Pendekar Gelandangan
Karya: Khu Lung
03
Permainan khim dari balik hutan masih mengalun merdu, lembut dan membuat orang merasa nyaman.
Sementara itu, ke sebelas orang laki-laki tadi sudah menyerbu ke dalam hutan.
"Bukankah orang-orang itu datang dari Tay-heng?" tanya si burung gagak keheranan.
"Ehmmm.... Tay-heng toa-to memang betul-betul bernyali!" jawab Yan Cap-sa.
"Menurut pendapatmu, mau apa mereka kemari?"
"Mereka datang untuk menghantar kematian sendiri!"
Baru saja Yan Cap-sa menyelesaikan kata-katanya, sudah ada sesosok tubuh melayang keluar dari hutan dan terbanting keras-keras di atas tanah.
Ketika tubuhnya mencium permukaan tanah, ia sudah tak berkutik, bahkan bersuarapun tidak.
Dan orang itu ternyata bukan lain adalah laki-laki berlengan tunggal yang paling garang.
ooo)O(ooo
Petikan khim dari hutan masih kedengaran terus.
Bayangan manusiapun satu demi satu melayang keluar dari hutan, semuanya berjumlah sebelas orang.
Ke sebelas orang itu sudah melayang keluar semua, ketika terbanting di atas tanah, tubuh mereka sudah tidak berkutik lagi.
Ketika mereka menyerbu ke dalam hutan tadi, gerakan tubuhnya cukup cepat, tapi gerakan sewaktu mereka keluar ternyata jauh lebih cepat lagi.
"Ternyata mereka betul-betul datang untuk menghantar kematian!" kata si burung gagak dengan suara dingin.
"Agaknya...... bukan mereka saja yang datang mengantar kematiannya!"
"Yaa, betul, paling sedikit masih ada aku" sambung si burung gagak.
"Sekarang masih belum tiba gilirannya bagimu"
Si burung gagak tidak bertanya lebih lanjut.
Ya, sebab ia sudah melihat ada dua orang sedang berjalan melalui jalan raya itu.
Mereka adalah seorang dewasa dan seorang anak-anak.
Yang dewasa masih belum begitu tua, paling banter berumur tiga puluh tahunan, perempuan lagi.
Sepintas lalu dia tampak lemah dan tak bertenaga, perempuan itu cukup cantik wajahnya cuma sayang membawa kepandaian yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Yang kecil ialah lebih muda lagi daripada bocah yang mengikat ikat pinggang di bawah pohon tadi, sepasang biji matanya yang kecil bulat sedang berkeliaran memandang kesana kemari.
Siapapun yang menjumpainya pasti akan mempunyai pendapat yang sama, seorang bocah yang pintar cerdik dan menarik.
Akan tetapi apa yang dilakukannya seperti bukan suatu perbuatan yang cerdik.
Mereka sedang berjalan ke hutan itu.
Rupanya kejadian ini cukup menarik perhatian.
Yan Cap-sa berdua terbukti manusia. Macam si burung gagakpun merasa tak tega membiarkan mereka mengantar kematiannya, ia sudah bersiap siap untuk menghalangi jalan perginya.
Kedua orang itu agaknya juga melihat tali merah di atas dahan, tiba-tiba nyonya muda itu berkata:
"Lepaskan ikat pinggang itu!"
Dengan cekatan bocah itu melompat ke depan dan melepaskan ikat pinggang tadi kemudian ia mengeluarkan pula sebuah ikat pinggang berwarna hijau dan mengikatnya di tempat semula.
Setelah menyelesaikan tugasnya pelan-pelan mereka baru masuk ke dalam hutan.
Dua orang itu seolah-olah tak pernah melihat mayat yang bergelimpangan di tanah, merekapun tidak memperhatikan si burung gagak ataupun Yan Cap-sa.
Si burung gagak yang sebetulnya hendak menghalangi dua orang itu, entah apa sebabnya sekarang ia telah berubah pikiran.
Apalagi Yan Cap-sa, menggerakkan tubuhnyapun tidak.
Akan tetapi dari sorot mata mereka jelas terpancar suatu sikap yang aneh sekali.
Pada saat itulah, suara permainan khim dalam hutan tiba-tiba berhenti.
ooo)O(ooo
Angin berhembus lewat menggugurkan dedaunan, cahaya mentari menyinari seluruh jagad.
Setelah irama khim itu terhenti, sampai lama, lama sekali dari balik hutan belum juga kedengaran suara yang berisik.
Siapapun tak tahu apa yang telah terjadi dalam hutan tersebut.......
Siapakah pemetik khim itu?
Mengapa irama khim tersebut terhenti secara mendadak?
Apakah si gadis dan bocah itu mengalami nasib yang sama dengan orang-orang dari Tay-heng-to-bun, dilempar keluar dalam keadaan tak bernyawa?
ooo)O(ooo
Siapapun manusia di dunia ini tentu ingin tahu keadaan yang sesungguhnya, tidak terkecuali si burung gagak maupun Yan Cap-sa.
Oleh karena itulah mereka belum pergi, bahkan si kusir kereta yang mengikuti dari belakangpun ikut membelalakkan matanya untuk menyaksikan keramaian tersebut.
Tapi tiada keramaian yang dapat ditonton.
Tiada pula seorang manusia yang terlempar dari balik hutan.
Mereka hanya mendengar suara langkah manusia yang menginjak di atas daun-daun kering, orang itu berjalan sangat ringan dan sangat lambat.
Orang yang berjalan dipaling depan tak lain adalah si bocah yang mengikatkan tali merah di atas dahan pohon itu.
Dua rang berjalan di belakangnya, mereka berjalan sangat lambat. Seorang laki-laki dan seorang perempuan, tampaknya seperti sepasang suami isteri......
Usia mereka berdua tidak terlalu besar, tapi pakaiannya perlente dan gerak-geriknya cukup berwibawa.
Yang lelaki menyoren pedang dan kelihatannya tampan lagi perkasa, sedang yang perempuan bukan saja cantik jelita, lagi pula lembut dan menawan hati.
Seandainya mereka benar-benar adalah suami isteri, hakekatnya kedua orang itu merupakan sepasang yang cukup membuat orang menjadi kagum. Sayangnya paras muka kedua orang itu tampak memucat, seakan-akan ada sesuatu persoalan yang membuat hati mereka mendongkol.
Sebetulnya mereka hendak naik ke dalam kereta tapi setelah menjumpai si Burung gagak dan Yan Cap-sa yang berada di luar hutan, niat tersebut mereka urungkan.
Dua orang itu seperti membisikkan sesuatu kepada sang bocah, dan bocah itu segera lari mendekat, diawasinya Yan Cap-sa berdua dengan sepasang mata melotot besar kemudian tegurnya:
"Bukankah kalian sudah datang lama sekali?"
Yan Cap-sa mengangguk.
"Semua peristiwa yang barusan berlangsung telah kalian saksikan pula?" desak si bocah lebih jauh.
Si Burung Gagak mengangguk.
"Engkau tahu kami datang darimana?"
"Bukit Hwe-gan-san, lembah Ang-im-kok, perkampungan Hee-ho-san-ceng!"
"Aaaai...rupa-rupanya apa yang kau ketahui tidak sedikit!", kata si bocah sambil menghela napas.
Meskipun suaranya masih berbau kekanak-kanakan, tapi caranya berbicara maupun sikapnya sewaktu mengutarakan ucapan tersebut sangat terlatih dan seakan-akan orang berpengalaman.
"Siapa namamu?" Yan Cap-sa ganti bertanya.
Tiba-tiba bocah itu menarik muka, katanya:
"Kau tak usah mencari tahu siapa namaku, aku bukan datang untuk mengikat tali persahabatan dengan kalian!"
"Lantas ada keperluan apa kau datang kemari?" tanya si burun gagak.
"Kongcu kami ingin meminjam tiga macam benda, setiap orang tiga macam!"
"Tiga macam benda apakah itu?"
"Sebuah lidah dan dua biji mata!"
Yan Cap-sa tertawa dan si burung gagak ikut pula tertawa.
Tiba-tiba bersamaan waktunya dua orang itu turun tangan, yang seorang mencengkeram lengannya sedang yang lain mencengkeram kakinya, lalu mereka membentak bersama:
"Terbanglah! Bocah muda......"
Bocah itupun terbang ke atas mengikuti bentakan tersebut....... "Wesss" Bagaikan bom udara yang meluncur ke udara, badannya melambung sampai tinggi sekali.
Kongcu itu masih berdiri sambil bergendong tangan seakan-akan tidak pernah menyaksikan adegan tersebut. Berbeda dengan isterinya, ia berkerut kening.
Sementara itu, tubuh si bocah yang terlempar ke udara tadi sudah meluncur kembali ke bawah.
Si burung gagak dan Yan Cap-sa kembali turun tangan bersama, dengan entengnya ia menerima tubuh si bocah lalu diletakkan di atas tanah.
Bocah itu sudah ketakutan setengah mati, sepasang kakinya menjadi lemas dan celananya basah oleh air kencing. Rupanya bocah itu mengompol karena ngerinya.
Sambil tersenyum Yan Cap-sa menepuk bahunya lalu berkata:
"Tidak menjadi soal sewaktu masih kecil dulu akupun sering dilempar orang ke udara macam keadaan sekarang"
"Betul, dengan berbuat demikian sama pula dengan sedang berlatih keberanian" si burung gagak menambahkan.
Bocah itu memutar sepasang biji matanya. Kalau dilihat dari sikapnya itu ia bersiap sedia akan melarikan diri.
"Benda yang diperintahkan untuk diambilkan belum kau dapatkan, bagaimana pertanggungan jawabmu nanti?", tanya Yan Cap-sa.
"Aku......."
"Tak usah bingung aku dapat mengajarkan sebuah cara kepadamu"
Bocah itu berdiam diri, rupanya ia sedang bersiap-siap menerima petunjuk.
"Bukankah kongcumu bernama Hee-ho kongcu?" tanya Yan Cap-sa kemudian.
Bocah itu manggut-manggut.
"Apakah dia yang suruh kau mengambil benda tersebut?"
Kembali bocah itu mengangguk.
"Kalau memang begitu kau boleh kembali kepadanya sambil bertanya, kalau toh dia menghendaki ketiga macam benda itu, mengapa tidak datang untuk mengambilnya sendiri?"
Kembali bocah itu mengangguk, kemudian memutar badan dan lari meninggalkan tempat itu.
Paras muka Hee-ho kongcu masih belum berekasi apa-apa, tapi isterinya sudah maju ke muka.
Caranya berjalan begitu lembut tapi suaranya merdu menawan hati. Ketika tiba di hadapan kedua orang itu, katanya:
"Aku bernama Si Ko-jin, yang berdiri di sebelah sana adalah suamiku Hee Ho-seng"
"Oh, rupanya Sau-cengcu Ang-im-kok!" desis Yan Cap-sa dengan suara ewa.
"Jika kalian berdua sudah pernah mendengar namanya, tentu kau ketahui bukan, manusia macam apakah dia?"
"Tidak, aku tidak tahu"
"Dia adalah seorang manusia yang sangat berbakat, bukan saja dalam ilmu silat, ilmu sastrapun cukup tinggi kepandaiannya. Terutama dalam hal ilmu pedang, jarang sekali ada orang yang mampu menandinginya"
Sekalipun anak perempuan suka memuji kehebatan suaminya, jarang diantara mereka yang memuji secara begini rupa di hadapan orang lain, sekalipun memuji dengan beberapa patah kata, tak urung merah juga pipinya karena jengah.
Tapi berbeda dengan perempuan ini, mukanya tidak merah, gerak-geriknya juga tidak jengah, seakan-akan ia sudah biasa melakukan kata-kata pujian semacam itu, atau memang ia sedemikian kagum dan hormat kepada suaminya sehingga memuji keunggulan sang suami merupakan kebanggaan baginya.
Diam-diam Yan Cap-sa menghela napas..... seandainya bisa ditemukan perempuan semacam ini, sungguh beruntung nasibnya.
Kembali Si Ko-jin berkata:
"Terhadap manusia seperti dia, tentu saja kalian berdua tak akan berkelahi dengannya bukan?"
"Oya?!"
"Yaa, bukan saja berasal dari keturunan keluarga ternama, iapun menganggap dirinya luar biasa, bila kalian berdua sampai berkelahi dengannya, maka keadaan tersebut ibaratnya telur ayam diadu dengan batu, sebab itu kuanjurkan kepada kalian berdua untuk............"
"Untuk pasrah saja dan mempersembahkan lidah dan sepasang mata kami kepadanya?" lanjut Yan Cap-sa.
Si Ko-jin menghela napas panjang.
"Ya, meskipun cara tersebut kurang sedap tampaknya, paling sedikit lebih enakan daripada mengirim nyawa sendiri ke neraka!"
Yan Cap-sa kembali tertawa, tiba-tiba katanya:
"Tentunya kongcu-ya yang lihay dalam ilmu silat maupun ilmu sastra itu bukan seorang bisu, bukan?"
"Tentu saja bukan! Dia normal dan segar bugar!"
"Lantas ucapan-ucapan semacam itu kenapa tidak dia ucapkan sendiri?"
"Hmmm.....! Sekalipun dia itu bisu, pantat tentunya punya bukan? Kenapa kentut sebau itu tidak dia lepaskan sendiri dari lubang pantatnya.....?" si burung gagak menambahkan.
Paras muka Hee-ho Seng berubah hebat.
"Jika ia tidak mau kemari, kenapa bukan kita saja yang ke situ?" Yan Cap-sa mengusulkan.
"Bagus!"
"Kau yang akan kesana? Atau aku saja?"
"Kau!"
"Konon pedang seribu ular miliknya bukan saja merupakan sebilah pedang bagus, bahkan terhitung pula sebagai sebilah pedang yang aneh"
"Ehmmm..... konon memang begitu!"
"Seandainya ia mampus, pedang tersebut akan menjadi milik siapa?"
"Milikmu!"
"Kau tidak menginginkan pedang itu?"
"Kenapa tidak berusaha untuk mendapatkannya?"
"Karena aku enggan berkelahi dengan cucu kura-kura semacam dia, apalagi sejak pandangan pertama aku sudah muak melihat tampang wajahnya"
Belum habis ia mengucapkan kata-kata tersebut, sesosok bayangan manusia sudah menyambar lewat.
Tahu-tahu Hee-ho Seng telah muncul dihadapannya dengan wajah hijau membesi, teriaknya dengan suara dingin:
"Engkaulah orang yang sedang kucari!"
"Kalau begitu cepat-cepatlah cabut pedang!" ejek si burung gagak.
ooo)O(ooo
Hee-ho Seng meloloskan pedangnya.
Itulah pedang seribu ular yang tak pernah mempunyai perasaan, sebilah pedang mustika yang dapat menciptakan beribu-ribu bintang seluruh angkasa.
Ya, tak dapat dibantah pedang itu memang sebilah pedang aneh.
Di kala tangannya digetarkan, pedang tersebut seolah-olah telah berubah menjadi beribu-ribu ekor ular perak yang menciptakan bintang di seluruh angkasa.
Pedang itu memang hebat, seperti patah menjadi beberapa bagian dalam waktu singkat dan pecahan tersebut mengancam setiap tempat penting di tubuh manusia.
Tentu saja bagian-bagian penting di tubuh si burung gagak.
Burung gagak bisa terbang, tapi sekarang tak mampu terbang lagi, tubuhnya berputar kencang sekilas cahaya pedang berkilauan dan melindungi sekujur badannya.
"Traaaang.....!" beratus-ratus pecahan pedang itu mendadak merapat kembali, kemudian menusuk ke tenggorokannya.
Rupanya di atas pedang tersebut telah dipasang semacam tombol rahasia yang bekerja rangkap, bisa dipakai untuk memecahkan senjata itu menjadi beberapa bagian, bisa juga digunakan untuk menggabungkannya kembali.
Bila digabungkan kembali maka bentuknya berwujud pedang, sebaliknya jika dipisahkan maka bentuknya akan berubah menjadi beratus-ratus senjata rahasia yang antara satu dengan lainnya diikat dengan seutas benang kuat....
Yan Cap-sa menghela napas panjang, katanya:
"Aku yang seharusnya melangsungkan pertarungan ini, sebab akupun menginginkan pedang itu"
Tiba-tiba terdengar suara dentingan nyaring yang memekakkan telinga, seperti suara hujan yang menimpa di atas jendela......
Pada saat itulah si burung gagak telah melancarkan empat puluh sembilan buah tusukan berantai, semua tusukan tersebut menghajar telak di setiap keping pedang seribu ular yang terpecah belah itu.
Pedang seribu ular menjadi lemas kembali, seakan-akan sebuah ruyung panjang yang memancarkan sinar keperak-perakkan, pedang si burung telah melingkar pada gagang ruyung tersebut.
Paras muka Hee-ho Seng berubah hebat, sambil memutar badan dia melejit ke tengah udara mengikuti gerakan perputaran tersebut, ia melepaskan diri dari belenggu pedang musuh, kemudian...... "Kraaak" senjata itu menggabung kembali menjadi wujud pedang.
Yan Cap-sa segera berkata:
"Pertarungan kalian berlangsung seimbang, tak ada yang menang tak ada pula yang kalah, sekarang tiba giliranku untuk melakukan pertempuran!"
Hee-ho Seng tertawa dingin, sinar matanya menyapu sekejap sekeliling tempat itu, mendadak paras mukanya berubah, bahkan kali ini berubah jauh lebih pucat dari keadaan semula.
Rupanya secara tiba-tiba ia menemukan bahwa ia telah kehilangan seseorang.
Bocah itu sudah tergeletak di tanah, tampaknya di totok jalan darahnya oleh orang, sedang Si Ko-jin lenyap tak berbekas.
Sekali tendang Hee-ho Seng membebaskan jalan darah bocah itu, kemudian bentaknya:
"Siapa yang melancarkan serangan kepadamu?"
"Nyo....nyonya.....!" jawab bocah itu dengan wajah memucat.
"Dan nyonya?"
"Nyonya sudah kabur!"
ooo)O(ooo
Bocah itu masih duduk sambil menangis, Hee-ho Seng telah melakukan pengejaran sedang Yan Cap-sa maupun si burung gagak tidak menghalangi kepergiannya.
Bila binimu secara tiba-tiba melarikan diri, bagaimana perasaanmu waktu itu? Rupanya mereka dapat memahami perasaan orang.
Cuma, ada satu hal yang tak pernah mereka duga, bahkan mimpipun tak pernah menduganya. Seorang istri yang begitu lembut, begitu halus, begitu cantik dan memuji suaminya sendiri ternyata sudah kabur dikala suaminya sedang beradu jiwa dengan orang lain.
Sepintas lalu mereka menyerupai sepasang sejoli yang hidup harmonis, yang lelaki ganteng sedang yang perempuan cantik jelita, malah Yan Cap-sa pun merasa kagum.
Tapi, mengapa ia kabur?
Tiba-tiba Yan Cap-sa merasakan suatu kesedihan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, tentu saja bukan sedih lantaran dirinya, lebih-lebih tak mungkin bersedih hati karena toa-sauya itu.
Ia bersedih hati untuk umat manusia di dunia ini.
Siapa yang menduga bahwa banyak kejadian yang tak berkenan di hati, banyak kejadian yang tak berbahagia, tidak menyenangkan seringkali bersembunyi dibalik kebahagiaan dan kegembiraan.
Ya, siapa yang menduga?
ooo)O(ooo
Bocah yang duduk menangis di tanah telah pergi, seorang bocah lain yang lebih kecil muncul sambil tertawa riang.
Larinya tidak terlampau cepat, tetapi sekejap mata telah berada di hadapan Yan Cap-sa serta si burung gagak.
Paling banter umurnya cuma tujuh delapan tahun.
Seorang bocah yang baru berumur tujuh delapan tahun, ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh sedemikian hebatnya, siapa yang akan percaya kalau kejadian ini adalah suatu kenyataan?
Tapi Yan Cap-sa dan si burung gagak mau tak mau harus mempercayainya, karena mereka menyaksikan kejadian tersebut dengan mata kepala sendiri.
Bocah itu sedang memandang ke arah mereka sambil tertawa, manis nian tertawanya.
Di waktu-waktu biasa, si burung gagak tidak begitu suka dengan anak kecil.
Ia selalu beranggapan bahwa bocah cilik ibaratnya seekor kucing kecil atau anjing cilik, lelaki manapun yang melihatnya akan menyingkir sejauh-jauhnya.
Tapi kali ini dia tidak pergi, malah sebaliknya bertanya:
"Siapa namamu?"
"Aku bernama Siau Tau-yan (si memuakkan)"
"Tapi kau tidak kelihatan memuakkan, kenapa orang memanggilmu si memuakkan?"
"Kau sendiri seorang manusia, kenapa orang memanggilmu si burung gagak?" bocah itu balik bertanya.
Si burung gagak ingin tertawa, tapi ia tak mampu tertawa.
Bukankah burung gagakpun merupakan jenis burung yang paling memuakkan?
"Kau tahu kalau dia bernama burung gagak?" tanya Yan Cap-sa.
"Hmmm......pertanyaan yang berlebihan!", tukas si memuakkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar