Pendekar Gelandangan 009

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

09

Tapi sayang mereka tak sanggup membantu Hee-ho Seng, sebab itu orang yang harus dihadapi Yan Cap-sa tak lebih hanya Hee-ho Seng seorang.

Dalam hal ini, Yan Cap-sa merasa amat berlega hati.

Meskipun Hee-ho Seng bukan lawan yang empuk, lebih-lebih pedang seribu ularnya adalah sejenis senjata yang mengerikan.

Tapi cukup mengandalkan dia dengan sebilah pedangnya, Yan Cap-sa masih belum pikirkan persoalan itu di dalam hati.

Ia hanya merasa bahwa kejadian tersebut ada sedikit kurang beres.

Meskipun ia tidak pernah menaruh kesan baik terhadap manusia yang bernama Hee-hong in, tapi lantaran seorang perempuan ia harus membunuh suaminya.

Sayang ia tak punya waktu untuk mempertimbangkan lebih jauh.

Pedang seribu ular dari Hee-ho Seng dengan membawa kilatan cahaya tajam bagaikan munculnya beribu ekor ular beracun telah menyerbu ke arahnya.

Sesungguhnya dengan menggunakan jurus serangan yang manapun dari Toh-mia-cap-sa-kiamnya, ia sanggup untuk mematahkan ancaman tersebut.

Tapi pada detik yang terakhir, tiba-tiba timbul suatu ingatan aneh dalam benaknya.

Kalau Cho Ping boleh menggunakan si burung gagak untuk mencoba jurus pedangnya, kenapa ia tak boleh menggunakan kesempatan ini untuk mencoba daya kekuatan dari jurus pedangnya Sam-sauya?

Di kala ingatan tersebut mulai menjalar dalam benaknya, seenteng hembusan angin sejuk, atau secerah sinar matahari di pagi hari, pedangnya telah menyambar ke depan.

Jurus serangan yang dipergunakan tak lain adalah jurus pedang dari Sam-sauya.

Ia tidak begitu hapal dengan jurus serangan itu, bahkan ketika menggunakannya ia sama sekali tidak merasakan daya kehebatan dari gerakan tersebut.

Tapi sedetik kemudian, ia dapat membuktikan kedahsyatannya.

Serangan maut ular beracun dari Hee-ho Seng secara tiba-tiba hancur punah oleh hembusan angin sejuk itu seperti angin sejuk yang menggoyangkan pohon liu, bagaikan salju yang mencair oleh teriknya panas matahari. Ancaman itu lenyap dengan begitu saja.

Malah Hee-ho Seng terlempar sejauh tujuh delapan kaki ke tengah udara, lalu jauh terbanting di atas atap kereta kudanya sendiri.

Yan Cap-sa sendiri agak kaget dengan kehebatan itu.

Buru-buru si kusir tua membangunkan Hee-ho Seng, sementara si bocah membelalakkan matanya sedang memandang ke arahnya dengan pandangan kaget.

Si Ko-jin sedang menghela napas, tersenyum sambil menghela napas, tentu saja menghela napas cuma pura-pura, sedang tersenyum adalah sesungguhnya....

Manis betul senyuman yang menghiasi bibirnya, semanis madu sesejuk angin semilir di musim panas.......

"Tak kusangka ilmu pedangmu jauh lebih tinggi dari apa yang kubayangkan semula", dia berkata.

"Ya, aku sendiripun tak menyangka", Yan Cap-sa menimpali sambil menghela napas dan tertawa.

Helaan napasnya bukan berpura-pura senyumannya lebih tampak kegetirannya daripada manisnya.........

Ia cukup menyadari, andaikata jurus manapun dari Toh-mia-cap-sa-kiam yang dipergunakan, tak nanti akan menghasilkan kedahsyatan seperti sekarang ini.

Seandainya tiada petunjuk dari Buyung Ciu-ti, mana mungkin ia akan tahan menghadapi serangan tersebut?

Kini, sekalipun ia sanggup mengalahkan Sam-sauya, apa pula nikmatnya kemenangan semua itu?

Yan Cap-sa mulai merasakan kegetiran dalam hatinya, pergelangan tangannya segera diputar dan pedangnya disarungkan kembali.

Pada hakekatnya ia tidak memperhatikan Hee-ho Seng lagi, ia sudah tak menaruh hati lagi kepada orang ini.

Sungguh tak disangka olehnya ketika kepalanya didongakkan, Hee-ho Seng telah berdiri kembali dihadapannya, ia sedang memandang dengan tatapan dingin.

Yan Cap-sa menghela napas panjang.

"Apa lagi yang kau inginkan?", ia bertanya.

"Silahkan!"

"Oh, kau masih ingin mempersilahkan aku untuk mati?"

Kali ini Hee-ho Seng masih dapat mengendalikan perasaannya, dengan dingin ia berkata:

"Jurus pedang yang barusan kau gunakan betul-betul suatu ilmu pedang yang tiada tandingannya di kolong langit"

Yan Cap-sa tak dapat menyangkal akan kebenaran dari ucapan tersebut.

Bukan saja perkataan itu adalah perkataan yang sesungguhnya, itupun merupakan perkataan yang penuh rasa kagum, namun bagi pendengarannya justru terasa tak tenteram.

Sebab jurus pedang itu bukan jurus ilmu pedangnya.

Kembali Hee-ho Seng berkata:

"Adapun kedatanganku kali ini adalah ingin merasakan kembali kelihaian dari ilmu pedangmu itu!"

"Kau ingin menjajal lagi jurus pedangku yang barusan ini?"

"Benar!"

Yan Cap-sa tertawa.

Tentu saja bukan tertawa yang sesungguhnya, pun bukan tertawa dingin, lebih-lebih bukan tertawa getir. Tertawa semacam ini tak lebih hanya untuk menutupi saja keadaan yang sesungguhnya.

Menutup perasaan serta jalan pikirannya pada waktu itu.

Apabila bocah keparat ini berani mencoba sekali lagi kehebatan dari jurus pedang itu, apabila bukan gila sudah pasti ia telah mempunyai pegangan.

Agaknya ia tidak mirip orang yang sedang edan.

Mungkinkah ia telah berhasil menemukan jurus tandingan dari serangan itu? Bahkan ia merasa begitu yakin untuk menang?

Perasaan dan pikiran Yan Cap-sa mulai tergerak.

Ia betul-betul ingin melihat dengan cara apakah manusia di dunia ini dapat memecahkan kehebatan dari jurus pedangnya itu.

Hee-ho Seng masih menantikan jawabannya.

Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa Yan Cap-sa hanya bisa mengucapkan sepatah kata:

"Silahkan!"

Begitu ucapan tersebut diutarakan, Hee-ho Seng telah turun tangan, pedang seribu ularnya telah berubah menjadi ular-ular perak yang menari dan beterbangan memenuhi angkasa......

Serangan ini tampaknya seperti sebuah serangan tipuan.

Yan Cap-sa mengetahuinya, cuma ia tak ambil perduli.

Jurus serangan tipuan atau jurus serangan sesungguhnya dari pihak lawan, serangan dari Sam-sauya itu masih mampu untuk menghadapinya.

Kali ini ia pergunakan jurus itu jauh lebih matang dan lancar.

Di saat pedangnya mulai bergerak melakukan perubahan, "Craaat...." Ular-ular perak musuh yang beterbangan di angkasa telah bergabung membentuk kembali sebilah pedang.

Cahaya pedang berkilauan memenuhi angkasa sebuah tusukan kilat telah meluncur masuk.

Tusukan itu sangat sederhana, bukan saja sederhana, bahkan gerakannya begitu bodoh dan bebal, dan arah yang ditusuk ternyata tak lain adalah titik kelemahan dari jurus pedang Sam-sauya.

Yan Cap-sa bena-benar merasa terperanjat.

Ternyata jurus pemecahan yang dipergunakan Hee-ho Seng saat ini bukan lain adalah jurus pedang yang telah ia praktekkan dihadapan Buyung Ciu-ti tadi.

Bahkan Buyung Ciu-ti sendiripun mengakui bahwa gerakan jurus ini merupakan satu-satunya jurus pemecahan yang sanggup mematahkan serangan dari Sam-sauya.

Sekarang, ia telah menggunakan jurus serangannya untuk mematahkan serangan dari Sam-sauya.

Hee-ho Seng telah menggunakan jurus pemecahan hasil ciptaannya sendiri untuk membunuh dirinya.

Kini serangan telah dilancarkan, sekalipun hendak dirubahpun tak mungkin bisa dirubah lagi, mungkinkah ia harus tewas di ujung pedang dari jurus serangan hasil ciptaannya sendiri?

Ternyata ia tidak mati!

Dengan amat jelasnya dia mengetahui bahwa dibalik jurus serangan yang dipergunakan terdapat setitik kelemahan, dengan amat jelasnya dia tahu tusukan lawan mengarah justru mengarah titik kelemahannya itu.

Tapi setelah tusukan lawan masuk ke dalam lingkaran serangannya, tiba-tiba gerakan pedangnya kembali melakukan suatu perubahan yang sama sekali tak terduga.

Perubahan tersebut bukan saja tak pernah disangka olehnya, bahkan perubahan tersebut tak mungkin bisa ia ciptakan sendiri.

Perubahan itu pada dasarnya memang sudah terkandung di dalam gerakan jurus tersebut.

Ibaratnya air terjun dari bukit yang tinggi, ketika mengalir ke bawah, maka celah-celah kosong yang kau lihat dengan jelas, ketika tanganmu kau luncurkan ke dalamnya, dengan cepat air telah menutupi celah-celah kosong tadi.

"Triiiing......!" suau dentingan nyaring bergema memecahkan kesunyian.

Pedang seribu ular telah patah, patah menjadi beribu-ribu batang kecil. Hee-ho Seng sendiri ikut terpental pula ke tengah udara, terpental sangat jauh sekali.

Kali ini bahkan si kusir tuapun ikut memandang ke arahnya dengan pandangan terperanjat, sedemikian terkejutnya sampai ia lupa untuk merawat keadaan Hee-ho Seng.

Kali ini, Si Ko-jin bukan cuma tertawa belaka malah ia mulai bersorak sambil bertepuk tangan.

Akan tetapi perasaan Yan Cap-sa kali ini justru makin tenggelam, seakan-akan tenggelam ke dasar gudang es yang paling dingin.

Sekarang ia baru mengerti, titik kelemahan yang tertampak dalam gerakan serangan dari Sam-sauya, pada hakekatnya bukan titik kelemahan yang bisa ditunggangi.

Sekarang ia baru mengerti, di dunia ini hakekatnya tak seorang manusiapun sanggup mematahkan serangan tersebut.

Ya, seorang manusiapun tak ada.

Bila kau ingin mematahkan serangan itu, berarti kau sudah bosan hidup dan pergi hanya untuk menghantar jiwa sendiri, bila Cho Ping berani kesitu, diapun pasti akan mampus.

Apabila serangan itu bisa dipatahkan, dialah yang berhak mendapat segala pujian dan kebanggaan, sebaliknya bila tak mungkin untuk mematahkannya, maka dialah yang seharusnya tewas.

Hee-ho Seng yang tergeletak di tanah masih belum bangkit berdiri, noda darah masih mengotori ujung bibirnya.

Si kusir tua dan si bocah telah tertegun seperti patung saking kaget dan takutnya.

Tapi kuda penghela kereta masih tetap berdiri tegap, barang siapapun yang menjumpai kuda tersebut, mereka akan segera tahu bahwa kuda itu adalah kuda jempolan yang sudah terlatih lama.

Dia ingin sekali merampas kuda itu.

Ia lebih gelisah lagi karena harus cepat-cepat menuju perkampungan Sin-kiam-san-ceng, sekalipun pergi hanya untuk menghantar nyawanya, dia harus ke sana.

Ia tak ingin membiarkan Cho Ping menghantar nyawanya mewakili dia.

Sebab bagaimanapun juga dia adalah seorang jago persilatan.

Orang persilatan selalu mempunyai cara berpikir yang bertolak belakang dengan keadaan pada umumnya.

Pada saat itulah tiba-tiba ia mendengar ada orang sedang mendehem pelan.

Seorang gelandangan yang berpakaian dekil penuh lubang, bau dan kotor, sambil berbatuk-batuk tiada hentinya ke luar dari balik hutan yang sepi.

Tadi siapapun diantara mereka tak pernah menyaksikan orang ini.

Tadi, agaknya dalam hutan tiada orang semacam ini, tapi sekarang dengan pasti dan nyata orang itu berjalan ke luar dari balik hutan. Langkah tubuhnya sangat lambat, batuknya makin lama semakin keras dan menghebat.

Pertarungan sengit yang barusan berlangsung, sinar pedang yang berkilauan di angkasa dan mendebarkan hati itu, seakan-akan tak pernah dilihat olehnya.

Bahkan terhadap orang-orang yang berada di sekitarnya, diapun seolah-olah tak melihat.

Gadis cantik yang bugil, paling sedikit ada separuh bagian tubuhnya yang putih dan montok menongol keluar dari balik jendela kereta.

Tapi dia, seperti tak pernah melihatnya.

Jago pedang yang luar biasa dahsyatnya, dengan sebilah pedang berhawa pembunuhan.......

Diapun tidak melihatnya.

Dalam pandangan orang itu seakan-akan hanya terdapat seorang saja.... ia seperti hanya melihat kehadiran si kusir tua yang kecil lagi ceking itu.......

ooo)O(ooo

Si kusir tua itu sedang ketakutan setengah mati, sekujur tubuhnya menyusut menjadi satu, bahkan kelihatan sedang gemetar keras.

Gelandangan itu masih berbatuk tiada hentinya, ia berjalan lambat sekali....tiba-tiba ia berhenti, berhenti tepat di hadapan kereta kuda itu.....

Kusir tua itu lebih terkejut lagi, ia memandang ke arah gelandangan tadi dengan pandangan terkejut.

Gelandangan itu sudah berhenti berbatuk-batuk, tiba-tiba sapanya ke arah si kusir tua itu sambil tertawa:

"Baik, bukan?"

"Baik? Apanya yang baik? Baik apanya?"

"Aku maksudkan apakah kau baik?"

"Bagian manaku yang baik?"

"Segala-galanya di tubuhmu semuanya baik!"

Kusir tua itu tertawa getir tapi sebelum ia buka suara, gelandangan itu sudah berkata lagi:

"Tadi seandainya kau sendiri yang terjunkan diri, sekarang orang itu sudah mati"

Belum lagi kata-katanya habis diucapkan, ia sudah mulai berbatuk-batuk lagi, bahkan pelan-pelan pergi meninggalkan tempat itu.

Dengan wajah penuh rasa terkejut, kusir tua itu memandang ke arahnya tanpa berkedip.

Setiap orang semuanya sedang memandang ke arahnya dengan pandangan terperanjat, seakan-akan mereka tidak mengerti apa maksud dari ucapannya itu.

Yan Cap-sa sendiri seperti setengah mengerti setengah tidak, sesungguhnya dia ingin menyusul orang itu serta menanyakan lebih jelas lagi.

Sayang gelandangan itu sudah pergi entah kemana, bayangan tubuhnya telah lenyap tak berbekas.

Sekalipun langkah kakinya sangat lambat, tapi dalam sekejap mata itulah bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas, bahkan suara batuknya sudah tak kedengaran lagi.

Waktu itu, Si Ko-jin sedang bergumam seorang diri:

"Aneh, aneh...sungguh aneh sekali! Kenapa raut wajah gelandangan itu seperti ku kenal?"

Si kusir tua sedang bergumam pula:

"Heran...heran...sesungguhnya apa yang sedang dimaksudkan oleh orang itu?"

Sementara itu Yan Cap-sa telah tiba dihadapannya, ia lantas berkata:

"Apa yang dia katakan, mungkin tak akan dipahami orang lain, akan tetapi aku faham!"

"Oya?!"

"Bukan aku saja yang faham, kau sendiripun faham!"

Kusir tua itu segera menutup mulutnya sekali lagi ia mengawasi orang dihadapannya dengan pandangan kaget bercampur tercengang.

Pelan-pelan Yan Cap-sa berkata lagi:

"Pada dua puluh tahun berselang, jago paling tangguh dalam lembah Ang-im-kok bukanlah Hee-ho Tiong-san, cengcu yang sekarang ini?"

"Kalau bukan lo-cengcu, lantas siapa lagi?", kata kusir tua itu segera membantah.

"Orang itu adalah adik kandungnya yang bernama Hee-ho Hui-san!"

"Akan tetapi............."

"Akan tetapi pada dua puluh tahun berselang secara tiba-tiba Hee-ho Hui-san telah lenyap tak berbekas, bahkan kinipun tak ada yang mengetahui jejaknya, bukankah begitu?", tukas Yan Cap-sa.

Kusir tua itu menghela napas panjang.

"Aaaaai...aku kuatir kalau dia orang tua sudah lama meninggal dunia", bisiknya lirih.

"Semua orang persilatan mengira dia mati, tetapi sesungguhnya aku telah mengetahuinya bahwa dia sesungguhnya belum mati"

"Darimana kau bisa tahu?"

"Karena aku mengetahui jejak dan kabar beritanya!"

"Oya?! Lantas dia orang tua berada dimana?"

"Di sini", jawab Yan Cap-sa tegas.

Kemudian sambil menatap kusir tua itu tajam-tajam. Sepatah demi sepatah kata ia berkata lagi:

"Kau adalah Hee-ho Hui-san!"

ooo)O(ooo

Senja telah lama menjelang tiba, angin yang berhembus kian lama kian terasa dingin.

Tubuh kusir kereta tua yang menyusut bagaikan kura-kura, kini telah berdiri tegak, sorot matanya yang sayu dan ketuaan tiba-tiba memancarkan sinar terang.

Sinar terang itu hanya akan dijumpai di balik sorot mata seorang jagoan yang betul-betul berilmu tinggi.

"Jauh pada dua puluh tahun berselang, kau sudah pandai menggunakan Toh-mia-cap-sa-kiam", kata Yan Cap-sa berkata.

Kemudian setelah berhenti sebentar, ia memberikan penjelasannya lebih lanjut:

"Pertarunganmu melawan ayahku di puncak bukit Hoa-san pada dua puluh tahun berselang, meski tak diketahui orang lain, tapi aku mengetahuinya"

Kusir tua itu mengepal sepasang tangannya kencang-kencang.

Kembali Yan Cap-sa berkata:

"Dalam pertarungan itu, kau menderita kekalahan total ditangan ayahku, sebab itu selama dua puluh tahun terakhir ini kau pasti sudah amat mendalami ilmu Toh-mia-cap-sa-kiam tersebut, sebab kau selalu ingin mencari kesempatan untuk membalas dendam!"

Tiba-tiba kusir tua itu menghela napas panjang.

"Aaaaai....sayang ia mati terlampau awal", keluhnya.

Yan Cap-sa berkata lagi:

"Justru karena kau amat mendalami ilmu Toh-mia-cap-sa-kiam tersebut, maka kau baru tahu kalau disamping ke tiga belas jurus serangan itu sesungguhnya masih terdapat jurus yang ke empat belas, dan sebab itu pula kau dapat berpikir untuk menggunakan jurus itu untuk mematahkan seranganku tadi"

Ia menghela napas panjang, terusnya:

"Sebab kecuali kau, di dunia ini mungkin tak ada orang kedua yang mampu berbuat demikian"

Ternyata kusir tua itu tidak menyangkal.

"Kemanapun Si Ko-jin melarikan diri, ia tak pernah lolos dari cengkeraman Hee-ho Seng, tentu saja hal inipun disebabkan karena ada kau", kata Yan Cap-sa lebih lanjut.

"Oya?!"

"Kepandaian melacaki jejak orang dari Hwe-gan-sin-eng (Elang Sakti dari kawah berapi) Hee-ho Hui-san adalah nomor satu di dunia, sejak dua puluh tahun berselang sudah jarang ada orang di dunia ini yang mampu menandingi kepandaianmu itu"

"Rupa-rupanya persoalan tentang diriku yang kau ketahui tidak terlalu sedikit!", sindir si kusir tua dengan suara ewa.

"Ya, memang tidak sedikit!"

Tiba-tiba mencorong sinar mata setajam sembilu dari mata kusir tua itu, katanya:

"Apakah kaupun tahu kenapa aku lenyap secara tiba-tiba? Kenapa setelah lenyap tak berbekas aku rela menurunkan derajatku menjadi seorang budak dan menjadi kusir keretanya Hee-ho Seng?"

"Tentang persoalan itu, aku rasa tak perlu tahu!", jawab Yan Cap-sa dengan suara ewa.

Persoalan-persoalan semacam itu memang tak perlu ia ketahui, sebab urusan itu merupakan rahasia pribadi orang lain, tapi bukan berarti rahasia pribadi orang lain tidak diketahui olehnya.

Tidak ada komentar: