Pendekar Gelandangan
Karya: Khu Lung
12
"Tapi pedang ini adalah sebilah pedang kenamaan yang tiada tandingannya di kolong langit", Yan Cap-sa menyambung dengan cepat.
Cia Ong-sun mengakuinya.
"Ya, memang pedang itu tiada tandingannya di kolong langit"
"Cuma yang ingin kujumpai sesungguhnya bukanlah pedang ini"
"Aku tahu!"
"Yang ingin kujumpai adalah pemilik pedang ini, maksudku pemiliknya yang sekarang"
"Saat ini ia sudah berada di hadapanmu!"
ooo)O(ooo
Di hadapan Yan Cap-sa adalah rak kayu tempat pedang.
Di belakang rak kayu itu masih terdapat sebuah benda yang ditutup dengan kain hitam yang lebar, benda itu empat persegi dan panjang sekali.
Tiba-tiba suatu perasaan bergidik yang sukar dilukiskan dengan kata-kata muncul dari dasar hatinya, dari dasar hati langsung menyerang ke dalam otaknya.
Pada saat itulah ia meneruskan suatu firasat jelek yang tak enak sekali..............
Dia ingin bertanya, tapi tak berani mengajukan pertanyaan tersebut.
Bahkan ia tak berani mempercayainya, diapun tak ingin mempercayainya, ia cuma berharap agar perasaan tersebut hanya suatu kekeliruan yang besar........
Sayang dugaannya itu tidak salah.
Ketika kain hitam itu disingkap, maka terlihatlah sebuah peti mati.
Peti mati itu masih baru, diatasnya seakan-akan terukir delapan atau sembilan huruf.
Tapi Yan Cap-sa hanya sempat menangkap tiga huruf saja, ketika huruf itu adalah:
CIA SIAU HONG
.....Walaupun sinar lampu yang memancar dalam ruang tengah masih terang benderang, tapi bagaimanapun terang benderangnya sinar lampu, tak mungkin bisa menerangi lagi hati Yan Cap-sa.
Sebab sinar cemerlang di dalam hatinya, kini sudah lenyap tak berbekas. Cahaya pedang yang cemerlang telah lenyap tak berbekas...... satu-satunya pedang yang sanggup membinasakan dirinya.
"Siau Hong sudah mati selama tujuh belas hari"
Sudah barang tentu ia tak mungkin mati di ujung pedang Cho Ping, sebab tak ada orang yang sanggup mengalahkan dia.
Ya, memang tak seorang manusiapun yang sanggup mengalahkannya. Satu-satunya yang bisa mengalahkan dia hanya takdir!.
Setiap orang tentu mempunyai takdirnya masing-masing, mungkin karena nasibnya terlampau cemerlang dan ternama, maka takdir menentukan usianya yang pendek.
Meskipun kematiannya sangat tiba-tiba, namun ia pergi perasaan tenang.
Sekalipun kelopak mata kakek itu berkaca-kaca oleh air mata, namun suaranya sangat tenang.
"Aku tidak terlampau berduka hati, sebab ia memang sudah cukup hidup di dunia ini, kehidupannya sudah amat bernilai, ia memang boleh mati dengan perasaan yang tenang"
Tiba-tiba ia bertanya kepada Yan Cap-sa:
"Kau lebih suka hidup selamanya dengan tenang dan statis? Ataukah hidup seperti dia, tapi hanya dalam tiga tahun?"
Yan Cap-sa tidak menjawab, ia tak perlu memberikan jawabannya...........kau suka menjadi meteor di angkasa? Ataukah menjadi lilin yang redup?
.....Meskipun sinar dari meteor cemerlang, tapi waktunya sangat pendek, sebaliknya meskipun sinar lilin itu redup, tapi berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Namun kendatipun ia hanya berlangsung dalam waktu singkat, dapatkah berjuta-juta batang lilin menandingi kecemerlangan serta keindahan dari cahayanya?
ooo)O(ooo
Walaupun cahaya dalam ruang tengah terang benderang, tapi Yan Cap-sa lebih suka berjalan di tengah kegelapan.
Kegelapan yang mencekam di padang yang luas tak bertepian.
Tiba-tiba Yan Cap-sa berkata:
"Tadi kau memberitahukan segala sesuatunya kepadaku, ternyata bukan lantaran kau telah menganggapku seseorang yang sudah mendekati pada ajalnya"
Tentu saja bukan!
Sam-sauya telah mati, kenapa ia bisa mati?
Tiba-tiba Yan Cap-sa berpaling lagi, kepada Cia Ong-sun ia berkata:
"Mengapa kau memberitahukan semua persoalan itu kepadaku?"
"Karena aku tahu kau datang untuk mengantar kematianmu!", jawab Cia Ong-sun hambar.
"Kau tahu?", tanya Yan Cap-sa
"Tentu saja aku tahu, akupun bisa melihat betapa kagum dan hormatnya sikapmu terhadap Cia Siau-hong, kaupun telah menyadari bahwa tiada harapan bagimu untuk mengalahkan dia", kata Cia Ong-sun.
"Tapi mengantarkan kematian sendiri bukanlah suatu pekerjaan yang pantas di hormati!"
"Benar!"
Ia tertawa, tertawa dengan amat sedihnya:
"Tapi paling sedikit aku menghormati dirimu, sebab aku tak akan memiliki keberanian seperti ini, aku tak lebih cuma seorang manusia biasa, lagipula aku sudah tua....."
Suaranya makin lama semakin rendah, semakin lama semakin berat dan berakhir dengan suatu helaan napas panjang.
Hembusan angin di musim gugur persis seperti helaan napasnya yang berat dan hampa itu.
Pada waktu itulah dari balik kegelapan tiba-tiba menyelinap ke luar sesosok bayangan manusia, sesosok manusia dengan sebilah pedang!.
Ya, sesosok bayangan manusia dengan sebilah pedang.
Gerakan manusianya lebih gesit daripada seekor burung elang, gerakan pedangnya lebih cepat dari pada sambaran petir.
Ketika orang itu munculkan diri di belakang punggung Cia Ong-sun, ujung pedangnya langsung menusuk ke punggungnya.
Yan Cap-sa ikut menyaksikan peristiwa tersebut, tapi ia sudah tidak sempat lagi untuk melancarkan serangan guna melindungi keselamatan orang tua itu.
Cia Ong-sun sendiri seolah-olah tidak merasakan sama sekali akan datangnya tusukan itu, ia cuma menghela napas sambil membungkukkan badannya mengambil selembar daun kering.
Gerakannya itu lambat, lambat sekali.
Tindakannya mengambil daun kering itu seakan-akan hanya suatu gerakan spontan yang timbul karena sentuhan perasaan.
Seolah-olah lembaran hidupnya tak jauh berbeda dengan daun kering itu, selembar daun yang telah rontok dan mengering.
Tapi justeru dengan gerakannya itu, secara kebetulan sekali ia berhasil meloloskan diri dari sambaran pedang yang datangnya secepat sambaran kilat itu.
Pada detik itu pula, tusukan pedang yang jelas sudah hampir mengenai punggungnya, tahu-tahu telah menusuk di tempat yang kosong.
Padahal selisih waktu antara yang pertama dengan yang kedua hakekatnya cuma beberapa detik.
Rupanya penyergap itu telah mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya, di kala serangan itu gagal dan tidak mengenai sasarannya, tak sempat lagi baginya untuk menarik kembali gerakannya, seluruh tubuh dan kekuatannya segera tergulung ke depan, dan tusukan pedangnya kini berbalik mengancam tubuh Yan Cap-sa yang berada dihadapannya.
Sekalipun tusukan tersebut hanya mengandung sisa tenaga daripada serangannya yang pertama, akan tetapi masih mengandung cukup kekuatan untuk merenggut nyawa seseorang.
Dalam keadaan begini, mau tak mau Yan Cap-sa harus melakukan serangan balasan.
Pedangnya segera di loloskan dari sarungnya dan cahaya pedangpun berkilauan membelah angkasa.
Orang itu segera berjumpalitan di tengah udara, dan melompat mundur sejauh tujuh depa lebih, mukanya yang hijau membesi masih membawa tanda-tanda mabuk!
"Cho Ping!"
Tak kuasa lagi Yan Cap-sa menjerit kaget, diantara jeritannya ada tiga bagian mengandung rasa kaget dan tercengang, tapi tujuan bagian yang selebihnya adalah perasaan sayang dan kecewa.
Cho Ping memandang pula ke arahnya, diapun melotot dengan sinar mata kaget, tercengang bercampur ketakutan, dia seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun tak sepotong perkataanpun yang sanggup diutarakan keluar.
Tiba-tiba darah kental meleleh keluar dari atas tenggorokannya, pelan-pelan tubuhnya ikut terkulai pula ke atas tanah.
ooo)O(ooo
Angin dingin di musim gugur itu masih berhembus lewat.
Pelan-pelan Cia Ong-sun memungut kembali selembar daun kering dan diperhatikan dengan tenang, seolah-olah ia masih belum merasakan peristiwa yang baru saja terjadi.
Aaaai, meskipun usia daun sangat pendek, namun tahun depan dia masih akan tumbuh kembali.
Tapi, bagaimana dengan manusia?
Pelan-pelan Cia Ong-sun membungkukkan badannya kembali dan meletakkan daun kering tadi ke tempatnya semula.
Sepanjang peristiwa itu terjadi, Yan Cap-sa memperhatikan terus gerak-geriknya, rasa kagum dan hormat tanpa terasa memancar keluar dari balik sorot matanya.
Hingga sekarang ia baru menyadari bahwa kakek yang sederhana ini hakekatnya adalah seorang tokoh persilatan yang benar-benar memiliki ilmu silat yang amat tinggi.
Taraf kepandaiannya boleh dibilang sudah mencapai puncak kesempurnaan yang tiada taranya. Ia telah berhasil membaurkan kepandaiannya dengan alam semesta di sekelilingnya.
Oleh karena itulah tak seorang manusiapun dapat mengetahui rahasia tersebut.
......Di saat musim dingin tiba, kau tak akan menyaksikan kekuatannya, tapi tanpa kau sadari, kekuatan tersebut dapat membuat air berubah menjadi beku, membuat manusia mati karena kedinginan.
"Aku tak lebih cuma seorang manusia biasa.............."
'Kebiasaannya' ini jelas berhasil dilatih dari suatu keadaan yang tidak biasa.
Berapa orangkah di dunia ini yang sanggup merubah dirinya menjadi sebiasa dan sesederhana itu?
Walaupun sekarang ia berhasil menyaksikan banyak persoalan, tapi tidak sepotong perkataanpun diucapkan, ia sudah lama mulai belajar membungkam dan menahan diri.
Cia Ong-sun juga tidak banyak berbicara, dia hanya mengucapkan sepatah kata dengan nada datar:
"Malam semakin kelam, kau harus segera pergi!"
"Ya, aku harus 'pergi'!"
Maka diapun pergi.
ooo)O(ooo
Malam semakin kelam, pelan-pelan Cia Ong-sun menembusi halaman yang gelap dan menuju ke sebuah loteng kecil di halaman belakang sana.
Cahaya lentera di atas loteng itu amat redup, seorang perempuan tua yang berwajah sayu duduk seorang diri di tepi meja, rupanya ia sedang menantikan sesuatu.
Siapakah yang sedang ia nantikan?
Ketika Cia Ong-sun bertemu dengannya, pancaran sinar matanya segera menunjukkan perasaan sayang dan kasihan. Barang siapapun juga yang menyaksikan tatapan tersebut, mereka pasti akan mengetahui bagaimanakah perasaan kedua orang itu sekarang.
Mereka adalah sepasang suami isteri yang sudah banyak tahun hidup bersama banyak suka duka dan kesulitan yang telah mereka rasakan selama ini.
Tiba-tiba perempuan itu bertanya:
"Apakah A-kit belum pulang?"
Dengan mulut membungkam Cia Ong-sun gelengkan kepalanya.
Dari balik tatapan matanya yang tua dan sayu, air mata mulai mengembang, tapi suaranya begitu tegas dan mempunyai rasa percaya pada diri sendiri yang tebal.
"Aku tahu, cepat atau lambat, dia pasti akan pulang, bukankah begitu?", kata perempuan itu lagi.
"Benar!", Cia Ong-sun mengangguk.
Seseorang apabila sudah mempunyai setitik harapan, maka nyawapun akan terasa lebih berharga.
Ia tentu berharap bisa hidup di dunia ini untuk selama-lamanya.
ooo)O(ooo
Malam sudah amat kelam.
Di tengah permukaan telaga yang diliputi kegelapan, hanya ada setitik cahaya yang menyinari sekelilingnya.
Cahaya itu berasal dari balik jendela sebuah perahu. Cia ciangkwe sedang duduk di tepi jendela sambil minum arak seorang diri.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Yan Cap-sa naik ke dalam perahu, duduk dihadapannya dan memenuhi cawan dengan arak.
Ketika Cia-ciangkwe menjumpai kedatangannya, sekulum senyum segera menghiasi bibirnya.
Perahu telah berlayar meninggalkan pantai, pelan-pelan menembusi kegelapan malam dan berlayar dengan tenang di atas permukaan air telaga yang jernih.
"Kau tahu kalau aku bakal kemari?"
Cia ciangkwe tertawa.
"Kalau tidak begitu, kenapa aku harus menantikan dirimu?", sahutnya dengan cepat.
Yan Cap-sa segera menengadahkan kepalanya dan menatap wajahnya tajam-tajam.
"Apalagi yang kau ketahui?"
"Aku masih tahu bahwa arak ini wangi dan lezat sekali. Tak ada salahnya jika kita minum agak banyakan"
Yan Cap-sa segera tertawa.
"Masuk di akal, benar juga perkataanmu itu!"
Perahu itu sudah berada di tengah telaga.
Agaknya Cia ciangkwe sudah dipengaruhi pula oleh alkohol, tiba-tiba ia bertanya:
"Sudah kau saksikan pedang itu?"
Yan Cap-sa mengangguk.
"Asal pedang tersebut masih ada, perkampungan Sin-kiam-san-ceng selamanya masih tetap utuh!", Cia ciangkwe menambahkan.
Sesudah menghela napas panjang, pelan-pelan terusnya:
"Meskipun orangnya sudah tiada, tapi pedangnya tetap utuh sepanjang masa!"
ooo)O(ooo
Dalam genggaman Yan Cap-sa terdapat pula sebilah pedang.
Ia sedang memperhatikan pedang dalam genggamannya itu dengan seksama, tiba-tiba ia bangkit dan beranjak dari sana, langsung menuju ke ujung perahu.
Suasana kegelapan menyelimuti seluruh permukaan telaga.
Tiba-tiba ia cabut keluar pedangnya, setelah mengukir huruf 'Sip' atau sepuluh di ujung perahu, tiba-tiba pedang yang sudah dua puluh tahun mengikutinya dan sudah membunuh orang yang tak terhitung banyaknya itu, dilemparkan ke tengah telaga.
"Plung", percikan butiran air berhamburan kemana-mana, tapi sejenak kemudian permukaan telaga telah pulih kembali dalam ketenangan.
Pedang itu sudah tenggelam ke dasar telaga dan lenyap tak berbekas.
Dengan terkejut Cia ciangkwe menatap tajam wajah pemuda itu, lalu tak tahan lagi ia bertanya:
"Mengapa kau tidak mau lagi pedangmu itu?"
"Mungkin suatu waktu aku akan membutuhkannya kembali, dan waktu itu aku akan balik lagi kemari untuk mendapatkannya"
"Maka kau mengukir huruf sepuluh di ujung perahu itu sebagai tanda?"
"Ya, inilah yang dinamakan mengukir perahu memohon pedang!"
Cia ciangkwe gelengkan kepala sambil menghela napas.
"Tahukah kau bahwa tindakanmu itu adalah suatu perbuatan yang bodoh sekali?", katanya.
"Aku tahu!"
"Kalau memang tahu, kenapa kau harus berbuat demikian?"
Yan Cap-sa tertawa.
"Sebab secara tiba-tiba aku merasa bahwa dalam kehidupan seseorang, sedikit banyak harus melakukan beberapa buah pekerjaan yang bodoh, apalagi..........."
Sekulum senyuman penuh arti menghiasi ujung bibirnya.
"Ada banyak persoalan seringkali sukar dikatakan apakah tindakan itu bodoh atau pintar, kenapa aku tidak pula berbuat demikian?"
ooooOOOOoooo
Bab 5. Suka Duka Seorang Gelandangan
Musim gugur telah lewat, musim dinginpun menjelang tiba.
Angin dingin serasa sayatan pisau menyambar datang dari empat penjuru.......
Alam memang kejam. Gelandangan menderita.
ooo)O(ooo
Menyongsong datangnya hembusan angin dingin, A-kit membenahi pakaiannya yang tipis dan keluar dari lorong keluarga Han.
Ia tak tahu kemana harus pergi.
Bayangkan saja, dengan sisa uang sebesar dua puluh tiga biji uang tembaga, kemana ia mesti melanjutkan hidupnya?
Tapi, bagaimanapun juga ia harus tinggalkan tempat itu.
Ia harus meninggalkan orang-orang yang pernah melepaskan budi dan kebaikan kepadanya itu.
Ia tidak melelehkan air mata.
Buat gelandangan, tiada artinya air mata, yang ada hanya darah, dan kini darahnya hampir saja membeku.
ooo)O(ooo
Di antara sekian banyak manusia yang tinggal di lorong keluarga Han, Han toa-nay-nay atau Nyonya besar Han adalah orang yang paling tersohor. Han toa-nay-nay berdiam di loteng keluarga Han.
Han-keh-lo atau loteng keluarga Han adalah sebuah rumah pelacuran yang paling termasyhur.
Ketika untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Han-toa-nay-nay, kejadian ini berlangsung di atas sebuah pembaringan yang dingin, lembab dan kotor.
Di atas papan pembaringan yang dingin dan atos itu penuh dengan noda bekas muntahan yang tercecer kemana-mana. Bukan saja kotor, bau lagi.
Keadaannya pada waktu itu tidak jauh lebih baik daripada pembaringan tersebut.
Ia sudah lima hari mabuk berat, sewaktu sadar tenggorokannya terasa kering dan pecah-pecah, kepalanya pusing seperti mau meledak.
Han toa-nay-nay sedang bertolak pinggang dan berdiri di depan pembaringan sambil mengawasinya.
Perempuan itu mempunyai perawakan setinggi tujuh depa, pinggangnya sangat lebar dan kasar seperti sebuah gentong, diantara jari-jari tangannya yang gemuk, pendek dan kasar itu penuh dihiasi cincin-cincin zamrud dan berlian yang mahal harganya.
Kulit wajahnya yang gemuk dan kencang itu membuat orang sukar menilai usianya yang sesungguhnya, sebab ia kelihatan jauh lebih muda, bahkan di kala hatinya sedang senang, kadangkala sekulum senyuman nakal yang seringkali bisa dijumpai dalam pancaran mata anak-anak, akan dijumpai pula dari balik namanya.
Tapi, sekarang tatapan matanya itu tiada senyuman, apalagi senyuman nakal dari seorang anak-anak.
Dengan sekuat tenaga A-kit menggosok-gosok matanya dan berusaha dipentangkan selebar mungkin. Dia ingin melihat dengan lebih jelas lagi, apakah orang yang berdiri dihadapannya seorang pria ataukah seorang perempuan..............
Perempuan dengan perawakan semacam ini memang tidak sering dijumpai dalam masyarakat, apalagi dengan ukurannya yang serba istimewa itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar