Pendekar Gelandangan 002

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

02

"Kau pernah menyaksikan ilmu pedangnya?" tanya si burung gagak agak tertarik.

Yan Cap-sa mengangguk, katanya setelah menghela napas panjang.

"Ilmu pedang yang dimiliki itulah baru merupakan ilmu pedang yang benar tiada tandingannya di dunia ini!"

"Siapa orang itu?"

Yan Cap-sa tidak langsung menjawab, dia hanya memperhatikan ketiga buah jari tangannya.

"Kau maksudkan Sam-jiu-kiam (pedang tiga tangan) Kim Hui?" si burung gagak cepat berseru.

ooo)O(ooo

Konon menurut cerita orang di kala Sam-jiu-kiam sedang bertempur melawan orang, maka seolah-olah ia mempunyai tiga buah tangan yang melancarkan serangan secara bersama.

Pedangnya yang sebuahpun otomatis ikut berubah menjadi tiga batang pedang.

Sampai dimanakah kecepatan ilmu pedangnya, sampai dimanakah perubahan jurus yang dimilikinya, semuanya itu dapat dibayangkan dari julukan yang ia miliki.

ooo)O(ooo

Namun Yan Cap-sa menggelengkan kepalanya, ia berkata:

"Bila seseorang ingin membunuh orang secara sungguhan, ia tidak perlu menggunakan tiga buah tangan, diapun tak perlu menggunakan tiga batang pedang tajam"

Ya, perkataan itu sungguh benar, seandainya kau sungguh-sungguh ingin membunuh orang sebatang pedangpun sudah lebih dari cukup.

"Kau tidak maksudkan dia bukan?" kata burung gagak kemudian.

"Ya, dialah Sam-sauya!"

"Sam-sauya yang mana? Sam-sauya dari keluarga mana?"

"Sam-sauya dari bawah tebing Cui-im-hong, tepi telaga Liok-sui-ou!"

Tiba-tiba sepasang tangan si burung gagak mengepal kencang.

"Tapi aku anjurkan kepadamu agar lebih baik jangan menjumpai dirinya.....!" kata Yan Cap-sa lagi.

Tiba-tiba si burung gagak tertawa.

Ia jarang tertawa, senyumnya tampak begitu kaku, begitu aneh dan tak sedap dilihat.

"Aku mengucapkan kata-kata semacam itu bukan dengan maksud untuk bergurau" kata Yan Cap-sa lebih lanjut.

"Aku sedang mentertawakan kau!" kata si gagak.

"Kenapa"

"Kau toh sudah tahu bahwa aku telah datang memangnya kau anggap aku dapat melepaskan dirimu dengan begitu saja?"

Yan Cap-sa menyatakan sangat setuju dengan ucapan tersebut.

Kembali si gagak berkata:

"Meskipun aku tidak mempunyai keyakinan untuk membunuhmu, kau sendiripun tidak mempunyai keyakinan untuk membunuhku"

Yan Cap-sa menyatakan sangat akan kebenaran dari perkataan itu.

"Sebab itu kau hendak membakar hatiku agar aku berangkat ke Cui-im-hong dan bertanding lebih dahulu dengan Sam-sauya tersebut", si gagak melanjutkan.

Kali ini Yan Cap-sa ikut tertawa, ya tertawa lebar malah.

"Kau anggap perkataanku hanya gurauan?" tegur si gagak.

"Tidak, aku sedang mentertawakan diriku sendiri"

"Oya? Kenapa?"

"Sebab apa kupikirkan dalam hati ternyata berhasil kau tebak dalam sekian pandang belaka"

"Jadi kau tidak bersedia untuk bertarung melawan diriku pada saat ini?"

"Sangat tidak bersedia"

"Kenapa?"

"Karena aku masih mempunyai janji"

"Janji macam apakah itu?"

"Janji kematian!"

"Dimana?"

"Di bawah Cui-im-hong, di depan telaga Liok-siu-ou!"

"Sudah kau ketahui bahwa kepandaianmu belum dapat menandinginya, mau apa lagi kau ke sana?"

"Suatu perjanjian kematian tidak akan bubar sebelum berjumpa!"

"Masa kau sengaja hendak menghantar diri untuk dibunuh olehnya?"

Yan Cap-sa tertawa, jawabnya dengan hambar:

"Apakah kau merasa hidup itu adalah suatu kejadian yang menyenangkan?"

Si gagak terbungkam, ia tak sanggup menjawab lagi.

Yan Cap-sa masih tertawa, dibalik sekulum senyum itu terselip suatu nada ejekan yang amat sinis. Kembali katanya:

"Bagi seseorang yang berlatih pedang, cepat atau lambat akhirnya dia pasti akan mampus di ujung pedang orang. Tiada kesempatan atau harapan bagimu untuk menghindarinya"

Si gagak masih bungkam.

"Tak terhitung manusia yang kubunuh sepanjang hidup" kata Yan Cap-sa lebih jauh, "dan kini seandainya aku bisa mampus pula di ujung pedang seorang jago pedang yang paling tersohor di dunia ini, sekalipun harus mampus aku akan mampus dengan hati yang rela"

Si gagak menatapnya dengan tajam, lama, lama sekali, tiba-tiba bisiknya:

"Kalau begitu, pergilah!"

Yan Cap-sa memberi hormat, sepatah katapun tidak diucapkan lagi, dia putar badan dan segera angkat kaki.

Ia tidak berjalan terlalu jauh, ketika kakinya kembali terhenti, sebab ia menemukan si burung gagak masih terus mengikuti di belakangnya, mengikuti terus bagaikan bayangan tubuhnya.

Ketika ia terhenti, si burung gagak ikut berhenti lalu menatapnya tajam-tajam.

"Aku dapat memahami maksud hatimu!" kata Yan Cap-sa menerangkan.

"Oya?"

"Aku boleh pergi, mengapa kau boleh ikut?"

"Rupanya kau tidak bodoh!"

"Akan tetapi kau tidak seharusnya musti ikut diriku ke sana?"

"Tidak, harus!"

"Kenapa?"

"Sebab kau tidak ingin melepas kesempatan yang sangat baik untuk menyaksikan pertarungan kalian"

Setelah berhenti sebentar, lanjutnya kembali dengan ketus:

"Bila dua orang jago tangguh sedang bertempur mereka tentu akan mengerahkan segenap kepandaian yang dimilikinya, seandainya kusaksikan pertarungan itu dari samping, pasti banyak titik kelemahan yang berhasil kutemukan dibalik permainan pedang kalian!"

"Yaa, perkataanmu memang masuk di akal", kata Yan Cap-sa sambil menghela napas.

"Dalam pertarungan tersebut, baik kau atau dia yang menang, pada akhirnya orang terakhir yang masih hidup sudah pasti adalah aku!"

"Ya, aku tahu! Pada saat itu si pemenang tentu sudah kehabisan tenaga, sedang kau telah berhasil menemukan titik-titik kelemahan dari ilmu pedangnya, bila kau ingin membunuhnya, itulah kesempatan yang paling baik bagimu"

"Sebab itulah apakah aku harus melepaskan kesempatan sebaik itu dengan begitu saja?"

"Ya, memang tidak seharusnya?" sahut Yan Cap-sa.

Setelah menghela napas panjang, kembali katanya:

"Hanya sayang kau masih sedikit keliru"

"Kekeliruan dibagian yang mana?"

"Pada hakekatnya dalam permainan pedang, Sam-sauya tidak terdapat titik kelemahan, kau tak bakal menemukannya!"

ooo)O(ooo

Sekarang mereka sudah mulai minum arak.

Kedai arak adalah kedai yang paling baik, arak yang diminum adalah arak yang paling baik, mereka selalu menginginkan segala sesuatu yang paling top, paling baik.

"Seusai membunuh orang, aku pasti akan minum arak" Yan Cap-sa menerangkan.

"Tidak membunuh orangpun, aku tetap minum arak" si burung gagak menanggapi.

"Setelah minum arak, aku pasti akan mencari perempuan"

"Tidak minum arakpun aku mencari perempuan"

Yan Cap-sa tertawa terbahak-bahak.

"Haahhh..... haaaahhhh... haaahhhh..... tidak kusangka kau adalah seorang bajingan yang suka minum arak dan bermain perempuan"

"Sama-sama...... setali tiga uang!"

Arak yang mereka minum tidak sedikit jumlahnya.

"Tampaknya kaupun seorang bajingan arak dan perempuan, hari ini biar aku mengalah sekali untukmu" kata Yan Cap-sa lagi.

"Mengalah apa?"

"Mengalah agar kau saja yang membayar rekening kita!"

"Oohhh... tidak perlu mengalah, tidak perlu sungkan-sungkan".

"Tidak, kali ini aku harus mengalah, kali ini harus sungkan-sungkan"

"Tidak perlu, tidak perlu!"

"Aaaaah.... Harus, harus!"

Kalau orang lain bersantap akan berebut untuk membayar rekeningnya, maka mereka berebut untuk tidak membayar rekening.

"Bila ingin membunuh orang, biasanya dalam sakuku tidak membawa barang-barang yang merupakan beban daripada benda tersebut mengganggu gerak-gerikku!" kata Yan Cap-sa.

"Oooohh.... begitukah!"

"Dan uang merupakan benda yang paling mengganggu!"

Si burung gagak merasa akur dengan pendapat tersebut.

Bila seseorang harus membawa beberapa ratus tahil perak dalam sakunya, mana mungkin baginya untuk mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya semaksimal mungkin?

"Tapi kau toh dapat membawa uang lembaran uang kertas?" tanya burung gagak kemudian.

"Aku paling benci dengan uang kertas!"

"Kenapa?"

"Untuk selembar uang kertas, entah sudah berapa laksa kali berganti tangan, dari tangan yang lain, huuuuh...kotornya bukan kepalang!"

"Kau toh bisa menggunakan mutiara pada gagang pedangmu itu untuk ditukar dengan uang?"

Kali ini Yan Cap-sa tertawa.

"Kau anggap perkataanku adalah suatu lelucon?" tegur si urung gagak.

"Yaaa, suatu lelucon yang paling lucu di dunia ini"

Tiba-tiba ia merendahkan suaranya dan berbisik:

"Mutiara-mutiara itu semuanya palsu, yang asli sudah kujual semenjak dulu-dulu"

Si burung gagak tertegun, ia dibikin tercengang oleh kenyataan tersebut....

"Oleh sebab itulah hari ini aku musti berlalu sungguh-sungguh dan mempersilahkan kau yang membayar"

"Bila aku tidak datang bersamamu?"

Yan Cap-sa tersenyum, katanya:

"Waktu itu, tentu saja akan kucari akal lain, tapi sekarang kau sudah ikut datang, buat apa aku musti memikirkan cara lainnya lagi?"

Si burung gagak tertawa lebar.

"Hei, apa yang kau tertawakan?" tegur Yan Cap-sa.

"Aku mentertawakan kau karena telah salah memilih orang"

Diapun merendahkan suaranya lalu berbisik:

"Keadaankupun tidak jauh berbeda denganmu hari ini. Sebetulnya aku datang untuk membunuh orang".

"Kau juga benci dengan uang kertas?"

"Yaa, bencinya luar biasa!"

Sekarang giliran Yan-Cap-sa yang tertegun. Sampai sesaat dia hanya bisa membungkam.

"Maka dari itulah hari ini aku harus bersikap sungkan dan mempersilahkan kau saja yang membayar" kata si gagak akhirnya.

Sementara Yan Cap-sa masih menghela napas, tiba-tiba muncul si pemilik rumah makan, katanya sambil tertawa paksa:

"Kek-koan berdua tak perlu sungkan-sungkan, rekening kalian berdua telah dibayar oleh orang di bawah loteng sana"

ooo)O(ooo

Siapa yang telah membayar rekening mereka?

Kenapa ia membayarkan rekening mereka?

Pada hakekatnya mereka tak pernah memikirkannya, bertanyapun tentu saja tak pernah.

Terhadap mereka, persoalan tersebut tidak ada artinya.

Bisa makan minum secara gratis memang merupakan suatu peristiwa yang menyenangkan.

Bila seseorang sedang berada dalam keadaan riang gembira, seringkali arak yang diminumpun jauh lebih banyak dari takaran biasa.

Tetapi mereka tidak sampai mabuk.

Di kala mereka sudah hampir mabuk dibuatnya, tiba-tiba dari bawah loteng muncul dua orang perempuan. Dua orang perempuan yang amat cantik dengan dandanan yang amat bagus, perempuan jenis yang paling gampang menggiurkan hati prialah kedua orang itu.

Barang siapa berada dalam keadaan hampir mabuk, dia akan lebih gampang terpengaruh oleh segala macam godaan, terutama nafsu birahi.

Yan Cap-sa dan si burung gagak mulai tertarik, mereka sudah siap menggunakan akal untuk memancing kehadiran kedua orang itu.

Ternyata mereka tak perlu bersusah payah untuk memancing kehadiran kedua orang perempuan itu dengan akal.

Ya, mereka telah datang dengan sendirinya.

"Aku bernama Siau-hong!"

"Aku bernama Siau-cui!"

Kemudian sambil tertawa manis dan genit kedua perempuan itu menambahkan:

"Kami sengaja datang untuk melayani kalian berdua"

Sekarang Yan Cap-sa hanya bisa memandang ke arah si burung gagak dan si burung gagak memandang ke arah Yan Cap-sa.

Seandainya mereka pernah mampus di ujung pedang, mereka masih sempat menyaksikan mimik wajah mereka sekarang, tentu mereka akan merasa penasaran sekali atas kematian yang menimpa mereka.

Raut wajah maupun sikap mereka sedikitpun tidak mirip jago kenamaan yang pernah menggetarkan kolong langit, apalagi mirip seorang jagoan pedang yang tak berperasaan.

Sambil tersenyum kata Siau-hong:

"Kalian berdua mau minum arak di sini atau minum arak di tempat kami adalah sama saja"

"Ya, benar" sambung Siau-cui, "bagaimanapun juga rekening kalian berdua telah dibayar orang lain"

Meskipun di dunia ini terdapat banyak orang baik dan perbuatan baik, namun tidak banyak bisa dijumpai kejadian sebaik ini.

"Sebenarnya nasibmu sedang mujur? Atau aku yang lagi mujur?" kata si burung gagak kemudian.

"Tentu saja nasibku yang sedang mujur?"

"Kenapa?"

"Konon bila seseorang sudah mendekati ajalnya, kadangkala nasibnya secara tiba-tiba dapat berubah menjadi lebih mujur"

ooo)O(ooo

Itu kejadian di hari pertama.

Ternyata keadaan pada hari kedua tidak jauh berbeda, kemanapun mereka pergi selalu ada yang membayarkan rekening bagi mereka.

Tapi siapa yang membayar rekening-rekening mereka itu? Dan kenapa berbuat demikian?

Baik Yan Cap-sa maupun si burung gagak tak ada yang bertanya, bahkan dipikirkanpun tidak.

Mereka selalu tidur setelah larut malam, tentu saja bangunnyapun juga tidak terlalu pagi.

Setiap hari bila mereka sudah melangkah keluar dari pintu penginapan, sebuah kereta kuda tentu siap menunggu di sana seakan kuatir kala mereka terlalu lelah semalam dan tak sanggup untuk berjalan kaki lagi......

Tapi berbeda dengan hari ini, mereka ingin berjalan kaki, mungkin sudah bosan menunggang kereta.

Atau mungkin karena cuaca hari ini tampak sangat baik.

"Jauhkah tebing Cui-im-hong dari sini?" tanya si burung gagak tiba-tiba.

"Tidak terlampau jauh"

"Berjalan macam begini aku sangat berharap bisa berjalan agak jauh sedikit tentu saja lebih jauh lebih baik"

"Kita boleh pelan-pelan berjalan ke situ"

Sebuah hutan lebat terbentang di depan sana, daunnya hijau segar dan kelihatan rimbun.

"Bagaimana kalau kita minum-minum arak dalam hutan sebelah depan sana?" kata Yan Cap-sa.

"Tapi mana araknya?"

"Tak usah kuatir, asal kita pingin minum, pasti ada orang yang menghantarkan arak untuk kita"

ooo)O(ooo

Terik matahari memancar dari tangan awang-awang.

Sinar keemas-emasan memancar di atas sebuah jalan raya, merasa berjalan di depan kereta kuda.

Dari arah lain tiba-tiba muncul pula sebuah kereta kuda kereta itu meluncur datang dan berhenti di belakang hutan.

Dari atas kereta melompat turun tiga orang, dua dewasa dan seorang anak-anak.

Dua orang dewasa itu langsung masuk ke hutan sedangkan si bocah berbaju hijau bertopi kecil itu malah keluar hutan, ia mengeluarkan seutas tali pinggang berwarna merah dan mengikatnya di atas dahan pohon-pohon di tepi hutan tersebut.

Kemudian bocah itupun ikut masuk ke dalam hutan.

Menyaksikan kesemuanya itu, Yan Cap-sa menghela napas panjang, katanya:

"Tampaknya kita harus berpindah ke tempat lain untuk minum arak".

"Tidak baikkah tempat ini?"

"Oooh.... baik sekali!"

"Kalau baik kenapa musti pindah?"

"Karena benda itu!" seraya berkata Yan Cap-sa menunjuk ke arah ikat pinggang merah diatas dahan pohon itu.

"Apa maksud benda itu?"

"Maksudnya untuk sementara waktu tempat ini akan menjadi daerah terlarang, siapapun tak boleh memasuki wilayah tersebut"

"Hmmm......peraturan darimanakah itu?" si burung gagak tertawa dingin.

Sebelum Yan Cap-sa membuka suara, tiba-tiba dari dalam hutan berkumandang suara khim (harpa). Suara itu melengking di udara dan mewartakan kabar gembira.........

Sepasang tangan si gagak mengepal kencang!

Pada saat itulah tiba-tiba dari jalan raya muncul sebelas penunggang kuda, penunggang kuda itu rata-rata berbaju ringkas, bermuka bengis. Setiap orang menyoren golok besar dipunggungnya, pita merah pada gagang golok itu berkibar berhembus angin.

Ketika tiba di tepi hutan, para penunggang itu melompat turun dari kudanya masing-masing.

Ternyata mereka semua memiliki gerakan tubuh yang enteng dan lincah.

Tidak terlalu banyak jago dalam persilatan yang benar-benar berilmu tinggi tapi ke sebelas orang itu tampaknya sungguh merupakan jago yang tangguh.

Di antara ke sebelas orang itu, seorang laki-laki berlengan tunggal mempunyai kecepatan paling hebat, sambil menyerbu masuk ke dalam hutan bentaknya:

"Serahkan nyawa kalian!"

Tidak ada komentar: