Pendekar Gelandangan 036

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

36

"Hoa hujin, harap jangan gusar dulu!", katanya.

"Apa yang hendak kau lakukan?", hardik Cia Hong-hong.

"Aku rasa mungkin juga Sam sauya mempunyai kesulitan yang tak dapat diterangkan kepada orang lain, sekalipun Hoa-hujin hendak menghukumnya dengan mempergunakan peraturan rumah tangga, paling tidak kau harus membicarakan dahulu persoalan ini dengan lo-tayya!"

Cia Hong-hong segera tertawa dingin tiada hentinya.

"Heeeehhhh....... heeeeehhhh...... heeeeehhhhh..... kau selalu membahasakan aku sebagai Hoa-hujin, apakah kau sedang memperingatkanku bahwa aku sudah bukan anggota keluarga Cia lagi?"

Tentu saja memang begitulah maksud dari Cia ciangkwe, cuma ia tak berani mengakuinya secara berterus terang, kepalanya segera digelengkan berulang kali.

"Hamba tidak berani! Hamba tidak berani!"

"Hmmm.....! Sekalipun aku sudah bukan anggota keluarga Cia lagi, pedang ini masih merupakan pedang dari keluarga Cia"

Pedangnya segera digetarkan dan bentaknya keras-keras:

"Pedang inilah peraturan rumah tangga!"

"Ucapan dari Hoa-hujin memang ada betulnya juga, hanya ada satu hal yang tidak siaujin pahami"

"Dalam hal mana?"

Cia ciangkwe masih saja tersenyum di kulum, katanya:

"Aku tidak habis mengerti kenapa peraturan rumah tangga dari keluarga Cia dapat sampai terjatuh ke tangan keluarga Hoa?"

Paras muka Cia Hong-hong kembali berubah hebat, lalu dengan gusar teriaknya:

"Sungguh besar amat nyalimu, berani bersikap begitu kurang ajar kepada nyonya besarmu?"

"Hamba tidak berani!"

Ketika ke tiga patah kata itu meluncur keluar dari mulutnya, tiba-tiba tangan kirinya mencengkeram tangan Cia Hong-hong, lalu tangan kanannya menumbuk dan menyambar, tahu-tahu pedang yang berada di tangan Cia Hong-hong itu sudah berpindah tangan dan ia segera mundur sejauh tiga kaki dari posisi semula.

Jurus serangan itu dipergunakan dengan amat sederhana, bersih, cepat dan tepat, perubahan gerakan yang terkandung di dalamnya amat sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Ketika Cia Siau-hong merampas pedang milik Liu Kok-tiok tempo hari, jurus serangan inilah yang telah dipergunakan.

Sekujur badan Cia Hong-hong telah menjadi kaku, saking gusarnya air muka nyonya itu berubah menjadi hijau membesi, teriaknya:

"Dari mana kau pelajari jurus serangan itu?"

Sambil tertawa lirih sahut Cia ciangkwe:

"Kalau Hoa-hujin masih kenal dengan jurus serangan ini, hal tersebut lebih baik lagi!"

Pelan-pelan ia melanjutkan:

"Jurus serangan itu diwariskan langsung dari Loya-cu kepadaku, dia orang tua berulang kali memesan kepadaku agar setelah mempelajari jurus ini, janganlah dipergunakan secara sembarangan, tapi bila melihat ada pedang keluarga Cia berada di tangan orang dari marga lain, maka kau harus pergunakan jurus ini untuk merampasnya kembali!"

Setelah tertawa ia menambahkan lebih jauh:

"Apa yang telah dipesan oleh Loya-cu sudah barang tentu tak berani ku ingkari!"

Saking jengkelnya Cia Hong-hong sampai tak mampu mengucapkan sepatah katapun, manik-manik dan mainan yang dikenakan di atas kepalanya bergoyang tiada hentinya hingga menimbulkan suara yang amat nyaring.

Diapun tahu bahwa jurus serangan ini memang benar-benar merupakan jurus simpanan dari keluarga Cia, lagi pula selamanya hanya diwariskan kepada anak lelaki dan tidak diwariskan kepada menantu laki-laki, diwariskan kepada menantu perempuan dan tidak diwariskan kepada anak perempuan.

Pedangnya berhasil dirampas orang dalam sekejap mata, hal ini disebabkan dia sendiripun tidak memahami intisari dari rahasia jurus serangan tersebut.

Tiba-tiba Hoa Sau-kun menegur:

"Apa hubunganmu dengan keluarga Cia?"

Walaupun orang itu berperawakan tinggi besar dan tampaknya seram, tapi caranya berbicara ternyata lemah lembut dan lirih sekali.

Sesungguhnya ia tidak bertampang semacam ini, sejak kalah di ujung pedang Sam sauya, selama banyak tahun ini rupanya ia tekun berlatih diri terus menerus sehingga tenaga dalamnya benar-benar sudah mencapai kesempurnaan, itu pula sebabnya dia selalu dapat mengendalikan diri.

"Kalau dihitung-hitung, sebenarnya siau-jin tak lebih hanya seorang keponakan jauh dari lo-tayya", sahut Cia ciangkwe.

"Kau tahu pedang apakah itu?"

"Pedang ini adalah salah satu dari empat bilah pedang mestika yang ditinggalkan oleh nenek moyang keluarga Cia"

Cahaya pedang berkelebat lewat, hawa pedang segera memancar ke empat penjuru.

"Pedang bagus!", Hoa Sau-kun segera berseru sambil menghela napas panjang.

"Ya, ini memang sebilah pedang yang bagus sekali!"

"Apakah kau pantas atau berhak untuk mempergunakan pedang mestika ini......?"

"Tidak pantas!"

"Kenapa kau tidak menyerahkan saja pedang ini kepada Sam-sauya mu itu.....?"

"Ya, siaujin memng ada maksud untuk berbuat demikian!"

Ia memang berbicara sesungguhnya, semenjak tadi sudah timbul maksudnya untuk melakukan hal tersebut, cuma saja ia tidak mengerti apa maksud Hoa Sau-kun berkata demikian.

Tapi ia dapat melihat bahwa Cia Hong-hong telah memahami maksud suaminya.

Mereka adalah suami isteri yang telah menanggung derita bersama, sudah hampir dua puluh tahun lamanya mereka hidup bersama, sekarang suaminya hendak menyuruh orang untuk menyerahkan pedang yang seharusnya menjadi miliknya itu kepada orang lain, tapi ia sama sekali tidak menampilkan rasa gusar atau mendongkol sebaliknya justru terpancar sinar kuatir dan kelembutan yang hangat.

Karena hanya dia seorang yang mengerti maksudnya, dan diapun tahu bahwa istrinya mengerti.

ooooOOOOoooo

Bab 17. Beradu Kepandaian

Kini pedang itu sudah berada di tangan Cia Siau-hong.

Tapi mereka berdua tak seorangpun yang berpaling untuk memandang lagi barang sekejappun. Mereka hanya saling berpandangan dengan mulut membungkam.

Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba Hoa Sau-kun berkata:

"Lima beberapa hari lagi adalah bulan sebelas tanggal lima belas......."

"Ya, agaknya masih ada delapan hari lagi!", Cia Hong-hong membenarkan sambil mengangguk.

"Sampai hari itu, maka kau kawin denganku sudah genap dua puluh tahun lamanya"

"Ya, aku masih ingat!"

"Sejak kecil aku telah bersumpah, sebelum menjadi tenar aku tak akan kawin"

"Aku mengerti!"

"Aku menjadi tenar setelah berusia empat puluh tahun. Ketika menikah denganmu, usiaku menjadi dua puluh tahun lebih tua daripada usiamu waktu itu"

Cia Hong-hong segera tertawa.

"Sampai sekarang kau toh masih berusia dua puluh tahun lebih tua daripadaku", katanya.

Di tempat itu, bukan cuma ada mereka berdua saja, tapi secara tiba-tiba kedua orang itu telah membicarakan tentang persoalan pribadi mereka berdua.

Suara mereka begitu lembut dan halus, mimik wajahnyapun kelihatan aneh sekali, bahkan sewaktu tertawapun tampak sekali tertawanya sangat aneh..........

"Dalam dua puluh tahun ini, hanya kau seorang yang tahu penghidupan macam apakah yang telah ku jalani selama ini?"

"Aku tahu, kau........kau selalu merasa telah berbuat salah kepada diriku"

"Karena aku kalah, aku sudah bukan Hoa Sau-kun ketika mengawini dirimu tempo dulu walau ke manapun juga aku sudah tak punya muka untuk menampilkan diri lagi, tapi kau............."

Ia maju ke depan dan menggenggam tangan istrinya erat-erat, terusnya lebih jauh:

"Kau belum pernah menggerutu kepadaku, selalu menerima tabiat anehku dengan penuh kerelaan, tanpa kau, mungkin aku sudah mampus!"

"Kenapa aku musti menggerutu kepadamu selama dua puluh tahun ini, bila ku bangun setiap hari, aku dapat menyaksikan kau berbaring di sampingku. Bagi seorang perempuan, masih ada rejeki apa lagi yang melebihi keadaan semacam itu?"

"Tapi sekarang aku sudah tua, siapa tahu ketika suatu pagi kau bangun dari tidurmu, tahu-tahu kau jumpai aku sudah pergi meninggalkan dirimu.......?"

"Tetapi........"

Hoa Sau-kun tidak membiarkan ia melanjutkan kata-katanya, dengan cepat ia menukas:

"Setiap orang, cepat atau lambat, pasti akan mengalami keadaan seperti itu, selamanya akan memandang tawar terhadap kejadian semacam ini, tapi aku tak akan membiarkan orang berkata bahwa Ko nay-nay dari keluarga Cia telah kawin dengan seorang suami yang tak berguna, tak becus. Aku harus membuktikan ketidak-becusanku di depan orang lain"

"Ya, aku mengerti"

Hoa Sau-ya menggenggam tangannya lebih kencang.

"Kau sungguh-sungguh telah mengerti?", bisiknya.

Cia Hong-hong mengangguk, air matanya telah jatuh bercucuran membasahi pipinya.

Hoa Sau-kun menghembuskan napas panjang.

"Terima kasih", kembali bisiknya.

ooo)O(ooo

Terima kasih.

Itulah dua patah kata yang sederhana tapi mengandung maksud yang dalam.

Pada saat semacam ini, dibalik ucapan yang sederhana itu justru tersembunyi suatu luapan perasaan cinta, luapan perasaan haru dan rasa sayang yang tak terlukiskan besarnya.

Air mata si Boneka telah membasahi seluruh ujung bajunya.

Sekarang bahkan dia sendiripun telah memahami maksudnya, bahkan diapun tak tega untuk bersedih hati bagi mereka berdua.

Hoa Sau-kun telah duduk di atas rumput.

Rumput-rumput itu telah menguning dan kering.....walaupun dalam pandangan muda-mudi, lapangan itu masih tetap hijau dan penuh keindahan, hal inipun tak lain disebabkan bahwa dalam perasaan setiap orang, musim semi yang indah selalu ada, tapi setiap kali musim kemaraupun akan dijumpai.

Mereka sudah menjadi suami-isteri selama banyak tahun, cinta kasih mereka telah mempunyai dasar yang cukup kuat.

ooo)O(ooo

Ia telah duduk, buntalan kain yang dibawanya itu telah diletakkan di atas lututnya, lalu pelan-pelan menengadah dan memandang ke arah Cia Siau-hong.

Cia Siau-hong memahami pula maksud hatinya itu, cuma saja ia masih menunggu hingga ia mengatakannya sendiri.

Akhirnya Hoa Sau-kun berkata juga:

"Yang kupergunakan sekarang sudah bukan sebilah pedang lagi!"

"Oya?"

"Semenjak kalah di ujung pedangmu, aku telah bersumpah tak akan mempergunakan pedang lagi seumur hidupku!"

Ia memandang sekejap buntalan di atas lututnya, lalu berkata lebih lanjut:

"Selama dua puluh tahun ini aku telah melatih sejenis senjata tajam lainnya, setiap hari setiap malam aku selalu berharap suatu ketika dapat melangsungkan kembali suatu pertarungan melawanmu!"

"Ya, aku mengerti!"

"Tapi aku sudah kalah di ujung pedangmu, prajurit yang telah kalah perang, biasanya tak cukup bernyali untuk bertarung kembali, maka bila kau tak akan menyalahkan dirimu....!"

Cia Siau-hong mengawasinya lekat-lekat, mendadak terpancar ke luar rasa kagum di balik wajahnya.

Dengan wajah tanpa emosi, dia hanya mengatakan sepatah kata saja dengan hambar:

"Silahkan.....!"

Buntalan itu terbuat dari kain berwarna kuning dan dijahit secara rapat, di luarnya masih diselubungi pula dengan sebuah kain yang panjang, kain itupun diikat dengan rapat sekali.

Semacam tali simpul yang tidak gampang untuk memutuskannya. Untuk membebaskan tali simpul semacam ini, satu-satunya cara yang paling cepat adalah menariknya hingga putus, atau sekali bacok memutuskan semua tali itu.

Tapi Hoa Sau-kun tidak berbuat demikian, dua puluh tahunpun dapat ia lewatkan dengan sabar, apalagi hanya waktu beberapa menit.

Ia lebih suka untuk membuang lebih banyak tenaga dengan melepaskan ikatan tali itu satu persatu.

Ataukah mungkin karena dia sudah tahu bahwa masa berkumpul lebih pendek dari masa berpisah, sehingga dia ingin berkumpul lebih lama lagi dengan istrinya?

Cia Hong-hong memandang ke arahnya, tiba-tiba ia menyeka kering air matanya, lalu sambil berjongkok di sampingnya ia berkata:

"Mari kubantu!"

Kain itu sebetulnya ia juga yang mengikatnya, maka tentu saja ia dapat membukanya lebih cepat pula.

Dengan jelas dia tahu bahwa pertarungan suaminya kali ini adalah untuk mempertahankan mati dan hidup, kehormatan atau penghinaan.

Diapun tahu bahwa kepergian suaminya kali ini belum tentu bisa kembali lagi, tapi kenapa ia tak mau mengulur waktu untuk beberapa saat lebih lama?

Karena ia tak ingin waktu yang cukup lama itu sampai melenyapkan keberanian serta kepercayaannya pada diri sendiri.

Karena ia berharap, pertarungan ini bisa dimenangkan oleh suaminya........

Hoa Sau-kun memahami maksud hati istrinya. Cia Hong-hong pun tahu bahwa suaminya dapat memahami maksudnya itu.

Betapa sulitnya saling pengertian ini, tapi betapa bahagianya pula mereka.

Setiap orang agaknya telah dibuat terharu oleh gerak-gerik ke dua orang itu, hanya Buyung Ciu-ti seorang yang tidak memperhatikan mereka walau sekejap matapun, ia hanya mengawasi terus buntalan berwarna kuning itu..........

Dalam hati kecilnya ia sedang berpikir:

"Senjata rahasia macam apakah yang sebenarnya disembunyikan di balik buntalan itu? Dapatkah dipergunakan untuk mengalahkan Cia Siau-hong......?"

Sewaktu masih mudanya dulu, Hoa Sau-kun sudah diakui khalayak umum sebagai seorang jago yang berilmu tinggi. Sejak dikalahkan Cia Siau-hong, mungkin saja kesehatan tubuhnya banyak merosot, dan sulit untuk dipulihkan kembali seperti kekuatan di masa jayanya dulu.

Apalagi ilmu pedang Cia Siau-hong adalah ilmu pedang yang menakutkan, ia dapat meresapi akan hal itu, maka jika ia telah memilih sebilah senjata lain sebagai pengganti pedang untuk menghadapi Sam sauya, maka hal mana sudah pasti bukan suatu kejadian yang gampang.

Di pandang dari sikapnya yang begitu sayang pada buntalan tersebut, dapat diketahui bahwa senjata yang dipilihnya ini pasti adalah suatu senjata yang jarang ditemui dalam dunia persilatan, lagi pula pasti tajamnya luar biasa.

Sudah dua puluh tahun lamanya ia melatih diri dengan tekun dan rajin, kini dengan memberanikan diri telah mempertaruhkan jiwa raganya, bahkan mempertaruhkan pula perpisahannya dengan sang istri yang sudah banyak tahun hidup sengsara bersamanya, hal ini menunjukkan bahwa tantangannya kepada Cia Siau-hong untuk berduel kembali pasti disertai dengan suatu keyakinan yang dapat dipertanggung-jawabkan.

Pelan-pelan Buyung Ciu-ti menghembuskan napas panjang, terhadap pertimbangan yang dibuatnya ia mempunyai keyakinan yang lebih mantap lagi.

Sekarang bilamana ada orang berani bertaruh dengannya, maka kemungkinan besar ia akan mempertaruhkan bahwa Hoa Sau-kun yang akan menangkan pertarungan ini.

Jika ingin mengetahui skor taruhannya, maka dia akan memegang Hoa Sau-kun dengan tujuh lawan tiga, atau paling rendahpun enam banding empat.......

Ia percaya dugaannya ini pasti tak akan keliru terlalu besar.

Akhirnya buntalan itu terbuka, senjata yang berada di dalam buntalan tersebut ternyata tak lain hanya sebuah tongkat kayu.

Tongkat itu adalah sebuah tongkat yang amat biasa, walaupun terbuat dari bahan yang bermutu tinggi, jelas tak dapat dibandingkan dengan tempaan pedang mestika yang tajamnya bukan kepalang.

Inikah senjata yang telah dilatihnya dengan tekun dan penuh keseriusan selama dua puluh tahun?

Hanya mengandalkan tongkat tersebut, dia hendak menghadapi kecepatan pedang dari Sam sauya?

Ketika menjumpai tongkat kayu itu, Buyung Ciu-ti entah harus merasa kaget dan tercengang, ataukah harus merasa kecewa?

Mungkin setiap orang akan merasa terkejut dan kecewa sekali, tapi tidak demikian dengan Cia Siau-hong.

Hanya dia seorang yang mengerti bahwa pilihan Hoa Sau-kun adalah pilihan yang sangat tepat.

Tongkat sesungguhnya merupakan sejenis senjata yang paling kuno bagi umat manusia kita. Sejak jaman dahulu kala, di saat manusia hendak berburu binatang untuk makan, atau sewaktu harus melindungi diri, mereka selalu mempergunakan senjata ini.

Justru karena benda itu merupakan sejenis senjata yang terkuno, lagi pula setiap orang selalu mempergunakannya untuk memukul orang atau mengusir anjing, maka sedikit banyak orang akan memandang remeh senjata tersebut, padahal mereka lupa bahwa semua senjata yang ada di dunia ini pada dasarnya berkembang dari benda tersebut.

Jurus-jurus serangan dari tongkat itu sendiri mungkin terlampau sederhana, tapi bila berada di tangan seorang jago silat yang benar-benar lihay, justru tongkat itu bisa dipakai sebagai tombak, sebagai pedang, sebagai senjata penotok jalan darah dan bisa juga digunakan sebagai senjata Poan-koan-pit.........

Pokoknya semua perubahan jurus serangan dari aneka senjata tajam yang ada di dunia ini, sesungguhnya dikembangkan dari jurus-jurus sederhana dari gerakan tongkat itu sendiri.

Hoa Sau-kun telah menyimpan sebuah tongkat yang sederhana sedemikian rapat dan rahasianya, inipun bukan cuma suatu perbuatan gila-gilaan, melainkan terhitung pula semacam pertarungan batin, bertarung terhadap batin sendiri.

Ia harus menaruh rasa hormat dan sayang terlebih dulu terhadap tongkat itu, kemudian baru akan tumbuh kepercayaannya terhadap senjata tersebut......

"Kepercayaan" sesungguhnya merupakan senjata ampuh lagi pula terhitung senjata paling tajam dan paling manjur.

Buyung Ciu-ti pun seorang yang pintar sekali, dengan cepat ia dapat memahami teori tersebut.

Tapi masih ada satu hal yang tidak ia pahami!

Ia tidak mengerti kenapa Hoa Sau-kun tidak mempergunakan tongkat emas, tongkat perak atau tongkat besi, melainkan justru memilih sebuah tongkat kayu yang segera akan kutung jika di tebas.

Rasa percayanya kepadanya pun jauh tidak lebih mantap dari sebelum ini.

ooo)O(ooo

Sang surya baru terbit, mata pedang membiaskan sinar berkilauan ketika tertimpa sinar sang surya, hingga kelihatan jauh lebih tajam dan cemerlang daripada sinar sang surya sendiri.

Hoa Sau-kun telah bangkit berdiri, dia hanya memandang sekejap ke arah bininya dengan sinar mata terakhir, kemudian dengan langkah lebar berjalan menuju ke arah Cia Siau-hong.

Selama ini Cia Siau-hong hanya berdiri tenang di sana, berdiri menantikan kedatangannya, paras mukanya tenang tanpa emosi, seakan-akan hatinya tidak terpengaruh oleh semua peristiwa yang telah berlangsung tadi.

Untuk menjadi seorang pendekar pedang yang bagus dan luar biasa, maka syarat pertama adalah harus dingin, keji dan tidak berperasaan.

Terutama sesaat sebelum menjelang berlangsungnya pertarungan, ia lebih-lebih tak boleh terpengaruh oleh suasana ataupun keadaan macam apapun yang sedang terjadi di hadapannya.

.......Sekalipun binimu sedang tidur dengan laki-laki lain di hadapanmu, kaupun musti berpura-pura tidak melihatnya.

Ucapan itu sangat populer sekali di antara para pendekar pedang pada jaman tersebut, sekalipun tak ada yang tahu siapa yang memulai dengan kata-kata semacam itu, tapi semua orang mengakui bahwa perkataan itu memang betul dan masuk di akal, hanya mereka yang bisa berbuat demikian, dia pula yang bisa hidup jauh lebih panjang dari orang lain.

Agaknya Cia Siau-hong dapat berbuat demikian.

Tidak ada komentar: