Pendekar Gelandangan
Karya: Khu Lung
10
Pertikaian antara sesama saudara, cinta gelap antara sang enso dengan sang ipar, karena kurang berhati-hati menyebabkan sekali salah melangkah mengakibatkan selama hidup harus menanggung sesal.
Sesungguhnya tragedi semacam itu sudah seringkali terjadi dalam suatu keluarga yang besar, bukan berarti hanya dalam keluarga Hee-ho saja kejadian semacam itu dapat terjadi.
Cuma saja lantaran mereka mempunyai nama yang cemerlang serta kedudukan yang mulia, maka semua tragedi serta kejadian yang memalukan yang telah terjadi berhasil dirahasiakan serapat-rapatnya.
Lenyapnya Hee-ho Hui-san dimasa lampau mungkinkah karena ia mempunyai hubungan cinta gelap dengan ensonya sendiri?
Setelah lenyap tak berbekas, diam-diam ia telah kembali lagi, bahkan rela menjadi budak, menjadi kusir kudanya Hee-ho Seng, apa sebenarnya yang ia tuju?
Mungkinkah Hee-ho Seng adalah anak hasil hubungan gelapnya dengan sang enso?
Tentang persoalan-persoalan yang bersangkutan dengan rahasia orang, Yan Cap-sa tak ingin membuat dugaan-dugaan.
Sebab hal itu merupakan rahasia pribadi orang lain, ia tak perlu untuk mengetahuinya.
ooo)O(ooo
Kusir tua itu sedang memandang ke arahnya, memandangnya dengan menggunakan sepasang matanya yang tidak sayu lagi.
Yan Cap-sa tidak berusaha untuk menghindari pandangan mata lawan.
Apabila seseorang merasa tak pernah melakukan kesalahan yang bertentangan dengan batinnya, ia tak perlu menghindari tatapan mata semacam itu.
Tba-tiba si kusir tua itu mengajukan satu pertanyaan yang aneh sekali.
"Sekarang kau memakai nama marga apa?"
"Yan, yan dari kata yan-cu atau walet!"
"Jadi kau adalah Yan Cap-sa?"
"Betul!"
"Kau sungguh-sungguh adalah putranya Ho-loji?"
"Betul!"
ooo)O(ooo
Beberapa patah kata ini bukan saja ditanyakan secara aneh, ditanyakan secara membingungkan, ternyata jawaban yang diperolehpun sama-sama membingungkannya.
Sesungguhnya pertanyaan itu adalah suatu pertanyaan yang sama sekali tiada artinya.
Pertanyaan semacam itu sesungguhnya tak perlu harus di jawab, tapi Yan Cap-sa mau tak mau harus menjawabnya.
Sebab ia tahu pertanyaan tersebut bukan sama sekali tak ada artinya, bahkan ucapan selanjutnya dari kusir tua itu lebih-lebih tak mungkin kalau tak berarti.
Ia berkata begini:
"Kalau toh kau adalah putranya bapakmu, seharusnya aku bunuh dirimu!"
Yan Cap-sa tidak membuka suara.
Ia cukup memahami perasaan dari orang tua ini. Bagi pandangan setiap umat persilatan, suatu kekalahan adalah penghinaan dan malu, dendam sakit hati seperti ini tak mungkin bisa terlupakan untuk selama-lamanya.
Dendam sakit hati semacam ini harus dituntut balas.
"Sebetulnya tadi aku ingin menggunakan jurus pedangmu sendiri untuk membunuhmu!" kusir tua itu berkata.
Ia menghela napas panjang, terusnya:
"Sayang cara Hee-ho Seng melancarkan serangannya terlampau lemah, dan lagi perubahan jurus pedangmu terlalu mengerikan"
"Sesungguhnya tidak terlampau lemah serangannya itu, cuma ia sudah kehilangan rasa percayanya pada diri sendiri!"
Kusir tua itu membungkam.
Kembali Yan Cap-sa berkata:
"Justru serangan itu belum begitu hafal bagiku, maka seandainya kau yang melancarkan serangan tadi, kemungkinan besar aku sudah tewas di ujung pedangmu"
Kusir tua itu mengakui, pandangan manusia gelandangan tadi memang terlalu tepat.
Tapi....siapakah dia?
Tidak sedikit tokoh-tokoh persilatan aneh yang berkeliaran dalam dunia persilatan, kalau orang lain tak ingin memperlihatkan identitas sendiri, apa gunanya kau mencari orang itu serta menanyakan asal-usulnya?
"Sekarang........", kata Yan Cap-sa.
"Sekarang sudah jauh berbeda!", kusir tua itu menambahkan.
"Di mana letak perbedaannya?"
"Sekarang kau sudah menaruh kepercayaan penuh atas kehebatan dari jurus pedang itu, maka akupun tak sanggup untuk mematahkannya"
"Atau paling sedikit kau boleh mencobanya dulu?"
"Tidak perlu!"
"Tidak perlu?"
"Kalau toh banyak persoalan yang tak perlu kau ketahui, kenapa ada banyak persoalan yang tak perlu kucoba?"
Ia tidak memberi kesempatan bagi Yan Cap-sa untuk melanjutkan kata-katanya, kembali ia menambahkan:
"Dua puluh tahun berselang, aku kalah di ujung pedang ayahmu, dan dua puluh tahun kemudian Hee-ho Seng kembali kalah di ujung pedangmu, apa gunanya bagiku untuk mencobanya kembali?"
Meskipun perkataan itu diucapkan dengan suara yang datar dan tawar, tapi siapapun dapat menangkap bahwa di balik perkataannya itu sebetulnya terkandung rasa sedih yang luar biasa.
Yan Cap-sa dapat memahami perasaannya.
Yang menjadikan ia berduka mungkin bukan pertarungan pada dua puluh tahun berselang, tapi justru kekalahan pada hari ini.
Pada akhirnya ia merasakan bahwa kemampuan putranya ternyata masih belum mampu menandingi kehebatan putra musuhnya.
Kekalahan ini baru merupakan suatu kekalahan total, kekalahan mutlak, dan kekalahan semacam ini tak mungkin bisa di tolong lagi, sekalipun putra musuhnya dibunuh, apa gunanya?
Pelan-pelan kusir tua itu berkata:
"Hari ini keluarga Hee-ho sudah betul-betul menderita kalah, orang dari keluarga Hee-ho kami boleh kau bawa pergi sesuka hatimu!"
Ia sudah bersiap-siap untuk menyerahkan Si Ko-jin kepada Yan Cap-sa.
Rupanya ia sudah tidak menginginkan menantu semacam itu lagi.
"Aku sama sekali tak ingin membawa pergi siapapun juga!", kata Yan Cap-sa tegas.
"Kau benar-benar tidak ingin?"
Yan Cap-sa menggelengkan kepalanya.
"Tapi aku sangat menginginkan............."
"Sekalipun kau menginginkan batok kepalaku sekarang juga akan kupersembahkan untukmu!", tukas si kusir tua itu dengan mata mencorong sinar tajam.
Yan Cap-sa tertawa.
"Tidak! Aku tidak menginginkan batok kepalamu, aku hanya ingin meminjam seekor kuda, seekor kuda yang dapat berlari cepat!"
Kuda itu betul-betul seekor kuda bagus yang dapat berlari cepat.
Yan Cap-sa membedal kudanya secepat-cepatnya.
Terhadap kuda bagus yang sanggup berlari cepat ini, tiada rasa sayang barang sedikitpun yang tercermin di atas wajahnya.
Terhadap kesehatan tubuh sendiripun ia tidak menaruh perhatian, apalagi terhadap kesehatan seekor kuda?
Terhadap pertarungan yang bakal berlangsung ia sama sekali tidak mempunyai pegangan apa-apa, diapun tak punya harapan, sebab dia tahu, tiada seorang manusiapun sanggup mematahkan serangan dari Sam-sauya.
Ya, sudah pasti tak ada!
Ia hanya berharap bisa tiba di telaga Liok-sui-ou sebelum kedatangan Cho Ping di situ.
ooo)O(ooo
Telaga Liok-sui-ou terletak di bawah bukit Cui-im-hong.
Perkampungan Sin-kiam-san-ceng terletak di bawah bukit di tepi telaga. Bangunannya kuno, tapi kokoh dan besar.
Di pantai seberang telaga merupakan sebuah dusun kecil yang sebagian besar penduduknya berasal dari marga Cia. Seringkali orang-orang yang akan menuju ke perkampuangan Sin-kiam-san-ceng selalu akan berhubungan dulu dengan Cia-ciangkwe yang berdiam di sana.
Seperti juga dusun-dusun lain, rumah makan milik Cia ciangkwe ini bernama Sin-hoa-ceng.
Dusun itu bernama dusun Sin-hoa-ceng.
ooo)O(ooo
Di kala Yan Cap-sa tiba di dusun Sin-hoa-ceng yang kecil, kuda itu telah rubuh kepayahan.
Untung orangnya masih tetap segar dan tak ikut roboh.
Ia segera menyerbu masuk ke dalam rumah makan, dia ingin bertanya kepada Cia ciangkwe apakah Cho Ping telah tiba di perkampungan Sin-kiam-san-ceng.
Tapi ia tak perlu bertanya lagi.
Sebab ketika ia menyerbu masuk ke dalam, ia segera melihat jawabannya.
Ya, jawabannya yang hidup dan segar.
ooooOOOOoooo
Bab 4. Perkampungan Pedang Sakti
Rumah makan Sin-hoa-ceng yang kecil hanya melayani dua orang.
Ketika Yan Cap-sa menyerbu ke dalam, ia segera menyaksikan Cho Ping duduk di sudut ruangan.
Ternyata Cho Ping sudah tiba lebih duluan.
Ternyata Cho Ping masih hidup segar bugar.
Mungkinkah ia telah berjumpa dengan Sam-sauya?
Kini terbukti ia masih hidup, jangan-jangan Sam-sauya telah tewas di ujung pedangnya?
Yan Cap-sa tidak percaya, tapi mau tak mau dia harus mempercayainya.
Cho Ping bukanlah seorang manusia yang penyabar, begitu tiba, ia pasti langsung akan menyerbu ke dalam perkampungan Sin-kiam-san-ceng.
Tak nanti dia akan menunggu di sana dengan begitu tenangnya.
Barang siapa dapat menyerbu ke dalam perkampungan Sin-kiam-san-ceng, dan ia masih sanggup ke luar dalam keadaan hidup, maka hanya ada satu alasan saja sebagai jawabannya.
Orang itu pasti sudah berhasil mengalahkan manusia yang paling berbahaya, manusia paling menakutkan dari perkampungan Sin-kiam-san-ceng.
Sungguhkah Cho Ping telah mengalahkan Sam-sauya?
Dengan jurus serangan apakah ia berhasil mematahkan serangan maut dari Sam-sauya?
Yan Cap-sa ingin sekali menanyakan persoalan ini, namun ia tidak bertanya apa-apa.
Sebab walaupun Cho Ping masih hidup, ia sudah mabuk hebat.
Ya, sedemikian mabuknya dia, sehingga kesadarannya boleh dibilang sudah punah.
Untung dalam rumah makan itu masih terdapat orang lain yang tidak mabuk, ia sedang memandang ke arahnya sambil gelengkan kepalanya dan menghela napas.
"Tampaknya saudara ini bukan seorang peminum ahli, baru setengah kati arak ia sudah mabuk"
Bukan seorang peminum arak, kenapa sekarang bisa mabuk oleh arak?
Mungkinkah mabuk digunakan untuk menutupi kehambaran setelah suatu kemenangan yang tak berarti? Ataukah dia hendak menggunakan arak untuk memperbesar keberaniannya sebelum bertempur, tapi ia mabuk lebih duluan?
Yan Cap-sa tak dapat menahan sabarnya untuk bertanya:
"Kaukah yang bernama Cia ciangkwe?"
Orang yang sedang menggelengkan kepalanya sambil menghela napas itu segera manggut-manggutkan kepalanya.
"Tahukah kau, apakah saudara ini telah berjumpa dengan Sam-sauya dari keluarga Cia?", kembali Yan Cap-sa bertanya.
Cia ciangkwe masih juga menggeleng.
"Tidak, aku tidak tahu"
"Apakah ia sudah mendatangi perkampungan Sin-kiam-san-ceng?"
"Aku tidak tahu"
"Sam sauya, kini berada di mana?"
"Aku tidak tahu!"" Lantas apa yang kau ketahui?", kata Yan Cap-sa kemudian dengan suara yang dingin.
Cia ciangkwe tertawa lebar.
"Aku hanya tahu saudara adalah Yan Cap-sa, aku hanya tahu kalau saudara hendak berkunjung ke perkampungan Sin-kiam-san-ceng!"
Yan Cap-sa ikut tertawa sesudah mendengar perkataan itu.
Persoalan yang seharusnya ia ketahui ternyata tidak diketahui olehnya, sebaliknya persoalan yang seharusnya tidak diketahui olehnya, dia malahan seperti mengetahui semuanya.
"Dapatkah kau bawa aku ke sana?", kembali Yan Cap-sa bertanya.
"Dapat!"
ooo)O(ooo
Air telaga Liok-sui-ou hijau kebiru-biruan.
Sayang waktu itu musim gugur telah tiba, sepanjang telaga tidak nampak lagi pohon liu yang berjajar, yang ada cuma sebuah perahu cepat.
"Perahu ini telah kami sediakan khusus untuk menyambut kedatanganmu, aku telah menyiapkannya sejak tiga hari berselang"
Setelah naik ke atas perahu, dalam perahu bukan saja ada arak dan sayur, di situpun ada sebuah khim, seperangkat alat permainan catur, sebuah jilid kitab dan sebuah batu cadas yang keras dan berkilat.
"Benda apakah ini?", tanya Yan Cap-sa kemudian.
"Batu pengasah pedang!", jawab Cia ciangkwe sambil tertawa.
Kemudian sambil tersenyum ia menjelaskan lebih jauh:
"Sudah terlampau banyak orang yang kujumpai sebelum mereka mendatangi perkampungan Sin-kiam-san-ceng, dan setiap orang yang sudah naik ke atas perahu ini, biasanya perbuatan yang mereka lakukan selalu tidak sama!"
Yan Cap-sa tidak memberi komentar, ia hanya mendengarkan dengan saksama.
"Ada sementara orang, begitu naik ke perahu ia lantas minum arak sepuas-puasnya"
"Minum arak dapat memperbesar keberanian orang!", Yan Cap-sa menimpali dari samping.
Ia memenuhi cawan dengan arak lalu meneguknya sampai habis, setelah itu katanya lagi:
"Cuma setiap orang yang minum arak bukan berarti untuk memperbesar keberanian saja!"
Cia cingkwe segera menyatakan setuju dengan pandangan itu. Katanya dengan tersenyum:
"Ya, benar! Ada sementara orang minum arak hanya dikarenakan ia gemar minum arak"
Yan Cap-sa kembali menghabiskan tiga cawan arak.
"Ada pula sementara orang yang gemar memetik khim, atau membaca buku, bahkan ada pula yang gemar main catur seorang diri", kata Cia ciangkwe lagi.
Pekerjaan-pekerjaan semacam itu memang bisa mengendorkan ketegangan yang mencekam perasaan seseorang. Dengan bermain khim atau membaca buku tau bermain catur, ketenangan serta kemantapan hatinya dapat terpelihara dengan baik.
Kata Cia ciangkwe lebih jauh:
"Tapi sebagian besar orang-orang yang naik ke perahu ini, mereka lebih suka mengasah pedangnya"
Cia ciangkwe memandang sekejap pedang yang dibawa Yan Cap-sa, lalu katanya:
"Batu pengasah pedang ini adalah sebuah batu pengasah yang baik sekali kwalitetnya"
Yan Cap-sa segera tertawa.
"Selamanya pedangku tak pernah di asah dengan batu pengasah pedang....", katanya.
"Kalau tidak diasah dengan batu pengasah pedang, lantas kau asah pedangmu dengan apa?"
"Dengan tengkuk manusia, terutama tengkuk musuh-musuhku!"
ooo)O(ooo
Ombak menggulung-gulung menuju ke tepi telaga, sinar matahari senja membiaskan cahayanya ke seluruh jagat.
Bukit Cui-im-hong yang berada di kejauhan tampak indah menawan bagaikan berada dalam lukisan belaka.
Suasana dalam ruang perahu itu amat hening, karena Cia ciangkwe telah menutup mulut.
Ia tak ingin membiarkan tengkuknya dibuat pengasah pedang orang, tapi sepasang matanya masih tak tahan untuk melirik sekejap pedang tersebut, pedang dengan tiga belas butir mutiara menghiasi di atasnya.
Pedang itu bukan sebilah pedang mestika, tapi merupakan sebilah pedang kenamaan, bahkan amat termasyhur.
Yan Cap-sa yang sedang memandang keindahan alam di luar jendela seakan-akan teringat kembali akan suatu rahasia dalam hatinya.
Entah berapa lama sudah lewat dalam keheningan, tiba-tiba ia berpaling sambil bertanya:
"Tentu saja kau pernah berjumpa dengan Sam sauya, bukan?"
Cia ciangkwe tak dapat menyangkal.
"Pedang macam apakah yang biasanya dipergunakan?", tanya Yan Cap-sa lebih lanjut.
Ia pernah menyaksikan Sam sauya turun tangan, tapi ia tidak melihat jelas pedang yang dipergunakan sebab gerakan tangan Sam sauya terlampau cepat, maka dia tak tahan untuk mengajukan pertanyaan ini.
"Aku tak tahu!"
Tapi rupanya dugaan kali ini meleset.
Cia ciangkwe tampak termenung sebentar, pelan-pelan berkata:
"Tahukah kau tentang peristiwa adu pedang di bukit Hoa-san yang diselenggarakan tempo hari?"
Tentu saja Yan Cap-sa tahu.
"Pedang itulah yang telah dipergunakan Sam-sauya", kata Cia ciangkwe lebih lanjut.
"Thian-he-tit-it-kiam?"
Pelan-pelan Cia-ciangkwe mengangguk lalu menghela napas.
"Ya, hanya pedang itu merupakan pedang mestika yang benar-benar tiada tandingannya di kolong langit"
"Perkataanmu memang benar!", Yan Cap-sa mengakui.
"Ada banyak sekali orang yang menumpang perahu ini, tak lain hanya ingin menyaksikan pedang tersebut"
"Apakah setiap kali kau yang bertanggung jawab untuk menghantar mereka ke seberang?"
"Biasanya memang selalu demikian, sewaktu berangkat seringkali kutemani mereka minum arak atau bermain catur"
"Sewaktu kembalinya?"
Cia ciangkwe tertawa.
"Sewaktu kembali, seringkali aku harus pulang seorang diri", katanya.
"Kenapa?"
"Karena begitu mereka menginjakkan kakinya dalam perkampungan Sin-kiam-san-ceng, biasanya jarang sekali dapat pulang dalam keadaan selamat!"
Jawaban dari Cia ciangkwe ini cukup tawar dan menggidikkan hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar