Pendekar Gelandangan 031

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

31

Butiran keringat sebesar kacang kedelai mengalir keluar melewati ujung hidungnya dan membasahi seluruh tubuh Toa-tauke.

Ia biarkan keringat itu mengucur keluar, ia tidak berusaha untuk menyekanya.

Kini tubuhnya ibarat sebuah anak panah yang sudah berada di atas gendewa, bukan saja tegang dan serius, makan pikiran lagi. Ia betul-betul tidak habis mengerti, mengapa kedua orang itu bisa bersikap begitu sabar dan tahan uji.

Ia mulai tak mampu mengendalikan perasaannya, tiba-tiba tegurnya:

"Tahukah kau bahwa di belakang punggungmu ada orang yang siap membunuh dirimu?"

A-kit tidak mendengar, tidak melihat dan tidak bergerak.

"Tahukah kau siapakah orang itu?", kembali Toa-tauke menegur.

A-kit tidak tahu.

Dia hanya tahu entah siapapun orang itu, sekarang dia pasti tak akan berani untuk turun tangan.

"Mengapa kau tidak mencoba untuk berpaling dan memeriksa sendiri, siapa gerangan orang itu?, Toa-tauke mendesak lebih lanjut.

A-kit tidak berpaling tapi membuka sepasang matanya lebar-lebar, karena secara tiba-tiba ia merasakan kembali segulung hawa pembunuhan yang amat dahsyat.

Kali ini hawa membunuh itu datangnya dari depan.

Ketika ia membuka matanya, maka tampaklah seseorang berdiri di depan sana agak jauh dari posisinya, orang itu bertubuh jangkung, memakai dandanan seorang tosu, menggembol pedang, bermuka pucat dan memancarkan keangkuhan yang luar biasa.

Sepasang alis matanya yang tebal hampir bersambungan antara yang satu dengan lainnya, wajah semacam ini penuh memancarkan rasa benci dan dendam yang luar biasa.

Ketika A-kit membuka matanya, ia segera berhenti bergerak.

Ia telah menyaksikan seluruh jiwa, semangat dan tenaga tosu itu telah terhimpun menjadi satu, bila semua kekuatan tersebut di lontarkan keluar maka akibatnya akan sukar dilukiskan dengan kata-kata.

Ia sendiripun tak berani sembarangan bergerak, diawasinya sepasang tangan A-kit lekat-lekat, mendadak ia bertanya, mendadak ia bertanya:

"Mengapa kau tidak membawa serta pedangmu itu?"

A-kit hanya membungkam, tidak berkata apa-apa.

Toa-tauke tidak dapat mengendalikan rasa sabarnya, ia berseru:

"Apakah kau tahu kalau senjata andalannya adalah sebilah pedang?"

Tosu itu mengangguk.

"Ya, dia memiliki sepasang tangan yang bagus sekali!"

Toa-tauke belum pernah memperhatikan sepasang tangan A-kit, hingga kini ia baru mengetahui bahwa tangannya dengan orangnya betul-betul sangat tidak serasi.

Tangannya terlalu bersih, terlalu rapi dan terawat.

"Inilah kebiasaan kami!", tosu itu menerangkan lagi.

"Kebiasaan apa?"

"Kami tidak akan menodai pedang kami sendiri!"

"Oleh karena itu tangan kalian harus selalu bersih dan terawat rapi?"

Tosu itu mengangguk.

"Ya, kuku kamipun harus digunting pendek-pendek!", sahutnya.

"Kenapa?"

"Sebab kuku yang terlalu panjang hanya mengganggu kita sewaktu memegang pedang, asal pedang sudah berada di tangan, maka kami tidak akan membiarkan benda apapun mengganggu kita!"

"Ya, ini memang suatu kebiasaan yang baik!", kata Toa-tauke.

"Tidak banyak orang yang mempunyai kebiasaan baik seperti ini!", sambung si tosu.

"Oya?"

"Bila ia bukan jago pedang yang sudah punya pengalaman menghadapi beratus-ratus kali pertarungan, tak nanti kebiasaan baik semacam ini akan berlangsung lama!"

"Orang yang bisa dianggap Ciu Ji sianseng sebagai jago pedang, sudah pasti merupakan seorang jago yang lihay dalam menggunakan pedang......!"

"Ya, sudah pasti!"

"Tapi berapa banyakkah manusia yang bisa lolos dari ujung pedang Ciu Ji sianseng dalam keadaan hidup?"

"Tidak banyak!", Ciu Ji sianseng kelihatan amat bangga.

Ia sombong tentu saja, karena mempunyai alasan untuk bersikap demikian.

Selama setengah abad berkelana dalam dunia persilatan, seluruh wilayah Kanglam telah dijelajahi olehnya, dari sepuluh orang jago pedang terlihay di wilayah Kanglam, ada tujuh orang diantaranya telah ia jumpai, tapi belum pernah ada seorangpun diantara mereka yang bisa menyambut ke tiga puluh jurus serangannya.

Ilmu pedangnya bukan saja aneh dan ganas, kecepatan serta reaksinyapun luar biasa sekali, jauh di luar dugaan siapapun.

Ke tujuh orang jago pedang yang tewas di ujung pedangnya rata-rata tewas karena sebuah tusukan yang mematikan, terutama sekali Hong-lui-sam-ci (Tiga tusukan kilat angin geledek) dari San-tian-tui-hong-kiam (Pedang kilat pengejar angin) Bwe Cu-gi, betul-betul merupakan kepandaian yang jarang dijumpai dalam dunia persilatan.

Ketika ia membunuh Bwe Cu-gi, jurus serangan itulah yang dipergunakan.

Ketika Bwe Cu-gi menyerangnya dengan jurus Hong-lui-sam-ci, maka dengan mempergunakan jurus serangan yang sama ia melancarkan serangan balasan.

Kalau ilmu pedang seseorang bisa disebut sebagai San-tian-tui-hong-kiam (Pedang Kilat Pengejar Angin), maka kecepatannya bisa dibayangkan betapa hebatnya.

Akan tetapi ketika ujung pedang Bwe Cu-gi masih berada tiga inci dari tenggorokannya, pedangnya yang dilancarkan belakangan ternyata telah menembusi tenggorokan Bwe Cu-gi lebih dahulu.

Ada seorang anak buah Toa-tauke yang mengikuti jalannya pertarungan itu dengan mata kepala sendir, menurut laporannya:

"Tusukan pedang yang dilancarkan Ciu Ji sianseng itu ternyata tak seorangpun yang mengetahui bagaimana caranya ia turun tangan sekalipun ada empat puluhan orang jago lihay dunia persilatan yang hadir di situ, semua orang hanya merasakan berkelebatnya cahaya pedang, tahu-tahu darah segar telah membasahi seluruh pakaian Bwe Cu-gi".

Oleh sebab itulah Toa-tauke menaruh kepercayaan penuh terhadap orang ini, apalagi sekarang masih ada satu-satunya keturunan dari keluarga Buyung yang bernama Mao It-leng mengadakan kontak dengannya.

Sekalipun Mao It-leng tidak akan turun tangan paling tidak ia dapat membuyarkan perhatian A-kit.

Pada hakekatnya menang kalahnya pertarungan ini sudah ia tentukan semenjak dulu.

Duduk di atas kursi kebesarannya yang berlapiskan kulit harimau, perasaan Toa-tauke tenang dan mantap bagaikan bukit Tay-san, katanya sambil tertawa:

"Sejak Cia Sam-sauya dari Sin-kiam-san-ceng ditemukan mati, Yan Cap-sa membuang pedangnya ke sungai, jago pedang manakah di dunia ini yang sanggup menandingi Ciu Ji Sianseng? Apabila Ciu Ji Sianseng menginginkan papan nama emas "Thian-he-tit-it-kiam" dari keluarga Cia itu, hakekatnya tak lebih hanya tinggal soal waktu saja"

Dikala sedang gembira, ia tak pernah lupa memuji orang lain dengan kata-kata yang indah, sayangnya ucapan tersebut tak didengar sama sekali oleh Ciu Ji sianseng.

Begitu mendengar nama 'Ciu Ji sianseng', tiba-tiba saja kelopak mata A-kit berkerut kencang, seakan-akan ditusuk oleh sebatang jarum secara tiba-tiba, sebatang jarum beracun yang telah berubah menjadi merah karena darah dan dendam sakit hati.

Ciu Ji sianseng sama sekali tak kenal dengan pemuda rudin yang berwajah layu itu, bahkan berjumpapun tak pernah.

Ia tidak habis mengerti kenapa orang ini menunjukkan sikap seperti itu? Ia tak menyangka kalau orang ini bisa menunjukkan reaksi seperti itu lantaran mendengar namanya.

Ia hanya mengetahui satu hal.......

Kesempatan baik baginya telah datang.....

Bagaimanapun tenang dan mantapnya seseorang, apabila secara tiba-tiba mengalami rangsangan yang jauh di luar dugaan dari luar, maka reaksinya akan berubah menjadi lambat.

Sekarang tak bisa disangkal lagi kalau pemuda ini telah mengalami rangsangan tersebut.

Dendam sakit hati, kadangkala merupakan juga suatu kekuatan, suatu kekuatan yang menakutkan sekali, tapi sekarang mimik wajah yang ditampilkan A-kit bukanlah dendam sakit hati, melainkan suatu penderitaan, suatu kesedihan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.

Luapan emosi semacam ini hanya bisa membuat orang menjadi lemah dan tak bertenaga saja.

Ciu Ji sianseng sama sekali tak ingin menunggu sampai A-kit betul-betul roboh tak bertenaga, ia sadar jika kesempatan baik ini hilang, maka selamanya tak akan datang kembali.

Pedang samurai sepanjang delapan depa milik Suzuko masih memantek di atas daun jendela.

Tiba-tiba Ciu Ji sianseng mencabutnya secara kilat dan melemparkannya ke arah A-kit.

Dia masih mempunyai sebuah tangan lain yang menganggur.

Pedang yang tersoren di punggungnya itu tahu-tahu sudah diloloskan dari sarungnya.

Berhasilkah A-kit menyambut pedang samurai yang dilemparkan ke arahnya?

Ciu Ji sianseng telah mempersiapkan sebuah serangan mematikan yang benar-benar luar biasa.

Sekarang ia sudah punya keyakinan yang kuat.

ooo)O(ooo

A-kit telah menyambut samurai tersebut.

Sebenarnya pedang yang ia pergunakan adalah sebilah pedang yang panjangnya dari gagang pedang sampai ke ujung pedangnya hanya tiga depa sembilan inci.

Gagang samurai ini sendiri panjangnya sudah mencapai satu depa lima inci, biasanya para busu dari negeri Hu-sang (Jepang) memegang samurainya dengan kedua belah tangannya, mereka mempunyai gerakan jurus golok yang jauh berbeda dengan jurus-jurus golok daratan Tionggoan, apalagi dibandingkan dengan ilmu pedang.

Dengan samurai di tangan, maka keadaannya ibarat tukang besi menempa baja dengan pena, sastrawan melukis dengan palu, daripada ada lebih baik sama sekali tidak ada.

Tapi ia menyambut juga pedang samurai itu.

Ternyata ia seakan-akan kehilangan kemampuannya untuk melakukan penilaian, ia tak dapat melakukan penilaian apakah tindakannya ini betul atau salah.

Pada saat ujung jarinya tangannya menyentuh gagang pedang samurai itu, cahaya pedang telah membelah angkasa dan meluncur datang dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.

Pedangnya yang tiga depa tujuh inci itu sudah menguasai seluruh ruang geraknya, itu berarti pedang samurai yang delapan depa panjangnya itu tak mungkin bisa digunakan lagi.

Cahaya pedang berkelebat lewat, tahu-tahu ujung pedang itu telah tiba di atas tenggorokan A-kit.

Tiba-tiba A-kit menggetarkan tangannya,......." Kreeeekkk......!", tiba-tiba saja pedang samurai itu patah menjadi dua bagian.

Ya, pedang samurai itu patah menjadi dua bagian dari tempat di mana terkena sambitan batu itu.

Batu tersebut tepat menghajar di bagian tengah tubuh pedang samurai itu.

Ketika ujung samurai yang tiga depa panjangnya itu rontok ke tanah, segera muncul kembali ujung golok yang panjangnya tiga depa.

Ujung pedang dari Ciu Ji sianseng ibaratnya ular berbisa telah menerobos masuk ke mari, jaraknya dengan tenggorokan tinggal tiga inci saja, hakekatnya tusukan itu memang suatu tusukan yang tepat dan mematikan.

Sejak dari mencabut golok sampai melontarkannya ke depan, mencabut pedang serta melancarkan serangan, setiap tindakan serta perbuatannya semua dilakukan dengan perhitungan yang masak serta sasaran yang tepat.

Sayang sekali ada satu hal yang tidak ia perhitungkan.

"Triiiing......!", percikan bunga api memancar ke empat penjuru, tahu-tahu kutungan pedang samurai itu telah menyongsong pedangnya.......bukan mata pedang yang di arah melainkan ujung pedangnya.

Tak ada orang yang bisa menyongsong datangnya ujung pedang yang sekarang menusuk tiba dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat itu.

Tak ada orang yang bisa melepaskan serangan dengan begitu cepat dan begitu tepatnya.

........Mungkin bukannya sama sekali tak ada orang, mungkin saja masih ada satu orang.

Tapi mimpipun Ciu Ji sianseng tidak menyangka kalau A-kit lah orangnya......

Begitu ujung pedangnya bergetar, ia segera merasakan ada semacam getaran yang sangat aneh menyusup masuk lewat tubuh pedangnya, menembusi tangan, lengan dan bahunya.

Kemudian ia seolah-olah merasa ada segulung angin berhembus lewat.

Kutungan pedang samurai di tangan A-kit ternyata berubah menjadi segulung angin yang berhembus lewat pelan-pelan.

Ia dapat menyaksikan kilatan pedang samurai itu, dapat merasakan pula hembusan angin itu, tapi ia sama sekali tak tahu bagaimana caranya untuk menghindari dan menangkis datangnya ancaman tersebut.

.........Ketika angin berhembus datang, siapakah yang mampu menghindarinya? Siapakah yang tahu angin itu akan berhembus datang dari mana?

Tapi ia tidak putus asa, karena dia masih ada seorang teman yang sedang menanti di belakang A-kit.

Sebagian besar orang persilatan selalu beranggapan bahwa ilmu pedang yang dimiliki Ciu Ji sianseng jauh lebih hebat daripada kepandaian Mao-toa-sianseng, ilmu silatnya jauh lebih menakutkan daripada ilmu silat Mao-toa-sianseng.

Hanya dia seorang yang tahu bahwa pandangan semacam ini sesungguhnya suatu pandangan yang bodoh sekali dan menggelikan, dan hanya dia seorang pula yang tahu seandainya Mao-toa-Sianseng menginginkan jiwanya, ia akan memperolehnya cukup dalam satu jurus belaka.

Serangannya baru benar-benar merupakan suatu jurus serangan yang mematikan, ilmu pedang yang dimilikinya baru betul-betul merupakan suatu ilmu pedang yang menakutkan sekali, tak seorangpun manusia yang dapat menilai kecepatan dari jurus serangan tersebut, tak ada pula orang yang tahu sampai di manakah kekuatan serta perubahan gerakan yang dimilikinya, sebab pada hakekatnya belum pernah ada orang yang sanggup menyaksikannya.

Sudah banyak tahun ia hidup bersama dengan Mao-toa-sianseng, sudah seringkali mereka menentang bahaya maut bersama, hidup gembira bersama, tapi bahkan dia sendiripun hanya sempat melihat satu kali saja.

Ia percaya asal Mao-toa-sianseng melancarkan serangan tersebut, kendatipun A-kit masih sanggup menghindarkan diri, tak nanti ia memiliki sisa kekuatan untuk melukai orang.

Ia percaya sekarang Mao-toa-sianseng pasti sudah melancarkan serangannya, sebab di saat yang amat kritis itulah ia mendengar seseorang membentak keras:

"Ampuni selembar jiwanya!"

Diiringi bentakan tersebut, desingan angin segera terhenti, cahaya golokpun seketika lenyap tak berbekas, pedang yang ada di tangan Mao-toa-sianseng tahu-tahu sudah berada di belakang tengkuk A-kit.

Bab 13. Nama dari Toa Siocia

Hawa pedang serasa dingin menggidikkan, ibaratnya lapisan salju di puncak bukit nun jauh di sana yang sepanjang tahun tak pernah meleleh, kau tak perlu menyentuhnya tapi dapat merasakan hawa dingin dari ujung pedang yang tajam, membuat darah dan tulang belulangmu menjadi kaku dan membeku karena kedinginan.

Pedang sesungguhnya memang dingin, tapi bila di tangan seorang yang benar-benar jago, baru akan memancarkan hawa pedang yang begini dingin dan menggidikkan hati.

Sebilah pedang menyambar datang dan tiba-tiba berhenti di tengah jalan, jaraknya dengan nadi besar di belakang leher A-kit tinggal setengah inci lagi.

Nadi darahnya sedang berdenyut keras, otot-otot hijau di tepi nadi yang mengejang keluarpun ikut berdenyut keras.

Akan tetapi orangnya sama sekali tidak bergerak.

Sewaktu bergerak ia lebih cepat dari hembusan angin, tapi sewaktu berdiri tegak lebih kokoh dari bukit karang, tapi ada kalanya bukit karangpun akan longsor dan berguguran.

Bibirnya telah merekah kekeringan, seperti batu-batu karang di atas puncak bukit yang merekah kena hembusan angin.

Air mukanya persis seperti batu karang, sedikitpun tanpa pancaran emosi, kaku dan dingin.

Apakah dia tak tahu kalau pedang itu menusuk satu inci lagi ke depan maka darah segar dalam tubuhnya akan memancar keluar?

Apakah ia benar-benar tidak takut mati?

Terlepas apakah ia benar-benar tidak takut mati atau tidak, yang pasti kali ini dia pasti akan mampus.

Ciu Ji Sianseng menghembuskan napas panjang, Toa-tauke menghembuskan pula napasnya panjang-panjang, mereka hanya menunggu tusukan dari Mao-toa-sianseng itu ditusukkan lebih ke depan.

Sepasang mata Mao-toa-sianseng menatap tajam-tajam urat nadi di belakang tengkuk yang sedang berdenyut keras itu, sinar matanya memancarkan suatu perubahan yang aneh sekali, seakan-akan penuh mengandung rasa benci yang mendalam, seolah-olah juga mengandung penuh penderitaan dan siksaan.

Kenapa tusukan itu tidak dilanjutkan?

Apa yang sedang ia nantikan?

Ciu Ji sianseng mulai tak sabar, tiba-tiba ia berteriak:

"Hayo lanjutkan tusukanmu itu, jangan kau menguatirkan keselamatan jiwaku!"

Kutungan samurai di tangan A-kit masih berada setengah inci di atas tenggorokannya, tapi dalam genggamannya masih ada sebilah pedang, kembali ia berseru:

"Aku yakin masih sanggup menghindari tusukannya itu!"

Mao-toa-sianseng tidak memberikan reaksi apa-apa.

Ciu Ji sianseng kembali berseru:

"Sekalipun aku tak mampu menghindarkan diri, kau harus membinasakannya, selama orang ini belum mati, maka tiada jalan kehidupan lagi untuk kita, kita mau tak mau harus menyerempet bahaya untuk melanjutkan pertarungan ini"

Toa-tauke segera berteriak pula:

"Tindakan semacam ini tak bisa dikatakan sebagai menyerempet bahaya lagi, kesempatan yang kalian miliki jauh lebih besar daripada kesempatannya"

Tiba-tiba Mao-toa-sianseng tertawa tergelak, gelak tertawanya itu sama anehnya seperti pancaran sinar matanya, pada saat ia mulai tertawa itulah pedangnya telah ditusuk ke depan, menusuk ke muka melewati sisi tengkuk A-kit dan menusuk bahu Ciu Ji sianseng.

"Triiiing....!, pedang yang berada dalam genggaman Ciu Ji Sianseng terjatuh ke tanah, darah kental berhamburan kemana-mana dan memercik di atas wajahnya sendiri.

Raut wajahnya itu segera mengejang keras karena rasa kaget dan tercengang yang kelewat batas, tapi yang jelas terpancar adalah rasa gusarnya yang berkobar-kobar.

Toa-tauke ikut pula melompat bangun dari tempat duduknya.

Siapapun tidak menyangka akan terjadinya perubahan ini, siapapun tidak tahu kenapa Mao Toa sianseng dapat berbuat demikian.

Mungkin hanya dia sendiri dan A-kit saja yang tahu.

Paras muka A-kit sama sekali tidak menampilkan emosi, rupanya perubahan tersebut sudah jauh berada dalam dugaannya.

Tapi sinar matanya justru memancarkan cahaya penderitaan, bahkan penderitaan lebih mendalam daripada yang diderita Mao Toa Sianseng........

Cahaya pedang berkelebat lewat, tahu-tahu pedang itu sudah dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.

Tiba-tiba Mao Toa Sianseng menghela napas panjang.

"Aaaaiiii.....bukankah sudah ada lima tahun kita tak pernah berjumpa muka.......?"

Perkataan itu ditujukan pada A-kit, tampaknya bukan saja mereka saling mengenal, bahkan merupakan pula sahabat karib selama banyak tahun.

Kembali Mao Toa-sianseng berkata:

"Selama banyak tahun ini apakah penghidupanmu bisa kau lewatkan secara baik-baik? Apakah pernah menderita sakit yang parah?"

Sahabat yang sudah banyak tahun tak pernah berjumpa, tiba-tiba saja bertemu kembali antara satu dengan lainnya, tentu saja kata-kata pertama yang diucapkan adalah saling menanyakan keadaan, pertanyaan ini merupakan suatu pertanyaan yang amat sederhana dan umum sekali.

Tapi sewaktu mengucapkan kata-kata itu, tampaklah mimik wajahnya seakan-akan sedang menahan suatu penderitaan yang sangat hebat.

Sepasang lengan A-kit mengepal kencang, bukan saja ia tidak berbicara, berpalingpun tidak.

"Kalau toh aku telah berhasil mengenalimu, kenapa kau masih belum mau berpaling juga, agar aku dapat menyaksikan wajahmu?", kembali Mao Toa sianseng berkata.

"Tiba-tiba A-kit pun menghela napas panjang.

"Aaaaiiii......kalau toh kau telah mengenali diriku, buat apa lagi memperhatikan wajahku?"

"Kalau begitu, paling tidak kaupun harus melihat aku telah berubah menjadi seperti apa sekarang ini!"

Tidak ada komentar: