Pendekar Gelandangan 028

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

28

Ucapan tersebut bukan diutarakan oleh salah seorang di antara saudara-saudaranya, orang yang berbicara itu berada di belakang manusia berbaju hitam itu.

Dua orang yang barusan dengan jelas diketahui sebagai rekan komplotannya, kini secara tiba-tiba berubah menjadi tiga orang.

Siapapun tak tahu sedari kapan orang itu menggabungkan diri dengan mereka, siapapun tak tahu dari mana ia datang?

Orang itu mengenakan juga seperangkat pakaian berwarna hitam, perawakan tubuhnya jauh lebih ceking daripada manusia berbaju hitam itu, ketika berdiri di antara dua orang rekannya yang tinggi besar, ia kelihatan begitu kecil dan mengenaskan sehingga menimbulkan kesan bagi siapapun bahwa setiap saat ia dapat dijepit sampai gepeng.

Tapi dua orang rekannya yang tinggi besar itu justru bergerak sedikitpun tidak.

Sebenarnya mereka bukan termasuk manusia-manusia yang tak berani menampilkan keberaniannya setelah dihina dan dianiaya orang lain.

Mereka sudah banyak tahun mengikuti lelaki berbaju hitam itu, pernah juga menghadapi beratus-ratus kali pertarungan besar kecil mati dan hidup.

Ketika mendengar suara pembicaraan tadi, manusia berbaju hitam itu segera menyusup ke depan, tanpa berpaling lagi ia membentak keras:

"Tangkap dia!"

Heran! Ternyata kedua orang rekannya sama sekali tidak memberi reaksi apa-apa, cuma paras muka mereka sedikit berubah, berubah menjadi sangat aneh.

Manusia berbaju hitam itu segera berpaling, tapi paras mukanya ikut berubah pula.

Bukan saja paras muka kedua orang rekannya telah berubah warna, malah panca indera merekapun telah mengalami perubahan, berubah menjadi begitu jelek, begitu berkerut dan menyeramkan, kemudian darah kental hampir bersamaan waktunya meleleh keluar dari telinga, mata, hidung dan mulut mereka.

Laki-laki ceking berbaju hitam yang berdiri di antara mereka berdua masih tetap tenang, paras mukanya tidak berubah, bahkan sedikit pancaran emosipun tak ada.

Mukanya sangat kecil, matanya juga kecil, cuma di balik sepasang matanya tersembunyilah senyuman yang keji bagaikan bisanya ular paling beracun di dunia ini.

Ular beracun tak dapat tertawa, tapi seandainya ular beracun bisa tertawa, tampangnya pasti persis dengan tampangnya.

Memandang sepasang matanya yang berbisa, tanpa terasa manusia berbaju hitam itu bergidik dan menggigil keras, segera tegurnya dengan suara keras:

"Kau yang telah membunuh mereka?"

"Kecuali aku masih ada siapa lagi?", jawab laki-laki berbaju hitam yang mempunyai sepasang mata berbisa seperti ular beracun itu dingin.

"Siapa kau?"

"Hek-kui (Setan hitam) dari Hek-sat (Pembunuh hitam)!"

Mendengar empat huruf tersebut, paras muka laki-laki berbaju hitam itu berubah semakin mengerikan.

"Aku she Tu, bernama Tu Hong", katanya lambat.

"Hek-sat-kiam (Pedang malaikat hitam) Tu Hong?", tanya si setan hitam sinis.

Tu Hong manggut-manggut.

"Selama ini kau boleh dibilang kita bagaikan air sumur yang tidak melanggar air sungai, kau........"

"Kalau memang begitu, tidak sepantasnya kalian datang kemari", tukas Setan hitam cepat.

"Apakah persoalan ini sudah kalian sanggupi?"

"Memangnya kami tak boleh menyanggupi?", Hek-kui mengejek ketus.

"Aku tahu asal persoalan yang telah disanggupi oleh Hek-sat, maka orang lain tak boleh mencampurinya!"

"Kalau kau sudah tahu, ini lebih baik lagi!"

"Tapi aku sama sekali tidak tahu kalau kalian telah menyanggupi tugas ini!", keluh Tu Hong.

"Oya? Lantas?"

"Maka kau tidak perlu harus membunuh orang.......!"

"Tidak! Aku harus membunuh!"

"Kenapa?"

"Sebab aku gemar membunuh orang!"

Dia memang bicara jujur, siapapun yang pernah menyaksikan sepasang matanya, seharusnya dapat merasakan juga bahwa dia memang gemar membunuh orang.

Tu Hong sedang mengawasi mata lawan, raut wajah mereka berdua sama-sama berkerut, menyusul kemudian pedang Tu Hong telah menusuk ke depan dengan suatu kecepatan tinggi.

Tenaga yang disertakan dalam tusukannya kali ini jauh lebih kuat daripada tenaga yang dipakai untuk menembusi cawan teh, kecepatannya tentu saja berkali-kali lipat lebih hebat.

Sasaran dari tusukan itu adalah Hek-kui, bukan tenggorokannya, sebab sasaran di atas dada lebih luas dan tidak gampang untuk dihindari.

Tapi Hek-kui berhasil menghindarkan diri.

Ketika tubuhnya berkelit ke samping, dua orang laki-laki kekar yang berada di kedua belah sisinya segera roboh ke arah Tu Hong.

Dalam kejutnya Tu Hong mengangkat tangannya untuk menangkis tapi Hek-kui telah menyusup ke bawah ketiaknya.

Tiada seorangpun menyaksikan Hek-kui turun tangan, mereka hanya menyaksikan paras muka Tu Hong mendadak berubah hebat, seperti juga kedua orang rekannya, bukan cuma paras mukanya yang berubah, letak panca inderanya ikut pula berubah, berubah menjadi mengejang keras dan jeleknya mengerikan hati orang, kemudian darah kental bersamaan waktunya meleleh keluar dari ke tujuh lubang inderanya.

Dalam ruangan warung teh segera tersiar bau busuk yang menusuk hidung, dua orang manusia berjongkok dengan wajah merah membara, rupanya celananya sudah basah kuyup.

Tapi tiada seorangpun yang mentertawakan mereka, sebab setiap orang hampir pucat nyalinya karena ketakutan.

Membunuh orang bukan suatu kejadian yang menakutkan, yang menakutkan justru caranya melakukan pembunuhan tersebut, baginya membunuh orang bukan cuma membunuh saja, melainkan termasuk sejenis seni, semacam kenikmatan yang mendatangkan perasaan nyaman di badan.

Hingga sekujur tubuh Tu Hong menjadi dingin dan kaku, Hek-kui masih menempel di bawah ketiaknya sambil menikmati bagaimana rasanya menyaksikan orang lain menghadapi ajalnya.

Jika kaupun bisa merasakan perubahan suhu tubuh seseorang yang menempel di tubuhmu makin lama makin dingin dan kaku, maka kau dapat memahami kenikmatan macam apakah yang telah dirasakan olehnya itu.

Entah lewat berapa lama kemudian, Tiang San baru berani beranjak dari tempatnya semula.

Tiba-tiba Hek-kui mendongakkan kepala dan memandang ke arahnya, kemudian berkata:

"Tentunya sekarang kau sudah tahu siapakah aku, bukan?"

"Ya!", Tiang San menundukkan kepalanya.

Ia tak berani memandang wajah orang itu, pakaiannya telah basah oleh keringat dingin.

"Kau takut kepadaku?", Hek-kui bertanya.

Tiang San tak dapat menyangkal, pun tak berani menyangkal.

"Aku tahu kaupun tentu pernah juga membunuh orang, kenapa kau takut kepadaku?"

"Karena......karena......."

Tiang San tak dapat menjawab, diapun tak berani menjawab.

Tiba-tiba Hek-kui bertanya lagi:

"Kau pernah berjumpa dengan Pek Bok?"

"Belum!", Tiang San gelengkan kepalanya berkali-kali.

"Bila kau dapat menyaksikan caranya membunuh orang, saat itulah baru akan kau pahami membunuh orang dengan cara apakah baru disebut benar-benar membunuh orang!"

Telapak tangan Tiang San telah basah oleh keringat dingin........mungkinkah cara Pek Bok membunuh orang jauh lebih cepat, jauh lebih kejam dan buas daripadanya?

Kembali Hek-kui bertanya:

"Pernah kau berjumpa dengan Kanyo dan Suzuko?"

"Belum pernah!"

"Bila kau telah berjumpa dengan mereka, kau baru akan mengerti harus manusia macam apakah baru bisa disebut manusia yang gemar membunuh orang......!"

Dengan suara hambar ia melanjutkan kata-katanya lebih lanjut:

"Aku membunuh orang paling tidak masih ada alasannya, tapi mereka membunuh orang hanya lantaran hobby, untuk membuat dirinya gembira, senang dan puas!"

"Jadi, asal mereka senang, maka setiap waktu, setiap saat mereka akan membunuh orang?", tak tahan Tiang San bertanya.

"Ya, setiap waktu setiap saat, manusia dari jenis apapun!"

Tu Hong telah roboh pula.

Setelah terkapar di tanah, semua orang baru dapat melihat bahwa pakaian di bawah ketiaknya sudah basah oleh darah kental, namun tak ada yang melihat golok dari Hek-kui.

Hanya Tiang San yang menyaksikan kilatan goloknya, hanya dalam sekali kelebatan saja tahu-tahu sudah masuk kembali ke balik ujung bajunya.....

Di atas ujung baju terdapat pula noda darah.

Tiba-tiba Hek-kui bertanya lagi:

"Tahukah kau bagaimana rasanya darah?"

Tiang San segera menggelengkan kepalanya.

Hek-kui mengulurkan tangannya dan menyodorkan ujung baju itu ke hadapannya.

"Asal kau mencicipinya sekarang, akan kau ketahui bagaimana rasanya darah!", demikian ia berkata.

Sekali lagi Tiang San gelengkan kepalanya berulang kali, kali ini dia menggeleng terus tiada hentinya, sebab lambungnya mulai mual dan beraduk-aduk tak keruan, hampir saja semua isi perutnya tumpah keluar.......

Melihat itu Hek-kui segera tertawa dingin:

"Heeehhhhh........heeehhhh.......heeehhhh.....apakah anak buah Toa-tauke semuanya adalah gentong-gentong nasi yang untuk mencicipi rasanya darahpun tidak berani?"

"Tidak!"

Jawaban itu sebenarnya berasal dari luar pintu, tapi tahu-tahu sudah berada di belakang tubuhnya.

Dengan suatu gerakan cepat Hek-kui memutar tubuhnya, ia menyaksikan seorang pemuda berbaju hijau yang bertubuh jangkung dan tampan telah berdiri tegap di belakangnya.

Usia yang sebenarnya mungkin masih muda sekali, tapi di atas wajahnya telah dihiasi kerutan-kerutan yang menandakan bahwa ia pernah tersiksa dan hidup menderita selama banyak tahun, maka tampaknya ia menjadi jauh lebih tua dari usia yang sesungguhnya.

"Kau juga merupakan anak buah dari Toa-tauke?", Hek-kui bertanya.

"Ya, akupun anak buahnya, aku bernama Siau-te!"

"Kau pernah mencicipi bagaimana rasanya darah?"

Siau-te membungkukkan badannya memungut pedang milik Tu Hong itu, lalu ujung pedangnya ditusukkan ke atas genangan darah hingga senjata itu penuh berlepotan darah.

Setelah menjilat darah di ujung pedang, tiba-tiba ia membalikkan tangannya dan menggurat pula di atas lengan kirinya hingga terluka dan darah mengucur keluar. Dengan mulutnya ia menjilat pula darah yang baru meleleh ke luar itu.

Kemudian ia baru mendongakkan kepalanya, dengan paras muka tak berubah katanya hambar:

"Darah orang hidup rasanya asin, darah orang mati rasanya asin rada getir!"

Paras muka Hek-kui agak berubah menghadapi kejadian tersebut, ujarnya dengan dingin:

"Aku tidak bertanya sebanyak itu!"

"Kalau ingin melakukan suatu pekerjaan, maka pekerjaan tersebut harus dilakukan selengkap dan senyata mungkin", Siau-te menerangkan.

"Siapa yang mengucapkan kata-kata tersebut?"

"Toa-tauke yang bilang!"

Tiba-tiba Hek-kui tertawa terbahak-bahak.

"Haaahhhhh.......haaaahhhh....haaahhhhh......bagus-bagus, dapat melakukan pekerjaan untuk manusia semacam ini, rasanya kedatangan kita kali ini tidak terhitung sia-sia belaka"

"Kalau begitu harap ikutilah diriku!", ucap Siau-te sambil membungkukkan badan memberi hormat.

Ketika ia memutar tubuhnya dan berjalan ke luar, setiap orang memancarkan rasa hormat dan kagumnya yang luar biasa.

Hanya sorot mata Tiang San yang memancarkan rasa malu, menyesal dan penuh penderitaan.

Ia tahu, tamat sudah riwayatnya.

ooo)O(ooo

Tengah hari menjelang tiba.

Suasana lalu-lintas di tengah kota yang ramai dan hiruk pikuk mendadak menjadi tenang.

"Proook! Proook! Proook!", suara kayu yang beradu dengan batu berkumandang memecahkan kesunyian.

Mula-mula suara itu masih berada sangat jauh sekali, tapi dalam waktu singkat sudah berada dekat sekali dengan tengah kota.

Itulah dua orang manusia yang memakai sepatu bakiak dari kayu yang tingginya lima inci. Dengan langkah lebar mereka berjalan di tengah jalan raya.

Kalau dilihat dari rambutnya yang awut-awutan serta tampangnya yang garang, kedua orang itu mirip gelandangan dari negeri matahari terbit, jubah mereka lebar, salah seorang di antaranya mengenakan ikat pinggang yang tujuh inci lebarnya, sebilah samurai yang panjangnya delapan depa tersoren di pinggangnya, sementara sepasang tangannya disembunyikan di balik ujung bajunya yang lebar.

Yang seorang lagi memakai jubah hitam dengan bakiak hitam pula, bahkan wajahnya berwarna hitam pekat pula seperti pantat kuali, tampaknya misterius dan menyeramkan.

Rupanya Suzuko dan Kanyo telah datang!

Setelah menjumpai mereka berdua, setiap orang menutup mulutnya, sekalipun tak ada orang yang mengenali mereka, tapi setiap orang dapat merasakan hawa pembunuhan yang terpancar keluar dari tubuh mereka berdua.

Seorang perempuan muda yang montok dan bahenol sedang membopong anaknya yang berusia lima bulan keluar dari ruang belakang Sui-tek-siang.

Sui-tek-siang adalah sebuah rumah pemintalan benang sutera yang amat besar, nyonya muda itu bukan lain adalah istri majikan muda rumah pemintalan yang baru dikawininya belum lama berselang.

Tentu saja umurnya masih muda, mana cakep lagi wajahnya, tentu saja tubuhnya sudah amat masak dan dewasa terutama setelah beranak, ibaratnya sebidang tanah subur yang baru ditimpa hujan di musim semi yang segar, ia tampak lebih matang, lebih montok dan merangsang.

Melihat wajah perempuan tiu, kontan saja sepasang mata Kanyo dan Suzuko melotot sebesar gundu.

"Wouww....! Seorang nona cakep yang bahenol.......", Suzuko berteriak memuji.

"Wouw! Wouw! Ayu betul......!, sambung Kanyo.

Sebetulnya perempuan muda itu sedang menggoda si bocah dalam bopongannya, melihat dua orang asing itu, selembar wajahnya yang merah masak seperti buah apel kontan berubah menjadi pucat pasi karena terkejut dan ketakutan.

Suzuko telah menyerbu ke depan, baru saja seorang pelayan toko menyambut kedatangannya dengan senyum di kulum, cahaya golok berkelebat lewat, tahu-tahu lengan kirinya sudah terpapas kutung.

Anak-anak mulai menangis karena ketakutan, ibu-ibu pada lemas kakinya karena kaget dan ketakutan, suasana kacau balau tak karuan.

Sambil masih menggenggam samurainya yang berlepotan darah, Suzuko menyeringai sambil tertawa seram, katanya:

"Nona cantik, tak usah takut, aku suka nona ayu, aku paling suka nona manis!"

Ia sudah bersiap-siap menubruk lagi ke depan, kali ini sudah tiada orang yang berani menghalangi perjalanannya lagi, tapi pinggangnya tiba-tiba dicengkeram oleh Kanyo, lalu diangkat ke atas, sikutnya menyodok dan tubuhnya segera terbang meninggalkan tempat itu.

Kanyo tertawa terbahak-bahak, katanya:

"Haaahhhhh.....haaaaahhhh......haaaahhhh....nona ayu milikku, nona cantik menjadi bagianku, kau......."

Kata-kata itu belum sempat diselesaikan ketika Suzuko sudah melambung di udara dan menubruk ke arahnya sambil membacok dengan senjata samurainya.

Bacokan itu cukup ganas, tepat dan cepat, yang digunakan adalah gerakan Ing-hong-it-to-cian (Sebuah bacokan golok menyambut angin) dari ilmu samurai negeri Matahari Terbit, seakan-akan ia merasa benci sekali sehingga kalau bisa dalam sekali bacokan saja batok kepalanya dipenggal menjadi dua bagian.

Dua orang ini benar-benar suka membunuh orang dimanapun dan saat apapun, bahkan membunuh siapa saja yang diinginkan.

Tapi kepandaian Kanyo tidak termasuk cetek, ia berguling di atas tanah dan meloloskan diri dari ujung samurai lawan, lalu sambil memutar badan ia lepaskan tiga buah senjata rahasia yang berbentuk bintang hitam sudut besi, semacam senjata rahasia khas dari negeri Hu-sang (Jepang).

Gara-gara bini orang lain, ternyata dua orang bersaudara ini telah melibatkan diri dalam suatu pertarungan yang seru dan mati-matian.

Permainan samurai Suzuko sangat hebat dan ganas, setiap bacokannya selalu tertuju pada bagian-bagian mematikan di tubuh Kanyo.

Sebaliknya gerakan tubuh Kanyo jauh lebih aneh lagi, dia berguling-guling di atas tanah sambil melepaskan aneka macam senjata rahasia dengan tiada hentinya.

"Traaaang....!, tiba-tiba terdengar suara dentingan nyaring berkumandang memecahkan keheningan, tiga batang senjata rahasia bintang besi kena terpapas rontok, menyusul kemudian samurai itupun ditahan orang.

Seorang imam berjubah biru yang tinggi dan kurus dengan rambut yang disanggul dengan sebuah tusuk konde kayu putih berdiri di hadapan mereka dengan sebilah pedang baja terhunus.

Setelah merontokkan senjata rahasia, menangkis samurai, menendang tubuh Kanyo hingga menggelinding sejauh lima kaki serta memerseni tiga buah tempelengan ke wajah Suzuko, dengan dingin ia berkata:

"Kalau ingin mencari nona cakep, pergi saja ke rumahnya Han toa-nay-nay, perempuan yang sudah punya anak bukan nona yang boleh diajak untuk bermain-main!"

Dua orang gelandangan dari negeri Hu-sang (Jepang) yang ganas, buas dan kejam ini sama sekali tak berani berkutik setelah berhadapan dengan tosu itu, mereka hanya berdiri dengan kepala tertunduk. Jangankan mengucapkan sesuatu, mau kentutpun tak berani dilepaskan.

Dari antara kerumunan orang banyak tiba-tiba berkumandang suara tertawa dingin, lalu seseorang berkata:

"Tosu itu pastilah Pek Bok yang kata orang telah diusir dari bukit Bu-tong, sungguh tak disangka pada saat ini dia malah bergaya soknya bukan kepalang"

Seseorang yang lain segera menanggapi sambil tertawa pula, suaranya lebih-lebih lagi tak sedap didengar:

"Kalau bukan bergaya sok di hadapan orang sendiri, memangnya kau suruh ia jual tampang kepada siapa?"

Paras muka Pek Bok sama sekali tidak berubah, hanya saja tahi lalatnya yang tepat berada di sudut alis mata tiba-tiba saja mulai berdenyut tiada hentinya, dengan dingin ia berkata:

"Tampaknya tempat ini memang benar-benar sangat ramai, sampai dua bersaudara dari keluarga Cu pun ikut tiba pula di sini!"

Gelak tertawa nyaring segera berkumandang kembali dari balik kerumunan orang banyak.

"Haaaaahhhh.....haaaahhhh......haahhh....sungguh tak kusangka hidung kerbau tua ini memiliki ketajaman pendengaran yang mengagumkan!"

Di tengah gelak tertawa itu, dua rentetan cahaya pedang berkelebat lewat seperti pelangi membelah angkasa, satu dari kiri yang lain dari kanan langsung menusuk tiba.

Pek Bok sama sekali tidak berkutik, Kanyo dan Suzuko segera maju menyongsong datangnya ancaman itu.

Tapi merekapun tiada kesempatan untuk turun tangan, sebab di belakang bayangan manusia terbungkus dua rentetan cahaya pedang itu masih ada lagi dua sosok bayangan manusia yang menempel terus di belakang mereka seperti bayangan.

Ketika dua bersaudara Cu meluncur ke depan sambil melancarkan serangan, kedua sosok bayangan manusia di belakangnya ikut pula meluncur ke depan.

Terdengar jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang memecahkan keheningan, di tengah kilatan cahaya pedang darah segar berhamburan ke empat penjuru, dua sosok bayangan manusia rontok ke atas tanah, punggung mereka masing-masing tertancap sebilah pisau pendek yang tembus tubuhnya hingga tinggal gagangnya.

Dua orang lainnya berjumpalitan sekali di udara dan melayang turun pula ke atas tanah, mereka berdiri persis di tepi genangan darah.

Tidak ada komentar: