Pendekar Gelandangan 005

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

05

Ketika menjumpai sinar matanya yang mencorong, Buyung Ciu-ti segera memahami bahwa orang itu sudah dibuat tertarik oleh perkataannya.

Dengan cepat ia berkata lebih lanjut:

"Oleh sebab itu di kolong langit dewasa ini hanya aku seorang yang bisa membantumu untuk mengalahkan dia, dan hanya kau seorang yang sanggup membinasakan dirinya"

"Kenapa hanya aku seorang?"

"Sebab asal salah satu jurus dari ketiga belas pedang perenggut nyawamu mengalami sedikit perubahan, maka kau sudah sanggup untuk membinasakan dirinya!"

"Jurus yang mana?"

"Jurus ke empat belas!"

ooo)O(ooo

Sudah terang dia tahu kalau Toh-mia-cap-sa-kiam hanya terdiri dari tiga belas jurus, kenapa sekarang dapat muncul jurus yang ke empat belas? Kalau orang lain, mungkin dia tak akan habis mengerti.

Tapi Yan Cap-sa mengerti.

Walaupun Toh-mia-cap-sa-kiam hanya terdiri dari tiga belas macam gerakan jurus, namun perubahan yang dikandung di dalamnya justru terdiri dari empat belas perubahan.

Pada perubahan yang terakhir itulah terkandung seluruh intisari dari jurus serangannya. Disitulah tersimpan roh atau nyawa dari permainan pedangnya.

Roh itu memang tidak nampak, tapi tiada seorang manusiapun yang menyangkal kalau roh itu tak ada.

Tiba-tiba Buyung Ciu-ti melompat bangun. Jangan dilihat tubuhnya yang lemah gemulai seolah-olah tak bertenaga, namun dari balik matanya justru memancarkan sinar tajam yang melebihi tajamnya sembilu.

Ia sedang memandang ke arah Yan Cap-sa, bahkan sepatah demi sepatah ia sedang berkata:

"Sekarang aku telah menjadi Cia Siau-hong"

Ketika tujuh patah kata itu diutarakan, sinar matanya seakan-akan telah berubah menjadi semacam hawa pembunuhan yang menggidikkan hati! Ya, semacam hawa maut yang hanya dimiliki oleh sekawanan jago lihay yang sudah terbiasa membunuh orang.

Mungkinkah perempuan muda yang lemah lembut dan tak bertenaga itu sudah pernah membunuh orang? Berapa orang yang telah dibunuhnya?

Yan Cap-sa tidak bertanya, diapun merasa tak perlu bertanya, sebab ia dapat menduganya.

Buyung Ciu-ti telah mematahkan sebatang ranting, lalu berkata:

"Inilah pedangku!"

Setelah ranting tersebut berada di tangannya, perempuan itu kembali mengalami perubahan.

Hawa pembunuhan yang mengerikan dan menggidikkan hati itu bukan hanya terdapat di dalam pancaran matanya saja, di tubuhnya ada, di seluruh bagian tubuhnya ikut ada.

"Sekarang perhatikan baik-baik, awasi dengan seksama, inilah satu-satunya titik kelemahan yang terdapat di dalam ilmu pedangnya", Buyung Ciu-ti berkata.

Segulung angin berhembus lewat, angin itu secara tiba-tiba terasa begitu dingin.

Tubuhnya, maupun pedangnya sudah mulai melakukan gerakan, semacam gerakan yang begitu lambat, begitu indah sebebas angin yang berhembus lewat.

Bila ada angin berhembus lewat, siapakah yang dapat menahannya?

Siapa pula yang bisa menduga darimana datangnya hembusan angin itu?

Raut wajah Yan Cap-sa berkerut kencang. Pedangnya pelan-pelan sudah menusuk ke depan.

Pedang itu menusuk tiba-tiba dari suatu arah yang tak dapat di duga, setelah tertusuk keluar tiba-tiba saja mempunyai perubahan lagi yang sukar dibayangkan sebelumnya.

Betul juga, dalam perubahan itulah ia menemukan sebuah titik kelemahan.

Di kala angin puyuh berhembus lewat, benarkah masih ditemukan bagian-bagian yang terhindar dari hembusan?

Tapi ketika angin puyuh berhembus lewat, benarkah masih ditemukan bagian-bagian yang terhindar dari hembusan?

Tapi ketika angin puyuh itu berhembus lewat, siapa pula yang akan menaruh perhatian ke arah sana?

Tiba-tiba Yan Cap-sa menemukan bahwa telapak tangannya sudah basah oleh keringat dingin.

Pada saat itulah gerakan tubuh Buyung Ciu-ti berhenti di tengah jalan.

Ditatapnya Yan Cap-sa dengan pandangan dingin, kemudian katanya:

"Sekarang apakah kau sudah menemukannya?"

Yan Cap-sa mengangguk.

"Kau dapat menemukannya karena gerakanku sekarang dua puluh empat kali lebih lambat daripada gerakannya"

Yan Cap-sa percaya bahwa perkiraannya itu tepat dan tak mungkin salah.

Bila seorang jago yang sungguh-sungguh jago memberikan penilaiannya, maka penilaiannya itu sepuluh kali lipat akan lebih cocok daripada penilaian petugas pegadaian.

"Bila aku benar-benar turun tangan, meskipun lebih lambat sedikit darinya, tapi tak akan lambat terlalu banyak", kata Buyung Ciu-ti.

Yan Cap-sa mau tak mau harus mempercayainya.

Sekarang ia baru menyadari bahwa perempuan yang tampaknya lemah gemulai seakan-akan tak bertenaga itu hakekatnya adalah jagoan lihay yang belum pernah dijumpainya selama hidup.

"Sekarang aku telah bersiap sedia untuk melancarkan serangan!", kata Buyung Ciu-ti tiba-tiba.

"Melancarkan serangan? Siapa yang hendak kau hadapi?"

"Kau!"

Pelan-pelan Yan Cap-sa menghembuskan napas panjang.

"Apakah kau hendak membuktikan dapatkah aku memecahkan seranganmu itu?"

"Betul!"

"Bila aku berhasil memecahkan serangan tersebut, bukankah kau bakal mati secara mengenaskan di ujung pedangku?"

"Tentang hal ini kau tak perlu kuatir"

"Seandainya aku belum berhasil juga untuk memecahkan seranganmu itu....?", Yan Cap-sa bertanya hati-hati.

"Maka kau harus mampus!"

Setelah berhenti sebentar, lanjutnya dengan suara dingin:

"Sebab bila kau belum berhasil juga untuk memecahkan serangan tersebut, sekalipun kau tetap hidup juga tak akan mendatangkan manfaat apa-apa untukku, maka lebih baik kau mati saja"

ooooOOOOoooo

Bab 2. Pedang Pembunuh Manusia

Suasana dalam hutan hening, sepi, tak kedengaran suara apapun, termasuk pembicaraan manusia.

Yan Cap-sa sedang memandang ranting di tangan perempuan itu sambil termenung, ia seakan-akan sedang memikirkan sesuatu.

"Mengapa kau belum mencabut pedangmu?", tanya Buyung Ciu-ti tiba-tiba.

"Pedangku sudah berada di tangan, setiap saat dapat kucabut keluar, dan kau?"

"Inilah pedangku!"

"Bukan, itu bukan pedang"

"Meskipun wujudnya bukan pedang, tapi dalam genggamanku dapat berubah menjadi senjata pembunuh"

"Aku tahu. Kau dapat membunuh orang dengan benda itu, tapi pada hakekatnya wujud sebenarnya tak lain hanya sebuah ranting kering"

"Asal bisa digunakan untuk membunuh orang meskipun bentuknya hanya ranting atau pedang sungguhan toh tiada bedanya"

"Tetap ada bedanya!"

"Apa bedanya?"

"Benda itu dapat membunuh orang, tapi hingga kini belum pernah melakukannya, berbeda dengan pedangku"

Dengan penuh kasih sayang laki-laki itu membelai pedangnya, lalu berkata lebih lanjut:

"Sudah sembilan belas tahun pedang ini mengikutiku, manusia yang mampus di ujung pedang inipun sudah mencapai enam puluh tiga orang"

"Aku tahu, tak sedikit memang manusia yang telah kau bunuh"

"Sebetulnya pedang ini tidak lebih cuma sebilah pedang yang sederhana, tapi sekarang ia telah menghirup dari enam puluh tiga orang, ya, enam puluh tiga orang pembunuh yang tak berperasaan, enam puluh tiga lembar sukma penasaran"

Ia masih membelai terus pedangnya, setelah menarik napas panjang, pelan-pelan lanjutnya:

"Aku merasa pedangku sekarang seolah-olah sudah bernyawa, ia sangat bernapsu ingin menghirup darah orang lain, ia berharap orang lain dapat mampus di ujung pedangnya"

"Apakah dia yang memberitahukan ke semuanya itu kepadamu?", ejek Buyung Ciu-ti sambil tertawa dingin.

"Tentu saja ia tak dapat memberitahukan kepadaku, tapi aku dapat merasakannya"

"Merasakan apa?"

"Bila ia sudah keluar dari sarungnya, seorang pasti akan terbunuh, kadangkala bahkan aku sendiripun tak sanggup untuk mengendalikannya"

Apa yang diucapkan bukan cerita tahayul, tapi suatu kenyataan.

Bila kaupun memiliki pedang semacam ini, bila kaupun pernah membinasakan enam puluh tiga orang, maka kau pasti akan mempunyai perasaan seperti ini.

Sekali lagi Yan Cap-sa memperhatikan ranting di tangan itu, kemudian berkata:

"Ranting kering di tanganmu itu sudah mati, ia tidak mempunyai gairah untuk membunuh orang, sedang kau sendiripun tidak bersungguh-sungguh ingin membinasakan diriku"

Ia mendongakkan kepalanya dan menatap sepasang matanya tanpa berkedip, kemudian menambahkan:

"Sebab pada hakekatnya kau bukan Cia Siau-hong!"

Bibir Buyung Ciu-ti sudah memucat, mukanya ikut memutih, mungkin ucapan tersebut sangat mengena dalam hatinya.

Selembar daun melayang jatuh, tepat dihadapannya.

Sambil memandang benda itu, gumamnya:

"Apakah daun tersebut kini juga sudah mati?"

"Ya, daun itu sudah mati!"

"Tapi belum lama berselang ia masih berada di atas ranting, dia masih hidup segar"

Kalau daun belum rontok dari rantingnya tentu saja masih hidup, setelah terjatuh ke tanah apakah masih dapat dikatakan hidup?

"Benarkah kehidupan manusia harus menyerupai nasib dari daun tersebut?", keluh Buyung Ciu-ti.

"Aku dapat memahami perasaanmu", bisik Yan Cap-sa.

"Kau sungguh-sungguh dapat memahami?"

"Ya, untuk menghidupkan bocah itu dan memeliharanya hingga dewasa, tentu sudah banyak penderitaan yang kau alami, maka cintamu kepadanya tak mungkin dapat menandingi rasa benci dan dendammu kepadanya"

Buyung Ciu-ti tidak menyangkal, dia hanya membungkam.

"Oleh karena itu, kaupun tidak merasa sayang terhadap jiwa dan kehidupanmu," Yan Cap-sa melanjutkan, "asal aku dapat memecahkan seranganmu itu, meski kau bakal mati di ujung pedangku, kaupun akan mati dengan hati yang rela".

Ia menghela napas panjang, katanya:

"Sayang kau keliru besar!"

"Aku keliru?"

"Ya, karena meskipun aku dapat memecahkan seranganmu, belum berarti dapat memecahkan serangan dari Cia Siau -hong".

Ditatapnya perempuan itu tajam-tajam, lalu meneruskan:

"Sebab pedang yang kau gunakan bukan sebilah pedang pembunuh, kaupun bukan Cia Siau-hong".

Tiba-tiba sepasang tangan Buyung Ciu-ti terjulur ke bawah dengan lemas, hawa pembunuhan yang semula menyelimuti wajahnya kini ikut lenyap tak berbekas, air matanya sudah bercucuran membasahi pipinya.

"Tapi aku dapat mengabulkan permintaanmu itu", kata Yan Cap-sa lebih lanjut, "bila ada kesempatan, dia pasti akan kubunuh!"

Buyung Ciu-ti merasakan semangatnya kembali berkobar.

"Kau merasa mempunyai berapa bagian keyakinan?", tanyanya.

"Sebetulnya sebagianpun tak punya!", jawab Yan Cap-sa sambil tertawa getir.

"Dan sekarang?"

"Sekarang paling sedikitpun sudah ada empat lima bagian"

"Jadi kau telah berhasil menemukan cara pemecahannya?"

"Coba lihatlah!", tiba-tiba Yan Cap-sa memungut sebatang ranting kering di atas tanah.

Gerakan tubuhnya itu sederhana dan lagi bebal, tapi sinar mencorong keluar dari balik mata Buyung Ciu-ti.

Perempuan itu tahu, ia telah berhasil menemukannya.

Ya, seandainya ilmu pedang dari Sam-sauya adalah sebuah gembokan, maka dia telah berhasil menemukan anak kunci pembuka gembokan tersebut.

Ketika sebuah tusukan dilancarkan, kebetulan ada segulung angin berhembus lewat.

Tiba-tiba ranting kering di tangan Yan Cap-sa itu berubah menjadi bubuk yang lembut, dalam waktu yang singkat bubuk tersebut sudah terhembus hingga lenyap tak berbekas.

Seandainya ia melancarkan serangan dengan memakai sebilah pedang sungguhan, dapat di bayangkan sampai dimanakah kekuatan yang disertakan dalam tusukan tersebut.

Buyung Ciu-ti menghembuskan napas panjang dan pelan-pelan duduk kembali, katanya:

"Sekarang, kau pergilah!"

ooo)O(ooo

Ketika Yan Cap-sa tiba di luar hutan, si Memuakkan masih bermain di tempat itu.

Hanya si Memuakkan seorang, pada tangan kirinya memegang sebuah paha ayam, padahal mulutnya masih mengunyah buah pir.

Di sekeliling tempat itu tak ada penjaja makanan ataupun buah-buahan, entah makanan-makanan tersebut ia dapatkan dari mana.

Yan Cap-sa memang suka dengan bocah ini, apalagi bila terbayang kembali kisah kehidupannya, ia semakin menaruh perasaan simpatik.

Untungnya bocah itu sepertinya sudah pandai membawa diri dan merawat dirinya baik-baik.

Ketika itu, si Memuakkan sedang memandang ke arahnya dengan sepasang mata yang terbelalak besar.

Yan Cap-sa menghampirinya dan menepuk bahunya, lalu berkata:

"Cepatlah pulang, encimu sedang menunggu kau"

"Mau apa dia menunggu aku?"

"Karena.....karena dia sangat memperhatikan dirimu"

"Buat apa dia menaruh perhatian kepadaku?"

"Apakah kau beranggapan bahwa selama ini tak ada orang yang pernah menaruh perhatian kepadamu?"

"Ya, selamanya memang tak ada, bahkan separuh manusiapun tak ada. Aku adalah si Memuakkan, siapapun muak melihatku, belum pernah ada orang yang tidak muak melihat tampangku"

Ia menggigit paha ayam di tangannya, lalu menambahkan:

"Tapi, sedikitpun aku tak ambil perduli!"

Memandang raut wajahnya yang manis dan menawan, tiba-tiba Yan Cap-sa merasa hatinya menjadi kecut.

Di sekitar tempat itu tak ada orang lain, sesosok bayangan manusiapun tak ada, kembali ia tak tahan dan bertanya:

"Kemana perginya temanku?"

"Temanmu yang mana?"

"Si Burung Gagak!"

"Dalam hutan ini tak ada burung gagak, yang ada cuma burung-burung gereja!"

"Maksudku orang yang berada bersamaku tadi, ia bernama si burung gagak..." Yan Cap-sa menerangkan.

Si Memuakkan mengedipkan matanya, lalu berkata:

"Apakah kau pernah membayar uang jaminan kepadaku? Pernahkah kau minta kepadaku untuk menjaga dirinya?"

"Tidak pernah!"

"Nah, kalau tidak pernah, dengan dasar apa kau ajukan pertanyaan kepadaku?"

"Karena.... karena aku rasa kau pasti tahu kemana ia telah pergi.........."

"Tentu saja aku tahu, tapi dengan dasar apa aku musti memberitahukan hal ini kepadamu?"

Yan Cap-sa terbungkam, dia hanya bisa tertawa getir.

Ya, kadangkala pertanyaan yang diajukan seorang bocah memang sukar untuk dijawab sebagaimana mestinya.

Kembali si Memuakkan menggigit buah pir-nya, tiba-tiba ia berkata:

"Tapi belum tentu aku tak akan memberitahukan kepadamu!"

"Apa yang harus kulakukan sehingga kau bersedia memberitahukan hal ini kepadaku?"

"Bila kau ingin bertanya kepadaku, sedikit banyak harus kau bayar dulu ongkos untuk bertanya?"

Tangan Yan Cap-sa sudah merogoh sakunya, tapi setengah harian ia merogoh tak sepotong bendapun yang berhasil didapatkan.

"Kalau kulihat dari dandananmu serta pakaianmu yang perlente, tampaknya seperti orang yang kaya, masa kau betul-betul kosong melompong Cuma kerak kosong belaka?"

"Mungkin, karena selama ini belum pernah ada orang yang minta ongkos bertanya kepadaku"

Si Memuakkan menghela napas panjang:

"Aaaai.... Kalau toh sang kayu tak dapat mengeluarkan minyak, terpaksa aku harus mengakui lagi sial. Kalu begitu tulis saja nota hutang untukku"

"Nota hutang?"

"Bukankah kau ingin bertanya? Siapa bertanya dia harus membayar ongkos bertanya dan sekarang kau tak punya uang, lain hari tentu punya bukan.....?"

"Di sini tak ada kertas tak ada pit, aku musti menulis nota hutang itu dengan apa?"

"Gunakan pedangmu untuk menyayat kulit pohon dan tulislah nota hutang itu di atas kulit pohon dengan pedangmu"

"Pandai amat kau berpikir!" keluh Yan Cap-sa sambil tertawa getir.

Dalam keadaan begini, terpaksa dia menuruti kemauan orang.

"Berapa yang kau minta?" tanyanya kemudian.

"Satu huruf yang ditulis, sepuluh huruf juga harus ditulis, kalau toh sama-sama harus menulis lebih baik tulis saja yang rada banyakan sedikit"

Sepasang biji matanya berputar-putar, lalu terusnya:

"Kalau begitu.....yaaa, tulislah sepuluh laksa tahil perak, meskipun terlampau sedikit bagiku tak apalah, terhadap orang miskin macam kau, memang aku harus bertindak bijaksana"

Yan Cap-sa membelalakkan sepasang matanya serta memperhatikan bocah itu dari atas hingga ke bawah sebanyak beberapa kali.

Seorang bocah yang baru berusia tujuh tahun, ternyata begitu buka suara lantas minta sepuluh laksa tahil perak, bagaimana nantinya setelah dewasa?

"Aku tahu dalam hati kecilmu sekarang sedang berpikir, sekecil ini aku sudah pandai mencari untung, bagaimana nantinya setelah menjadi dewasa........"

"Darimana kau bisa tahu apa yang sedang kupikirkan?"

"Sebab perkataan semacam ini sudah berulang kali diajukan orang lain kepadaku"

"Lantas bagaimana kau menjawabnya?"

"Aku jawab, kalau sekarang sudah pandai memeras, setelah dewasa nanti pasti akan menjadi hartawan yang kaya raya, alasan semudah ini masa tak bisa kau pahami!"

Yan Cap-sa tertawa, ia benar-benar tertawa.

Bocah ini benar-benar pandai merawat diri.

Bila seorang bocah yang tidak memperoleh perawatan, ternyata untuk merawat diri sendiripun tak bisa, itu baru namanya celaka.............

Oleh karena itu jumlah uang yang ditulis Yan Cap-sa dalam nota hutangnya bukan sepuluh laksa tahil perak, melainkan lima puluh laksa tahil perak....suatu jumlah yang cukup lumayan.

Si Memuakkan tertawa lebar setelah membaca tulisan itu, katanya:

"Aku minta sepuluh laksa, tapi kau memberi lima puluh laksa, tampaknya meski kau miskin, tapi cukup sosial untuk mengeluarkan uang"

"Kalau orang sosial dalam mengeluarkan uang, apakah dia yang miskin?"

"Betul, memang seharusnya bukan orang miskin"

"Nah, setiap perkataan yang masuk diakal musti kau catat sebaik-baiknya di dalam hati, bila kau tak ingin miskin, maka jangan terlalu besar mengeluarkan uang, lebih-lebih lagi jangan kau buang uangmu dengan begitu saja"

Tidak ada komentar: