Pendekar Gelandangan 033

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

33

Bukan saja gerakan tubuhnya enteng seperti daun kering yang rontok ke tanah, wajahnyapun kurus kering tak berdaging, pinggangnya menyoren sebuah bambu yang panjangnya tiga depa, potongan badannyapun ceking sekali macam sebatang bambu.

Tapi pakaian yang dikenakan perlente sekali, sikapnyapun sangat angkuh, terhadap manusia-manusia hidup dan mati yang berada dalam ruangan, ia memandangnya bagaikan orang mati semua.

Seorang yang lain justru merupakan kebalikannya, dia adalah seorang laki-laki gemuk yang selalu tersenyum. Pada jari-jari tangannya yang putih dan gemuk mengenakan tiga buah cincin yang berbatu sangat indah, nilainya tak terkirakan. Kukunya tajam dan panjang sehingga kelihatannya seperti tangan seorang nyonya kaya.

Sepasang tangan seperti ini sudah tentu paling tidak cocok untuk menggunakan pedang, manusia semacam inipun tidak mirip seorang ahli dalam ilmu meringankan tubuh.

Tapi kalau ditinjau dari caranya sewaktu melayang turun dari tengah udara tadi, sudah pasti ilmu meringankan tubuhnya sama sekali tidak lebih lemah daripada kakek ceking macam bambu itu.

Menyaksikan kehadiran ke tiga orang itu, paras muka Ciu Ji sianseng telah berubah menjadi pucat kelabu.

Mendadak dari luar pintu kedengaran pula seseorang yang berbatuk tiada hentinya, sambil berbatuk-batuk pelan-pelan orang itu berjalan masuk ke dalam ruangan.

Dia adalah seorang hweesio tua yang berwajah penyakitan, bajunya compang-camping dan punggungnya bungkuk.

Menjumpai kehadiran hweesio tua itu, paras muka Ciu Ji sianseng semakin memucat. Setelah tertawa sedih, katanya:

"Bagus, bagus sekali, sungguh tak kusangka kaupun telah datang kemari!"

Hweesio tua itu menghela napas panjang.

"Aaaai.....kalau aku tidak datang, siapa yang akan datang? Kalau aku tidak masuk ke neraka, siapa pula yang akan masuk ke neraka?"

Sewaktu mengucapkan kata-kata tersebut suaranya lemah tak bertenaga, bukan saja seperti orang penyakitan bahkan mirip sekali dengan seseorang yang sudah lama menderita sakit, bahkan sakitnya parah sekali!.

Akan tetapi siapapun yang ada dalam ruangan itu sekarang, pasti tahu bahwa dia adalah seseorang yang mempunyai asal-usul serta kedudukan yang luar biasa.

Tentu saja Toa-tauke pun mempunyai pandangan demikian, ia telah mengetahui bahwa hweesio tersebut kemungkinan besar adalah satu-satunya bintang penolong yang bisa diharapkan.

Bagaimanapun juga seorang pendeta pasti mempunyai hati yang penuh welas asih, dia tak akan membiarkan seseorang menderita tanpa berusaha untuk menolongnya.

Maka dengan penuh rasa hormat, Toa Tauke segera bangkit berdiri, kemudian sambil tertawa paksa katanya:

"Untung saja tempat ini bukan neraka, kalau taysu sudah sampai di sini, maka kau tidak akan merasakan pelbagai penderitaan lagi!"

Hweesio tua itu kembali menghela napas panjang.

"Aaaai....tempat ini kalau bukan neraka, lantas tempat manakah yang disebut neraka? Kalau aku tidak menderita, siapa pula yang akan menderita......?"

Sekali lagi Toa-tauke tertawa paksa.

"Setelah berada di sini, taysu akan menderita apa lagi?", katanya.

"Menaklukkan iblis juga penderitaan, membunuh orangpun merupakan penderitaan!"

"Aaaah....taysu juga membunuh orang?"

"Kalau aku tidak membunuh orang, siapa yang akan membunuh orang? Kalau aku tidak membunuh orang, kenapa bisa masuk neraka?"

Toa-tauke tak sanggup mengucapkan kata-katanya lagi.

Tiba-tiba manusia cacat itu bertanya:

"Kau tahu siapa aku?"

Toa tauke menggelengkan kepalanya.

Barang siapapun di dunia ini apabila ia sudah menjadi Toa-tauke seperti dia, orang yang dikenal pasti tak akan terlalu banyak.

Manusia cacat itu kembali bertanya:

"Kau harus tahu siapakah aku ini, berapa banyakkah manusia di dunia ini yang mempunyai mata sebuah, tangan sebuah dan kaki sebuah macam aku, tapi bisa mempergunakan sepasang pedang!"

Ia bukan terlampau menyombongkan diri, sebab manusia semacam dia mungkin tak akan ditemukan keduanya dalam dunia persilatan dewasa ini.

Satu-satunya orang yang mempunyai ciri semacam dia tak lain adalah jago pedang ketiga dari sepuluh jago pedang wilayah Kanglam yang disebut orang sebagai Yan-cu-siang-hui (Si walet yang terbang bersama) Tam Ci-hui.

Tentu saja Toa-tauke pun mengetahui tentang orang ini, maka ia segera bertanya:

"Kau adalah Tam tayhiap?"

"Betul!", jawab manusia cacat itu dengan angkuh, "aku adalah Tam Ci-hui, akupun datang untuk membunuh orang!"

"Masih ada aku Liu Kok-tiok", kakek ceking itu segera menambahkan dengan cepat.

Kok-tiok-kiam termasuk juga salah seorang jago pedang dari wilayah Kanglam. Ia merupakan salah seorang dari sepuluh jago pedang wilayah Kanglam, tujuh orang rekannya telah tewas di ujung pedang Ciu Ji sianseng.

Dengan dingin Tam Ci-hui berkata:

"Siapakah orang yang hendak kami bunuh hari ini, rasanya sekalipun tidak kuucapkan kaupun sudah tahu!"

Toa tauke segera menghembuskan napas panjang, katanya sambil tertawa paksa:

"Untungnya saja kedatangan kalian kemari bukan untuk membunuh diriku......!"

"Tentu saja bukan kau!"

Belum habis perkataannya itu, tubuhnya sudah melompat ke tengah udara, pedangnya diloloskan dari sarung dan diantara kilatan cahaya ia langsung menusuk ke arah Ciu Ji sianseng.

Ciu Ji sianseng memungut kembali pedangnya dan mengayunkan senjata tersebut untuk menyongsong datangnya ancaman tersebut.

"Traaaang....!", sepasang pedang saling membentur satu sama lainnya, tiba-tiba cahaya pedang tersebut berubah arah dan meluncur ke arah tubuh Toa-tauke.

Belum lenyap senyuman di ujung bibir Toa-tauke, kedua belah pedang itu sudah menembus tenggorokan serta jantungnya.

Tak seorangpun yang menduga bakal terjadi perubahan tersebut, juga tak seorangpun yang menghalanginya.

Sebab di kala sepasang pedang itu saling membentur satu sama lainnya, Tiok Yap-cing telah dirobohkan oleh hweesio tua itu.

Pada saat yang bersamaan pula, Kok-tiok-kiam serta si gemuk berusia setengah umur yang selalu tersenyum itu telah tiba di samping Siau Te.

Pedang Kok-tiok-kiam belum sampai diloloskan dari sarungnya, dengan gagang pedangnya ia sudah menumbuk iga kiri Siau Te.

Siau Te ingin menyusup ke depan, tapi pedang Ciu Ji Sianseng dan Tam Ci-hui kebetulan sedang meluncur datang dari hadapannya.

Terpaksa dia harus berkelit ke samping kanan, sebuah tangan lembut seperti tangan nyonya kaya telah menunggu di sana, tiba-tiba kukunya yang lembut itu meluncur ke depan, sepuluh buah kuku tajam bagaikan sepuluh pedang pendek yang tajam tahu-tahu sudah tiba di tenggorokan serta alis matanya.

Sekarang ia sudah tak sanggup untuk menyelamatkan diri lagi, tampaknya ia akan segera tewas di ujung kuku tajam itu.

Tapi A-kit tak dapat membiarkan ia mati, yaa, tak dapat!.

Baru saja pedang panjang milik Kok-tiok-kiam diloloskan dari sarungnya, mendadak sesosok bayangan manusia berkelebat lewat dari hadapannya, tahu-tahu pedang itu sudah berpindah tangan, kemudian cahaya pedang kembali berkelebat lewat, mata pedang tahu-tahu sudah menempel di tenggorokannya.

Mata pedang itu tidak ditusukkan lebih lanjut, sebab kuku dari laki-laki gemuk berusia setengah umur itupun tidak melanjutkan tusukannya.

Gerakan dari setiap orang telah terhenti, setiap orang sedang memperhatikan pedang di tangan A-kit.

Sebaliknya A-kit sedang memperhatikan kesepuluh buah kuku yang lebih tajam dari pedang itu.

Waktu yang teramat singkat itu dirasakan seperti setahun lamanya, akhirnya hweesio tua itu menghela napas panjang.

"Sungguh cepat amat gerakan tangan saudara!", katanya.

"Akupun bisa membunuh orang!", kata A-kit.

"Tapi apa hubungannya antara persoalan ini dengan dirimu?"

"Sama sekali tak ada!"

"Kalau memang begitu, kenapa mesti mencampuri urusan ini?"

"Sebab orang itu justru mempunyai sedikit hubungan dengan diriku!"

Hweesio tua itu memandang sekejap ke arah Siau Te, lalu memandang pula tangan nyonya kaya itu, akhirnya dia menghela napas panjang.

"Aaaai......seandainya kau bersikeras hendak menolongnya, aku kuatir hal ini akan sulit sekali"

"Kenapa?"

"Karena tangan itu!"

Pelan-pelan ia melanjutkan kembali kata-katanya:

"Karena tangan tersebut adalah tangan Siu-hun-jiu (Tangan perenggut nyawa) dari Hok-kui-sin-sian (Dewa rejeki dan kemuliaan) yang bisa menutul besi menjadi emas, menutul kehidupan menjadi kematian. Sekalipun kau membunuh Liu Kok-tiok, sicu muda itupun pasti akan mati!"

"Apakah kalian tidak sayang mempergunakan nyawa dari Liu Kok-tiok untuk ditukar dengan selembar jiwanya?"

Setiap orang memperhatikan pedang yang berada di tangan A-kit itu.

"Benar!", ternyata jawaban dari hweesio tua itu cukup singkat tapi jelas.

Paras muka A-kit segera berubah.

"Ia tak lebih hanya seorang bocah, kenapa kalian harus membinasakannya.....!", ia bertanya.

Tiba-tiba hweesio tua itu tertawa dingin.

"Dia hanya seorang bocah?", ejeknya, "dia tak lebih hanya seorang bocah? Aku rasa tidak terlalu banyak bocah semacam dia di dunia ini"

"Tahun ini usianya belum mencapai lima belas tahun!", kembali A-kit berkata.

"Hmmm....! Kalau begitu kami tak akan membiarkan dia untuk hidup sampai usia enam belas tahun!"

"Kenapa?"

Hweesio tua tidak menjawab, sebaliknya malah balik bertanya:

"Tahukah kau tentang Thian-cun?"

"Thian-cun?"

Hweesio tua kembali menghela napas, pelan-pelan ia mengucapkan delapan bait syair:

"Langit bumi tidak berperasaan.

Setan dan malaikat tidak bermata.

Segala benda dan makhluk di dunia tak berdaya.

Mati dan hidup tidak berbeda.

Rejeki dan bencana tidak berpintu.

Langit dan bumi,

alam semesta dan alam baka,

hanyalah aku yang dipertuan."

"Siapakah yang berkata begini? Sungguh besar amat lagaknya!", seru A-kit sambil berkerut kening.

"Itulah bait syair yang diucapkan ketika perguruan Thian-cun dibuka secara resmi, bahkan langit dan bumi, setan dan malaikatpun tidak ia pandang sebelah matapun, apalagi hanya manusia. Apa yang mereka perbuat bisa kau bayangkan sendiri"

"Benar!", sambung Ciu Ji sianseng, "daya pengaruh mereka sedemikian luasnya sehingga sama sekali tidak berada di bawah perkumpulan Cing-liong-hwe di masa lalu, sayangnya dalam dunia persilatan justru masih terdapat kami beberapa orang yang masih percaya dengan tahayul dan apa mau dibilang justru kamilah yang selalu diincar"

"Oleh karena itulah dendam pribadi antara sepuluh jago pedang dari Kanglam dengan Ciu Ji sianseng sudah berubah menjadi tak seberapa lagi", lanjut Tam Ci-hui, "asal dapat melenyapkan pengaruh jahat mereka, sekalipun batok kepala sendiripun aku orang she Tam rela berkorban, apalagi hanya sedikit dendam pribadi"

"Perkumpulan yang mengkoordinir pengaruh jahat di tempat ini tak lain adalah sebagian dari kekuasaan di bawah pimpinan Thian-cun", kata Ciu Ji sianseng.

"Untuk sementara waktu kami masih belum sanggup untuk melenyapkan mereka ke akar-akarnya karena itu terpaksa harus kami kerjakan dari cabang-cabangnya yang terkecil!", hweesio tua itu menambahkan.

"Bocah yang hendak kau tolong itu adalah orang yang dikirim dari pihak Thian-cun!"

"Perintah dari Thian-cun selamanya diturunkan lewat dirinya, ialah yang secara diam-diam mengendalikan semua keadaan di sini, Toa-tauke maupun Tiok Yap-cing tidak lebih hanya boneka-boneka di bawah perintahnya......!"

Hweesio tua itu berhenti sebentar, kemudian pelan-pelan melanjutkan lebih jauh:

"Sekarang tentunya kau sudah mengerti bukan, kenapa kami tak dapat melepaskannya dengan begitu saja?"

Paras muka A-kit pucat pias seperti mayat, dengan nama besar serta kedudukan sepuluh jago pedang dari wilayah Kanglam, sudah barang tentu mereka tak akan mencelakai seseorang bocah tanpa alasan yang kuat, apa yang mereka ucapkan mau tak mau harus dipercaya juga.

"Sekarang setelah kau mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, apakah kau masih ingin menyelamatkan jiwanya?", hweesio tua itu bertanya lagi.

"Benar!", jawab A-kit.

Paras muka Hweesio tua itu segera berubah hebat.

Tidak menunggu ia buka suara, A-kit telah bertanya lagi:

"Apakah dia adalah pemimpin dari Thian-cun itu?"

"Tentu saja bukan!"

"Siapakah pemimpin dari Thian-cun?"

"Pemimpin dari Thian-cun, tentu saja bernama Thian-cun!"

"Andaikata ada seseorang ingin mempergunakan selembar nyawanya untuk ditukar dengan nyawa bocah ini, bersediakah kalian menerimanya?"

"Tentu saja bersedia, cuma sayang sekalipun kami bersedia, barter ini sudah pasti tidak akan bisa berlangsung sebagaimana mestinya......"

"Kenapa?"

"Sebab tak ada orang yang bisa membunuh Thian-cun, tak ada orang yang bisa menandinginya!"

Tiba-tiba suaranya terhenti di tengah jalan, dengan menampilkan suatu mimik wajah yang sangat aneh, ia seperti melayangkan pikirannya ke tempat yang jauh, lewat lama sekali, pelan-pelan ia baru menambahkan:

"Mungkin ada seseorang yang sanggup melakukannya!"

"Siapa?"

"Sam........"

Dia hanya mengucapkan sepatah kata, lalu berhenti lagi, setelah menghela napas panjang terusnya:

"Sayang orang ini sudah tiada lagi di dunia ini, sehingga sekalipun dibicarakan juga tak berguna"

"Tapi apa salahnya kalau kau katakan kembali?"

Sorot mata hweesio itu seakan-akan sedang memandang kejauhan lagi, kemudian gumamnya:

"Di atas langit di bawah bumi hanya ada dia seorang dengan sebilah pedangnya yang tiada keduanya di dunia ini, hanya ilmu pedangnya baru betul-betul terhitung ilmu pedang yang tiada tandingannya di dunia ini!"

"Kau maksudkan.........."

"Yang kumaksudkan adalah Sam sauya!"

"Sam sauya yang mana?"

"Sam sauya dari lembah Cui-hui-kok, telaga Liok-sui-oh, perkampungan Sin-kiam-san-ceng, Sam sauya dari keluarga Cia, Cia Siau-hong adanya!"

Tiba-tiba wajah A-kit menunjukkan mimik wajah yang sangat aneh, seakan-akan pikiran dan perasaannya sedang berada pula di tempat yang amat jauh.

Lama, lama sekali, sepatah demi sepatah kata ia baru menjawab:

"Akulah Cia Siau-hong!"

ooo)O(ooo

Di atas langit di bawah bumi hanya ada seorang manusia yang bernama Cia Siau-hong.

Bukan saja dia adalah seorang jago pedang yang tiada tandingannya di kolong langit, diapun seorang manusia yang berbakat, semenjak dilahirkan, ia telah mendapatkan segala kasih sayang dan segala keberhasilan, tak seorang manusiapun yang dapat menandinginya.

Ia cerdik lagi tampan, tubuhnya sehat dan badannya tinggi kekar, sekalipun orang yang membenci dirinya, memusuhi dirinya dan mempunyai dendam sakit hati sedalam lautan dengannya, mau tak mau mengagumi juga kehebatannya itu.

Perduli siapapun orang itu, semuanya tahu bahwa Cia Siau-hong adalah manusia semacam itu, tapi siapa pula yang benar-benar dapat memahami dirinya.

Siapa pula yang betul-betul bisa menyelami perasaannya dan mengenali kepribadiannya?

ooooOOOOoooo

Bab 14. Sam Sauya

Apakah ada orang yang benar-benar memahaminya? Baginya hal itu bukan suatu masalah.

Karena ada sementara orang yang semenjak dilahirkan memang tidak membutuhkan pengertian dari orang lain, seperti juga malaikat atau dewa atau sebangsanya.

Justru karena tiada seorang manusiapun yang memahami malaikat, maka ia baru mendapat penghormatan serta sembahan dari umat manusia di dunia ini.

Dalam pandangan dan perasaan di dunia, Cia Siau-hong hakekatnya sudah mendekati malaikat.

Tapi bagaimana dengan A-kit?

A-kit tidak lebih hanya seorang gelandangan dari dunia persilatan, ia tak lebih hanyalah A-kit yang tak berguna.

Bagaimana mungkin Cia Siau-hong bisa berubah menjadi manusia seperti A-kit? Tapi sekarang justru ia berkata demikian:

"Akulah Cia Siau-hong!"

Benarkah itu?

ooo)O(ooo

Hweesio tua itu tertawa. Ia tertawa terbahak-bahak.

"Haaaaahhhh..... haaaahhhhh...... haaahhhh.... engkaukah Cia Siau-hong, Sam sauya dari keluarga Cia?"

"Ya, akulah orangnya!", jawab A-kit.

Ia tidak tertawa.

Persoalan ini sebenarnya adalah rahasianya, juga merupakan penderitaannya, sebenarnya ia lebih suka mati daripada mengutarakannya kembali, tapi sekarang ia telah mengucapkannya.

Sebab ia tak dapat membiarkan Siau Te mati, hal ini jelas tak akan boleh sampai terjadi.

Akhirnya hweesio tua itu menghentikan gelak tertawanya, dengan dingin ia berkata:

"Tapi sayang, setiap umat persilatan telah mengetahui bahwa ia telah mati!"

"Dia belum mati!"

Sinar matanya penuh pancaran rasa sedih dan penderitaan, katanya lebih lanjut:

"Mungkin perasaannya telah mati, tapi orangnya sampai sekarang belum mati!"

"Justru oleh karena perasaannya telah mati, maka ia telah berubah menjadi A-kit?", tanya hweesio tua itu sambil menatapnya lekat-lekat.

Pelan-pelan A-kit mengangguk, sahutnya dengan sedih:

"Sayang sekali perasaan A-kit belum mati, oleh karena itu mau tak mau Cia Siau-hong harus hidup lebih lama!"

"Aku percaya kepadanya!", tiba-tiba Ciu Ji sianseng berkata.

"Kenapa kau percaya?", tanya si hweesio tua.

1 komentar:

tabnabozny mengatakan...

Jamboreva - Casino Hotel (Delhi) - JTM Hub
Jamboreva 울산광역 출장마사지 is the best resort you 양주 출장안마 can 의정부 출장안마 come 서울특별 출장샵 to India. Jamboreva is also conveniently situated in Jamborec and is located 여수 출장마사지 in the city of Mallomark and is