Pendekar Gelandangan 034

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

34

"Karena kecuali Cia Siau-hong, tak ada orang kedua yang dapat membuat Mao It-leng bertekuk lutut!"

"Akupun percaya!", Lui Kok-tiok melanjutkan.

"Kenapa?", kembali si hweesio tua bertanya.

"Karena kecuali Cia Siau-hong, aku betul-betul tak dapat menemukan orang kedua yang bisa merampas pedangku dalam satu gebrakan saja?"

"Dan kau?"

Yang ditanya si hweesio tua itu adalah Hok-kui-sin-sian-jiu (Tangan dewa rejeki dan kemuliaan).

Sin-sian-jiu tidak bersuara, tapi tangannya yang seperti tangan nyonya kaya itu pelan-pelan diturunkan ke bawah, kuku-kukunya yang lebih tajam daripada pedangpun ikut menjadi lemas.

Hal itu sudah merupakan jawabannya yang terbaik.

Menunggu ia sudah mundur lama sekali dari situ, hweesio tua baru menghela napas panjang, katanya:

"Benar-benar suatu ilmu pedang yang tiada ke duanya di dunia ini, benar-benar dia adalah Cia Siau-hong yang tiada bandingannya di kolong langit.......!"

Tiok Yap-cing kena dirobohkan tadi dan selalu tergeletak dengan tubuh kaku di tanah itu mendadak berkata:

"Ilmu pedangnya memang sungguh bagus dan indah, tapi belum tentu sudah tiada ke duanya lagi di dunia ini!"

Pelan-pelan ia bangun dan berduduk, sekulum senyuman bahkan menghiasi ujung bibirnya.

Ternyata si hweesio tua tidak terperanjat, dia hanya melotot sekejap ke arahnya lalu berkata dengan ketus:

"Ilmu pedang yang dimiliki Yan sianseng tentu saja bagus pula, kenapa kau tidak mencabut pedang dan menyerangnya tadi? Seharusnya kau menantang dia untuk berduel satu lawan satu!"

Tiok Yap-cing kembali tersenyum.

"Aku tak mampu menandinginya!", ia mengakui.

"Masa kau tahu ada yang dapat menandingi dirinya?"

"Paling tidak masih ada seorang!"

"Hujin maksudmu?"

Tiok Yap-cing hanya tersenyum dan tidak menjawab, sebaliknya ia malah bertanya:

"Kau pernah menyaksikan hujin (nyonya) turun tangan?"

"Belum pernah!"

"Itulah disebabkan hujin tak perlu turun tangan sendiri, sekalipun dia ingin membunuh seseorang!"

"Tapi siapakah yang mampu mewakilinya untuk membinasakan Cia Siau-hong.....?"

"Yan Cap-sa!"

Hweesio tua itu termenung lama sekali, kemudian kembali menghela napas panjang.

"Aaaai....betul, Yan Cap-sa! Orang itu seharusnya memang Yan Cap-sa......!, bisiknya kemudian.

"Dalam dunia dewasa ini, kecuali hujin mungkin dia seorang yang mengetahui titik kelemahan dari ilmu pedang yang dimiliki Cia Siau-hong!"

"Tapi semenjak ia mengukir tanda di perahu dan menenggelamkan pedangnya ke dasar telaga Liok-sui-oh, belum pernah ada seorang manusiapun yang pernah menyaksikan jejaknya dalam dunia persilatan, mana mungkin dia mencari Cia Siau-hong demi kepentingan hujin?"

"Ya, ini memang tak mungkin!"

"Maksudmu Cia Siau-hong yang akan mencarinya?"

"Inipun tak mungkin!", sahut Tiok Yap-cing.

Setelah tersenyum, ia menambahkan:

"Tapi aku yakin, dalam suatu kesempatan yang tak terduga, mereka pasti akan saling berjumpa muka!"

"Benarkah suatu perjumpaan yang tak terduga?"

Tiok Yap-cing mengebaskan ujung bajunya sambil beranjak, sahutnya dengan hambar:

"Apakah ada rasa cinta? Ataukah tiada rasa cinta? Ada maksud? Ataukah tiada maksud? Siapa yang dapat membedakan ke dua hal tersebut dengan tenang dan jelas?"

ooo)O(ooo

Malam telah tiba, seluruh halaman rumah itu berada dalam suasana yang hening dan gelap, tapi Cia Siau-hong berjalan dengan langkah cepat, ia tak memerlukan cahaya lampu, tapi ia dapat menemukan jalanan yang terbanting di sana.

Di dalam halaman rumah itulah, di saat malam yang sama heningnya, entah berapa kali ia telah bangun dari tidurnya dan berdiri di tengah hembusan angin malam yang dingin dan merasakan kesepian.

Bintang-bintang yang tersebar di langit malam ini jauh lebih suram daripada kemarin, demikian pula Cia Siau-hong yang kini bukanlah A-kit yang tak berguna kemarin.

Semua kejadian dalam dunia ibaratnya buah-buah catur, sering berubah dan sering berganti, siapakah yang dapat meramalkan kejadian apa yang bakal dialaminya besok?

Kini satu-satunya orang yang paling ia kuatirkan adalah orang yang berada di sampingnya sekarang.

Siau Te berjalan di sampingnya dengan mulut membungkam, sesudah menembusi halaman rumah yang gelap, mendadak ia berhenti sambil berkata:

"Kau pergilah!"

"Kau tidak pergi?"

Siau Te gelengkan kepalanya berulang kali, di tengah kegelapan malam, wajahnya tampak pucat pasi seperti mayat, lewat lama sekali pelan-pelan ia baru berkata:

"Jalan yang kita tempuh sesungguhnya bukanlah sebuah jalan yang sama, lebih baik kau melewati jalanmu dan aku menempuh jalananku!"

Cia Siau-hong memperhatikan kembali paras mukanya yang pucat, ia merasakan hatinya sakit sekali.

Setelah lewat agak lama ia baru bertanya lagi:

"Apakah kau tak dapat beralih ke jalanan lain?"

"Tidak dapat!", Siau Te berteriak keras sambil mengepal sepasang tangannya kencang-kencang.

Tiba-tiba ia memutar badannya sambil menerjang keluar, tapi baru saja tubuhnya melompat, ia sudah terjatuh kembali dari tengah udara.

Wajahnya semakin memucat, peluh dingin mengucur keluar bagaikan hujan, dia ingin meronta dan bangun berdiri tapi untuk berdiri tegakpun ia sudah tak mampu.

Sebenarnya dia mengira tusukan dari Liu Kok-tiok tadi masih sanggup ditahan olehnya, tapi sekarang ia merasakan bahwa mulut lukanya makin lama semakin sakit, semakin dirasakan semakin tak tahan.

Akhirnya diapun jatuh tak sadarkan diri.

Ketika sadar kembali, ia dapatkan dirinya sedang berbaring dalam sebuah ruangan yang kecil dengan lampu yang redup.

Cia Siau-hong duduk di bawah sinar lampu sambil memperhatikan sepotong ujung pedang yang panjangnya setengah inci.

Itulah ujung pedang dari Kok-tiok-kiam.

Ketika Kok-tiok-kiam dicabut keluar tadi, masih tertinggal sepotong ujung pedang dalam sendi tulangnya, rasa sakit tersebut sungguh amat berat untuk dirasakan.

Andaikata Cia Siau-hong tidak memiliki sepasang tangan yang kuat, mana mungkin kutungan ujung pedang itu dapat dicabut keluar?

Tapi pakaiannya hingga kini belum mengering, telapak tangannya masih berkeringat, hingga kini tangannya baru mulai gemetar.

Siau Te memandang ke arahnya, tiba-tiba ia berkata:

"Tusukan pedang ini sebenarnya ditujukan ke tubuhmu!"

"Aku tahu", Cia Siau-hong tertawa getir.

"Oleh karena itulah meski kau telah mengobati lukaku, akupun tak usah berterima kasih kepadamu!"

Bab 15. Benang Cinta Yang Tak Mudah Putus

"Yaaa, kau memang tak perlu berterima kasih........", Cia Siau-hong berbisik.

"Oleh karena itulah bila aku hendak pergi meninggalkan tempat ini, kaupun tak usah menahan diriku lagi!"

"Kapan kau akan pergi?"

"Sekarang!"

Tapi Siau Te tak dapat pergi, karena ia masih belum memiliki tenaga untuk berdiri.

Pelan-pelan Cia Siau-hong bangkit berdiri dan berjalan ke ujung pembaringan, sambil mengawasi tajam-tajam mendadak ia bertanya:

"Dulu, pernahkah kau berjumpa denganku?"

"Walaupun orang yang belum pernah berjumpa denganmu, pasti pernah menyaksikan lukisanmu yang dibuat khusus oleh orang lain!"

Cia Siau-hong sama sekali tidak bertanya siapa yang telah melukis wajahnya. Ia sudah tahu siapakah orang ini.

"Aku hanya pernah memberitahukan kepada seseorang!"

"Siapa?"

"Thian-cun!"

"Ooooh....karena itu diapun menyusun rencana tersebut untuk membinasakan diriku?", kata Siau-hong.

"Iapun tahu, bukan suatu pekerjaan yang gampang untuk membinasakan dirimu!"

"Kalau begitu, Tam Ci-hui, Liu Kok-tiok, Hok-kui-sin-sian-jiu serta hweesio tua adalah orang-orangnya Thian-cun?"

"Ciu Ji sianseng juga orang mereka!", Siau Te menambahkan.

Lama sekali Cia Siau-hong termenung, ia seperti lagi memikirkan suatu persoalan penting, kemudian pelan-pelan baru bertanya:

"Apakah Thian-cun adalah ibumu?"

Sesungguhnya pertanyaan ini sudah lama sekali ingin diajukan, hanya selama ini ia tak berani untuk menanyakannya.

Jawaban dari Siau Te ternyata cepat sekali.

"Benar, Thian-cun adalah ibuku. Sekarang akupun tak perlu merahasiakan lagi di hadapanmu!"

"Seharusnya kau tak perlu merahasiakan persoalan itu di hadapanku, karena di antara kita berdua tidak seharusnya mempunyai rahasia lagi!", kata Cia Siau-hong dengan sedih.

"Kenapa?", Siau Te menatapnya lekat-lekat.

Kesedihan dan penderitaan kembali memancar ke luar dari balik mata Cia Siau-hong, gumamnya:

"Kenapa? Kenapa? Masakah kau benar-benar tidak tahu kenapa?"

Siau Te kembali menggelengkan kepalanya.

"Kalau begitu aku ingin bertanya kepadamu, kalau toh ibumu hendak membunuhku, kenapa kau malah menyelamatkan diriku?"

Siau Te masih juga gelengkan kepalanya, rasa sedih dan bingung menyelimuti juga wajahnya, tiba-tiba ia melompat bangun dari pembaringan, mengerudungi kepala Cia Siau-hong dengan kain selimutnya dan sekali tendang pintu depan ia telah menerjang ke luar dari sana.

Seandainya Cia Siau-hong ada niat untuk melakukan pengejaran, sekalipun mempergunakan seribu atau selaksa lembar selimut untuk mengerudungi kepalanya juga tak akan mampu untuk menghalangi niatnya.

Tapi ia tidak melakukan pengejaran, sebab ketika melepaskan selimut dari kepalanya, ia telah menyaksikan Buyung Ciu-ti.

ooo)O(ooo

Di bawah sinar bintang yang dingin dan terang, di tengah malam yang cerah dan bersih dan di dalam halaman kecil yang sepi dan tenang, tumbuhlah sebatang pohon Pek yang telah layu.

Di bawah pohon itulah tampak seseorang berdiri seorang diri di sana, pakaiannya berwarna polos dan sederhana.

Tak ada yang tahu dari mana ia datang, tak ada pula yang tahu sejak kapankah ia datang.

Di kala ia (perempuan) hendak datang, diapun datang, di kala dia hendak pergi, siapapun tak dapat menghalangi.

Ada orang mengatakan bahwa ia adalah bidadari dari khayangan, ada pula yang mengatakan bahwa dia adalah peri cantik dari bumi, tapi terlepas apapun yang dikatakan orang banyak, selamanya ia tak pernah ambil perduli.

Sudah ada lima belas tahun lamanya.

Dalam lima belas tahun yang panjang, empat ribu hari yang tak panjang tak pendek, panas ya dingin, manis dan getir, masih ada berapa banyak orangkah yang tetap hidup? Ada berapa pula yang telah mati? Ada berapa orang tetap biasa saja? Ada berapa pula yang telah berubah? Akan tetapi ia tidak berubah.

Lima belas tahun berselang, ketika untuk pertama kali berjumpa dengannya, ia sudah berada dalam keadaan seperti sekarang ini. Tapi berapa banyak perubahan yang telah ia (lelaki) alami?

ooo)O(ooo

Pepohonan di tengah halaman bergoyang terhembus angin, lampu lentera dalam ruanganpun bergoyang-goyang dimainkan angin.

Ia tidak masuk ke dalam ruangan, dan iapun tidak keluar dari ruangan, mereka hanya saling berpandangan dengan tenang.

Hubungan di antara mereka berdua selalu memang demikian, sukar untuk di raba oleh siapapun.

Tak ada yang bisa memahami perasaan cinta kasihnya kepadanya, dan tak ada pula yang tahu apa yang sedang ia pikirkan.

Perduli apapun yang sedang ia pikirkan, paling tidak tiada tanda-tanda sedikitpun yang bisa kau temukan di atas wajahnya.

Sudah sejak lama ia belajar menyembunyikan perasaan di hadapan orang lain, terutama terhadap lelaki ini.

ooo)O(ooo

Ia menggerakkan tangannya dan membenahi rambutnya yang kusut terhembus angin, tiba-tiba ia tertawa, jarang sekali ia tertawa.

Senyuman itu seperti juga dengan orangnya, begitu cantik, anggun dan mengambang, seperti pula angin lembut di musim semi, siapakah yang dapat menangkapnya?

Suaranya seperti juga kelembutan angin di musim semi, katanya lirih:

"Sudah berapa lama? Lima belas tahunkah? Atau sudah enam belas tahun?"

Ia tidak menjawab, karena dia tahu bahwa perempuan itu pasti mengingat lebih jelas daripadanya, mungkin saja iapun dapat mengingat-ingat setiap peristiwa yang terjadi setiap harinya dulu.

Senyuman perempuan itu makin lembut dan hangat.

"Agaknya kau masih belum berubah", katanya masih seperti dulu, tidak begitu suka berbicara.

Dengan dingin Cia Siau-hong menatap wajahnya lama, lama sekali, ia baru bertanya dengan ketus:

"Masih ada persoalan apa lagi yang hendak kita bicarakan?"

Tiba-tiba senyumannya lenyap, kepalanya ditundukkan rendah-rendah.

Ya.......sudah tak ada lagi.......sudah tak ada lagi......

Benarkah sungguh-sungguh tak ada? Apapun tak ada lagi? Tidak, tidak mungkin!

Tiba-tiba perempuan itu mendongakkan kepalanya dan menatapnya tajam-tajam, katanya:

"Seandainya di antara kita berdua benar-benar sudah tiada persoalan lagi, kenapa aku musti datang mencarimu?"

Sesungguhnya kalimat semacam ini lebih pantas diajukan Cia Siau-hong kepadanya, tapi sekarang ia telah mengajukannya bagi diri sendiri.

Kemudian iapun memberi jawaban bagi dirinya sendiri:

"Aku datang, karena aku hendak membawa pergi bocah itu, dahulu kalau toh kau sudah tidak mau dirinya lagi, kenapa musti kau ganggu dirinya sekarang, sehingga mendatangkan kepedihan dan penderitaan baginya?"

Kelopak matanya menyusut kencang, seakan-akan di tusuk oleh jarum yang tajam secara tiba-tiba.

Perempuan itupun menyusupkan kelopak matanya, ia berkata lebih jauh: "Aku datang karena aku hendak memberitahukan kepadamu bahwa kau harus mati!"

Suaranya berubah menjadi dingin seperti es, seakan-akan berubah menjadi seseorang yang lain secara mendadak.

"Begitu pula aku hendak membuat kau mati di tanganku kali ini", Cia Siau-hong mendengus dingin.

"Hmmm! Jika Thian-cun ingin membunuh orang, kenapa musti turun tangan sendiri?"

"Untuk membunuh orang lain, selamanya aku tak pernah melakukannya sendiri, tapi terkecuali bagimu!", Buyung Ciu-ti menegaskan.

Segulung angin kembali berhembus lewat dan sekali lagi mengacaukan rambutnya yang panjang.

Angin itu belum lagi berhembus lewat, ia telah menubruk ke depan, menubruk seperti seorang gila, seakan-akan ia telah berubah lagi menjadi seperti orang yang lain.

Sekarang ia sudah bukan seorang gadis yang anggun, cantik dan lembut bagaikan hembusan angin di musim semi lagi.

Diapun tidak mirip Buyung hujin yang cerdik, keji dan berkekuasaan besar serta disegani tiap umat persilatan lagi.

Sekarang ia tak lebih hanya seorang perempuan biasa, perempuan yang terbelenggu oleh benang cinta, dan menjadi bingung karena tak sanggup mengendalikan diri.

Ia tidak menunggu sampai Cia Siau-hong turun tangan lebih dulu, diapun tidak menunggu sampai ia memperlihatkan titik kelemahannya yang mematikan itu lebih dahulu.

Bahkan tubrukannya kali ini dilakukan secara mengawur, kepandaian silat yang dimilikinya sama sekali tak digunakan.

Sebab ia amat mencintai laki-laki itu, tapi membenci pula laki-laki itu, cintanya setengah mati, tapi bencinya juga setengah mati.

Oleh karena itu dia hanya ingin beradu jiwa dengannya, sekalipun tak mampu, diapun akan tetap beradu dengannya.

Terhadap perempuan semacam ini, darimana mungkin Cia Siau-hong dapat mengembangkan ilmu pedangnya yang tiada tandingan di dunia itu?

Sudah beratus-ratus pertarungan yang dialami, sudah bermacam-macam jago lihay dunia persilatan yang pernah di hadapi, sudah berulang kali pula mengalami masa krisis yang mengancam jiwanya.

Tapi sekarang, pada hakekatnya dia tak tahu apa yang musti dilakukan untuk menghadapi kejadian ini.

ooo)O(ooo

Lentera di atas meja ditendang hingga terbalik.

Buyung Ciu-ti seperti perempuan gila telah menyerbu ke dalam ruangan, kalau dilihat dari sikapnya sekarang, seakan-akan dia hendak menggigit setiap bagian tubuh Siau-hong dengan geram.

Jika Siau-hong mau, sekali pukulan yang dilontarkan pasti dapat merobohkan dirinya, karena seluruh tubuhnya sekarang sudah penuh dengan titik kelemahan.

Tapi ia tak dapat turun tangan, iapun tak tega untuk turun tangan. Bagaimanapun juga ia tetap seorang pria, bagaimanapun juga dia adalah perempuan yang pernah menjadi istrinya.

Maka dia hanya dapat mundur ke belakang.

Tidak banyak tempat dalam ruangan yang dapat dipakai untuk mengundurkan diri, sekarang ia terpojok dan tak sanggup menghindar lagi.

Pada saat itulah sekilas cahaya pedang tiba-tiba muncul dari tangan Buyung Ciu-ti, lalu bagaikan seekor ular beracun menusuk tubuhnya.

Tusukan itu bukan tusukan pedang seorang perempuan sinting, tusukan itu adalah tusukan dari pedang pembunuh.

Tusukan itu bukan saja amat cepat, ganasnya bukan kepalang, apalagi datangnya pada saat dan keadaan yang sama sekali tak terduga oleh lawannya, menusuk datang ke bagian tubuhnya yang tak pernah di duga.

Bukan saja tusukan itu menggunakan jurus pedang yang dahsyat, di sini juga terhimpun seluruh intisari dari jurus-jurus senjata yang paling ampuh di dunia ini.

Tusukan itu sesungguhnya merupakan sebuah tusukan yang pasti akan bersarang telak, tapi sayangnya tusukan tersebut sama sekali tidak mengenai sasaran.

Kecuali Cia Siau-hong, tak ada orang kedua di dunia ini yang sanggup menghindarkan diri dari tusukan semacam itu, karena tiada seorang manusiapun di dunia ini yang lebih memahami tentang Buyung Ciu-ti daripada dirinya.........

Ia dapat menghindarkan diri dari tusukan tersebut, bukan dikarenakan ia telah memperhitungkan dengan tepat saat dan arah tusukan tersebut, melainkan ia telah memperhitungkan dengan tepat manusia macam apakah Buyung Ciu-ti itu?

Tidak ada komentar: