggal Bu-cap-sah."
----------------------------ooo00ooo----------------------------
Khu Hong-seng memang betul adalah murid tunggal Bu-cap-sah.
Sejak kecil Khu Hong-seng sudah punya ambisi untuk menjadi orang besar, tokoh silat yang tiada tandingan, menjagoi dan menguasai dunia. Tapi Hong-seng sadar, hanya dengan bekal sepasang tombak perak warisan keluarganya, dirinya tidak akan mampu mengangkat diri sebagai gembong silat yang ditakuti, apalagi bersimaharaja di dunia persilatan.
Suatu ketika tanpa sengaja dia mendengar kisah kepahlawanan Bu-cap-sah.
"Bu-cap-sah memang seorang aneh, seorang pintar," Khu Hong-seng bertutur. "Riwayat hidupnya terselubung, pengalaman hidupnya juga penuh lika-liku, aku betul-betul kagum dan tertarik padanya. Setelah berdaya upaya sekian tahun, akhirnya aku berhasil menemukan lembah mati. Kebetulan pada waktu itu Bu-cap-sah sedang merana. Supaya kepandaiannya tidak ikut terbenam bersama kematiannya kelak, dia berkeinginan mengambil murid. Kedatanganku ke sana seakan pucuk dicinta ulam tiba, maka aku pun digembleng dengan caranya yang luar biasa, aku dituntut untuk belajar dan mencapai taraf yang dia kehendaki supaya kelak aku melampiaskan dendam penasaran hatinya."
Kenyataan memang demikian, Bu-cap-sah mengambilnya sebagai murid, seluruh ilmu silat yang dia kuasai diajarkan kepada murid tunggalnya ini. Bu-cap-sah memang orang cerdik dalam ilmu silat, ia punya cara tersendiri untuk menggembleng muridnya menjadi tokoh besar yang mengemban tugas berat dengan bekal ilmu yang beraneka-ragam. Sayang sekali muridnya ini bukan manusia baik-baik.
"Cara yang paling baik untuk menggali tanah juga dia ajarkan padaku," demikian tutur Khu Hong-seng lebih lanjut. "Tentang ilmu falak, ilmu bumi, teknik membuat perkakas rahasia, membuat barisan yang menyesatkan, ilmu tata rias dan menguasai racun juga dipahami seluruhnya."
"Guru sebaik itu, tidak sedikit kepandaian yang kau peroleh dari gurumu, kenapa kau membunuhnya malah?"
"Untuk latihan aku banyak menderita, gerak-gerikku selalu diawasi, aku dikekang, aku tidak bisa bebas, aku tak kuat menahan sabar. Tapi seluruh ilmu yang dia kuasai, semua berhasil kupelajari dengan baik," demikian tutur Khu Hong-seng tertawa lebar. "Kalau aku tidak membunuhnya, mungkin sampai sekarang aku belum bebas, sampai sekarang aku masih tinggal di lembah yang menyebalkan ini."
"Ya, Bu-cap-sah telah kau bunuh. Untuk mengejar ambisimu, Toh Ceng-lian dan Sim Ang-yap juga kau bunuh, Ma Ji-liong kau fitnah, kau jerumuskan ke dalam perangkapmu sehingga dia menemukan jalan buntu, seharusnya kau sudah puas dan berhenti sampai di situ," sampai di sini Cia Giok-lun berganti nada, ia bertanya, "Kenapa kau masih juga melanjutkan muslihat jahatmu?"
"Apa yang kau katakan tadi memang betul. Belakangan aku baru tahu, dari berbagai kenyataan kalian mulai sadar dan percaya kepadanya," Khu Hong-seng menghela napas gregeten. "Ma Ji-liong memang seorang yang tidak mudah dilayani."
"Setelah mencapai bagian tertentu dari rencana jahatmu, sebetulnya tidak perlu kau lanjutkan dengan aksimu yang berkepanjangan. Bahwasanya kami tidak menemukan bukti tentang kejahatanmu, kami tak bisa menuduhmu semena-mena," Cia Giok-lun juga menghela napas. "Sayang sekali kau terlalu pintar."
"Terlalu pintar juga bukan tidak baik. Kalian tidak menemukan bukti, aku tetap bebas, kan sama saja."
"Lho kok sama? Bagaimana bisa sama?"
"Karena cepat atau lambat kalian akhirnya akan mampus." Mendadak Khu Hong-seng bertanya, "Tahukah kalian suara apa yang berbunyi 'Cres' di atas tadi?"
"Kalau tidak salah suara golok yang menggorok leher," jawab Cia Giok-lun.
"Ya, tapi leher siapa yang digorok? Pakai golok siapa?" tanya Khu Hong-seng, segera ia menjawab sendiri, "Jikalau kalian mengira leher yang tergorok golok itu adalah leher Bu-cap-sah palsu itu, maka kalian pasti keliru."
"0, kenapa keliru?"
"Yang terpenggal adalah leher Ma Ji-liong, golok itu adalah milik Peng Thian-ko, dia adalah pengawal Persia itu, pengawalku yang setia," Khu Hong-seng menjelaskan lebih lanjut. "Peng Thian-ko adalah adik Peng Thian-pa, ilmu goloknya jauh lebih lihai dan ganas dibanding Peng Thian-pa. Sayang dia anak pungut, ibunya adalah budak bangsa Persia. Oleh karena itu, selama hidup dia takkan mendapat warisan apa pun termasuk Ngo-hou-toan-bun-to.”
“Kau menghasut dia dan mengangkatnya sebagai antekmu, atas petunjukmu pula dia membunuh Peng Thian-pa,” demikian jengek Thiat Tin-thian.
Dengan tersenyum Khu Hong-seng mengangguk sebagai jawaban, mendadak ia mengalihkan pembicaraan, “Waktu Bu-cap-sah masih hidup, pernah aku bertanya padanya, barang apa yang paling dia inginkan? Sungguh tak terduga olehku, barang yang dia idamkan selama ini hanyalah sebuah selimut dan sebuah lampu minyak.”
“Maka kau segera memenuhi permintaannya,” Thiat Tin-thian menjengek pula.
“Ya, kubelikan selimut yang termahal dan lampu minyak yang paling antik, sumbu lampu juga kupilih yang nomor satu, demikian pula minyak juga kupilih yang paling balk. Hanya terkecuali yang kubeli terakhir kali.”
“Terakhir kali apa yang kau belikan untuk dia?” tanya Cia Giok-lun.
“Yaitu sumbu dan minyak lampu yang sudah kucampur dengan obat bius,” Khu Hong-seng tertawa lebar. “Obat bius yang kugunakan sudah tentu juga mutu yang paling balk, yaitu obat bius yang tanpa kalian sadari juga telah membius kalian sejak sumbu lampu di atas meja ini menyala.” Habis bicara Khu Hong-seng tertawa latah, sayang tidak lama dia bergelak tawa.
“Ting” mendadak lampu minyak itu pecah dan api pun padam, keadaan kamar menjadi gelap gulita, tapi kejap lain cahaya api tampak menyala di atas lorong. Di bawah obor yang menyala benderang, muncul bayangan seseorang, seseorang yang dianggap takkan pernah muncul lagi, seseorang yang sudah mati terpenggal lehernya.
Yang menuruni undakan lorong sambil mengangkat tinggi obor itu ternyata adalah Ma Ji-liong. Khu Hong-seng mengawasi Ma Ii-liong dengan terbelalak.
Kecuali Ma Ji-liong, ternyata Toa-hoan dan Coat-taysu juga muncul di belakangnya. Ternyata mereka belum mati. Mereka selamat disebabkan tipu daya yang telah direncanakan oleh Cia Giok-lun, tipu menjebak Khu Hong-seng. Toa-hoan diculik juga adalah salah satu rencananya untuk memancing kesalahan Khu Hong-seng.
Kini giliran Cia Giok-lun memberi penjelasan kepada Khu Hong-seng, "Setelah aku menutuk Hiat-to Toa-hoan, sengaja aku bicara dengan suara keras, maksudku agar kau mendengar pembicaraan kami, percaya bahwa aku memang ingin menuntut balas pada Toa-hoan. Lalu aku keluar mengundang Ma Ji-liong, padahal aku sengaja memberi peluang kepadamu. Di luar tahumu, sebelum keluar aku sudah membebaskan tutukan Hiat-to di tubuh Toa-hoan."
Dengan suara tawar Toa-hoan menimbrung, "Karena tak tertutuk Hiat-toku, maka suara 'Cres' dari golok yang menggorok leher yang kalian dengar, bukanlah leher Ma Ji-liong yang terpenggal. Golok itu memang milik Peng Thian-ko, tapi yang terpenggal adalah lehernya sendiri, berarti senjata makan tuan."
Setiap perkara pasti ada saatnya berakhir, lalu bagaimana akhir dari kasus panjang ini?
Untuk perbuatan jahatnya, Khu Hong-seng mendapat ganjaran setimpal.
Coat-taysu mengundurkan diri dari percaturan dunia persilatan dan mengasingkan diri jauh ke puncak Kun-lun-san, menghukum diri dan menyesali kesalahannya dengan semedi menghadap tembok hingga akhir hayatnya.
Thiat Tin-thian dan Ma Ji-liong duduk berhadapan di atas loteng sebuah restoran besar di kota Kayhong, tiga hari tiga malam mereka minum arak, tapi pada malam keempat yang gelap dan dingin lagi mendung, kedua orang ini menghilang tidak keruan parannya.
Kanglam Ji Ngo tetap merajai dunia persilatan di daerah Kanglam.
Demikian pula jejak Giok-toasiocia susah diikuti, pergi datang seperti malaikat.
Lalu bagaimana dengan Toa-hoan dan Cia Giok-lun? Bagaimana akhir hubungan Ma Ji-liong? Tidak ada orang yang tahu bagaimana akhir hubungan ketiga orang ini. Entah berpisah atau sudah menikah? Tapi di kalangan Kangouw tersiar berita yang beraneka macam ragamnya.
Ada orang bilang, Toa-hoan sebetulnya cantik jelita, wajahnya kelihatan buruk karena dia mengenakan topeng tipis, sengaja menyamar demi menunaikan tugas. Setelah kasus pembunuhan itu terbongkar, topengnya sudah tidak dipakai lagi, ternyata Toa-hoan adalah gadis rupawan yang tidak kalah ayu dibanding Cia Giok-lun, akhimya dia menikah juga dengan Ma Ji-liong.
Ada juga orang yang bilang, Toa-hoan memang gadis yang jelek wajahnya tapi Ma Ji-liong sudah telanjur jatuh cinta kepadanya, Ji-liong tidak mencampakkan dia, akhimya mereka pun menikah secara sederhana. Ma Ji-liong yakin, wajah manusia setiap saat bisa berubah, tapi cinta takkan pudar untuk selamanya.
Sementara ada juga pihak yang bilang, karena tubuh Cia Giok-lun yang bugil sudah disaksikan oleh Ma Ji-liong, apalagi sudah hidup serumah empat bulan dengan Ma Ji-liong, gadis aleman dari Bik-giok-san-ceng ini juga jatuh cinta kepadanya, maka atas prakarsa Bik-giok Hujin, mereka telah melangsungkan pernikahan secara kekeluargaan saja, tidak dirayakan dengan pesta besar menurut lazimnya.
Pada jaman mereka dahulu, sering terjadi salah tafsir dengan ajaran kuno bahwa laki-laki harus mempunyai keturunan untuk mempertahankan marga keluarga, maka tak jarang keluarga yang kaya raya sekaligus mempunyai tiga empat bini atau gundik. Kesalahan tafsir ini lama kelamaan menjadi tradisi bagi kaum kolot hingga sekarang.
Demikian halnya dengan Ma Ji-liong, karena mereka suka sama suka, rela dan senang, maka sekaligus ia mempersunting dua gadis jelita. Sebaliknya kedua gadis jelita itu sudah pasrah, cinta membuat mereka lemah, lalu apa salahnya mereka menjadi bini Ma Ji-liong?
Dalam kalangan rakyat jelata hal seperti itu sudah merupakan kebiasaan umum, demikian pula dalam kalangan bangsawan, keluarga istana. Kalau ratu dan putri raja dan para selirnya boleh punya seorang suami, kenapa Toa-hoan dan Cia Giok-lun tidak boleh kawin dengan Ma Ji-liong?
Banyak ragam cerita yang tersiar luas di kalangan Kangouw, malah ada pula berita yang mengatakan, Ma Ji-liong emoh kawin, dia minggat dan menyembunyikan diri di suatu gunung, mengasingkan diri bersama Thiat Tin-thian. Apa betul cerita terakhir ini, tiada yang tahu pasti, yang jelas cerita satu dengan yang lain simpang siur, hanya cerita angin belaka, akhirnya orang susah membedakan berita mana yang benar dan cerita mana yang salah.
Pada suatu malam, setahun sejak Khu Hong-seng dijatuhi hukuman setimpal dengan perbuatannya, ada orang yang bertemu dengan Ma Ji-liong di sebuah toko. Malam itu menjelang tahun baru, kelihatannya Ma Ji-liong banyak memborong barang-barang untuk keperluan perayaan hari raya Sin-cia. Ada kain, benang, jarum, pupur, gincu, makanan dan arak, ada lilin dan dupa. Pada kesempatan yang ada, orang itu bertanya kepada Ma Ji-liong tentang cerita burung yang tersiar luas di kalangan Kangouw itu. Ma Ji-liong tidak mau memberi tanggapan, dia hanya tertawa ramah kepada orang itu, katanya, "Sin Cun Kiong Hi, selamat tahun baru, semoga kau mendapat rejeki lebih besar di tahun yang akan datang." Habis bicara dia membawa belanjaannya terus tinggal pergi.
TAMAT
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar