Pendekar Gelandangan 004

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

04

Ya, pertanyaan Yan Cap-sa memang pertanyaan yang berlebihan, jika si Memuakkan tak tahu dia bernama si burung gagak, kenapa ia dapat memanggilnya sebagai si burung gagak?

Kembali si Memuakkan berkata:

"Bukan saja aku tahu kalau ia bernama si burung gagak, akupun tahu kau bernama Yan Cap-sa, sebab dahulu ada orang bernama Yan Jit (walet tujuh) lalu ada pula yang bernama Yan Ngo (walet lima), karena kau merasa dirimu masih lebih kuat sebagian bila dibandingkan dengan mereka berdua yang bergabung, maka kau menamakan dirimu Yan Cap-sa (Walet tiga belas)!"

Yan Cap-sa tertegun!.

Memang itulah maksud sebenarnya dari nama yang dipakai sekarang, hal ini merupakan rahasia pribadinya, ia tak habis mengerti mengapa si Memuakkan dapat mengetahui tentang hal ini.

"Kau tak usah keheranan" kata si Memuakkan lebih lanjut, "sesungguhnya aku sama sekali tidak tahu kau walet ke berapa, aku mengetahuinya ini karena enciku menceritakan kesemuanya ini kepadaku!"

Kejadian ini sungguh berada di luar dugaan.

Nyonya muda yang masuk ke dalam hutan bersamanya tadi lebih pantas menjadi ibunya daripada encinya.

"Apakah encimu punya nama?" tanya Yan Cap-sa kemudian.

"Tentu saja punya!"

"Siapa namanya?"

"Apakah kau bisu?" Si Memuakkan menukas.

Yan Cap-sa cepat menggeleng.

"Apakah kau tak punya kaki?" kembali si Memuakkan bertanya.

Yan Cap-sa menundukkan kepalanya seakan-akan sedang memeriksa apakah ia masih mempunyai kaki atau tidak.

"Kalau kau merasa masih mempunyai kaki, bukan bisa malah, kenapa tidak menanyakan sendiri kepadanya?"

Yan Cap-sa segera tertawa lebar.

"Yaaaa.... Lantaran aku bukan orang buta, aku masih dapat melihat!" jawabnya.

"Melihat apa?"

Sambil menuding ikat pinggang hijau di atas dahan pohon itu, kata Yan Cap-sa:

"Kau sendiri yang mengikat ikat pinggang tersebut di sana, tentunya kau memahami bukan apa maksudnya?"

"Maksudmu tempat ini sudah menjadi milik kami, maka bila bukan orang bisu yang masuk ke dalam, keluarnya akan menjadi bisu, mempunyai kaki sewaktu masuk, keluarnya akan kehilangan kaki?"

Yan Cap-sa tidak membantah, iapun enggan melakukan perdebatan.

Itulah peraturan dari empat keluarga persilatan di dunia dewasa ini, peraturan yang diakui setiap orang.

Bila tidak mempunyai ikatan dendam sedalam lautan, siapapun tak ingin melanggar peraturan tersebut.

Siapapun yang melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, sedikit banyak harus memahami peraturan-peraturan yang berlaku di dunia pada saat itu, tidak terkecuali Yan Cap-sa.

"Tampaknya segala persoalan dapat kau pahami, sayang ada satu hal yang tak dapat kau mengerti" kata si memuakkan lagi.

"Oya?"

"Sekarang, kendatipun kau tak ingin masuk juga tak mungkin"

"Kenapa?"

"Sebab enciku yang menyuruh aku menitahkan kau masuk!"

ooo)O(ooo

Suasana dalam hutan itu tenang dan damai, sampai-sampai injakan kaki pada daun keringpun kedengaran begitu lembut dan syahdu.

Semakin masuk ke dalam hutan itu, suasana musim rontok semakin terasa... bukan udara saja terasa dingin, banyak daun yang berguguran di tanah.

Mengapa ia hendak menjumpainya? Bahkan mengadakan pertemuan di bawah empat mata?

Yan Cap-sa tidak habis mengerti, tapi diapun tak perlu berpikir panjang, sebab ia telah menjumpai dirinya......

Di bawah sebatang pohon tua yang sudah layu, terbentang sebuah tikar baru, di atas tikar terdapat sebuah khim, sebuah pedupaan dan sebuah poci arak.

Rupanya benda-benda itu merupakan peninggalan dari Hee-ho Seng, sebab terlampau terburu-buru ketika ia meninggalkan tempat itu tadi.

Apakah ia pergi karena diusir? Dan perempuan murung yang duduk di bawah pohon itulah yang mengusirnya pergi?

Sepintas lalu perempuan itu bukan saja tampak murung dan sedih, tubuhnyapun lemah tak bertenaga, seakan-akan tak akan tahan menghadapi sebuah pukulan yang paling ringan.

Yan Cap-sa menghampirinya dengan langkah yang pelan dan sangat berhati-hati seakan-akan kuatir kalau ia sampai dibikin terkejut.

Ia sudah mendongakkan kepalanya dan mengawasi wajahnya dengan sepasang mata yang bening.

"Kau yang bernama Toh-mia Yan Cap-sa (Walet tiga belas perenggut nyawa)...?" tegurnya.

Yan Cap-sa mengangguk.

"Nona datang dari tebing Cui-im-hong?"

Ia kenal dengan ikat pinggang hijau di luar hutan sana, itulah lambang dari Cui-im-hong, telaga Liok-sui-ou.

Siapa tahu dia menggelengkan kepalanya malah.

Yan Cap-sa terpana, ia tak habis mengerti kalau bukan anggota Cui-im-hong, kenapa berani menggunakan lambang dari Cui-im-hong?

"Aku datang dari Kanglam, Jit-seng-tong tepatnya", kata perempuan itu dengan suara yang lemah lembut, "aku bernama Buyung Ciu-ti!"

Yan Cap-sa makin terperanjat lagi.

Jit-seng-tong di wilayah Kanglam termasuk salah satu di antara empat keluarga besar persilatan.

Buyung Ciu-ti bukan saja merupakan gadis tercantik di dunia persilatan, iapun tersohor sebagai anak yang berbakti kepada orang tuanya.

Demi merawat ayah-bundanya yang banyak penyakitan, ia telah mengorbankan masa remajanya yang paling indah dalam kehidupannya ini.

Sekarang kenapa secara tiba-tiba ia muncul di sini? Jangan-jangan pemilik Jit-seng-tong yang disebut orang Kanglam Tay-hiap Buyung Tin telah meninggal dunia?

Nama besar Jit-seng-tong tidak berada di bawah nama Cui-im-hong, tapi mengapa ia gunakan lambang dari keluarga lain?

Rupanya Buyung Ciu-ti dapat menebak jitu apa yang dipikirkan orang, tiba-tiba katanya:

"Ayahku belum mati meski banyak penyakit yang dideritanya, dalam tiga lima tahun beliau belum akan meninggal dunia"

Yan Cap-sa menghembuskan napas panjang.

"Semoga tubuhnya selalu sehat wal'afiat dan bisa hidup beberapa tahun lagi"

Beberapa patah kata itu betul-betul muncul dari dasar sanubarinya yang bersih.

Buyung Tin memang seorang pendekar sejati yang jujur dan bijaksana, jarang sudah orang dapat menjadi manusia segagah dan sejujur dia dalam dunia persilatan dewasa ini.

"Kemunculanku dalam dunia persilatan kali ini tanpa sepengetahuan dirinya, aku pergi secara diam-diam dan ia sama sekali tidak tahu", kata Buyung Ciu-ti lagi.

"Kenapa?", Yan Cap-sa ingin mengucapkan perkataan tersebut.

Tapi sebelum pertanyaan itu diajukan, Buyung Ciu-ti melanjutkan kembali kata-katanya:

"Sebab aku ingin membunuh seseorang!"

Dibalik sorot matanya yang sayu dan penuh kesedihan, tiba-tiba memancarkan kesedihan dan kebencian yang luar biasa. Ia pasti sangat membenci orang itu... tapi siapakah dia?

Yan Cap-sa tidak berani bertanya, diapun tak ingin mencampuri masalah yang menyangkut empat keluarga besar persilatan.

Sinar mata Buyung Ciu-ti seolah-olah sedang memandang ke tempat kejauhan, seakan-akan dia sendiri ikut berada di kejauhan, lama, lama sekali akhirnya pelan-pelan ia baru berkata:

"Tentunya kalian tahu bukan bahwa aku adalah seorang anak yang berbakti kepada orang tua?"

Yan Cap-sa membenarkan.

"Selama tujuh tahun belakangan ini sudah empat puluh tiga kali pinangan yang kutolak", Buyung Ciu-ti melanjutkan.

Tentu saja hanya keturunan orang-orang ternama yang berhak untuk mengajukan pinangan kepada keluarga Jit-seng-tong.

"Tahukah kau, mengapa kutolak semua pinangan mereka?", tanya Buyung Ciu-ti lagi.

"Sebab kau tak tega meninggalkan ayahmu!"

"Kau keliru besar!"

"Oya, Kenapa?"

"Aku bukan anak berbakti seperti yang dibayangkan orang lain, aku.....aku......"

Sambil menggenggam kencang sepasang tangan sendiri, tiba-tiba serunya:

"Aku tidak lebih hanya seorang penipu, bukan saja menipu orang lain, akupun telah menipu diriku sendiri"

Yan Cap-sa terpana.

Ia tak berani memandang lagi ke arahnya, sebab matanya sudah menjadi merah, air mata setiap saat mungkin akan meleleh keluar. Ia tak ingin menyaksikan perempuan menangis, diapun tak ingin tahu apa sebabnya perempuan itu menangis.

Sayang, perempuan itu telah mengemukakan sendiri sebab musababnya.

"Selama ini aku menolak pinangan orang lain lantaran aku selalu menunggu dia yang datang meminangku"

"Dia? Siapakah dia?"

Apakah orang yang hendak dibunuhnya itu?

Akhirnya air mata meleleh keluar membasahi pipi Buyung Ciu-ti, kembali ia berkata:

"Ia pernah berjanji akan datang kemari bahkan berulang kali memberikan janjinya"

.....namun ia tak pernah datang.

.....seorang laki-laki yang tak berperasaan telah menggunakan perkawinan sebagai umpan untuk menipu seorang gadis yang mudah jatuh cinta.

.....bukan hanya dia seorang yang pernah mengalami tragedi semacam itu.

Ya, sejak dahulu sampai sekarang, tragedi itu sudah berulang kali terjadi, bahkan hingga kini setiap waktu setiap saat mungkin akan terulang kembali tragedi semacam ini.

Yan Cap-sa tidak bersedih hati oleh tragedi yang menimpanya.

Sebab tragedi yang menimpa dirinya terhitung suatu tragedi yang sungguh-sungguh menyedihkan hati. Tragedi orang lain, sulit untuk menembusi perasaan hati manusia semacam Yan Cap-sa.

"Aku kenal dengannya pada usia enam belas tahun, ia suruh aku menunggu dirinya selama tujuh tahun", kata Buyung Ciu-ti.

Tujuh tahun! Betapa panjangnya waktu..........

Dari usia enam belas sampai usia dua puluh tiga, bukankah masalah usia merupakan masa terindah bagi seorang gadis remaja?

Dalam kehidupan seorang manusia, di dunia ini, ada berapa banyak masa tujuh tahun seperti ini?

Yan Cap-sa mulai menghela napas dalam hati kecilnya.

Ia suruh perempuan itu menunggu selama tujuh tahun, hal ini sama artinya telah menipu dirinya.

Ia mengira perempuan itu pasti tak dapat menunggu selama ini, ia mengira dalam tujuh tahun kemudian ia pasti akan melupakan dirinya.

Yan Cap-sa adalah seorang pria, tentu saja ia sangat memahami perasaan seorang pria.

Tapi apa yang direnungkan tidak sampai diutarakan, ia dapat merasakan bahwa tujuh tahun dalam penantian adalah suatu pengalaman yang tak akan terlupakan untuk selamanya, selama itu berapa banyak air mata telah dicucurkan, berapa banyak siksaan telah dirasakan.

"Sudah kau lihat bocah tadi?" kembali Buyung Ciu-ti bertanya, "dia bukan adikku!"

"Bukan?"

"Ya, bukan. Dia adalah putraku, anak hasil hubungan gelapku dengan orang itu"

Sekali lagi Yan Cap-sa tertegun.

Sekarang dia baru mengerti kenapa ia musti menunggu selama tujuh tahun, kenapa begitu membenci orang itu. Bahkan sekarang dia sendiripun ikut berduka atas tragedi yang menimpa perempuan itu.

"Aku memberitahukan kesemuanya ini kepadamu bukan lantaran agar kau ikut bersusah hati atas musibah yang menimpa diriku," kata Buyung Ciu-ti lagi.

Secara tiba-tiba saja suaranya berubah menjadi dingin, sinar matanya yang sayu ikut berubah pula menjadi setajam sembilu.

"Ku undang kedatanganmu kemari karena aku berharap agar kau bunuhkan seseorang bagiku," ia melanjutkan ketus.

"Membunuh orang itu?"

"Ya, benar!"

"Sayang, aku hanya membunuh dua jenis manusia!"

"Orang-orang yang mempunyai ikatan dendam denganmu?"

Yan Cap-sa mengangguk.

"Dan yang sejenis lagi adalah orang-orang yang ingin membinasakan diriku," ia menambahkan.

Sesudah berhenti sejenak, katanya lagi:

"Maka dari itu aku berharap agar kau dapat memahami satu hal"

"Katakanlah!" kata Buyung Ciu-ti

"Bila kau bertekad ingin membinasakan orang itu, maka kau harus turun tangan sendiri, sebab tali simpul yang membelenggu dirimu hanya bisa dibebaskan olehmu sendiri"

"Tapi aku tak dapat berbuat demikian"

"Kenapa?"

"Sebab.....sebab aku tak ingin bertemu lagi dengannya"

"Apakah karena kuatir setelah bertemu lagi dengannya nanti maka kau menjadi tak tega untuk turun tangan?"

Sepasang tangan Buyung Ciu-ti mengepal semakin kencang.

Tentu Yan Cap-sa mengetahui apa yang sedang dipikirkan perempuan itu, ia menghela napas panjang.

"Aaaai....bila tak tega, buat apa mesti membinasakannya?" ia berbisik.

Buyung Ciu-ti menatapnya tajam-tajam, tiba-tiba ia berkata:

"Akupun berharap kepadamu agar kau bisa memahami tentang satu persoalan...."

"Coba katakan!"

"Aku bertekad membinasakan orang itu, bahkan engkau pula yang harus melaksanakan tugas ini!"

"Kenapa?"

"Sebab orang itu bernama Cia Siau-hong!"

"Cia Siau-hong dari telaga Liok-sui-ou?" kata Yan Cap-sa dengan wajah agak berubah.

"Ya, dialah orangnya!"

ooo)O(ooo

Di ruang tengah perkampungan Sin-kiam-san-ceng yang berada di bukit Cui-im-hong telaga Liok-sui-ou, terbentang sebuah papan nama yang besar sekali.

Di atas papan nama itu terukir lima huruf besar, lima huruf yang terbuat dari emas:

"Thian-he-tit-it-kiam" Pedang nomor wahid di dunia.

Bukan berarti orang-orang dari perkampungan itu tekebur dan membanggakan diri dengan memberi julukan buat perkampungan sendiri. Julukan itu mereka dapatkan dari hadiah para jago pedang yang bertanding di puncak bukit Hoa-san, dengan setail emas murni tiap orang, mereka ciptakan papan nama itu dan diberikan untuk Cia Thian.

Cia Thian adalah pemilik pertama dari perkampungan Sin-kiam-san-ceng.

Kejadian ini sudah berlangsung lama, lama sekali, sekalipun huruf emas pada papan nama itu masih memancarkan sinar gemerlapan, nama julukan Thian-he-tit-it-kiam sudah tidak berwujud lagi.

Pada seratus tahun belakangan ini, sudah tiada seorang manusiapun yang dapat disebut jago pedang nomor wahid di dunia.

Kejayaan serta kepamoran Sin-kiam-san-ceng pun makin lama ikut semakin redup sehingga tiba pada generasi ini.

Ya, generasi sekarang memang berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, sebab pada generasi sekarang telah muncul seorang manusia yang luar biasa, bukan ilmu pedangnya saja yang lihay, bahkan sastrapun tak kalah hebatnya.

Orang ini pernah mengalahkan Hoa Sau-kun seorang jago pedang dari perguruan Hoa-san pada tiga belas tahun berselang.

Ketika itu dia baru berusia sebelas tahun.

Sejak dilahirkan, orang ini seakan-akan telah membawa datang segala kebahagiaan dan kejayaan.

Setelah ia dilahirkan, tak seorang manusiapun di dunia ini dapat menandingi kejayaan serta ketenaran yang diperolehnya.

Dia adalah seorang jago pedang yang tiada duanya di dunia ini, seorang manusia berbakat dari dunia persilatan. Bukan saja ia cerdik, gagah dan perkasa, iapun seorang pendekar sejati yang berjiwa jujur dan penuh kebijaksanaan.

Dalam sejarah kehidupannya, walaupun siapapun juga orang itu, jangan harap bisa menemukan setitik kelemahan dari tubuhnya.

Orang itu bukan lain adalah Sam-sauya (Tuan muda ketiga) dari perkampungan Sin-kiam-san-ceng.

Orang ini tak lain adalah Cia Siau-hong.

ooo)O(ooo

Suasana dalam hutan sangat hening, ditengah kelembaban udara disekitar tempat itu, terendus bau daun yang mulai membusuk.

Tapi Yan Cap-sa seolah-olah tidak merasakan bau itu, bahkan napasnya nyaris terenti ketika mendengar nama orang itu.

Lewat lama, lama sekali, ia baru menghembuskan napas panjang.

"Aku mengetahui orang ini," demikian bisiknya.

"Ya, sudah tentu kau harus tahu, sebab kalian masih mempunyai sebuah janji yang tak akan buyar sebelum mati"

Yan Cap-sa tak dapat menyangkal perkataan itu, katanya:

"Ya, aku memang telah berjanji untuk menjumpainya"

"Kau tak pernah batalkan setiap perjanjian yang telah kau buat..... bukan?" tanya Buyung Ciu-ti.

"Selamanya tak pernah!"

"Kalau begitu perjanjianmu kali ini mungkin adalah perjanjianmu yang terakhir"

"Masa iya?"

"Pernah kusaksikan permainan pedangmu, tapi kau masih bukan tandingannya!"

"Kalau sudah tahu, mengapa masih menyuruh aku untuk membunuhnya...?" Yan Cap-sa tertawa getir.

"Sebab kau telah bertemu denganku"

"Kau.....!"

"Ilmu pedangnya sudah berhasil melebur jadi satu dengan perasaan dan jiwanya, hampir boleh dibilang telah melampaui batas maksimal dari suatu permainan pedang"

"Aaaai....dia memang seorang yang berbakat, akupun pernah menyaksikan dia turun tangan", Yan Cap-sa menghela napas.

"Sudah kau temukan juga titik kelemahan dibalik permainan pedangnya?"

"Masa dalam permainan pedangnya masih ada titik kelemahan? Tidak mungkin ada"

"Ada!"

"Sungguh ada?"

"Pasti ada, meski hanya setitik saja"

"Dan kau tahu?"

"Hanya aku seorang yang tahu!"

Mencorong sinar tajam dari balik mata Yan Cap-sa.

Ia percaya apa yang dikatakan bukan kata-kata bohong, seandainya di kolong langit masih ada seorang yang mengetahui titik kelemahan dalam permainan pedang Sam-sauya, maka orang itu pasti adalah dia.

Sebab mereka pernah saling mencintai.

Atau paling sedikit dikala mereka akan memiliki bocah itu, jiwa dan raga mereka pernah bersatu. Hanya seseorang yang amat dicintainya yang akan mengetahui rahasia tersebut.

Bagi seorang jago pedang yang tiada taranya di dunia ini, titik kelemahan di dalam permainan pedangnya merupakan suatu rahasia yang paling besar dalam sejarah hidupnya.

Bukan saja sepasang matanya saja yang memancarkan sinar tajam, jantung Yan Cap-sa ikut berdebar keras.

Dia seorang yang berlatih pedang pula.

Ia telah mempersembahkan semua jiwa dan cintanya kepada pedangnya. Persembahan bukan hanya suatu persembahan yang agung, melainkan suatu pengorbanan pula yang harus dibayar dengan segala kesengsaraan dan kesulitan.

Tapi pengorbanannya bukan suatu pengorbanan yang sia-sia.

Sinar kebanggaan di sat berhasil merenggut kemenangan, sudah cukup untuk menyinari seluruh kehidupannya.

Tujuannya berlatih pedang adalah untuk mencari kemenangan, bukan mencari kematian.

Ya, sudah pasti tidak!

Maka di kala ada kesempatan untuk mencari kemenangan, siapakah yang sudi melepaskannya dengan begitu saja?

ooo)O(ooo

Tidak ada komentar: