Pendekar Gelandangan 027

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

27

Bab 11. Pembunuh Hitam

Tempat itu bukan pantai pohon Yang-liu, di sanapun tiada hembusan angin atau rembulan di angkasa.

A-kit sendiripun belum mabuk.

Semalam, hampir saja dia mabuk, untungnya ia tak sampai mabuk lupa daratan.

Ia telah mengunjungi banyak warung penjual arak, diapun banyak kali ingin berhenti membeli arak dan minum sampai mabuk, tapi ia tak mampu mengendalikan diri.

Hingga tengah malam tiba, ia benar-benar sudah tak dapat mengendalikan perasaannya lagi, maka diapun pergi mencari Biau-cu dan gadis menamakan diri si Boneka itu.

Ia percaya pada waktu ia menemukan mereka, kedua orang itu pasti sudah selamat dan aman tenteram.

Karena walaupun Toa-gou bukan seorang yang benar-benar bisa dipercaya, tapi rumah tangganya betul-betul adalah sebuah rumah tangga yang benar dan bahagia.

Begitu wajar, begitu biasa dan amat tenteram.

Dalam keluarga semacam ini, tak mungkin ada orang yang akan berkunjung lagi di tengah malam buta, seharusnya mereka sudah tidur semua.

Maka dalam keadaan demikian, secara diam-diam ia dapat menyusup masuk ke dalam, pergi menggenggam tangan Biau-cu, memperhatikan sepasang mata si Boneka. Sekalipun tindakannya itu akan mengejutkan istri Toa-gou, dia pun bisa minta maaf kepadanya sebelum ngeloyor pergi meninggalkan tempat itu.

Ia pernah berjumpa dengan istrinya Toa-gou, dia adalah seorang perempuan yang sederhana jujur, asal suaminya dan anak-anaknya bisa hidup dengan baik, ia sudah merasa amat puas sekali.

Keluarga mereka adalah di bimbing dan dibangun dari keharmonisan keluarga, kehematan mereka menabung, serta sepasang tangan yang pandai jahit menjahit itu.

Rumah itu adalah sebuah rumah kecil yang sederhana, terdiri dari tiga buah ruangan dengan sebuah ruang tengah, kamar paling kecil dipakai untuk dayangnya, dia dan suaminya serta anak yang paling bungsu menempati kamar paling besar, sedang sebuah kamar lainnya dipakai oleh putra sulung serta putrinya.

Tahun ini putra sulungnya baru sebelas tahun.

A-kit pernah berkunjung satu kali ke rumah mereka yaitu ketika menghantar si Boneka dan Biau-cu ke situ. Ia pernah pula menyaksikan kehidupan keluarga mereka, bukan saja perasaan A-kit tersentuh, diapun merasa amat keheranan....

Ia heran kenapa setelah seseorang mempunyai keluarga semacam ini, dia masih bisa melakukan pekerjaan semacam itu?

"Aku berbuat demikian demi memelihara kehidupan keluargaku", Toa-gou pernah menerangkan, "demi kelangsungan hidup, demi seluruh isi keluargaku, terpaksa pekerjaan apapun harus kulakukan"

Mungkin saja apa yang dia katakan adalah pengakuan yang sejujurnya, mungkin juga bukan. Ketika mendengar pengakuan tersebut, A-kit merasakan hatinya agak pedih dan sakit.

Sesudah melampaui masa kehidupan yang penuh kesengsaraan dan pahit getir, ia baru mengetahui bahwa untuk kelangsungan hidup seseorang di dunia ini sesungguhnya tidak segampang apa yang pernah ia bayangkan dulu. Mereka seringkali memang dipaksa untuk melakukan suatu pekerjaan yang sebenarnya sangat tidak dikehendaki.

Walaupun dia hanya berkunjung sekali, tapi kesan yang ditinggalkan rumah tangga itu dalam benaknya amat mendalam sekali, oleh sebab itu ketika ia berkunjung kembali ke sana, sengaja dibelinya sebungkus gula-gula untuk dihadiahkan kepada putra-putri mereka.

Tapi kini gula-gula itu sudah berserakan di atas lantai.

Sebab ia tidak menjumpai lagi Toa-gou suami isteri, iapun tidak menjumpai putra-putrinya, bahkan sang dayangpun sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya......

Pada hakekatnya hanya seorang yang berdiam dalam rumah itu......hanya Biau-cu seorang yang duduk termangu-mangu di ruang tamu, duduk di hadapan sebuah meja perjamuan yang penuh dengan sayur dan arak dengan sepasang mata mendelong.

ooo)O(ooo

Perabot dalam ruangan tamu amat sederhana, di atas meja pemujaan berdirilah dua buah patung yang pada hakekatnya tiada perbedaan lagi di tempat manapun juga......yakni patung dari Kwan-im Pousat serta Kwan Kong.

Meja sembahyang itu berada di tepi dinding persis depan meja tersebut sebuah meja yang sudah kuno, kotor dan lapuk, tapi sekarang justru tersedia aneka macam hidangan yang lezat dan nikmat, jelas bukan arak dan sayur yang bisa dicicipi oleh manusia semacam mereka ini.

Seguci arak Tiok Yap-cing yang berusia dua puluh tahun, ditambah kepiting besar, udang bago serta Ang-sio-hi-sit.

Biau-cu seperti duduk tertegun di depan arak dan hidangan yang lezat-lezat itu. Sepasang matanya kosong melompong, wajahnya kaku sama sekali tiada emosi.

Seketika itu juga A-kit merasakan hatinya berat dan seolah-olah terjatuh dari atas tebing yang tingginya mencapai beberapa ratus kaki.

Dari pandangan matanya yang kosong dan hampa itu, ia telah merasakan suatu firasat serta alamat yang tak enak, seakan-akan dia tahu bahwa bencana telah berada di depan mata.

Biau-cu mendongakkan kepalanya dan memandang sekejap ke arahnya, tiba-tiba ia berkata:

"Duduk!"

Di hadapannya tersedia sebuah bangku kosong, A-kit pun duduk di tempat yang telah tersedia itu.

Tiba-tiba Biau-cu mengangkat cawannya dan berkata lagi:

"Minum!"

Di depan meja tersedia cawan, dalam cawan telah berisi penuh arak wangi.......

Tapi A-kit tidak meneguk arak tersebut.

Biau-cu segera menarik muka, katanya:

"Sayur dan nasi ini khusus disediakan untukmu, arak itupun khusus disiapkan bagimu!"

"Maka dari itu aku harus meneguknya?", sambung A-kit.

"Ya, harus!"

A-kit ragu-ragu sejenak, akhirnya ia meneguk isi cawan itu hingga habis ludas.

"Ehmm.......inilah arak Tiok Yap-cing", katanya.

"Ya, Tiok Yap-cing adalah arak bagus!"

"Walaupun arak bagus, sayang bukan orang baik!"

Raut wajah Biau-cu berkerut kencang telinganya yang besar seperti kipas mulai kelihatan agak gemetar.

"Kau pernah menjumpai manusia yang bernama Tiok Yap-cing itu.....?", kembali A-kit bertanya.

Biau-cu mengigit bibir menahan diri, tiba-tiba ia mengambil seekor kepiting besar dan di lemparkan ke hadapannya.

"Makan!", ia berseru keras.

Itulah kepiting gemuk yang baru saja dikeluarkan dari kukusan, dagingnya yang putih dan penuh itu mengepulkan asap putih.

Ini membuktikan bahwa sayur dan arak itu belum lama dihidangkan di atas meja.

Mungkin Tiok Yap-cing telah memperhitungkan bahwa A-kit pasti akan tiba di situ, maka sengaja ia siapkan sayur dan arak untuk menantikan kehadirannya?.

Lama kelamaan A-kit tak dapat mengendalikan diri lagi, tiba-tiba ia bertanya:

"Sekarang di manakah orangnya?"

"Siapa?"

"Tiok Yap-cing!"

Biau-cu segera mengangkat sepoci penuh arak wangi.

"Inilah Tiok Yap-cing!", katanya, "Tiok Yap-cing berada di sini!"

Tangannya sudah gemetar, sedemikian gemetarnya sehingga hampir saja poci arak itu tak sanggup digenggam lagi dengan baik.

A-kit menyambut poci arak itu, ia baru merasa bahwa tangan sendiri ternyata lebih dingin daripada poci arak itu sendiri.

Sekarang ia telah mengetahui bahwa dugaan sendiri sesungguhnya keliru besar, sebab ia sudah terlalu menilai rendah manusia yang bernama Tiok Yap-cing itu.

Walaupun kekeliruan dugaannya tak sampai membinasakan dirinya, tapi sudah pasti telah mencelakai orang lain.

Kembali ia penuhi cawan arak sendiri yang telah kosong itu, kemudian ia baru mempunyai keberanian untuk bertanya:

"Di manakah si Boneka?"

Meskipun sepasang kepalan Biau-cu mengepal kencang-kencang, tapi toh masih gemetar sangat hebat, tiba-tiba ia berteriak keras:

"Kau masih ingin menjumpainya atau tidak?"

"Masih ingin!"

"Kalau begitu lebih baik turutilah perkataanku: 'Banyak makan, banyak minum dan sedikit bertanya'!"

Benar juga sejak itu A-kit tidak lagi bertanya kepadanya, walau hanya sepatah katapun.

Biau-cu suruh dia makan, diapun makan dengan lahap, Biau-cu suruh dia minum, diapun minum dengan rakus, arak Tiok yap-cing yang seharusnya wangi dan enak, ketika masuk ke dalam mulutnya ternyata telah berubah menjadi getir, kecut dan amat tak sedap.

Tapi, bagaimanapun kecut dan getirnya arak tersebut, dia harus meneguknya terus, bahkan sekalipun arak itu arak beracun, diapun harus meneguknya sampai habis.

Biau-cu hanya memandang dirinya, di antara sepasang matanya yang kosong dan hampa, tiba-tiba terpercik butiran air mata.

A-kit tidak tega menyaksikan dirinya, dia pun tak berani memandang ke arahnya.

Biau-cu sendiripun meneguk beberapa cawan arak secara beruntun, tiba-tiba berkata lagi:

"Di belakang rumah sana ada pembaringan!"

"Aku tahu!"

"Setelah kenyang bersantap dan puas minum arak, tidurpun baru terasa nyenyak!"

"Aku tahu!"

"Bila tidurnya nyenyak, semangat badan baru menyala, dengan kekuatan serta semangat yang berkobar-kobar, kau baru bisa pergi membunuh orang!"

"Membunuh Toa-tauke?"

Biau-cu manggut-manggut.

"Setelah Toa-tauke terbunuh, kau baru bisa bertemu dengan si Boneka.......", bisiknya.

Ketika ia selesai mengucapkan kata-kata itu, air mata yang mengembang dalam kelopak matanya hampir saja meleleh keluar membasahi pipinya.

Kelopak mata A-kit pun ikut mengembang kempis, ucapan tersebut diulanginya sekali lagi.

"Setelah Toa-tauke terbunuh, aku baru bisa bertemu dengan si Boneka........."

Sehabis mengucapkan perkataan itu, ia segera mulai bersantap lagi dengan lahap, minum dengan gencar.........

Biau-cu tidak ambil diam, malah ia minum lebih banyak dan makan lebih cepat daripada rekannya.

Kedua orang itu sama-sama tidak berbicara lagi, seguci besar arak wangi dan semeja penuh hidangan lezat, dalam waktu singkat telah tersapu habis oleh kedua orang itu.

"Sekarang aku harus pergi tidur!", kata A-kit kemudian.

"Pergilah!"

Pelan-pelan A-kit bangkit berdiri dan berjalan ke ruang belakang, ketika tiba di depan pintu ia tak tahan untuk berpaling dan memandang rekannya sekejap, dia baru tahu kalau wajah Biau-cu telah basah kuyup oleh air matanya yang meleleh keluar....

ooo)O(ooo

Di bawah sinar lentera, Toa-tauke sedang merentangkan gulungan kertas yang diserahkan Tiok Yap-cing kepadanya, di atas kertas tercantumlah nama dari sembilan orang.

Pek Bok. Seorang murid dari partai Bu-tong, telah diusir dari perguruannya dan gemar mengenakan dandanan seorang imam, senjatanya pedang, tinggi badan enam depa delapan inci, ciri-ciri: Muka kuning, badan ceking, di antara alis matanya ada tahi lalat.

Toh- hwesio. Berasal dari Siau-lim-pay, berdandan seorang Tauto ( hwesio yang memelihara rambut), tinggi badan delapan depa, kepandaian andalannya Hu-hou-lo-han-sin-kun (Pukulan sakti Lo-han penakluk harimau), ciri-ciri: Memiliki tenaga dalam yang maha sakti.

Hek-kui. Seorang gelandangan dari wilayah Kwan-si, menggunakan golok dan gemar membunuh orang, tinggi badan enam depa dan sepanjang tahun mengenakan baju hitam, goloknya merupakan golok lemas yang bisa dipakai sebagai ikat pinggang.

Suzuko. Seorang gelandangan dari negeri Kiu-ciu-kok yang ada di pulau Tang-ing-to, senjatanya sebilah samurai yang panjangnya delapan depa, gemar membunuh orang.

Kanyo, adik Suzuko. Seorang jago dari negeri matahari terbit yang ahli dalam ilmu meringankan tubuh dan senjata rahasia.

Ting Ji-long. Sesungguhnya dia adalah serang hartawan dari wilayah Kwan-tiong, setelah kekayaannya ludas, ia mulai mengembara dalam dunia persilatan, gemar minum arak dan main perempuan, senjata andalannya pedang.

Cing Coa. Tinggi badan enam depa tiga inci, otaknya hebat dan tipu muslihatnya bisa diandalkan.

Lo-cay. Usianya paling tua, jenggotnya panjang, gemar minum arak dan sering mabuk, sejak dulu sudah merupakan pembunuh bayaran, tak sedikit korban yang tewas di tangannya, belakangan ini karena sering minum sampai mabuk, pekerjaannya banyak yang terbengkalai.

Hu Tau. Seorang lelaki kekar yang mempunyai tinggi badan sembilan depa, senjatanya sebuah kampak besar, perawakannya besar dan kuat, wataknya amat berangasan.

Ketika selesai membaca nama dari ke sembilan orang itu, Toa-tauke baru menghela napas panjang, sambil mendongakkan kepalanya dia bertanya pelan:

"Bagaimana menurut pendapatmu?"

Yang ditanya adalah seorang laki-laki yang berusia masih amat muda, tapi mukanya segar dan memancarkan kecerdikan yang luar biasa.

Di hari-hari biasa jarang sekali ada orang yang menyaksikan dia berada di samping toa-tauke, tentu saja tak ada yang mengetahui pula bahwa dia sesungguhnya adalah seseorang yang makin hari dipandang semakin tinggi oleh toa-tauke, oleh karena itu orang-orang memanggilnya dengan sebutan 'Siau-te' atau adik cilik. Ia sendiri tampaknya sudah melupakan pula nama aslinya.

Di waktu-waktu biasa ia jarang sekali berbicara, hanya ketika toa-tauke mengajukan pertanyaan kepadanya, ia baru menjawab:

"Tampaknya ke sembilan orang itu semuanya adalah pembunuh-pembunuh yang sangat berpengalaman!"

Toa-tauke menyetujui pendapatnya itu.

"Ya, memang! Tidak sedikit jumlah orang yang telah mereka bunuh!", sahutnya.

"Ehmmm......."

"Menurut pendapatmu, sanggupkah mereka menghadapi A-kit yang tak berguna itu?, kembali Toa-tauke bertanya.

Siau-te ragu-ragu sebentar, kemudian jawabnya:

"Mereka semuanya terdiri dari sembilan orang, sedang A-kit hanya mempunyai sepasang tangan, orang yang mereka bunuh tentu saja jauh lebih banyak dari A-kit!"

Toa-tauke tersenyum, gulungan kertas itu diserahkan kepadanya lalu berkata lagi:

"Esok pagi suruhlah orang untuk menyambut kedatangan mereka, asal mereka telah datang semua, hantar mereka ke gedung kediaman Han toa-nay-nay.........."

"Baik!"

"Mereka pasti datang secara tidak berombongan, sebab kalau sembilan orang melakukan perjalanan bersama, rombongan itu tentu akan menarik perhatian banyak orang"

"Benar!"

Toa-tauke tersenyum, dia ulangi sekali lagi apa yang telah diucapkannya tadi:

"Kau musti ingat baik-baik, bila ingin membunuh orang, lebih baik jangan sampai menarik perhatian orang"

ooo)O(ooo

Fajar telah menyingsing.

Pasar pagi telah mulai, waktu itu merupakan waktu yang paling ramai untuk kedai-kedai teh.

Dalam kedai-kedai teh inilah merupakan pergerakan dari saudara-saudara kecil anak buah Toa-tauke.

Di antara sekian banyak orang bahkan ada diantaranya yang belum pernah berjumpa dengan Toa-tauke sendiri, akan tetapi mereka semua bersedia untuk menjual nyawa buat Toa-tauke.

Selama ini Toa-tauke dapat berkuasa dan menancapkan kakinya di sini, tak lebih karena ada banyak sekali kurcaci-kurcaci yang bersedia menjadi anak buahnya tanpa di minta.

Oleh sebab itu ketika ada orang menanyakan Toa-tauke, serentak mereka melompat bangun.

Orang yang menanyakan tentang Toa-tauke ini adalah seorang laki-laki yang perawakan tubuhnya seperti batang tombak, tapi di pinggangnya tersoren sebilah pedang.

Ia amat jangkung, tapi sangat ceking, pakaian yang dipakai adalah baju ringkas berwarna hitam, gerak-geriknya sangat lincah dan gesit, tapi angkuhnya bukan kepalang.

Ia datang sambil menunggang kuda cepat, bersamanya mengikuti pula dua orang lainnya, dilihat dari debu yang melekat di wajah mereka, tak bisa diragukan lagi orang-orang itu pasti baru datang dari tempat yang jauh sekali.

Begitu kuda cepat itu berhenti berlari, seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, ia lantas menyusup masuk ke dalam ruangan, kemudian setelah memandang sekejap semua orang yang berada di sana dengan sepasang matanya yang lebih tajam dari elang, segera tanyanya:

"Adakah saudara-saudara dari Toa-tauke yang berada di sini?"

Tentu saja ada.

Ketika mendengar perkataan itu, paling tidak ada belasan orang yang segera melompat ke luar dari dalam kedai teh itu.

"Kalian semua adalah saudara-saudaranya Toa-tauke?", manusia berbaju hitam itu segera bertanya.

Lotoa dari anak buah Toa-tauke yang berada di sekitar tempat itu bernama Tiang San, dengan cepat ia balik bertanya:

"Ada urusan apa kau datang mencari Toa-tauke kami?"

"Ada sedikit barang yang ingin kujual kepadanya!", jawab manusia berbaju hitam itu cepat.

"Benda apakah itu?"

"Nyawa dari kami bertiga!"

"Kalian bermaksud menjualnya dengan harga berapa?"

"Sepuluh laksa tahil perak!"

Tiang-san segera tertawa.

"Tiga lembar nyawa manusia sepuluh laksa tahil perak tidak terhitung terlalu mahal!"

"Ya, siapa bilang kalau terlalu mahal!"

Tiba-tiba Tiang San menarik mukanya hingga tampak jauh lebih jelek lagi, jengeknya:

"Tapi tidak kutemui dengan andalkan apa kalian berani memberi harga sepuluh laksa tahil perak?"

"Apa lagi? Tentu saja mengandalkan pedangku ini!"

Ketika ucapan terakhir diutarakan, pedangnya sudah diloloskan dari sarung dan......"Criiiing!", desingan angin tajam menembusi angkasa menyusul kemudian..."Triiiing!" tahu-tahu tiga buah cawan teh yang ada di meja sudah ditembusi oleh ujung pedang hingga berlubang.

Ketika cawan-cawan teh itu diangkat ke udara dengan pedang tersebut, ternyata cawan itu tidak pecah atau hancur, ini menunjukkan bahwa dalam mempergunakan kekuatan maupun dalam kecepatan, ia telah melakukannya dengan begitu cepat dan tepat, sehingga sekalipun seseorang yang tak pandai mempergunakan pedangpun akan mengetahuinya.

Paras muka Tiang San segera berubah hebat.

"Bagaimana?", tanya manusia berbaju hitam itu.

"Bagus, suatu ilmu pedang yang cepat sekali!"

"Bagaimana kalau dibandingkan dengan manusia yang bernama A-kit itu....?"

"A-kit?"

"Konon di sini telah muncul seorang manusia yang bernama A-kit, katanya ia sering memusuhi Toa-tauke!"

"Ooohhh...jadi kalian sengaja datang kemari untuk membantu Toa-tauke guna menyelesaikan persoalan ini?"

"Barang bagus selamanya toh harus ditawarkan kepada orang yang mengerti mutu barang!"

Mendengar itu, Tiang San menghela napas dan tertawa paksa, katanya:

"Aku jamin Toa-tauke pasti adalah seseorang yang mengetahui kwalitet barang"

"Sayang ke tiga saudara ini bukan barang berkwalitet baik!", seseorang menyambung secara tiba-tiba dengan suara dingin.

Tiang San tertegun.

Tidak ada komentar: