Pendekar Gelandanagan 030

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

30

Tiba-tiba Pek Bok menukas pembicaraannya yang belum selesai itu, kedengaran ia membentak keras:

"Sobat, kalau toh sudah datang kemari, kenapa masih bersembunyi terus di luar pintu? Tidak beranikah kau untuk menampilkan diri?"

"Siapa yang sedang kau ajak berbicara?", Toa-tauke segera menegur.

"Sahabat yang berada di luar pintu!"

"Apakah di luar pintu ada sahabatmu?", tanya Toa-tauke lagi.

Pelan-pelan ia menggelengkan kepalanya, lalu menjawab sendiri pertanyaan tersebut.

"Pasti tidak ada, aku berani menjamin di luar pasti tak ada sahabatmu.....!"

Suasana di luar pintu memang amat sepi dan tak kedengaran suara jawaban. Satu-satunya orang yang berdiri di luar pintu tak lain adalah nyonya muda dari rumah pemintalan kain itu.

Kalau tadi dia masih sanggup untuk membunuh dua orang dengan mempergunakan senjata andalan mereka sendiri, maka sekarang ia kelihatan ketakutan setengah mati.

Pek Bok tertawa dingin, ia segera memberi tanda kepada rekan-rekannya untuk bertindak.

Ting Ji-long dan Cing Coa segera melayang ke tengah udara, satu dari kiri yang lain dari kanan, mereka menerobos ke luar lewat daun jendela, gerakan tubuhnya sangat enteng dan lincah persis seperti seekor burung walet yang sedang terbang.

Bersamaan waktunya Hu Tau menggerakkan pula kampaknya, sambil meraung keras ia ikut menerkam ke depan.

Bayangan manusia berkelebat lewat, tiba-tiba saja Hek Kui telah mendahului di depannya.

Tapi si nyonya muda itu telah lenyap tak berbekas.

Ke empat orang itu bekerja sama dengan bagus dan ketatnya, kiri kanan depan belakang semuanya melakukan gerakan hampir bersamaan waktunya, baik di belakang pintu ada orang yang bersembunyi atau tidak, perduli siapapun orangnya, dengan kepungan semacam ini rasanya sulit bagi orang itu untuk meloloskan diri.

Terutama sekali pedang dari Hek Kui, tusukan mautnya yang menembusi tenggorokan belum pernah kehilangan sasarannya.

Tapi aneh sekali, sudah sekian lama ke empat orang itu keluar dari ruangan, akan tetapi suasana di luar sana tetap tenang dan hening, sama sekali tak kedengaran sedikit suarapun.

Tanpa sadar Pek Bok meraba gagang pedangnya, peluh dingin telah mengucur ke luar membasahi jidatnya.

Pada saat itulah........"Blaaaang!", daun jendela sebelah kiri ditumbuk hingga terbuka lebar, sesosok bayangan manusia melayang masuk ke dalam.

Hampir bersamaan waktunya daun jendela sebelah kananpun terpentang lebar, lagi-lagi sesosok bayangan manusia melayang masuk ke dalam.

Ke dua orang itu mencapai permukaan tanah hampir bersamaan waktunya........

"Braaaakkk!", seperti dua buah karung goni yang berat mereka terbanting keras-keras di tanah.

Ternyata kedua orang itu bukan lain adalah Cing Coa serta Ting Ji-long yang telah menyusup ke luar selincah burung walet itu.

Di saat tubuh mereka roboh terkapar di tanah, Hu Tau dan Hek Kui telah kembali pula, Cuma saja si Hu Tau pulang tanpa kepala dan Hek Kui betul-betul sudah menjadi Kui (setan).

Batok kepala Hu Tau dipenggal oleh senjata kampaknya sendiri, sedang pedang Hek Kui sudah tidak berada dalam genggamannya lagi, cuma di atas tenggorokannya kini sudah bertambah dengan sebuah lubang besar yang mengucurkan darah segar.

Tangan Pek Bok masih menggenggam gagang pedang, sementara peluh dingin yang membasahi jidatnya mengucur keluar bagaikan curahan hujan deras.................

Dengan hambar Toa-tauke berkata:

"Bukankah semenjak tadi telah kukatakan bahwa di luar pintu tak ada sahabatmu, kau tidak percaya, nah! Sekarang tentunya kau sudah paham bukan bahwa di luar situ paling banter hanya satu dua orang utusan dari neraka yang akan merenggut nyawa kalian semua"

Otot-otot hijau di tangan Pek Bok yang menggenggam pedang telah menonjol semua seperti ular melingkar, tiba-tiba ia berseru:

"Bagus, bagus sekali!"

Suaranya berubah menjadi sangat parau, terusnya:

"Sungguh tak kusangka 'Dengan gigi membalas gigi, dengan darah membalas darah" telah datang!"

"Kau keliru besar!", tiba-tiba dari luar pintu berkumandang suara tertawa dingin yang amat singkat.

"Apakah yang datang adalah Mao-toa-sianseng?"

"Kali ini tebakanmu benar!"

Pek Bok segera tertawa dingin tiada hentinya.

"Bagus, kepandaian bagus, dengan cara yang sama melakukan pembalasan yang sama. Kalian memang tidak malu menjadi keturunan keluarga Buyung di wilayah Kanglam!"

Ketika menyinggung soal 'keluarga Buyung dari Kanglam', tiba-tiba dari luar pintu berkumandang suara geraman gusar seperti auman binatang buas yang sangat mengerikan.

Cahaya pedang di balik pintu berkelebat lewat, Pek Bok telah meluncur ke luar dengan kecepatan luar biasa, cahaya pedang bagaikan selapis mega melindungi seluruh tubuhnya.

Tiok Yap-cing tidak berani ikut keluar, ia berdiri kaku tanpa bergerak barang sedikitpun jua, iapun tidak melihat jelas orang di luar pintu itu, hanya tahu-tahu terdengar suara...."Kreeeek!" serentetan cahaya tajam meluncur datang dan menancap di atas dinding, ternyata cahaya tersebut adalah sebagian ujung pedang yang patah.

Menyusul kemudian........."Kreeekk! Kreeeekkk!" kembali ada tiga kutungan pedang melayang masuk dan menancap di atas dinding.

Kemudian selangkah demi selangkah Pek Bok mundur kembali ke dalam ruangan, mukanya pucat pias seperti mayat, pedang dalam genggamannya kini tinggal gagang pegangannya saja.

Dengan suatu gerakan yang luar biasa, pedang panjangnya yang terbuat dari baja murni itu tahu-tahu sudah dikutungi menjadi beberapa bagian.......

Di luar pintu kedengaran seseorang tertawa dingin, kemudian berkata:

"Sekalipun tidak mempergunakan ilmu silat keluarga Buyung, aku toh masih tetap dapat membunuhmu!"

Pek Bok ingin mengucapkan sesuatu, tapi di tahan kembali, mendadak ia muntah darah segar, sewaktu tubuhnya roboh di atas tanah, paras mukanya yang pucat pias itu kini telah berubah menjadi hitam pekat.

Toa-tauke tersenyum, pujinya:

"Kepandaian itu memang bukan kepandaian dari keluarga Buyung, inilah ilmu pukulan Hek-sah-ciang (Pukulan pasir hitam)!"

"Sungguh tajam sepasang matamu!", puji orang yang ada di luar pintu.

"Kali ini aku benar-benar telah merepotkan Mao-toa-sianseng!"

Dari luar pintu Mao-toa-sianseng menjawab:

"Kalau hanya untuk membunuh beberapa orang manusia bangsa tikus begini mah, bukan terhitung merepotkan, coba kalau berganti Ciu Ji yang melakukan pekerjaan ini, mungkin orang-orang itu akan mampus lebih cepat lagi!"

"Apakah Ciu Ji sianseng dengan cepat akan sampai pula di sini?", Toa-tauke kembali bertanya.

"Ya, dia pasti akan datang!"

Toa-tauke menghembuskan napas panjang, katanya:

"Ilmu pedang Ciu Ji sianseng memang tiada bandingannya di dunia ini, sudah lama aku mengaguminya!"

"Meskipun ilmu pedangnya belum tentu sudah tiada tandingannya lagi di dunia ini, namun tidak banyak jumlah orang yang bisa menangkap permainan pedangnya!"

Toa-tauke tertawa terbahak-bahak. Mendadak ia berpaling ke arah Tiok Yap-cing yang berada di sisinya.

Paras muka Tiok Yap-cing telah berubah menjadi pucat ke abu-abuan, ia benar-benar merasa takut sekali.

"Sudah kau dengar semua pembicaraan itu?", tegur Toa-tauke kemudian.

"Sudah, sudah kudengar semua!"

"Dengan bersedianya Mao-toa-sianseng dan Ciu-ji sianseng membantu usaha kita, bukan suatu pekerjaan yang gampang bagi si A-kit untuk merenggut selembar nyawaku!"

"Ya, benar!", Tiok Yap-cing membenarkan.

Toa-tauke mendengus dingin, kembali ujarnya dengan hambar:

"Bila kau menginginkan pula nyawaku, aku rasa hal inipun tak bisa kau laksanakan dengan gampang"

"Aku......."

Tiba-tiba Toa-tauke menarik muka, katanya dingin:

"Maksud baikmu dapat kupahami, tapi seandainya aku benar-benar mengandalkan perlindungan dari beberapa orang jago silat yang kau undang itu, hari ini selembar jiwaku pasti sudah melayang!"

Tiok Yap-cing tak berani bersuara.

Ia berlutut terus tanpa bergerak, berlutut dengan tubuh tegak lurus, berlutut di hadapan Toa-tauke.

Sekarang ia baru merasa bahwa orang ini ternyata jauh lebih lihay daripada apa yang dibayangkan semula.

Toa-tauke sama sekali tidak memandang lagi ke arahnya, bahkan sekejappun tidak, sambil ulapkan tangannya ia berseru:

"Kau telah lelah, lebih baik pergilah tinggalkan tempat ini!"

Tiok Yap-cing tidak berani melakukannya.

Di luar pintu telah siap menunggu seorang utusan dari neraka yang akan merenggut nyawa orang, tentu saja ia tak berani ke luar dari situ secara sembarangan.

Tapi diapun tahu, setiap ucapan yang telah diutarakan oleh Toa-tauke merupakan perintah, jika ia berani membangkang perintah Toa-tauke berarti hanya kematian yang akan diterima olehnya.

Untunglah pada saat semacam itu, tiba-tiba dari halaman luar kedengaran seseorang berteriak keras:

"A-kit telah datang"

Malam itu malam yang dingin sekali.

Angin dingin berhembus kencang dan menggoyangkan ranting serta daun.

Pelan-pelan A-kit berjalan menembusi lorong sempit itu.

Setelah bulan berselang, ketika ia sedang berjalan melewati lorong sempit iyu, masih tidak tahu jalan yang manakah yang bakal ditempuh olehnya.

Tapi sekarang ia telah mengetahuinya.

.......Manusia macam apakah dia, harus pula melewati jalan yang macam apa pula.

.......Sekarang di hadapan matanya hanya ada satu jalan yang bisa dilewati, pada hakekatnya ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali melalui kenyataan tersebut.

ooo)O(ooo

Ketika pintu gerbang di buka lebar, tampaklah sebuah jalan terbentang jauh ke depan, jalan itu penuh berliku-liku dan menembusi semak belukar........

Seorang pemuda yang tampan, halus dan sopan berdiri serius di tepi pintu, dengan sikap yang sungguh-sungguh dan penuh rasa hormat, ia menegur:

"Engkau datang untuk mencari siapa?"

"Mencari Toa-tauke kalian!", jawab A-kit.

Pemuda itu mendongakkan kepalanya memandang sekejap wajah orang itu, tapi dengan cepat ia menunduk kembali sambil berbisik:

"Dan saudara adalah........?"

"Aku adalah A-kit, A-kit yang tak berguna!"

Sikap si anak muda itu jauh lebih hormat dan sopan lagi, dengan cepat katanya:

"Toa-tauke sedang menunggu di ruang kebun, silahkan!"

A-kit menatapnya tajam-tajam, mendadak ia bertanya:

"Dahulu, rasanya aku belum pernah berjumpa denganmu!"

"Ya, belum pernah!"

"Siapa namamu?"

"Aku bernama Siau Te!"

Tiba-tiba ia tertawa dan menambahkan:

"Akulah yang lebih pantas disebut Siau Te yang tak berguna, sebab aku benar-benar tak berguna!"

ooo)O(ooo

Siau Te berjalan di muka membawa jalan, sedang A-kit pelan-pelan mengikuti di belakangnya.

Dia tak ingin membiarkan pemuda itu berjalan di belakangnya.

Ia telah merasakan bahwa Siau Te yang tak berguna mungkin berkali-kali lipat lebih berguna dari pada siapapun juga.

Selesai menelusuri halaman sempit itu, ia telah menyaksikan hancuran daun jendela, yang berada di sebelah kiri ruangan.

Di balik daun jendela, seakan-akan ia menyaksikan ada cahaya golok yang berkilauan.

Golok tersebut berada di tangan Tiok Yap-cing.

ooo)O(ooo

Barang siapa berani melanggar perintah To-tauke, dia harus mati!

Tiba-tiba Tiok yap-cing mencabut ke luar samurai yang menancap di atas tubuh Suzuko.....sekalipun harus mati, ia merasa lebih baik mati ditangan sendiri.

Tangannya secepat kilat dibalik dan golok itu dibacokkan ke atas tenggorokan sendiri.

Mendadak......"Triiiiing!", percikan bunga api berhamburan ke empat penjuru, ternyata golok yang berada di tangannya telah dihajar sampai mencelat dari genggamannya dan ......."Toook!", menancap kembali di atas daun jendela.

Sebutir batu kecil ikut rontok pula ke tanah mengikuti kejadian tadi.

Toa-tauke segera tertawa.

"Suatu kekuatan sambitan yang hebat, tampaknya A-kit benar-benar sudah datang"

Belum habis perkataan itu, ia telah melihat si A-kit.

ooo)O(ooo

Walaupun sudah tidur seharian penuh, lagi pula tidur dengan pulas sekali, A-kit masih merasa agak lelah.

Suatu perasaan lelah yang muncul dari dasar hatinya, seakan-akan dalam hati kecilnya telah tumbuh bibit rumput yang sangat beracun.

Pakaian yang ia kenakan masih merupakan pakaian kasar yang dekil dan penuh tambalan itu, mukanya yang pucat telah dipenuhi cambang hitam, bukan saja ia kelihatan sangat lelah, tua dan lemah lagi, bahkan rambutnya sudah lama tak pernah di cuci.

Meskipun demikian, sepasang tangannya sangat bersih dan rapi, kukunya di potong pendek, teratur dan rapi.

Toa-tauke sama sekali tidak memperhatikan sepasang tangannya. Kaum lelaki memang jarang sekali memperhatikan tangan pria lainnya.

Dengan sinar mata yang tajam ia memperhatikan wajah A-kit dari atas sampai ke bawah, ia sudah memperhatikannya berulang kali, tiba-tiba tegurnya:

"Kau yang bernama A-kit?"

A-kit berdiri ogah-ogahan di situ, sedikitpun tidak memberikan reaksi apa-apa, pertanyaan yang tak perlu jawaban tak pernah ia menjawabnya.

Tentu saja Toa-tauke mengetahui siapakah dia, tapi ada satu hal tidak ia pahami.

"Mengapa kau menyelamatkan orang ini?"

Orang yang dimaksud tentu saja Tiok Yap-cing.

"Yang kuselamatkan bukan dia!", jawab A-kit.

"Kalau bukan dia lantas siapa?"

"Si Boneka!"

Kelopak mata Toa-tauke mulai menyusut kecil, katanya lagi:

"Oooooh......jadi lantaran si Boneka berada di tangannya, maka kematiannya berarti pula kematian bagi si Boneka?"

Dengan sinar mata setajam sembilu ditatapnya wajah Tiok Yap-cing lekat-lekat, kemudian ujarnya lagi:

"Tentu saja kau juga tahu bukan, bahwa ia tak akan membiarkan kau mampus......?"

Tiok Yap-cing tidak menyangkal.

Dadu sudah dilempar, angka sudah tertera, sandiwara ini tidak penting dilangsungkan lebih jauh, dan apa yang diperankan pun sudah waktunya untuk berakhir.

Sekarang, satu-satunya perbuatan yang bisa ia lakukan adalah menunggu lemparan dadu dari A-kit, dia ingin tahu angka berapa yang akan diperolehnya.

Sekarang ia sudah tidak berkeyakinan lagi untuk mempertaruhkan bahwa A-kit pasti akan menangkan pertarungan ini.

Toa-tauke menghela nafas panjang, katanya:

"Selama ini aku selalu menganggapmu sebagai orang kepercayaanku, sungguh tak kusangka kalau selama ini kau hanya bersandiwara saja di hadapan mukaku"

"Ya, peranan yang bagus kita perankan sesungguhnya adalah peranan yang saling bermusuhan!", Tiok yap-cing mengakuinya.

"Oleh karena itulah sebelum sandiwara ini berakhir, di antara kita berdua harus ada seorang yang mampus lebih dahulu!", ujar Toa-tauke kembali.

"Seandainya sandiwara ini harus dilangsungkan mengikuti skenario yang telah ku susun, maka yang bakal mampus seharusnya adalah kau!", Tiok yap-cing menyengir.

"Dan sekarang?"

Tiok Yap-cing tertawa getir, sahutnya:

"Sekarang perananku sudah berakhir, yang memegang peranan penting dalam permainan sandiwara sekarang adalah A-kit"

"Peranan apakah yang ia perankan sekarang?"

"Peranannya adalah seorang pembunuh, sedang orang yang akan dibunuhnya adalah kau!"

Toa-tauke segera berpaling ke arah A-kit, lalu tanyanya dengan suara dingin:

"Apakah kau hendak memerankan perananmu itu lebih jauh?"

A-kit tidak menjawab.

Secara tba-tiba saja ia merasakan adalah hawa pembunuhan yang amat hebat, bagaikan jarum yang tajam sedang menusuk punggungnya.

Hanya pembunuh yang benar-benar ingin membunuh orang serta mempunyai kemampuan yang meyakinkan untuk membunuh orang, baru akan memancarkan hawa pembunuhan semacam ini.

Tak bisa diragukan lagi saat ini ada manusia semacam ini yang berada di belakang punggungnya, bahkan ia mulai merasakan pula bahwa kulit tubuh bagian tengkuknya secara tiba-tiba mulai mengejang keras dan membeku.

Tapi ia tidak berpaling.

Sekarang, walaupun ia hanya berdiri seenaknya dengan gaya yang santai, sesungguhnya semua anggota tubuhnya dan seluruh kulit badannya berada dalam keadaan siap siaga penuh, sedikitpun tiada titik kelemahan.

Asal ia berpaling, maka posisi semacam itu tak akan bisa dipertahankan lagi, sekalipun hanya keteledoran yang amat sedikit saja, akibatnya akan mempengaruhi juga kelangsungan hidupnya.

Ia tak boleh memberikan kesempatan semacam ini kepada pihak lawan.

Pihak lawan jelas sedang menantikan kesempatan semacam itu, hampir setiap orang yang hadir dalam ruangan itu dapat merasakan hawa pembunuhan yang amat mencekam itu, pernapasan semua orang nyaris terhenti, sementara peluh sebesar kacang telah membasahi jidatnya.

A-kit belum juga berkutik, malah ujung jaripun sama sekali tidak bergerak.

Bila seseorang yang dengan jelas mengetahui bahwa ada orang hendak membunuhnya, tapi ia masih bisa berdiri tak berkutik, boleh dibilang setiap urat syaraf di tubuh orang ini pasti sudah berhasil dilatihnya hingga lebih tangguh dari kawat baja.

Sekarang A-kit malahan memejamkan sepasang matanya.

Orang yang hendak membunuhnya berada di belakang punggung, ia tak usah memperhatikannya dengan mata, sebab dia tak akan melihatnya.

Yang penting, ia harus memperhatikan kekosongan dan konsentrasi pikirannya.

Tentu saja orang itupun seorang jago tangguh, hanya seorang jago tangguh yang punya pengalaman ratusan kali pertarungan serta membunuh orang dalam jumlah yang tak terhitung baru akan memiliki kesabaran dan ketenangan seperti ini, sebelum kesempatan yang dinantikan tiba, dia tak akan turun tangan secara gegabah.

Kini suasana di sekeliling tempat itu menjadi hening dan sepi, bahkan hembusan anginpun seolah-olah ikut terhenti.

Tidak ada komentar: