Pendekar Gelandangan 001

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

Bab 1. Jago Pedang Kenamaan

Musim gugur telah menjelang, udara dingin dan sang surya di sore itu sudah tenggelam di ufuk barat.

Di bawah pepohonan yang mulai gundul berdiri sesosok bayangan manusia, ia berdiri kaku bagaikan patung dan seakan-akan sudah melebur dengan suasana kelabu di senja itu.

Ya, mungkin karena ia sangat tenang.

Mungkin juga ia terlalu dingin.

Di balik semacam rasa dingin dan lelah yang merasuk ke dalam tulang, justru membawa hawa pembunuhan yang menggidikkan hati orang.

Ia sudah lelah, mungkin lantaran terlalu banyak orang yang telah dibunuh bahkan orang yang tidak seharusnya terbunuhpun ikut dibunuh.

Ia membunuh orang karena belum pernah ia diberi kesempatan untuk memilih yang lain.

ooo)O(ooo

Di tangannya terdapat sebilah pedang.

Sebilah pedang dengan sarung kulit ikan yang berwarna hitam gelap, gagangnya terbuat dari emas dengan tiga belas butir mutiara bertaburan diatasnya.

Tidak banyak orang persilatan yang tak kenal dengan pedang itu, lebih-lebih tak banyak orang yang tak tahu siapakah pemiliknya!

Orangnya maupun pedangnya sudah tersohor dalam dunia persilatan semenjak ia masih berusia tujuh belas tahun, kini usianya mendekati pertengahan, ia tak dapat menanggalkan pedang itu lagi, dan orang lain tak pernah mengijinkan dirinya untuk melepaskan pedang itu.

Sebab dikala ia menanggalkan pedangnya berarti nyawanya sudah hampir berakhir.

Nama besar, kadangkala bagaikan sebuah buntalan, sebuah buntalan yang tak dapat kau tanggalkan untuk selamanya.

ooo)O(ooo

Bulan sembilan tanggal sembilan belas pukul enam sore.

Di luar kota Liok-yang di tepi jalan raya di bawah pohon kuno.

"Kugorok lehermu, bawa serta pedangmu"

ooo)O(ooo

Pukul enam sore waktu sang surya tenggelam di balik bukit.

Matahari telah lenyap, daunpun berguguran terhembus angin dingin.

Seseorang berjalan di jalan raya dengan langkah lebar, bajunya perlente, mukanya hijau membesi, sebilah pedang tersoren dipunggungnya, sepasang biji mata yang lebih tajam daripada sembilu sedang menatap ke atas sebilah pedang di bawah pohon sana.

Langkah kakinya berat dan tetap tetapi cepat dan cekatan. Ia berhenti tujuh depa di depan pohon besar itu.

"Yan Cap-sa" tiba-tiba tegurnya.

"Betul!"

"Benarkah Toh-mia-cap-sa-kiam (tiga belas pedang perenggut nyawa)mu tiada tandingannya di dunia ini".

"Belum tentu!"

Orang itu segera tertawa, suara tertawanya begitu dingin seram dan bernada menyindir.

"Aku Ko Thong! It-kiam-cuan-sim (Sebuah tusukan penembus hati) Ko Thong......!" demikian katanya.

"Aku mengerti!"

"Kau yang mengundang aku kemari?"

"Ya, aku tahu kau memang sedang mencariku".

"Tepat, aku memang sedang mencarimu, sebab aku harus merenggut selembar nyawamu"

"Bukan hanya kau seorang yang ingin membunuhku" sela Yan Cap-sa dengan suara kaku.

"Justru karena kau terlalu termasyhur maka barang siapa dapat membunuhmu dia akan segera termasyhur pula".

Ko Thong berhenti sejenak, kemudian sesudah tertawa dingin katanya lebih lanjut:

"Bukan pekerjaan yang gampang untuk menjadi tenar dalam dunia persilatan, hanya cara inilah yang akan menghantar aku menuju ketenaran secara mudah............."

"Bagus sekali"

"Kini aku telah datang, membawa serta pedangku, silahkan kau gorok leherku!".

"Bagus sekali!"

"Lantas bagaimana dengan hatimu?" Ko Thong bertanya.

"Hatiku telah mati"

"Kalau begitu biar kubuat hatimu mati sekali lagi!"

Cahaya pedang tampak berkilauan, tahu-tahu senjatanya sudah diloloskan dan secepat kilat menusuk ke ulu hati Yan Cap-sa.

Inilah It-kiam-cuan-sim......... sebuah tusukan penembus hati!.

Dengan tusukan serupa ini, entah berapa banyak sudah hati orang yang ditembusi.

Ya, hakekatnya tusukan tersebut merupakan sebuah tusukan maut yang mematikan!.

Akan tetapi tusukan itu tidak berhasil menembusi ulu hati Yan Cap-sa.

Ketika pedang itu sedang menyambar ke depan, tiba-tiba tenggorokannya terasa dingin dan anyir....................

Mulut luka akibat tusukan itu hanya satu inci tiga dim........

Pedang Ko Thong sudah rontok, tapi orangnya belum mampus.

"Aku hanya berharap kau tahu untuk menjadi tenar bukanlah suatu pekerjaan enak," kata Yan Cap-sa.

Ko Thong hanya bisa memandang musuhnya dengan mata melotot, nyaris biji matanya ikut melotot keluar.

"Sebab itu lebih baik kau mati saja", lanjut Yan Cap-sa dengan suara hambar.

Ia telah mencabut keluar pedangnya.

Pedang itu pelan-pelan dicabut keluar dari tenggorokan Ko Thong, ya pelan-pelan.... pelan-pelan.

Karena itu percikan darah tak sampai menodai bajunya.

Ia cukup pengalaman untuk melaksanakan pekerjaan semacam ini.

Iapun tahu jika pakaiannya sampai terpercik darah, sukar untuk menghilangkan noda tersebut.

Lebih-lebih lagi untuk membersihkan bau anyir darah dari tangannya, pekerjaan ini jauh lebih susah.

ooo)O(ooo

Malam semakin kelam......., suasana kembali menjadi hening.

Darah yang menetes dari ujung pedang telah berhenti.

Di kala pedang itu sudah dimasukkan ke dalam sarungnya, di tengah keremangan cuaca tiba-tiba muncul kembali empat sosok bayangan manusia.

Empat orang dengan empat bilah pedang!

Ke empat orang itu mengenakan pakaian yang perlente, sikapnya congkak dan mukanya bengis, perkasa sekali perawakannya.

Yang paling tua adalah seorang kakek yang rambutnya telah beruban semua, sedang yang paling muda adalah seorang pemuda ingusan.

Yan Cap-sa tidak kenal dengan orang-orang itu, tapi dia tahu siapakah mereka.

Yang tertua diantara ke empat orang itu sudah tersohor sejak empat puluh tahun berselang, ia selalu berada di luar perbatasan.

Ilmu Hui-eng-cap-sa-ci (tiga belas tusukan elang terbang) hasil ciptaannya sudah menggetarkan wilayah sepanjang perbatasan.

Kali ini dia sengaja masuk ke daratan dengan membawa satu tujuan, yakni mencari Yan Cap-sa.

Ia tidak percaya kalau tiga belas tusukan elang terbangnya tak dapat menandingi tiga belas pedang perenggut nyawa dari Yan Cap-sa.

Yang termuda usianya terhitung pula sebagai seorang jago angkatan muda dalam dunia persilatan, dia termasuk seorang murid yang paling top dalam perguruan Thiam-cong-pay.

Ia berbakat bagus, diapun bersedia menderita.

Hatinya cukup keji, perbuatannya cukup brutal sebab itu belum sampai setahun mengembara dalam dunia persilatan, nama besar Bu-cing siau-cu (Bocah muda tak berperasaan) Cho Ping sudah menggetarkan seluruh dunia.

Dua orang lainnya tentu saja merupakan jago-jago lihay pula.

Ilmu pedang Ciang-hong-kiam (Jago pedang angin sejuk) begitu enteng begitu lincah dan begitu cepat, di mana pedangnya berkelebat lewat, orang hanya merasa seperti ada angin sejuk berhembus lewat.

Ilmu pedang dari Thi-kiam-tin-sam-san (Pedang baja yang menindih tiga bukit) berat, mantap dan penuh bertenaga, pedang yang digunakan mencapai tiga puluh kati beratnya.

ooo)O(ooo

Yan Cap-sa kenal dengan mereka, sebab dialah yang mengundang kedatangan orang-orang itu.

Empat pasang mata dari ke empat orang itu menatap wajahnya tanpa berkedip, tak seorangpun di antara mereka yang melirik mayat di tanah walaupun hanya sekejappun.

Mereka tak ingin sebelum pertarungan dimulai, semangat serta keberanian mereka patah di tengah jalan.

Sebab siapapun yang menggeletak mati di tanah pada hakekatnya tiada hubungan apapun dengan mereka.

Asal dirinya masih hidup, perduli mati hidup orang lain, mereka tak akan menggubris, mereka tak akan ambil perduli.

Yan Cap-sa tertawa bahkan senyumnya kelihatan begitu lelah, katanya, "Tak kusangka kalian telah datang semua!".

"Sebenarnya kukira hanya aku seorang yang kau undang", jawab Kwan-gwa-hui-eng (Elang terbang dari luar perbatasan) dengan suara ketus.

"Bila suatu pekerjaan dapat ku selesaikan bersamaan waktunya kenapa musti membuang banyak waktu dan tenaga?"

"Kini ada empat orang yang telah datang, siapakah yang akan turun tangan lebih dulu?", sela Cho Ping.

Ia sangat gelisah. Ia gelisah dan ingin cepat-cepat ternama. Ia lebih gelisah karena ingin segera membinasakan Yan Cap-sa.

"Apa salahnya kalau kita berundi? Siapa menang dia yang turun tangan lebih dulu!", tegas Thi-kiam-tian-sam-san mengusulkan.

"Tidak perlu!" tukas Yan Cap-sa tiba-tiba.

"Tidak perlu?".

"Ya, tidak perlu! Kalian boleh turun tangan bersama!".

"Kau anggap kami sebagai manusia macam apa? Manusia yang mencari kemenangan dengan andalkan jumlah banyak?" kata Kwan-gwa hui-eng dengan marah-marah.

"Jadi kau keberatan?" ejek Yan Cap-sa.

"Tentu saja keberatan!"

"Tapi aku tidak keberatan!" tiba-tiba pedangnya telah lolos dari sarung.

Cahaya pedang memancar bagaikan cahaya bianglala, dalam waktu singkat cahaya tajam itu sudah berkelebat lewat dari hadapan mata ke empat orang itu.

Dalam keadaan begitu sekalipun mereka berkeberatan juga percuma.

Maka empat bilah pedang hampir bersamaan waktunya telah diloloskan semua..............

Cho Ping turun tangan paling cepat, paling brutal dan paling tidak berperasaan.

Elang terbang dari luar perbatasan telah melambung ke udara dan melancarkan tubrukan ke bawah.

Tiga belas jurus ilmu elang terbang termasuk salah satu jenis dari Jit-jim-ciang (pukulan tujuh unggas). Kepandaian semacam itu biasanya menyergap dari atas ke bawah, dengan kekerasan menindas kaum yang lemah.

Andaikata orang lain yang dihadapinya semenjak tadi orang itu sudah mampus secara mengerikan.

Tapi sayang musuh yang dihadapinya sekarang lain daripada yang lain, musuhnya ini terlampau tangguh bagi ukurannya.

Dalam sekejap mata Cho Ping telah melancarkan sembilan buah tusukan kilat.

Ia tidak menaruh perhatian pada orang lain, semua konsentrasinya, semua perhatian dan tenaganya hanya tertuju pada Yan Cap-sa seorang.

Hanya satu keinginannya pada waktu itu, yakni membinasakan orang di hadapan matanya dengan sebuah tusukan maut.

Sayang ke sembilan buah tusukan mautnya gagal total, tak satupun diantaranya berhasil mengenai sasaran. Yan Cap-sa yang sesungguhnya tepat berada dihadapannya tadi kini sudah lenyap tak berbekas.

Ia menjadi tertegun dan keheranan, menyusul kemudian ia temukan suatu kenyataan yang mengerikan.

Di atas tanah telah bertambah dengan tiga sosok mayat.

Pada leher setiap mayat bertambah sebuah lubang besar, darah masih menetes keluar membasahi seluruh permukaan tanah.

Elang terbang dari luar perbatasan, pedang angin sejuk, pedang baja yang menindih tiga bukit, tiga orang jago pedang kelas satu dari dunia persilatan telah tewas secara mengerikan di ujung pedang Yan Cap-sa dalam waktu sekejap.

Tangan dan kaki Cho Ping mulai dingin, peluh dingin telah membasahi sekujur badannya.

Ketika ia mencoba untuk menengadah, maka tampaklah Yan Cap-sa sedang berdiri di bawah pohon besar nun jauh di sana.

Pedang pembunuh yang mengerikan itu sudah disarungkan kembali.

Sepasang telapak tangan Cho Ping menggenggam makin kencang, akhirnya ia berbisik:

"Kau........"

"Aku masih belum ingin membereskan nyawamu!" tukas Yan Cap-sa cepat.

"Kenapa"

"Karena aku masih ingin memberi kesempatan sekali lagi kepadamu untuk datang membunuhku".

Semua otot-otot hijau di tangan Cho Ping telah menonjol keluar, peluh sebesar kacang kedelai telah membasahi jidatnya, ia tak bisa menerima kesempatan seperti ini.

Jelas kejadian ini merupakan suatu penghinaan, suatu cemoohan bagi nama baiknya!.

Tapi bagaimanapun juga ia tak boleh melepaskan kesempatan tersebut, sebab inilah satu-satunya kesempatan baginya untuk melanjutkan hidup dan kemudian melatih diri serta menuntut balas di kemudian hari.

"Pulanglah!", kata Yan Cap-sa lagi, "Latih kembali pedangmu selama tiga tahun, kemudian datanglah dan berusahalah membunuhku lagi".

Cho Ping hanya bisa menggertak gigi, menggigit bibir menahan pergolakan emosi dalam dadanya.

"Aku tahu ilmu pedang dari Thiam-cong-pay cukup bagus, asal kau mau melatihnya secara bersungguh-sungguh, kesempatan di kemudian hari pasti masih ada".

Tiba-tiba Cho Ping berkata:

"Seandainya tiga tahun kemudian kau telah mampus di ujung pedang orang, apa yang harus kulakukan?".

Yan Cap-sa tertawa lebar.

"Kalau sampai terjadi peristiwa semacam itu, maka kau boleh membunuh orang yang telah membinasakan diriku itu", katanya.

"Hmm..............! Aku harap lebih baik jagalah dirimu sebaik mungkin, lebih bagus lagi jika kau belum keburu mampus!" kata Cho Ping penuh perasaan mendendam.

"Bukan kau saja yang berharap, akupun berharap bisa demikian!".

ooo)O(ooo

Malam semakin kelam, seluruh permukaan jagad telah diselimuti oleh kegelapan yang mencekam

Pelan-pelan Yan Cap-sa memutar badannya, menghadap ke tempat yang paling gelap, tiba-tiba menyapa:

"Baik-baikkah kau?"

Lewat agak lama, dari balik kegelapan betul juga kedengaran suara jawaban:

"Aku tidak baik".

Suara itu dingin, kaku, serak dan berat, mirip suara orang tua.

Menyusul jawaban tadi muncul seorang dari kegelapan dengan langkah lambat, ia mengenakan baju hitam dengan rambut panjang hitam, sarung pedangnya juga hitam, mukanya juga hitam, seakan-akan membawa warna kematian, hanya sepasang biji matanya yang hitam memancarkan sinar tajam.

Ia berjalan sangat lambat, tapi sekujur tubuhnya seakan-akan sedang melayang dengan enteng, seperti kakinya tak pernah menempel di atas permukaan tanah sekilas pandangan ia lebih mirip sesosok sukma gentayangan daripada seorang manusia.

Tiba-tiba raut wajah Yan Cap-sa berkerut kencang, lalu tegurnya lagi:

"Si gagak-kah di situ?"

"Betul!"

Yan Cap-sa menarik napas panjang-panjang, lalu katanya lagi:

"Tidak kusangka akhirnya kita dapat berjumpa kembali!"

"Berjumpa denganku bukan suatu kejadian baik!" si Gagak menerangkan.

Ya, bertemu dengannya memang bukan suatu kejadian yang menyenangkan.

Burung gagak berbeda dengan burung nuri!.

Tak seorang manusiapun yang suka bertemu dengan burung gagak.

Bahkan menurut cerita kuno..... menurut kepercayaan orang-orang kuno......... bila burung gagak telah muncul, pertanda bencana sudah berada di ambang pintu.

Dan kini si burung gagak sudah datang, bencana apakah yang di bawa olehnya? ... mungkin saja ia sendiri adalah bencana, suatu bencana yang tak mungkin dapat dihindari.

Kalau toh memang tak dapat dihindari lagi, lantas apa gunanya musti murung atau masgul karena hal itu?

Paras muka Yan Cap-sa telah pulih kembali dalam ketenangan dan keketusannya semula.

Si burung gagak memperhatikan pula pedangnya lalu memuji:

"Ehmm ..... pedang bagus!".

Siapa yang menyimpan benda mestika, dia bakal mati karena mestika tersebut. Demikian yang dikatakan ujar-ujar kuno.

Sudah barang tentu Yan Cap-sa memahami pepatah kuno itu atau paling sedikit ia pernah mendengarnya.

Yaa, nama besar serta pedangnya ibarat wangi-wangian yang berharga bagaikan tanduk kambing hutan yang bernilai tinggi sebagai bahan obat.

"Hingga kini sudah tujuh belas pedang yang kusimpan!" kembali si burung gagak menerangkan.

"Ehmmm.... Tujuh belas pedang? Tidak sedikit!"

"Yaa, memang tidak sedikit, bahkan ke tujuh belas pedang itu rata-rata adalah pedang ternama"

"Wah, kalau begitu tidak sedikit jago kenamaan yang sudah terbunuh ditanganmu!", kata Yan Cap-sa.

"Pedang Ko Thong dan pedang si elang terbang juga ingin kumiliki!"

"Bereskan saja mayat-mayat mereka itu, otomatis ke empat bilah pedang mereka akan menjadi milikmu"

"Kau hanya menginginkan pedang dari orang-orang mati?"

"Betul"

"Bunuhlah aku, maka pedangku akan menjadi milikmu pula!" ejek Yan Cap-sa tiba-tiba.

"Tentu akan kulakukan"

"Kalau begitu bagus sekali"

"Tidak, tidak bagus?"

"Apanya yang tidak bagus?"

"Hingga kini aku masih belum mempunyai keyakinan untuk membinasakan dirimu!"

Mendengar perkataan itu kontan saja Yan Cap-sa tertawa terbahak-bahak... keras nian tertawanya itu.

Secara tiba-tiba ia merasa bahwa orang ini betul-betul seekor burung gagak, sebab paling sedikit burung gagak tak pernah berbohong.

"Terutama terhadap tusukan yang telah kau gunakan untuk membinasakan si elang terbang dari luar perbatasan tadi", kata si burung gagak lebih lanjut.

"Oh..... kau tak mampu memecahkan seranganku itu?" kata Yan Cap-sa sambil tertawa.

"Aku sendiripun tak berhasil menemukan seseorang di dunia ini yang sanggup memecahkan tusukan tersebut"

"Maksudmu tusukan itu sudah merupakan ilmu pedang yang tiada tandingannya di dunia?"

"Baik ilmu pedang dari Jit-toa-kiam-pay (tujuh perguruan pedang terbesar) maupun jago-jago dari empat keluarga persilatan terbesar sudah pernah kujumpai semuanya"

"Bagaimana tanggapanmu tentang kepandaian mereka?"

"Ilmu pedang mereka terlalu ketat dalam pertahanan, terlalu memandang serius nyawa sendiri, maka dari itu mereka tak sanggup menandingi dirimu"

Yan Cap-sa menghela napas panjang, katanya:

"Hebat betul ketajaman matamu, sayang pengetahuanmu kurang luas!"

"Oya", si gagak mendesis.

"Menurut apa yang kuketahui di dunia ini justru masih ada satu orang yang sanggup memecahkan tusukan maut itu, bahkan dapat ia lakukan semudah membalikkan telapak tangan sendiri"

Tidak ada komentar: