Pendekar Gelandangan 011

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

11

Matahari semakin tenggelam di balik bukit, senjapun semakin kelam.

Gunung nan hijau di tempat kejauhan kain lama kian terlelap di balik kegelapan yang makin mencekam, seakan-akan sebuah lukisan yang warnanya mulai luntur.

Suasna dalam ruang perahu lebih hening lagi, karena Yan Cap-sa-pun membungkam dalam seribu bahasa.

Kepergiannya kali ini mungkinkah bisa kembali lagi dalam keadaan hidup? Tiba-tiba ia teringat akan banyak urusan, banyak persoalan yang sesungguhnya tak pantas dibayangkan pada saat seperti ini.

Ia teringat kembali akan masa kecilnya dulu, terbayang kembali sobat-sobatnya di kala remaja, lalu teringat pula akan orang-orang yang tewas di ujung pedangnya.

Di antara sekian banyak orang, adakah beberapa di antaranya yang sebetulnya tak pantas mati?

Ia teringat kembali akan perempuan pertama yang menemaninya tidur, waktu itu ia masih seorang anak-anak, sebaliknya perempuan itu sudah sangat berpengalaman.

Baginya, persoalan itu bukanlah suatu pengalaman yang menarik hati, tapi sekarang apa mau dikata justru ia teringat kembali akan peristiwa itu.

Bahkan ia teringat juga akan Si Ko-jin.

Sekarang, mungkinkah dia telah ikut Hee-ho Seng pulang ke rumahnya? Apakah Hee-ho Seng masih bersedia menerimanya lagi?

Sesungguhnya persoalan semacam ini tak perlu ia pikirkan, tidak seharusnya dia bayangkan, dan sebetulnya diapun tak berharap untuk memikirkannya.

Tapi sekarang ia telah memikirkan semuanya itu, semakin dipikir bahkan pikirannya semakin kalut.

Pada saat pikirannya lebih kalut, mendadak ia menyaksikan seseorang berdiri di tepi telaga Liok-sui-ou, di bawah senja yang kelabu.

ooo)O(ooo

Pada umumnya bila pikiran seseorang sedang kalut dan bingung, seringkali tidak gampang baginya untuk melihat orang lain, apa lagi urusan yang lain.

Tapi di kala pikiran Yan Cap-sa mencapai titik kekalutannya, justru ia telah melihat orang itu.

Orang itu tidak mempunyai potongan yang istimewa. Orang itu adalah seorang laki-laki setengah umur, mungkin lebih tua sedikit dari setengah umur sebab rambutnya banyak yang mulai beruban, sorot matanya memancarkan pula keletihan dan ketuaan.

Pakaiannya amat sederhana, seperangkat baju berwarna hijau dengan sepatu kain dan kaos putih.

Ketika Yan Cap-sa memandang ke arahnya seperti pula ia sedang memandang senja yang kelabu itu, perasaannya akan timbul suatu ketenangan, suatu keindahan dan suatu kenyamanan yang enak dan segar, tiada rasa kaget atau ngeri atau takut yang tersirap dalam benaknya.

Cia ciangkwe telah menyaksikan pula kehadiran orang itu, Cuma ia menunjukkan rasa kaget, tercengang bahkan sedikit rasa ngeri dan takut.

"Siapakah orang ini?", tak tahan Yan Cap-sa bertanya.

Cia ciangkwe tidak menjawab, sebaliknya malah balik bertanya:

"Masa kau tidak tahu, siapakah cengcu generasi yang lalu dari perkampungan Sin-kiam-san-ceng?"

"Kau maksudkan Cia Ong-sun?", Yan Cap-sa menegaskan.

Cia ciangkwe manggut-manggut.

"Nah, orang yang akan kau jumpai sekarang tak lain adalah Cia lo-cengcu, Cia Ong-sun!"

Cia Ong-sun bukan seorang jago persilatan yang tersohor namanya atau seorang pendekar yang disegani setiap orang dalam dunia persilatan.

Ia menjadi tersohor di dunia karena dia adalah cengcu dari perkampungan Sin-kiam-san-ceng.

Yan Cap-sa mengetahui hal ini, tapi tak disangka olehnya kalau Cia cengcu yang dikenal namanya oleh setiap orang itu tak lebih hanya seorang manusia yang begitu sederhana, begitu bersahaja dan lembut.

Sepintas lalu meski usianya tidak terlampau tua, tapi kehidupannya telah mencapai senja yang kelam, seperti juga ketenangan dan kekelaman yang mencekam suasana ketika itu, seakan-akan tiada suatu kejadian di dunia ini yang dapat menggerakkan lagi hatinya.

Tangannya kering tapi hangat dan lembut.

Sekarang ia sedang menggenggam tangan Yan Cap-sa sambil tertawa.

"Tak usah kau perkenalkan dirimu, aku sudah tahu siapakah kau", demikian ia berkata.

"Tapi cianpwe, kau......"

"Jangan sebut aku sebagai cianpwe", tukas Cia Ong-sun, "setiap orang yang telah sampai di sini, dia adalah tamu agungku".

Yan Cap-sa tidak mendebat, diapun tidak sungkan-sungkan lagi.

Digenggam oleh tangan seperti itu, tiba-tiba saja timbul perasaan hangat dalam hatinya. Tapi tangan yang lain masih erat-erat menggenggam pedangnya.

"Rumahku terletak tak jauh di depan sana", kata Cia Ong-sun, "kita boleh pelan-pelan menuju ke sana"

Kemudian sambil tersenyum katanya lagi:

"Bisa berjalan-jalan bersama manusia macam kau dalam suasana seperti ini sungguh merupakan suatu peristiwa yang amat menggembirakan......!"

ooo)O(ooo

Meskipun matahari senja telah lenyap dari pandangan, daun-daunan hijau di atas bukit masih kelihatan begitu anggun dan menarik.

Harum bunga dari tempat kejauhan tersiar di sela hembusan angin malam, membuat suasana bertambah nyaman.

Di antara sela-sela pepohonan yang lebat, terbentang sebuah jalan kecil beralas batu.

Tiba-tiba timbul suatu perasaan tenang, perasaan nyaman yang sudah banyak tahun tak pernah dirasakan lagi.

Dalam keadaan demikian, tiba-tiba saja ia teringat akan sebuah syair:

Mendaki ke bukit dingin, jalan berliku-liku

Awan putih menyelimuti angkasa, tiada sanak keluarga

Duduk dalam kereta, berhenti di tepi hutan, menikmati indahnya malam

Bunga dan dedaunan, hanya bersemi di bulan ke dua

Cia Ong-sun berjalan sangat lambat. Baginya walaupun kehidupan sudah makin menipis, tapi ia tidak gelisah, diapun tidak cemas.

Perkampungan Sin-kiam-san-ceng yang berdiri kokoh di tempat kejauhan, mulai tampak secara lamat-lamat.

Tiba-tiba Cia Ong-sun berkata:

"Bangunan ini adalah tinggalan dari nenek moyang kami yang membangunnya pada dua ratus tahun berselang, hingga kini corak bangunannya masih belum mengalami perubahan, walau hanya sedikitpun"

Suaranya mendadak berubah menjadi parau dan penuh kedukaan, lanjutnya:

"Tapi manusia-manusia yang berada di sini telah berubah semua, bahkan sangat banyak perubahannya"

Yan Cap-sa mendengarkan dengan tenang. Ia dapat menangkap perasaan dari orang tua ini, meskipun perasaannya agak tersentuh namun bukan berarti ia berduka.

Karena ia sudah dapat memandang segala sesuatunya dengan lebih luas dan bebas.

Setiap manusia memang harus mengalami perubahan, kenapa perubahan tersebut harus disedihkan?

Kembali Cia Ong-sun berkata:

"Orang yang membangun perkampungan ini tak lain adalah nenek moyang angkatan pertama kami, mungkin kau mengetahui tentang dirinya, bukan?"

Tentu saja Yan Cap-sa mengetahuinya.

Dua ratus tahun berselang, semua pendekar kenamaan dalam kolong langit telah berkumpul di bukit Hoa-san, membicarakan soal ilmu silat dan memperbincangkan soal ilmu pedang. Kejadian tersebut sungguh merupakan suatu peristiwa yang mengesankan.

Kalau seseorang dapat memperoleh pujian serta sanjungan dari segenap pendekar kenamaan di dunia dalam waktu seperti itu, maka orang itu pastilah seorang manusia yang agung dan luar biasa.

Cia Ong-sun berkata lebih jauh:


"Sejak dia orang tua meninggal dunia, turun temurun berlangsung beberapa generasi di tempat ini, sekalipun tak seorang di antara mereka yang mampu menandingi dia orang tua, tapi setiap kepala keluarga Cia yang memerintah di sini pasti telah melakukan suatu sejarah yang cemerlang dan suatu peristiwa yang menggemparkan seluruh dunia".

Ia tertawa dan berganti napas, kemudian melanjutkan:

"Hanya aku seorang yang tak becus, hanya aku seorang yang tidak menciptakan kejadian apa-apa, aku tak lebih cuma seorang manusia biasa, seorang yang sesungguhnya tak pantas menjadi keturunan dari keluarga Cia......."

Tertawanya begitu tenang, begitu lembut dan hangat, katanya lebih lanjut:

"Oleh karena aku tahu bahwa aku hanya seorang manusia biasa yang tak becus, maka aku malah bisa menikmati kehidupan yang sederhana dan aman tenteram"

Yan Cap-sa hanya mendengarkan, tanpa memberi komentar apa-apa.

"Aku mempunyai dua orang putri dan tiga orang putra", Cia Ong-sun menambahkan, "putriku yang sulung kawin dengan seorang pemuda yang berbakat, sayang ia terlalu sombong, maka mereka mati terlalu cepat".

Yan Cap-sa pernah mendengar cerita itu.

Toa-siocia dari keluarga Cia kawin dengan seorang jago pedang muda belia yang hebat dan pemberani.

Mereka memang mati terlampau awal, mati di tengah malam perkawinannya, terbunuh dalam kamar pengantin mereka yang indah dan penuh kehangatan itu.

"Putriku yang kedua juga mati terlampau awal, ia mati karena murung dan sedih, sebab orang yang dicintainya ternyata adalah kacung bukuku sendiri, karena ia tak berani berterus terang, kamipun tidak tahu sebab itu kujodohkan dia dengan orang lain, tapi sebelum perkawinan itu tiba, ia sudah mati secara mengenaskan".

Ia menghela napas panjang, tambahnya:

"Padahal jika ia mau berterus terang dan mengungkapkan isi hatinya, kami tidak akan menolak, kacung bukuku adalah seorang anak yang baik".

Untuk pertama kalinya ia menghela napas panjang, cuma helaan napas itu tidak terlalu banyak mengandung nada sedih, justru lebih banyak perasaan masa bodohnya.

Sebagai seorang manusia, kenapa ia harus sedih atas kejadian yang sudah lewat?

"Putra sulungku adalah seorang laki-laki yang lemah pikiran, semenjak kecil ia sudah bego dan tak bisa apa-apa, putraku yang nomor dua karena ingin membalaskan dendam bagi kematian cicik dan cihunya, ia sendiripun akhirnya tewas di bukit Im-san."

Sekalipun ia tewas, namun kelompok setan dari bukit Im-san yang telah mencelakai jiwa Toa-siocia dari keluarga Cia, tak seorangpun yang berhasil lolos dalam keadaan hidup.

"Inilah ketidak beruntungan dari keluarga kami," kata Cia Ong-sun, "tapi aku tak pernah murung atau menyalahkan orang lain".

Suaranya masih tetap tenang dan datar:

"Setiap manusia mempunyai takdirnya masing-masing, beruntungkah dia? Atau sialkah dia? Siapapun tak dapat menyalahkan siapa. Kalau ia tidak murung karena menerima rejeki, kenapa harus murung di kala ketimpa sial? Ya, selama banyak tahun ini pikiran dan caraku berpandangan memang jauh lebih terbuka!"

Seseorang yang telah mengalami banyak musibah, banyak kesialan dan tragedi, ternyata masih dapat mempertahankan ketenangan dan kehalusan budinya, dari sini dapat diketahui bahwa dia memang seorang manusia yang luar biasa.

Yan Cap-sa merasa sangat kagum, ia betul-betul kagum sekali.

"Setelah jalan pikiranku lebih terbuka," kata Cia Ong-sun lagi, "aku dapat menarik kesimpulan bahwa kesialan dan musibah yang selama ini menimpa diriku, kemungkinan besar adalah hukum karma yang harus kami jalankan karena napsu membunuh dari nenek moyang kami di masa lalu.........."

Tapi mengapa ia harus memberitahukan semua persoalan itu kepada orang lain? Sesungguhnya persoalan ini adalah urusan pribadi dari keluarga mereka sendiri, persoalan yang tidak sepatutnya diketahui orang lain.

...Ia memberitahukan segala sesuatunya itu kepadaku, mungkinkah lantaran ia telah menganggap diriku sebagai seorang manusia yang hampir mendekati ajalnya?

...Hanya orang mati saja yang selamanya tak akan membocorkan rahasia tersebut.

Yan Cap-sa telah berpikir sampai ke situ, tapi ia tak ambil perduli.

Karena jalan pikirannya telah terbuka pula, bagaimana pandangan orang lain kepadanya, ia tak akan ambil perduli.

Kembali Cia Ong-sun berkata:

"Tentu saja kau tahu bukan, kalau aku masih mempunyai seorang putra, ia bernama Cia Siau-hong?"

"Aku tahu!"

"Dia memang seorang bocah yang amat cerdik, dialah roh kehidupan dari keluarga Cia, kekuatan dari kami!"

"Aku tahu, di kala masih mudanya dulu, ia pernah mengalahkan jago pedang yang paling termasyhur waktu itu, Hoa Sau-kun!"

"Ilmu pedang yang dimiliki Hoa Sau-kun tidak setinggi apa yang digembar-gemborkan orang, lagi pula ia terlampau sombong. Pada hakekatnya ia tak pandang sebelah matapun terhadap seorang bocah yang berusia belasan tahun"

Pelan-pelan ia melanjutkan:

"Bila seseorang ingin belajar pedang, dia harus berlatih dengan hati yang bersih dan perasaan yang tulus, keangkuhan atau sombong, jangan sekali-kali sampai menempel di dalam tubuhnya, karena kesombongan paling mudah menciptakan keteledoran dan setiap keteledoran yang bagaimanapun kecilnya bisa mengakibatkan melayangnya selembar nyawa".

Yan Cap-sa tak dapat menahan diri lagi, ia menghela napas panjang.

"Hanya cukup mengandalkan hal ini, tidak bisa disangkal lagi bahwa dia seorang jago pedang yang tiada tandingannya di dunia dewasa ini.....!"

Tiba-tiba Cia Ong-sun menghela napas lagi.

"Sayang hal inipun merupakan ketidak beruntungan baginya"

"Kenapa"

"Justru karena ia tak pernah memandang rendah siapapun juga, maka setiap kali berhadapan dengan musuh, ia selalu akan menggunakan segenap kekuatan tubuhnya"

Meskipun ia tidak melanjutkan perkataannya lebih jauh, Yan Cap-sa telah memahami maksudnya.

Bila setiap kali menghadapi musuh, seseorang selalu menggunakan segenap kekuatan yang dimilikinya, maka setiap kali juga pasti ada orang yang menjadi korban di ujung pedangnya.

Semenjak dulu ia memang sudah tahu bahwa di bawa pedang Sam-sauya tak pernah ada orang yang lolos dalam keadaan hidup.

Untuk kesekian kalinya, Cia Ong-sun menghela napas.

"Kesalahan terbesar yang pernah dilakukan selama hidupnya adalah napsu membunuhnya yang terlampau besar!"

"Tapi hal ini bukan merupakan kesalahannya!"

"Bukan? Ya, memang bukan!"

"Mungkin ia memang tak berhasrat membunuh orang, ia membunuh orang karena ia tak punya pilihan lain kecuali berbuat demikian"

Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa: 'Bila kau tidak membunuhku, maka akulah yang akan membunuhmu'.

Yan Cap-sa ikut menghela napas pula.

"Aaaai....... bila seseorang sudah berada dalam dunia persilatan, kadangkala banyak sekali urusan yang harus dilakukan tanpa sekehendak hatinya sendiri, termasuk dalam hal membunuh orang!"

Cia Ong-sun menatapnya lama, lama sekali, kemudian pelan-pelan berkata pula:

"Sungguh tak kusangka, kalau kau dapat memahami perasaannya!"

"Tentu saja, sebab akupun seringkali membunuh orang!"

"Apakah kaupun sangat ngin membinasakannya?"

"Benar!"

"Kau sangat jujur!"

"Untuk menjadi seorang pembunuh manuia, dia harus seorang yang jujur, karena orang yang tidak jujur seringkali harus mati di ujung pedang orang lain"

.....Siapa yang ingin belajar pedang, dia harus jujur dan berhati lurus, sebab itulah dasar pertama yang harus dimilikinya.

Cia Ong-sun memandangnya tajam-tajam, tiba-tiba dibalik sorot matanya itu tercermin suatu sikap yang aneh sekali, lalu katanya:

"Baik, kalau begitu ikutlah aku!"

"Terima kasih banyak!"

Terima kasih banyak! Sesungguhnya ucapan itu hanya sepatah dua patah kata yang biasa dan sederhana.

Akan tetapi dalam keadaan dan saat seperti ini, ternyata ia masih juga mengucapkan kata-kata itu, maka suasanapun ikut berubah menjadi sangat aneh.

Mengapa ia harus mengucapkan terima kasih? Lantaran orang tua itu dapat memahami perasaannya? Atau karena orang tua itu bersedia membawanya untuk menghantar kematiannya?

Padahal ia memang datang untuk menghantar kematiannya.

ooo)O(ooo

Malam yang gelap sudah menjelang tiba, cahaya lampu mulai bermunculan dalam gedung perkampungan Sin-kiam-san-ceng dan mengusir kegelapan dari sekeliling tempat itu.

Mereka telah masuk ke dalam sebuah ruangan di sisi ruang tengah yang lebar.

Cahaya lampu dalam ruang tengah terang benderang, sebaliknya sinar lampu dalam ruangan itu redup dan berwarna kelabu.

Setiap benda yang di sana diselubungi dengan kain hitam yang berwarna gelap, ini semua menambah seram dan suramnya suasana di situ.

Mengapa Cia Ong-sun tidak menyambut kedatangan tamu agungnya di ruang tengah yang luas dan terang benderang? Mengapa ia mengajak tamunya memasuki ruangan sempit yang suram?

Yan Cap-sa tidak bertanya, ia merasa tidak ada keharusan baginya untuk bertanya.

Cia Ong-sun telah menyingkap secarik kain hitam yang menutupi sebuah benda, ternyata benda itu adalah sebuah papan nama, sebuah papan nama dengan huruf emas berkilauan:

"THIAN-HE-TIT-IT-KIAM"

"Sejak dulu sampai sekarang, belum pernah ada orang persilatan yang pernah mendapat penghargaan setinggi ini", kata Cia Ong-sun, "anak keturunan dari keluarga Cia selalu menyimpan benda ini dengan hormat dan sayang, namun kamipun merasa sedikit malu"

"Merasa malu?"

"Ya, karena semenjak dia orang tua pulang ke alam baka, anak keturunan keluarga Cia tak seorangpun yang pantas untuk menerima ke lima huruf emas itu lagi"

"Sekalipun demikian, sekarang secara terbuka orang-orang persilatan telah mengakui bahwa hanya satu orang yang pantas menerima ke lima huruf emas itu!"

Ya, memang satu orang saja yang pantas menerima penghargaan setinggi itu.......

Tentu saja orang itu tak lain adalah Sam-sauya dari keluarga Cia.

"Justru karena itulah pedang yang pernah dipergunakan dia orang tua sewaktu berada di bukit Hoa-san dulu, kini telah diwariskan pula kepadanya", kata Cia Ong-sun.

Setelah berhenti sebentar, ia menambahkan pula:

"Pedang itu sudah banyak tahun tak pernah digunakan lagi, baru sekarang kuwariskan kepadanya"

Yan Cap-sa dapat memahami akan hal itu.

Kecuali 'dia', siapa lagi yang pantas menggunakan pedang itu?

"Inginkah kau menyaksikan pedang itu?", tiba-tiba Cia Ong-sun bertanya lagi.

"Ingin, tentu saja sangat ingin!"

Di balik kain hitam yang menutupi sebuah tonjolon, terlihat sebuah rak yang terbuat dari kayu.

Di atas rak kayu terlentang sebilah pedang.

Sarung pedang itu berwarna hitam pekat, sekalipun sudah lama dan kuno, tapi masih tetap utuh dan sempurna.

Kain kuning di ujung gagang pedang telah luntur warnanya, tapi gagang pedang yang dilapisi perak masih memancarkan sinar yang berkilauan.

Dengan tenangnya Cia Ong-sun berdiri di depan pedang itu, seperti seseorang yang sedang berdiri di hadapan patung pemujaannya.

Perasaan Yan Cap-sa ketika itu sama pula dengan perasaan Cia Ong-sun, bahkan ia lebih bersujud dan menaruh rasa kagum, karena ia tahu, di dunia dewasa ini hanya pedang ini yang sanggup membinasakan dirinya.

Tiba-tiba Cia Ong-sun berkata:

"Pedang ini bukan pedang tajam yang ditempa seorang ahli pandai besi, pedang inipun bukan sebilah pedang antik"

Tidak ada komentar: