Pendekar Gelandangan 032

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

32

Meskipun perkataan itu diucapkan dengan nada yang ringan, justru suaranya amat parau dan seperti orang yang sedang menjerit.

Akhirnya A-kit telah memalingkan wajahnya, tapi begitu kepalanya berpaling, air mukanya segera berubah hebat.

Yang sedang berdiri dihadapannya tak lebih hanya seorang kakek berambut putih, sesungguhnya tiada sesuatu yang aneh atau istimewa, atau menyeramkan hati orang.

Tapi rasa kejut yang memancar keluar dari mimik wajahnya sekarang jauh lebih hebat daripada rasa kagetnya ketika bertemu dengan makhluk aneh yang menyeramkan.

Mao Toa sianseng kembali tertawa, suara tertawanya kedengaran jauh lebih aneh lagi.

"Coba lihatlah, bukankah aku sudah banyak berubah?", katanya.

A-kit ingin menjawab, tapi tak sepotong suarapun yang keluar dari tenggorokannya.

"Andaikata kita saling berjumpa di tengah jalan secara tidak sengaja, aku rasa belum tentu kau dapat mengenali diriku", kata Mao Toa sianseng.

Tiba-tiba ia berpaling dan bertanya kepada Toa-tauke:

"Bukankah kau sedang keheranan, karena ia bisa begitu terperanjat ketika bertemu denganku barusan?"

Terpaksa Toa-tauke hanya mengangguk, ia tidak habis mengerti hubungan apakah yang sesungguhnya terjalin di antara mereka berdua?

Mao Toa sianseng kembali bertanya:

"Coba kau lihatlah dia, berapa kira-kira usianya tahun ini........?"

Toa-tauke memperhatikan A-kit sekejap, kemudian dengan agak ragu menjawab:

"Paling tidak baru berusia dua puluh tahunan, belum mencapai tiga puluh tahun!"

"Dan aku?"

Toa-tauke memperhatikan pula rambutnya yang telah beruban serta wajahnya yang penuh keriput, meskipun dalam hati kecilnya ingin menyebut beberapa tahun lebih muda, toh tak dapat menyebutnya terlalu sedikit.

"Bukankah kau melihat usiaku paling tidak sudah mencapai enam puluh tahunan?", kata Mao Toa-sianseng tiba-tiba.

"Sekalipun kau sudah berusia enam puluh tahunan, tapi kelihatannya masih berusia sekitar lima puluh tiga-empat tahunan", buru-buru Toa-tauke menambahkan.

Mendadak Mao Toa-sianseng tertawa terbahak-bahak, seakan-akan belum pernah mendengar cerita lelucon yang selucu itu, tapi dibalik suara tertawanya itu justru sama sekali tidak membawa nada tertawa, bahkan jauh lebih mirip orang yang sedang menangis.

Toa-tauke memperhatikan dirinya sekejap, lalu memperhatikan pula diri A-kit, katanya:

"Apakah tebakanku keliru besar?"

Akhirnya A-kit menghembuskan napas panjang, katanya:

"Aku termasuk shio macan, tahun ini berusia tiga puluh dua tahun!"

"Dan dia?"

"Ia lebih tua tiga tahun daripada diriku!"

Dengan rasa kaget Toa-tauke memperhatikannya, siapapun tak akan percaya kalau orang yang berwajah penuh keriput dan berambut putih itu baru berusia tiga puluh lima tahun.

"Kenapa secepat itu ia berubah menjadi setua ini?"

"Karena dendam sakit hati!"

Dendam sakit hati yang terlalu dalam, seperti juga kesedihan yang kelewat batas, selalu membuat proses ketuaan seseorang berlangsung jauh lebih cepat daripada siapapun.

Toa-tauke memahami juga teori tersebut, tapi tak tahan kembali ia bertanya:

"Siapa yang ia benci?"

"Akulah yang ia benci!"

"Kenapa ia sangat membenci dirimu?", tanya Toa tauke sambil menarik napas panjang-panjang untuk melegakan dadanya yang sesak.

"Karena aku telah melarikan calon istrinya yang bakal dinikahi!"

Paras muka A-kit kembali berubah menjadi tawar tanpa emosi, dengan hambar ia melanjutkan:

"Waktu itu sesungguhnya aku berangkat ke rumahnya dengan tujuan untuk menyampaikan selamat kepadanya, tapi justru pada malam kedua setelah mereka tukar cincin, kubawa kabur bakal bininya!"

"Karena kaupun mencintai perempuan itu?", tanya Toa-tauke.

A-kit tidak menjawab pertanyaan itu secara langsung, tapi berkata lagi dengan suara dingin:

"Setengah bulan kemudian setelah kubawa kabur bakal bininya itu, akupun kembali meninggalkannya!"

"Kenapa kau harus melakukan perbuatan semacam ini?"

"Karena aku senang!"

"Jadi asal kau senang, maka perbuatan macam apapun akan ku lakukan......?"

"Benar!"

Sekali lagi Toa-tauke menghembuskan napas panjang.

"Aaaaiii....sekarang aku jadi paham sekali!"

"Apa yang kau pahami?"

"Barusan ia tidak membunuhmu karena dia tidak ingin kau mati terlalu cepat, dia ingin membuatmu seperti dirinya merasakan penderitaan batin yang hebat dan mati secara pelan-pelan"

Mendadak Mao Toa-sianseng menghentikan gelak tertawanya, lalu meraung keras:

"Kentut busuk makmu!"

Toa-tauke tertegun.

Tampaklah Mao Toa-sianseng sedang mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, dengan pandangan mata tak berkedip ditatapnya A-kit tajam-tajam, kemudian sepatah demi sepatah kata dia berkata:

"Aku harus membuatmu dapat melihat diriku, sebab aku harus membuatmu memahami akan satu persoalan"

A-kit sedang memperhatikan dengan seksama.

"Yang kubenci bukan dirimu melainkan diriku sendiri", kata Mao Toa-sianseng, "sebab itu aku baru menyiksa diriku sendiri sehingga berubah menjadi begini rupa!"

A-kit termenung sejenak, akhirnya pelan-pelan dia mengangguk.

"Ya, aku mengerti!"

"Kau benar-benar sudah mengerti?"

"Ya, aku benar-benar sudah mengerti!"

"Kau dapat memaafkan diriku?"

"Aku.......aku sudah memaafkan dirimu semenjak dahulu!"

Mao Toa-sianseng menghembuskan napas panjang seakan-akan ia telah melepaskan suatu beban yang beribu-ribu kati beratnya dari atas bahunya.

Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut, berlutut di hadapan A-kit sembari bergumam:

"Terima kasih banyak, terima kasih banyak......."

Ciu Ji sianseng selama ini hanya memandang ke arahnya dengan wajah terkejut, tapi sekarang ia tak dapat mengendalikan diri lagi, segera bentaknya dengan gusar:

"Ia telah melarikan binimu, kemudian meninggalkannya pula, tapi sekarang kau malah minta maaf kepadanya, kau malah minta kepadanya untuk memaafkan dirimu, kau.....kau....kenapa kau tidak membiarkan aku untuk membunuhnya?"

Tadi pedangnya sudah bergerak, ia sudah mempunyai kesempatan untuk turun tangan, ia dapat melihat bahwa perhatian A-kit sudah mulai dipecahkan oleh pembicaraannya, tapi ia tak menyangka kalau sahabatnya malahan turun tangan menyelamatkan A-kit.

Mao Toa-sianseng menghela napas panjang.

"Aaai...kau mengira aku betul-betul sedang menolongnya barusan?", ia bertanya.

"Memangnya bukan?", teriak Ciu Ji sianseng marah.

"Sesungguhnya bukan dia yang kutolong, tapi kaulah! Kau harus tahu, seandainya tusukan tadi kau lakukan juga, maka yang tewas bukan dia melainkan dirimu!"

Setelah tertawa getir ia melanjutkan:

"Sekalipun aku terhitung seorang yang lupa budi, serangan kita lancarkan bersamapun belum tentu dapat melukai dirinya barang seujung rambutpun!"

Kini kegusaran yang membakar Ciu Ji Sianseng telah berubah menjadi rasa kaget dan tercengang.

Ia tahu sahabatnya ini bukan seseorang yang gemar berbohong, tapi tak tahan ia bertanya juga:

"Serangan gabungan kita tadi hakekatnya sudah merupakan suatu serangan yang tiada taranya, masa ia sanggup untuk mematahkannya?"

"Ya, ia bisa!"

Rasa hormat dan kagum segera menyelimuti wajahnya, ia melanjutkan:

"Dalam dunia dewasa ini hanya dia seorang yang dapat melakukannya, hanya satu cara yang bisa dipergunakannya!"

"Kau maksudkan Thian-tee-ki-hun (Langit dan bumi musnah bersama).....?", seru Ciu Ji Sianseng dengan paras muka berubah.

"Betul, bumi hancur langit goncang, langit dan bumi akan musnah bersama!"

"Apakah dia adalah orang itu?", jerit Ciu Ji sianseng terkesiap.

"Dialah orangnya!"

Dengan sempoyongan Ciu Ji sianseng mundur beberapa langkah, seakan-akan ia sudah tak sanggup untuk berdiri tegak lagi.

"Selama hidup aku hanya pernah melakukan suatu perbuatan berdosa yang tak terampuni", kata Mao Toa sianseng selanjutnya, "andaikata tiada seseorang yang merahasiakan kejadian tersebut, sejak semula aku sudah mati tanpa tempat kubur"

"Dia pula orangnya!"

"Benar!"

Pelan-pelan dia melanjutkan:

"Peristiwa itu sudah terjadi banyak tahun berselang, selama beberapa tahun ini akupun pernah bertemu dengannya, tapi ia selalu tak memberi kesempatan bagiku untuk berbicara, belum pernah ia mendengarkan sepatah kataku hingga selesai, sekarang..........."

Sekarang bagaimana? Perkataan inipun tidak berkelanjutan.

Tiba-tiba sekilas cahaya tajam tanpa menimbulkan suara apapun menyambar datang, tahu-tahu sebatang kutungan pisau sepanjang tiga depa telah menancap pada punggungnya.

ooo)O(ooo

Darah segar berhamburan kemana-mana ketika tubuh Mao Toa sianseng sedang roboh ke tanah.

Tiok Yap-cing seakan-akan sedang tertawa. Tapi bukan dia yang melancarkan serangan itu.

Orang yang melancarkan serangan sama sekali tidak tertawa, padahal di hari-hari biasa pemuda itu selalu memperlihatkan sekulum senyumannya yang manis dan menawan hati, tapi sekarang ia sama sekali tidak tertawa.

Menyaksikan ia melancarkan serangannya, Toa-tauke tampak amat terperanjat.

A-kit ikut terperanjat.

Ciu Ji Sianseng bukan cuma terkejut bahkan gusar sekali, dengan suara keras ia membentak:

"Siapakah orang ini?"

"Aku bernama Siau Te!", pemuda itu menjawab.

Pelan-pelan ia maju ke depan, lalu berkata lebih jauh:

"Aku tidak lebih hanya seorang bocah cilik yang tidak punya nama dan tak ada gunanya. Tidak seperti kalian jago-jago kenamaan, jago pedang ternama dan orang gagah yang disegani tiap manusia. Tentu saja manusia-manusia ternama macam kalian tak akan membunuh diriku!"

"Barang siapa membunuh orang, maka terlepas siapakah dia, hukumannya adalah sama saja!", kata Ciu Ji Sianseng dengan gusar.

Ia mengambil kembali pedangnya yang tergeletak di tanah.

Paras muka Siau Te sama sekali tidak berubah, katanya tiba-tiba:

"Hanya aku seorang yang berbeda, aku tahu pasti kau tak akan membunuhku!"

Ciu Ji Sianseng telah menggenggam pedangnya, tapi tak tahan ia bertanya juga:

"Kenapa?"

"Sebab begitu kau turun tangan, maka pasti ada orang yang akan mewakiliku untuk membunuhmu!"

Sambil berkata, tiba-tiba ia memandang ke arah A-kit dengan sinar mata yang sangat aneh.

"Siapa yang akan mewakilimu untuk membunuhnya?", tak tahan A-kit bertanya.

"Tentu saja kau!"

"Kenapa aku musti membantumu untuk membunuhnya?"

"Sebab walaupun aku tak punya nama dan tak berguna, tapi aku justru mempunyai seorang ibu yang baik sekali, apalagi kaupun kenal sekali dengannya!"

Paras muka A-kit segera berubah.

"Apakah ibumu adalah........adalah......."

Tiba-tiba saja suaranya menjadi parau dan ia tak mampu mengucapkan nama tersebut, nama yang ia selalu berusaha untuk melupakannya tapi tak akan terlupakan untuk selamanya.

Siau Te segera membantunya untuk melanjutkan perkataan itu:

"Ibuku tak lain adalah Toa siocia dari keluarga Buyung di wilayah Kanglam, yaitu Siau sumoay dari Mao Toa sianseng......."

Dengan senyuman di kulum, Tiok Yap-cing segera melanjutkan pula perkataan itu:

"Adapun nama besar dari Toa-siocia ini tak lain adalah Buyung Ciu-ti......!"

ooo)O(ooo

Sepasang tangan A-kit telah menjadi dingin dan kaku, demikian dinginnya hingga merasuk ke tulang sumsum.

Siau Te memandang sekejap ke arahnya kemudian berkata lagi dengan nada hambar:

"Berulangkali ibuku telah berpesan, barang siapa berani berbicara sembarangan di tempat luaran sehingga merusak nama baik dari keluarga persilatan Buyung, sekalipun aku tidak membunuhnya, dan kaupun pasti tak akan menyanggupinya, apalagi Mao Toa sianseng ini pada dasarnya adalah anggota perguruan keluarga Buyung, maka aku berbuat demikian sesungguhnya tak lebih hanya membantu ibuku untuk membersihkan perguruan dari anasir-anasir jahat"

A-kit mengepal sepasang tangannya kencang-kencang, kemudian bertanya:

"Sedari kapan ibumu memegang tampuk pimpinan keluarga Buyung?"

"Oh, masih belum begitu lama!"

"Kenapa ia tidak menahanmu di sampingnya?"

Siau Te menghela napas panjang, katanya:

"Karena aku tak lebih hanya seorang bocah yang malu diketahui orang, pada hakekatnya aku tidak pantas untuk masuk menjadi anggota keluarga Buyung, karenanya aku harus ikut orang lain dan menjadi seorang manusia gelandangan yang tak ada harganya!"

Paras muka A-kit sekali lagi berubah hebat, sorot matanya penuh memancarkan rasa sedih dan penderitaan. Lewat lama sekali ia baru bertanya pelan:

"Berapa umurmu tahun ini?"

"Tahun ini aku baru berusia lima belas tahun!"

Sekali lagi Toa-tauke merasa terkejut, siapapun tak akan menyangka kalau pemuda yang berada dihadapannya ini sebenarnya tak lebih hanya seorang bocah yang baru berusia lima belas tahun.

"Aku tahu orang lain pasti tak akan mengira kalau tahun ini aku baru berusia lima belas tahun, seperti juga orang lain tak akan tahu kalau tahun ini Mao Toa sianseng sebenarnya baru berusia tiga puluh lima tahun!", demikian Siau Te berkata.

Tiba-tiba ia tertawa, suara tertawanya begitu memedihkan hati, ia melanjutkan:

"Hal ini mungkin dikarenakan penghidupanku selama ini jauh lebih menderita daripada anak-anak lainnya, karena itu pertumbuhankupun jauh lebih cepat daripada pertumbuhan orang lain!"

Pengalaman yang penuh penderitaan memang merupakan faktor terpenting bagi kematangan yang lebih awal bagi sementara anak.

Ciu Ji sianseng memandang sekejap ke arahnya, lalu memandang pula ke arah A-kit, tiba-tiba sambil mendepakkan kakinya berulang kali ke tanah, ia membopong jenazah sahabatnya dan tanpa berpaling lagi pergi meninggalkan tempat itu.

Toa-tauke tahu bila dia pergi dari situ maka mau tak mau diapun harus ikut angkat kaki dari sana, tak tahan segera teriaknya:

"Ciu Ji sianseng, harap berhenti dulu!"

Dengan dingin Siau Te berkata:

"Ia sadar bahwa dalam kehidupannya kali ini sudah tiada harapan untuk membalas dendam lagi, kalau tidak pergi dari sini, mau apa berdiam terus di tempat ini?"

Perkataan itu sangat menyinggung perasaan orang, seringkali kaum pria dunia persilatan akan beradu jiwa lantaran perkataan tersebut.

Tapi sekarang, sekalipun Ciu Ji sianseng mendengarnya dengan jelas, diapun akan berpura-pura tidak mendengar, sebab apa yang diucapkan olehnya memang merupakan suatu kenyataan yang tak mungkin dibantahnya lagi.

Oleh sebab itu dia tak mengira kalau Ciu Ji sianseng akan balik kembali ke dalam ruangan itu.

Baru saja ke luar dari pintu gerbang, ia telah mundur kembali ke dalam ruangan, bahkan mundur dengan selangkah demi selangkah, wajahnya yang pucat membawa suatu perubahan wajah yang aneh, jelas bukan rasa sedih atau marah, melainkan rasa kejut dan takut.

Ia sudah tak termasuk pemuda yang berdarah panas lagi, diapun bukan seseorang yang tak tahu berat entengnya persoalan.

Tidak seharusnya ia mundur kembali ke dalam ruangan, kecuali hanya itulah satu-satunya jalan yang dapat ditempuh olehnya.

Siau Te segera menghela napas panjang, gumamnya:

"Sebetulnya aku mengira dia adalah seorang manusia yang pintar, tapi kenapa justeru mencari penyakit buat dirinya sendiri?"

"Sebab ia sudah tiada jalan lain kecuali berbuat demikian!", seseorang mendadak menyambung dari luar pintu dengan suara dingin.

Suara itu sebenarnya masih berada di tempat yang amat jauh, tapi tahu-tahu di luar halaman kedengaran suara detakan nyaring dan suara itu sudah muncul dari luar pintu.

Menyusul suara detakan tadi, orang itupun sudah masuk ke dalam ruangan, dia adalah seorang manusia cacat yang aneh sekali, kaki kanannya sudah kutung dan diganti dengan kaki kayu, sebuah codet besar berada di mata sebelah kirinya sehingga tampak tulangnya yang berwarna putih.

Biasanya orang cacat semacam ini tampangnya pasti jelek dan menyeramkan, tapi orang ini ternyata di luar kebiasaan tersebut.

Bukan saja dandanannya rajin dan perlente, bahkan ia terhitung seorang laki-laki yang mempunyai daya pikat yang amat besar, malahan codet di mata kirinya itu justru memperbesar daya pikat kelaki-lakiannya.

Dalam ruangan itu terdapat orang-orang yang masih hidup, ada pula orang-orang yang sudah mati, tapi ia seperti tidak melihatnya sama sekali, begitu masuk ke dalam ruangan segera tegurnya dengan dingin:

"Siapakah tuan rumah tempat ini?"

Toa-tauke memandang sekejap ke arah A-kit, lalu memandang ke arah Tiok Yap-cing, akhirnya sambil tertawa paksa menjawab:

"Sekarang agaknya masih aku!"

Manusia cacat itu memutar biji matanya lalu berkata dengan angkuh:

"Ada tamu dari jauh yang berkunjung kemari, kenapa sebuah kursipun tidak tersedia? Apakah kau tidak merasa bahwa tindakanmu sedikit kurang sopan?"

Ketika Toa-tauke masih ragu-ragu, sambil tertawa paksa Tiok Yap-cing telah mengangkat kusir sambil bertanya:

"Siapakah nama saudara?"

Manusia cacat itu sama sekali tidak memperdulikannya, dia hnaya menunjukkan ke empat buah jari tangannya.

"Oooohhh.... maksud tuan masih ada tiga orang sahabat lagi yang akan datang kemari?", tanya Tiok Yap-cing masih tetap tertawa.

"Ehmmm!"

Tiok Yap-cing segera mempersiapkan tiga buah bangku lagi, baru saja ia menjajarkannya menjadi satu, dari tengah udara telah melayang turun kembali dua sosok bayangan manusia.

Tidak ada komentar: