Pendekar Gelandangan 029

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

29

Yang seorang berwajah kehijau-hijauan, sedang yang lain masih berwajah mabuk, kedua orang itu tak lain adalah Ting Ji-long dan Cing Coa, si ular hijau.

Ting Ji-long masih juga menghela napas panjang, sambil memandang dua sosok mayat yang terkapar di tanah, ia bergumam tiada hentinya:

"Sungguh mengecewakan! Sungguh mengecewakan! Ternyata kepandaian yang dimiliki Cu-keh-siang-kiam (Sepasang pedang dari keluarga Cu) tidak lebih cuma begitu saja, kami selalu menguntil di belakang mereka, tapi bagaikan orang mati saja, sedikitpun tidak merasakan apa-apa"

"Oleh karena itulah sekarang mereka baru menjadi orang mati beneran......", sambung Cing Coa hambar.

Sekulum senyuman segera tersungging di ujung bibir Pek Bok yang dingin dan kaku.

"Ilmu meringankan tubuh dari Cing Coa selamanya memang bagus sekali, sungguh tak nyana ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ji-long pun memperoleh kemajuan yang pesat"

"Ya, tentu saja harus mendapatkan kemajuan karena untuk sementara waktu aku masih tak ingin mati!"

Bagi mereka yang bekerja dalam bidang semacam ini, jika kau masih tak ingin mati, maka setiap waktu setiap saat kau harus baik-baik melatih diri.

Pek Bok kembali tersenyum:

"Bagus, bagus sekali, persoalan ini memang telah diselesaikan secara bagus sekali!", katanya.

Ting Ji-long mengerdipkan matanya berulang kali, tiba-tiba ia bertanya lirih:

"Apakah yang terbaik?"

"Yang terbaik tentu saja masih pedangku ini", jawab Pek Bok dengan angkuh sambil membelai pedangnya.

Pedang itu telah diloloskan dari sarungnya.

Tak ada orang yang berani membantah ucapan sombong dari imam tersebut, karena tak ada orang yang bisa menahan permainan pedangnya. Ia sendiripun sangat memahami akan kelebihannya ini, lagi pula setiap saat setiap waktu selalu menyinggungnya kembali untuk memperingatkan orang lain......

Di antara kelompok pembunuh hitam, selamanya ia memang duduk pada kedudukan yang paling tinggi dan terhormat.

Mendadak terjadi kegaduhan lagi di antara kerumunan orang banyak, di antara jeritan-jeritan kaget tampak semua orang melarikan diri tercerai-berai ke empat penjuru.

Seorang laki-laki yang penuh berlepotan darah berlarian mendekat dengan cepat.

Dengan kening berkerut Cing Coa segera berbisik:

"Entah si Hu Tau telah menerbitkan keonaran apa lagi?"

Pek Bok tertawa dingin.

"Heeehhhh......heeeehhh.....heeeeehhh......sekalipun begitu, yang terkena bencana sudah pasti bukan dia!", katanya.

Melihat mereka semua, Hu Tau menghentikan larinya dan menampilkan sepercik senyum kegirangan.

"Waaahhh.....akhirnya aku berhasil juga menyusul kalian semua......!", teriaknya keras.

"Ada apa?"

"Lo Cay lagi-lagi minum arak sampai mabuk, sekarang ia sedang bekerja keras melawan serombongan piausu yang datang dari wilayah Hoo-pak....!"

Pek Bok lagi-lagi tertawa dingin.

"Hmmm....! Lagi-lagi dia yang menerbitkan keonaran!"

"Sewaktu aku menjumpainya tadi, ia sudah terkena dua pukulan!", cerita Hu Tau, "sungguh tak nyana setelah aku terjun ke gelanggangpun masih tidak tahu, terpaksa aku mesti membuka sebuah jalan berdarah untuk mencari bala bantuan"

"Hmm.....!", Pek Bok mendengus.

"Rombongan piausu itu betul-betul luar biasa hebatnya", desak Hu Tau lagi, "hayo kita cepat-cepat ke situ, kalau tidak Lo Cay tentu akan mampus di tangan mereka"

"Kalau begitu biarkan saja dia mampus!", kata Pek Bok semakin ketus.

Hu Tau tampak terperanjat.

"Biarkan dia mampus?", serunya.

"Ya, kedatangan kita kali ini adalah untuk membunuh orang, bukan untuk menolong orang"

Ternyata Pek Bok betul-betul telah pergi, tentu saja semua orang harus pergi pula mengikutinya.

Hu Tau berdiri termangu-mangu setengah harian lamanya di situ, akhirnya diapun menyusul rekan-rekan lainnya.

Di tengah jalan raya mereka membunuh orang, lalu pergi dengan begitu saja, sekalipun di sekitar situ berkumpul ratusan orang, mereka pun cuma bisa mengiringi kepergian orang-orang itu dengan mata terbelalak lebar-lebar.

Tak ada orang berani mengganggu mereka, sebab mereka adalah manusia-manusia tak punya muka dan tak ingin hidup.

Ternyata masih ada juga orang yang lebih tak tahu malu dan tak ingin hidup!.

ooo)O(ooo

Hingga mereka pergi jauh, kembali muncul seorang tauto yang gemuk besar sambil memikul sebuah tongkat baja sebesar telur itik, dengan langkah lebar ia berjalan melewati Sui-tek-siang dan menuju ke rumah makan yang berada di seberang jalan.

Baru saja nyonya muda itu menghembuskan napas lega dan menurunkan anaknya, sambil duduk menghilangkan rasa kaget, mendadak........"Blaaang!", meja kasir yang kuat dan tebal itu mendadak terhajar hancur oleh toya baja si hwesio yang besar itu.

Tampaknya bobot toya itu mencapai ribuan kati lebih, bayangkan saja andaikata dipakai untuk memukul orang, kehebatannya tentu saja mengerikan sekali.

Rumah pemintalan kain yang sudah berdiri tiga ratus tahun lebih itu segera porak poranda dibuatnya.

Di antara dua belas orang pelayan yang bekerja di situ, ada yang tangannya kutung, ada kakinya kutung, ada yang tak bisa berdiri, ada pula yang sudah putus nyawa. Nyonya muda itu tergeletak di tanah dalam keadaan tak sadarkan diri.

Hwesio itu segera menghampirinya, bagaikan mencengkeram anak ayam saja ia tangkap tubuh perempuan itu, mengempitnya di bawah ketiak dan berlalu dari situ dengan langkah lebar.

Semua orang yang telah menyaksikan keganasan serta tenaga alamnya yang luar biasa, siapakah yang berani menghalangi tingkah-lakunya itu?

Meskipun harus mengempit tubuh seseorang, langkah si hwesio masih tetap cepat dan tegap, dalam waktu singkat ia telah menyusul rekan-rekannya, berpaling, menyengir dan melewati Pek Bok sekalian, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya telah lenyap dari pandangan.

"Jangan-jangan hwesio itu sudah edan?", Cing Coa mengemukakan pendapatnya dengan alis mata berkerut.

Dengan dingin Pek Bok menjawab:

"Pada dasarnya dia memang telah mengidap penyakit edan, setiap dua sampai tiga hari, dia musti menyalurkan hajadnya itu dengan seorang perempuan cantik!"

"Tapi perempuan yang dibawanya tadi seperti si nona cantik yang kita persoalkan barusan", seru Suzuko.

Kanyo tidak mengucapkan sepatah katapun, tiba-tiba dia percepat larinya menyusul ke depan.

Tentu saja Suzuko tak sudi ketinggalan, iapun mempercepat langkah kakinya menyusul rekannya itu.

Tiba-tiba dari depan lorong sebelah depan sana berkumandang jeritan ngeri yang memilukan hati, tampaknya suara jeritan itu mirip sekali dengan jeritan dari si hwesio.

Menanti semua orang menyusul ke situ, tubuh si hwesio yang beratnya mencapai ratusan kati itu sudah digantung orang di atas sebuah pohon besar.

Matanya melotot keluar, celananya basah kuyup, air mata, ingus, air liur, air seni dan kotoran manusia sama-sama mengalir keluar dengan derasnya, hal ini menimbulkan bau busuk yang bisa di cium orang dari jarak yang amat jauh.

Hwesio itu bukan saja berkekuatan dahsyat, ilmu gwakang yang dimilikinya pun tidak jelek, tapi dalam sekejap mata ia telah mati digantung orang di atas pohon, sementara pembunuhnya sudah tidak nampak lagi batang hidungnya.

Pek Bok memutar tangannya menggenggam kencang gagang pedangnya, peluh dingin telah membasahi telapak tangannya, sambil tertawa dingin tiada hentinya ia berseru:

"Bagus, bagus, suatu gerakan tubuh yang sangat cepat!"

Cing Coa mengerutkan pula dahinya.

"Tak pernah kusangka kalau disekitar tempat ini masih terdapat seorang jago selihay ini, caranya turun tangan ternyata lebih buas dan keji daripada kita!"

Ting Ji-long membungkukkan badannya, seakan-akan ia merasa sangat mual dan tak tahan lagi ingin tumpah.

Sementara itu Hu Tau sedang mengerang penuh kegusaran:

"Hei, kalau kau memang bernyali untuk membunuh orang, kenapa tidak berani untuk unjukkan diri dan berjumpa dengan locu sekalian?"

Suasana dalam lorong itu tetap sepi, hening dan tak kedengaran suara apa-apa, bahkan sesosok bayangan manusiapun tak tampak.

Yang dikuatirkan Suzuko ternyata bukan persoalan tersebut, tiba-tiba ia bertanya:

"Ke mana perginya si nona cantik itu?"

Sekarang semua orang baru mengetahui bahwa perempuan yang dikempit oleh si hwesio tadi sekarang telah lenyap tak berbekas, tongkat baja yang tak pernah dilepaskan si hwesio walaupun sedang tidurpun kini telah lenyap tak berbekas.

Mungkinkah perempuan yang cantik dan bahenol itu sesungguhnya adalah seorang jago lihay yang sengaja menyembunyikan kepandaiannya?

ooooOOOOoooo

Bab 12. Serba Bertentangan

Toa-tauke duduk di atas kursi berlapiskan kulit harimau yang secara khusus didatangkan dari kantornya. Memandang tujuh jago yang berada dihadapannya, ia mengangguk terus sambil tersenyum, rupa-rupanya kehadiran jago-jago tersebut sangat memuaskan hatinya.

Tentu saja senyuman ramah menghiasi pula ujung bibir Tiok Yap-cing, asal Toa-tauke gembira, dia pasti gembira pula.

Namun Pek Bok sekalian tampaknya tak mampu tertawa menyaksikan kematian si hwesio dalam keadaan mengerikan, perasaan semua orang mulai tak enak dan tak nyaman.

......Sesungguhnya siapa yang telah membunuhnya? Mungkinkah perempuan itu sengaja menyaru sebagai babi untuk mencaplok harimau? Ataukah di sekitar tempat itu masih terdapat jago-jago lihay lainnya?

Tiok Yap-cing tersenyum, katanya:

"Konon begitu masuk ke dalam kota, kalian lantas melakukan beberapa peristiwa yang menggemparkan seluruh kota? Sungguh bagus sekali!"

"Sedikitpun tidak bagus!", jawab Pek Bok dengan nada dingin.

"Tapi sekarang setiap penduduk kota tak seorangpun yang tidak tahu kalau kalian semua betul-betul lihay!"

Pek Bok tutup mulutnya rapat-rapat, semua rekannya tutup pula mulut mereka rapat-rapat, meskipun setiap orang memiliki seperut penuh air getir, namun tak segumpalpun yang mampu ditumpahkan keluar.

Sebenarnya mereka semua memang ingin menanamkan sedikit pengaruhnya dengan melakukan beberapa peristiwa yang brutal dan hebat di dalam kota, siapa tahu rekan mereka justru malah mampus secara aneh dan misterius, seandainya peristiwa ini sampai diceritakan ke luar, bukankah tindakan tersebut sama artinya dengan meruntuhkan semangat sendiri dengan mengunggulkan orang lain?

Tiba-tiba Hu Tau meraung keras:

"Sungguh menjengkelkan!"

"Kenapa saudara Hu Tau marah-marah tanpa sebab?", dengan seramah mungkin Tiok Yap-cing bertanya.

Baru saja Hu Tau ingin berbicara, ketika dilihatnya Pek Bok dan Cing Coa semuanya sedang mendelik ke arahnya, cepat-cepat ia berubah ucapannya dengan berseru:

"Aku suka marah-marah, kalau lagi gembira hatiku, akupun akan marah-marah sendiri!"

"Ooohhh......itu lebih bagus lagi!", teriak Tiok Yap-cing semakin tertawa lebar.

"Apanya yang bagus?", dengan geramnya Hu Tau melototkan sepasang matanya lebar-lebar.

"Dengan mengandalkan tabiat saudara yang suka marah-marah, hal ini sudah cukup untuk memecahkan nyali orang!"

"Tetapi aku justru tak pernah marah-marah!", sela Ting Ji-long dari samping.

"Inipun bagus sekali!"

"Apanya yang bagus?"

"Di waktu tenang bagaikan seorang perawan, di kala bergerak selincah kelinci, kalau di hari-hari biasa tidak diumbar, sekali diumbar pasti mengejutkan hati orang"

Ting Ji-long segera tertawa.

"Tampaknya apapun yang bakal kami katakan, kau selalu mempunyai kemampuan untuk memuji dan mengumpak kami semua. Ehmmm.......rupanya dalam bidang ini kau memang memiliki kepandaian yang bisa diandalkan"

Tiok Yap-cing ikut tersenyum pula.

"Aku sih tidak memiliki kepandaian hebat seperti kalian semua, aku tak lebih hanya mengandalkan sedikit kepandaian semacam ini untuk mencari sesuap nasi......."

Selama ini Toa-tauke hanya mendengarkan pembicaraan mereka dengan senyuman di kulum, tiba-tiba ia bertanya:

"Apakah kalian telah datang semua?"

"Sudah!", jawab Pek Bok.

"Tapi seingatku rasanya orang yang ku undang kali ini seluruhnya berjumlah sembilan orang!"

"Ehmmm......memang sembilan orang!"

"Kemana perginya yang dua lainnya?"

"Sekalipun mereka berdua tidak datang juga sama saja!", ucap Pek Bok dengan suara dingin.

"Oya?"

"Asal kami bertujuh telah datang, sekalipun hendak melakukan pekerjaan apapun sudah terlebih dari cukup"

"Untuk menghadapi A-kit juga lebih dari cukup?"

"Untuk menghadapi manusia macam apapun, kekuatan kami sekarang sudah lebih dari cukup!"

Toa-tauke tertawa.

"Aku tahu belakangan ini ilmu pedang totiang telah peroleh kemajuan yang amat pesat, sedang kepandaian dari beberapa rekan lainnya juga telah mendapat kemajuan yang hebat, cuma ada satu persoalan yang masih juga membuat hatiku tak tenang!"

"Persoalan apakah itu?"

Sambil tersenyum Toa-tauke segera memberi tanda, dua orang laki-laki kekar segera muncul dari luar pintu sambil menggotong sebuah toya sian-cang yang terbuat dari baja murni.

Paras muka Pek Bok berubah hebat.

Paras muka setiap anggota Hek-sat ikut berubah pula.

Ujar Toa-tauke:

"Aku rasa toya sian-cang ini pasti kalian kenali, bukan?"

Mereka tentu saja kenali benda itu, sebab itulah senjata andalan dari Toh- hwesio, dengan mata kepala mereka sendiri pernah disaksikan berpuluh-puluh orang tewas di ujung toya tersebut.

"Konon toya sian-cang ini selamanya tak pernah berpisah dengan Toh- hwesio barang sejengkalpun, kenapa pada saat ini bisa berada di tangan orang lain?", kata Toa-tauke.

"Pinto justru ingin bertanya kepadamu, darimana kau dapatkan toya sian-cang tersebut?", seru Pek Bok dengan paras muka berubah.

"Ada seseorang yang sengaja menghantarnya ke mari, ia minta kepadaku agar mengembalikannya kepada kalian!"

"Sekarang di manakah orang itu?"

"Masih berada di sini!"

"Di mana?"

"Itu dia, ada di situ!"

Toa-tauke menuding ke belakang, semua orang segera mengalihkan sinar matanya ke arah mana yang ditunjuk, tampaklah seseorang berdiri di luar pintu.

Itulah seorang perempuan yang montok, cantik dan bahenol. Ternyata dia bukan lain adalah nyonya muda yang pernah ditemui di rumah pemintalan Sui-tek-siang tadi.

ooo)O(ooo

Mungkinkah perempuan ini betul-betul adalah seorang jago lihay yang sengaja menyembunyikan kepandaian silatnya dan sanggup menggantung mati Toa- hwesio di atas pohon dalam waktu singkat?

Siapapun tak dapat melihatnya, siapapun tak akan mempercayainya, tapi mau tak mau mereka harus mempercayainya juga.

Tiba-tiba Kanyo berpekik keras, tubuhnya bergelinding di tanah sambil menubruk ke depan, tiga batang bintang baja disambit ke muka dengan kecepatan luar biasa.

Tubuh si nyonya muda itu berkelit ke samping dan menyembunyikan diri ke belakang pintu.

Sekali lagi Kanyo meraung keras, lalu roboh terjengkang ke atas tanah, tiga batang senjata rahasia berbentuk bintang menancap di atas dadanya, itulah senjata rahasia yang ia lepaskan sendiri.

Paras muka Pek Bok berubah menjadi pucat pias seperti mayat, sekujur tubuh rekan-rekannya telah menjadi dingin pula seperti es.

Sesosok bayangan manusia muncul kembali pelan-pelan dari balik pintu, dialah si nyonya muda yang baru saja melahirkan anak itu.

Dengan terkejut Suzuko memandang ke arahnya, lalu bergumam seorang diri dengan suara lirih:

"Nona cantik ini ternyata betul-betul bukan nona untuk menghibur diri, dia adalah seorang siluman perempuan!"

Nyonya muda itu berpaling ke arahnya lalu tertawa manis.

"Sukakah kau dengan siluman perempuan?", tegurnya.

Sekalipun suaranya kedengaran agak gemetar, tapi senyumannya itu sungguh manis dan menawan hati.

Sepasang mata Suzuko berubah menjadi merah padam seperti api yang menyala, sambil menggenggam kencang gagang samurainya, selangkah demi selangkah ia maju ke depan.

"Hati-hati!", Pek Bok segera memperingatkan.

Sayang peringatan itu datangnya agak terlambat, Suzuko telah merentangkan sepasang tangannya sambil menubruk ke depan, dia hendak memeluk perempuan itu ke dalam rangkulannya.

Ternyata ia menubruk tempat kosong.

Tubuh nyonya muda itu telah menyurut kembali ke balik pintu. Baru saja ia hendak menyusulnya, tiba-tiba jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang lagi memecahkan kesunyian, selangkah demi selangkah ia mundur ke belakang.

Sebelum orang lain sempat menyaksikan raut wajahnya, mereka telah menjumpai sebagian ujung golok menongol di balik punggungnya, darah segar berhamburan memenuhi seluruh lantai.

Menunggu ia roboh tertelentang di atas tanah, semua orang baru dapat lihat jelas senjata tersebut.

Ternyata senjata itu adalah sebilah samurai yang panjangnya delapan depa, senjata itu menusuk dari dadanya hingga tembus di punggung dan senjata itu bukan lain adalah senjata andalannya sendiri.

Sekali lagi si nyonya muda itu munculkan diri di depan pintu, lalu menatap mereka lekat-lekat.

Di balik biji matanya yang indah dan jeli, terpancarlah perasaan sedih, marah dan ngerinya.

Kali ini tak ada orang yang berani maju untuk melancarkan tubrukan lagi, bahkan paras muka Tiok Yap-cing pun ikut berubah sangat hebat.

Hanya Toa-tauke seorang yang tenang dan wajahnya sama sekali tak berubah, ujarnya dengan suara hambar:

"Manusia macam beginikah yang secara khusus kau undang untuk melindungi keselamatan jiwaku?"

Pertanyaan tersebut ditujukan kepada Tiok Yap-cing.

Tiok Yap-cing menundukkan kepalanya rendah-rendah, ia tak berani buka suara.

"Dengan mengandalkan kepandaian mereka semua, sanggupkah A-kit dihadapi?"

Paras muka Tiok Yap-cing telah berubah menjadi pucat pias seperti mayat, kepalanya semakin ditundukkan rendah-rendah.

Toa-tauke menghela napas panjang ujarnya:

"Coba lihatlah, untuk menghadapi seorang perempuan saja mereka tak mampu, mana mungkin........."

Tidak ada komentar: