Pendekar Gelandangan 008

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

08

Kembali orang berbaju hitam itu tertawa, suara tertawanya kedengaran semakin menarik hati.

"Mungkin setelah kau mengetahui siapakah aku, sekalipun bakal menimbulkan banyak kesulitan, kesulitan itu berharga untuk kau alami"

"Oya?!"

"Tentu saja, sebab aku adalah seorang perempuan yang cantik dan menawan hati, tentu selalu berharap agar orang lain ikut menyaksikan keindahannya"

"Oya?!"

"Bila orang lain menolak permohonannya dia pasti akan menganggap kejadian itu sebagai semacam cemoohan atau penghinaan, dia pasti akan merasa bersedih hati"

Pelan-pelan orang itu menghela napas panjang, terusnya:

"Bila seorang perempuan sedang bersedih hati atau kesal, kadangkala ia dapat melakukan segala perbuatan yang membingungkan!"

"Misalkan perbuatan apa?", tanya Yan Cap-sa.

"Misalnya, mungkin saja dia akan mengusir tamu yang telah di undangnya naik ke dalam kereta"

Yan Cap-sa mulai menghela napas.

Ketika ia mulai bernapas, sepasang matanya sudah dibuka......tapi hanya sekejap mata kemudian dipejamkan kembali, seakan-akan ia menjumpai setan mengerikan secara tiba-tiba.

Ya, karena yang terlihat olehnya sudah bukan seseorang yang terbungkus di balik kain hitam lagi.

Tentu saja yang dijumpainya ketika itu bukan setan.

Baik di langit maupun di bumi, mana mungkin bisa dijumpai setan yang menawan hati?

Ia telah menjumpai seorang perempuan.

Seorang perempuan yang betul-betul telanjang bulat, dari atas hingga bawah tubuhnya berada dalam keadaan polos, secuil kainpun tak kelihatan, semua bagian tubuhnya kelihatan jelas, begitu terang membuat orang merasa berdebar.

Tubuh itu begitu halus, begitu putih dan begitu lembut, sebagian besar berwarna putih pualam, tapi ada bagian-bagian tertentu yang berwarna hitam.

Belangkah dia? Tentu saja tidak!

Tapi mengapa ada bagian tubuhnya yang tertentu berwarna hitam? Entahlah...... mungkin sudah takdir sejak ia menjadi dewasa.

ooo)O(ooo

Bab 3. Ko-jin yang menakutkan

Seorang gadis cantik yang telanjang bulat, berbaring di sisimu bahkan menghembuskan napasnya yang harum di sisi telingamu.

Pemandangan semacam ini pasti amat menarik, pasti amat hangat dan bikin hati orang berdebar.

Bila dikatakan Yan Cap-sa sedikitpun tidak tertarik, ucapan itu pasti bohong dan tak bisa dipercaya.

Bukan orang lain saja yang tak percaya, mungkin dia sendiripun tidak percaya.

Sekalipun dia tahu dengan pasti kalau perempuan itu sangat berbahaya, sedemikian bahayanya seperti sebuah gunung berapi yang setiap saat bisa meletus.

Sekalipun ia dapat tak bernapas, tidak mengendusi bau harum yang tersiar dari tubuhnya, tapi ia tak dapat membuat jantungnya tidak berdebar.

Ya, bukan berdebar saja bahkan debaran jantungnya sudah mencapai ke taraf yang paling top.

Seandainya sejak semula dia tahu kalau bakal terjadi peristiwa semacam ini, ia benar-benar akan menolak untuk menaiki kereta itu.

Tapi sekarang ia sudah duduk di dalamnya.

Bukan hanya dengusan napas saja di sisi telinganya bahkan ada juga bisikan yang begitu lembut begitu merayu:

"Mengapa tidak kau pandang tubuhku? Kau takut?"

Sepasang mata Yan Cap-sa telah terbuka, ia sudah memandang ke arahnya, terutama bagian tubuhnya yang terlarang.

Si Ko-jin tertawa lebar, katanya dengan wajah berseri:

"Rupanya kau masih dapat disebut seorang laki-laki sejati, seorang laki-laki yang masih punya nyali"

"Sayang meskipun sudah kulihat selama tiga hari tiga malam, akupun tak dapat melihatnya", kata Yan Cap-sa sambil tertawa getir.

"Tidak dapat melihat apa?"

"Tidak dapat kulihat sebetulnya kau ini manusia sungguhan atau bukan?"

"Seharusnya dapat kau lihat!", kata Si Ko-jin.

Sambil membusungkan payudaranya yang montok berisi dan meluruskan sepasang pahanya yang putih, perempuan itu melanjutkan:

"Seandainya aku bukan manusia, menurut tanggapanmu aku lebih mirip sebagai apa?"

Asal mempunyai sepasang mata yang dapat melihat, siapapun seharusnya mengetahui bahwa dia bukan saja adalah seorang manusia, seorang perempuan hidup, diapun merupakan seorang perempuan di antara perempuan, setiap inci setiap bagian tubuhnya betul-betul adalah tubuh seorang perempuan.

"Kau sangat mirip dengan seorang perempuan, tapi apa....yang kau kerjakan sedikitpun tidak mirip!", kata Yan Cap-sa.

"Kau tentu tidak habis mengerti kenapa kulakukan perbuatan semacam in?"

"Seandainya aku dapat memahaminya, maka aku sendiripun bukan seorang manusia!"

"Kau menganggap dirimu terlalu jelek!" tanya Si Ko-jin kemudian.

"Tidak, aku tidak terhitung terlalu jelek"

"Kau sudah tua"

"Tidak terhitung tua!"

"Kau mempunyai cacat bawaan?"

"Tidak ada!"

"Pernahkah ada perempuan yang menyukaimu?"

"Ada beberapa orang"

"Lantas apa yang kau herankan?"

"Seandainya kau adalah perempuan lain, bukan saja aku tak akan keheranan bahkan akupun tak akan sungkan-sungkan seperti sekarang, sayang kau.......?", tiba-tiba Yan Cap-sa berhenti berbicara.

"Aku kenapa?"

"Kau telah mempunyai suami!"

"Cepat atau lambat, seorang perempuan pasti akan menikah, setelah menikah pasti mempunyai suami!"

Sepintas lalu, ucapan tersebut seperti perkataan yang tak berguna, tapi kenyataannya bukan.

Karena selanjutnya ia masih mempunyai suatu perkataan yang cukup hebat, begini katanya:

"Kalau yang dikawininya bukan seorang manusia, apakah ia terhitung mempunyai suami?"

Pertanyaan itu cukup hebat, tapi selanjutnya ada yang lebih hebat lagi:

"Semisalnya yang dikawini seorang perempuan adalah seekor babi, seekor anjing atau sebuah balok kayu, apakah ia dapat dianggap telah mempunyai suami?"

Yan Cap-sa sungguh tak tahu bagaimana musti menjawab pertanyaan itu, terpaksa ia balik bertanya:

"Apakah Hee-ho Seng adalah seekor babi?"

"Bukan!"

"Sebuah balok kayu?"

"Juga bukan!"

"Kalau begitu dia adalah seekor anjing?"

Si Ko-jin menghela napas panjang.

"Aaaai....seandainya dia adalah seekor anjing, aku malah merasa agak bahagia"

"Kenapa?"

"Sebab paling sedikit anjing masih mengetahui maksud manusia, dia masih mempunyai sedikit perikemanusiaan"

Sambil menggigit bibir, ia seperti menahan kesedihan dan penderitaan, katanya lagi dengan kesal:

"Hee-ho Seng lebih malas dari seekor babi, lebih tak mengenal kehangatan daripada sebuah balok kayu, dan lebih pandai menggigit orang daripada seekor anjing. Tapi justru dia masih berlagak sok hebat, sok luar biasa. Tiga tahun sudah aku kawin dengannya, tapi setiap hari aku hanya ingin minggat dari rumah"

"Kenapa kau tidak minggat saja?"

"Karena aku belum pernah mendapatkan kesempatan, biasanya ia tak pernah meninggalkan aku walau hanya selangkahpun"

Yan Cap-sa sedang mencari, mencari botol berisi arak yang belum habis diminum itu, dia ingin menggunakan botol arak tersebut untuk menyumbat mulut sendiri.

Karena sekarang ia benar-benar tak tahu apa yang musti diucapkan.

ooo)O(ooo

Botol arak itu tepat berada dihadapannya, dengan cepat ia berhasil menemukannya, tapi ia tak dapat menggunakan botol arak tersebut untuk menyumbat mulut sendiri.

Karena pada saat bersamaan, mulutnya telah disumbat oleh suatu benda lain, suatu benda yang empuk, lembut dan berbau harum.

Kebanyakan pria jika mulutnya disumbat dengan benda tersebut, biasanya akan memberikan suatu reaksi yang wajar, suatu reaksi yang hampir seragam.

Ya, itulah reaksi seperti yang dilakukan seorang bayi, menghisap dan menghisap...........

Tapi lain reaksi yang diberikan Yan Cap-sa, ia tidak menunjukkan reaksi seperti pada umumnya.

Ketika benda yang empuk, lembut dan harum itu menyumbat mulutnya, ia memperlihatkan reaksi seperti secara tiba-tiba ada seekor ular beracun menerobos masuk ke dalam mulutnya, seekor ular yang benar-benar sangat beracun.

Reaksi semacam ini tidak terlalu umum dan lagi bisa bikin orang tak senang hati.

Hampir meledak kemarahan Si Ko-jin saking mendongkolnya, sambil mencibirkan bibirnya ia mendesis:

"Aku ada racunnya?"

"Tidak ada tampaknya!"

"Dan kau ada?"

"Mungkin juga tak ada!"

"Lantas apa yang kau takuti?"

"Aku cuma mengetahui akan satu persoalan"

"Persoalan apakah itu?"

"Aku hanya ingin tahu sesungguhnya kau ingin aku berbuat apa?"

"Kau anggap aku bersikap demikian kepadamu karena aku ingin menyuruh kau melakukan suatu pekerjaan?"

Yan Cap-sa tidak menjawab, dia cuma tertawa.

Kalau tertawa tentu berarti mengakui atau membenarkannya.

Si Ko-jin sangat marah, ia benar-benar marah sekali, kalau marahnya sudah berlangsung setengah harian, apalagi yang hendak dia lanjutkan?

Sayang bila seseorang sedang marah, maka dia sama sekali tak ada artinya, maka pada akhirnya dia berbicara juga dengan sejujurnya.

Ia berkata begini:

"Padahal kali ini bukan untuk pertama kalinya aku minggat dari rumah, aku sudah mencoba minggat sebanyak tujuh kali"

"Oya?!"

"Kau tebak sudah berapa kali aku kena di tangkap kembali?"

"Tujuh kali!"

Si Ko-jin menghela napas panjang, katanya:

"Hee-ho Seng sesungguhnya tidak mempunyai kepandaian apa-apa, tapi dia justru mempunyai suatu kepandaian khusus yang luar biasa!"

"Oya?!"

"Kemanapun aku berusaha melarikan diri, ia selalu mempunyaa kepandaian untuk menangkapku kembali"

"Ehmmmm.....kepandaian semacam ini tentu luar biasa sekali!", kata Yan Cap-sa sambil tertawa.

"Oleh sebab itulah cepat atau lambat dia pasti akan berhasil menemukan diriku kembali. Untunglah kali ini keadaannya jauh berbeda!"

"Bagaimana bedanya?"

"Kali ini di kala ia berhasil menangkap kembali diriku, maka aku sudah menjadi orangmu"

Ia tidak memberi kesempatan kepada Yan Cap-sa untuk menyangkal kenyataan tersebut, segera ujarnya kembali:

"Atau paling sedikit dia tentu akan beranggapan bahwa aku sudah menjadi orangmu!"

Yan Cap-sa tak dapat tertawa, iapun tak dapat menyangkal atau memberi bantahan.

Barang siapa menyaksikan keadaan mereka sekarang, maka tak mungkin akan terlintas pikiran kedua dalam benaknya.

Terdengar Si Ko-jin berkata lebih jauh:

"Dia masih mempunyai suatu kepandaian yang lain, yakni ia sangat pandai menaruh perasaan cemburu"

Setiap pria seringkali memang ketempelan penyakit semacam ini, penyakit cemburu.

"Oleh karena itu, seandainya ia dapat menyaksikan keadaan kita sekarang, maka dengan segala daya upaya dia pasti akan berusaha untuk membinasakan dirimu"

Yan Cap-sa tak dapat berbuat lain, kecuali membenarkan pendapatnya.

Kembali Si Ko-jin berkata:

"Seandainya orang lain hendak membinasakan dirimu, bahkan dengan segala daya upaya ingin melenyapkan jiwamu, apa yang musti kau lakukan?"

Sebelum Yan Cap-sa menjawab, ia telah mewakilinya untuk memberikan jawaban:

"Tentu saja terpaksa kaupun harus membinasakan pula orang itu"

Yan Cap-sa menghela napas panjang, sekarang ia dapat memahami maksud dan tujuan perempuan itu.

Dengan lembut Si Ko-jin berkata lagi:

"Akan tetapi kaupun tak usah menghela napas, karena kau sama sekali tak bakal rugi, ada banyak orang pria yang bersedia membunuh orang karena ingin mendapatkan perempuan macam aku"

"Aku percaya pasti terhadap banyak orang lelaki yang dapat berbuat demikian, tetapi aku........."

"Kaupun sama saja!"

"Darimana kau bisa tahu kalau akupun sama saja?"

"Karena setelah sampai pada saatnya, kau pada hakekatnya tak mempunyai pilihan lain"

Pelan-pelan dia mendongakkan jidat orang dan katanya kembali:

"Setelah sampai pada waktunya nanti, bila kau tidak membinasakan dirinya maka dialah yang akan membinasakan dirimu, maka dari itu lebih baik kita sekarang....."

Ia tidak melanjutkan perkataan tersebut, bukan lantaran ada semacam benda lunak yang menyumbat mulutnya, justru mulutnya telah dipergunakan untuk menyumbat bibir orang.

Kali ini Yan Cap-sa tidak lagi menganggapnya sebagai ular berbisa, tampaknya kali ini pikirannya sudah terbuka.

Sayang, pada saat itulah tiba-tiba si kusir kereta memperdengarkan desisan kaget.

Dengan terkejut ia berpaling, lewat daun jendela ia dapat menyaksikan sebuah roda kereta yang ditumpanginya telah menggelinding lewat dari sisinya dan jatuh di tempat kejauhan.

Roda tersebut betul-betul adalah roda keretanya.........

Pada saat ia menyaksikan roda itu melaju lewat disampingnya, kereta mereka telah menerjang ke tepi jalan dan terjungkir balik.

Dengan terjungkirnya sang kereta maka jendelapun berubah ada di atas.

Seseorang sedang mengawasi mereka dari atas, pandangan itu dingin, ya, meski wajahnya ganteng tapi memiliki sepasang mata yang penuh dengan perasaan dendam.

Si Ko-jin menghela napas panjang.

"Coba lihatlah," demikian ia berkata, "bukankah ia benar-benar punya kepandaian?"

"Betul!", Yan Cap-sa cuma bisa tertawa getir.

Hee-ho Seng adalah keturunan dari keluarga persilatan.

Pada umumnya keturunan dari ketua persilatan tentu memiliki pendidikan yang tinggi, mereka jarang mengucapkan kata-kata kasar, sekalipun hendak "mengenyahkan" orang, biasanya mereka selalu menggunakan istilah "dipersilahkan".

Tapi sampai dimanapun disiplin dan sopannya orang itu, kesabaran ada batas-batasnya, demikian pula dengan keadaan Hee-ho Seng pada saat ini.

Sampai sekarang dia masih belum melontarkan makiannya, kejadian ini sudah terhitung suatu kejadian yang tak mudah.

Ia cuma memaki dengan sepatah kata saja:

"Perempuan rendah, gelinding keluarlah dari situ!"

Si Ko-jin memang seorang perempuan yang penurut, ia tidak membangkang ataupun membantah, ketika ia diminta keluar serta merta diapun keluar.

Tubuhnya masih dalam keadaan telanjang bulat, secuwil kainpun tidak melekat di tubuhnya.

Dengan gelisah kembali Hee-ho Seng berteriak:

"Jangan keluar!"

Si Ko-jin segera menghela napas panjang.

"Aaaai...bukankah kau tahu, selamanya aku selalu menuruti perkataanmu?" demikian ia mengeluh, "tadi kau suruh aku keluar dan akupun menurut, tapi sekarang kau melarangku keluar, apa yang harus kulakukan sekarang........?

Sepucat kertas paras muka Hee-ho Seng saking marahnya, sambil menuding ke arah Yan Cap-sa katanya:

"Kau.......kau.......kau........"

Sesungguhnya ia memang tak berbakat untuk bicara, apalagi berada dalam keadaan gelisah dan marah, sepatah katapun tak sanggup diutarakan keluar.

"Rupa-rupanya dia hendak suruh kau menggelinding keluar?", kata Si Ko-jin tiba-tiba.

"Aaaah, tidak mungkin"

"Tidak mungkin?"

"Ya, tentu saja! Sebab aku bukan perempuan memalukan, kenapa aku musti menggelinding keluar?"

Yan Cap-sa berhenti sebentar, lalu sambil tertawa, katanya lagi:

"Aku tahu Hee-ho Kongcu adalah seorang pemuda yang berpendidikan, andaikata ia akan minta aku keluar, maka dengan sikap yang sopan dan penuh rasa sungkan dia akan menggunakan istilah silahkan untuk mengundangku keluar"

Paras muka Hee-ho Seng kembali dari merah padam berubah menjadi pucat pias, sambil menggenggam sepasang kepalannya kencang-kencang ia berseru:

"Silahkan, silahkan, silahkan........."

Secara beruntun dia mengucapkan kata 'silahkan' sebanyak tujuh delapan belas kali, malah ketika kata-katanya belum selesai, Yan Cap-sa telah berada dihadapannya.

Kembali Yan Cap-sa tertawa.

"Sesungguhnya mau apa kau undangku keluar?", katanya.

"Aku persilahkan kau pergi mampus!"

ooo)O(ooo

Di depan jalan raya berhenti sebuah kereta, di atas pintu keretanya tertera simbol dari keluarga Hee-ho.

Si bocah dan sang kusir masih duduk di kursi bagian depan, mereka sedang mengawasi Yan Cap-sa dengan mata melotot.

Sang kusir adalah seorang kakek kurus kecil berambut putih, sudah puluhan tahun pengalaman kerjanya sebagai kusir kereta kuda. Jangan dilihat tubuhnya yang ceking, kegesitan maupun kecakapannya dalam berkusir tak kalah dengan pemuda manapun.

Gerak-gerik si bocah enteng dan lincah, sudah barang tentu dia pernah berlatih silat.

Tidak ada komentar: