Pendekar Gelandangan 037

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

37

Hoa Sau-kun mengawasinya lekat-lekat, rasa kagum dan hormat terpancar keluar dari balik matanya.

Cia Siau-hong sedang mengawasi tongkat kayunya dengan termangu, tiba-tiba ia berkata:

"Ehmm, suatu senjata yang bagus sekali!"

"Ya, memang senjata yang bagus!"

"Silahkan!"

Hoa Sau-kun manggut-manggut, tongkat di tangannya telah dikebaskan ke luar, dalam waktu singkat ia telah melancarkan tiga buah serangan kilat.

Ke tiga serangan tersebut dilancarkan secara berantai dengan perubahan yang cepat tapi lincah, yang digunakan ternyata bukan jurus-jurus ilmu pedang.

Buyung Ciu-ti diam-diam menghela napas, ia dapat merasakan, asal Cia Siau-hong menggunakan sebuah jurus serangannya yang tangguh, niscaya tongkat kayu itu bakal kutung.

Siapa tahu kenyataannya jauh berbeda dengan apa yang diduganya semula, ternyata Cia Siau-bong tidak mempergunakan jurus serangan seperti apa yang diduganya semula, melainkan memukul tangan Hoa Sau-kun dengan punggung pedangnya.

Mencorong sinar tajam dari balik mata Buyung Ciu-ti, hingga sekarang dia baru tahu kenapa Hoa Sau-kun mempergunakan tongkat kayu sebagai senjatanya.

Sebab ia tahu, tak nanti Cia Siau-hong akan memapas tongkat kayu itu dengan pedangnya, Sam-sauya dari keluarga Cia tak akan mencari keuntungan di atas senjata.

Bila ia tidak bersedia untuk memapas tongkat kayu itu dengan pedangnya, berarti dalam melancarkan seranganpun ia akan merasakan rintangan-rintangan yang menyulitkan diri sendiri.

Oleh karena itulah pilihan Hoa Sau-kun untuk menggunakan tongkat kayu sebagai senjatanya merupakan suatu tindakan cerdik yang sama sekali di luar dugaan siapapun.

Tak tahan lagi Buyung Ciu-ti tersenyum, ia maju ke muka dan mencekal tangan Cia Hong-hong yang dingin, kemudian bisiknya lembut:

"Jangan kuatir, kali ini Hoa Sianseng tak bakal kalah!"

Bila ada dua orang jago lihay sedang bertempur, seringkali menang kalahnya hanya ditentukan di dalam satu jurus gebrakan belaka, cuma jurus yang menentukan menang kalah itu tidak selalu harus jurus pertama, mungkin pada jurus yang ke sekian puluh, mungkin juga pada jurus yang ke sekian ratus.

Sekarang pertarungan telah berlangsung lima puluh gebrakan, Hoa Sau-kun telah melancarkan tiga puluh tujuh jurus ,sebaliknya Cia Siau-hong hanya membalas tiga belas jurus.

Sebab mata pedangnya setiap waktu setiap saat selalu harus berusaha untuk menghindari tongkat kayu dari Hoa Sau-kun.

.......Apa yang menjadi tujuan serta cita-cita dari seorang pendekar pedang adalah mencari kemenangan, seringkali mereka tidak memperdulikan cara licik apapun yang musti dilakukan, yang penting tujuan tersebut berhasil diraih.

Cia Siau-hong tidak melakukan hal tersebut, karena ia terlalu angkuh, terlalu tinggi hati.

'Barangsiapa tinggi hati, dia pasti kalah'

Terbayang akan ucapan tersebut, Buyung Ciu-ti merasa hatinya makin gembira.

Pada saat itulah mendadak berkumandang memecahkan keheningan. "Plaaakk!", tongkat kayu itu menghantam di atas punggung pedang dan menggetarkan pedang Cia Siau-hong sehingga bergetar keras dan mencelat ke atas udara.

Cia Siau-hong mundur beberapa langkah dari situ dan kemudian mengucapkan dua patah kata yang selama ini belum pernah diucapkan olehnya:

"Aku kalah!"

Selesai mengucapkan kedua patah kata itu dia putar badan dan tanpa berpaling turun dari tanah gundukan tersebut.

Hoa Sau-kun tidak menghalangi, diapun tidak menyusulnya, justru Cia ciangkwe yang menyusulnya.

Si Boneka ingin menyusul pula, tapi Buyung Ciu-ti segera menarik tangannya sambil berkata dengan lembut:

"Mari ikut aku pulang, jangan lupa di tempatku sana masih ada seseorang yang menantikan kedatanganmu untuk merawatnya!"

Sementara itu pedang tersebut telah terjatuh ke tanah dan persis menancap di samping Cia Hong-hong dengan gagang pedang menghadap ke atas, asal dia menggerakkan tangannya, maka senjata tersebut segera akan tercabut olehnya, seakan-akan ada orang yang secara khusus mengirim kembali pedang itu kepadanya.

ooo)O(ooo

Cia Siau-hong telah pergi jauh, tapi Hoa Sau-kun masih berdiri di tempat tanpa berkutik barang sedikitpun jua.

Dalam pertarungan ini, ia telah mengalahkan Cia Siau-hong yang tiada tandingannya di kolong langit dan melampiaskan rasa dendam yang telah tertanam selama dua puluh tahun dalam dadanya, tapi tiada sinar kemenangan yang terpancar pada wajahnya, malah sebaliknya kelihatan begitu murung, sedih dan masgul.

Lewat lama sekali, pelan-pelan ia baru berjalan balik, langkah kakinya tampak sangat berat, seakan-akan sedang menghela seuntai rantai besi yang beratnya bukan kepalang.

Cia Hong-hong tidak bersorak gembira bagi kemenangan suaminya, diapun tidak mencabut pedang yang menancap di tanah, dengan mulut membungkam perempuan itu hanya maju ke depan dan menggenggam tangannya.

Ia dapat memahami perasaan suaminya, diapun mengerti kenapa suaminya kelihatan sedih dan masgul setelah berhasil meraih kemenangan dalam pertarungan itu.

"Kau sudah tidak menghendaki pedang itu lagi?", tiba-tiba Hoa Sau-kun bertanya.

"Pedang itu milik keluarga Cia, sedang aku sudah bukan anggota keluarga Cia lagi!"

Hoa Sau-kun memandang ke arahnya, pancaran sinar lembut dan terima kasih mencorong ke luar dari balik matanya. Lewat lama sekali, tiba-tiba ia berpaling ke arah Buyung Ciu-ti dan menjura dalam-dalam, katanya:

"Aku ingin memohon bantuan tentang sesuatu dari hujin!"

"Katakan saja!", ucap Buyung Ciu-ti.

"Bersediakah hujin buatkan sebuah tugu batu di sisi pedang tersebut?"

"Tugu? Tugu macam apa yang kau maksudkan?"

"Cantumkan di atas tugu tersebut yang mengatakan bahwa pedang itu pedang Sam sauya, barang siapa berani mencabutnya untuk dipergunakan, maka Hoa Sau-kun pasti akan memburunya kembali, bukan saja pedang itu akan ku buru kembali, bahkan akan ku buru pula batok kepalanya sekalipun ia kabur ke ujung langit, aku tetap akan mengejarnya sampai dapat!"

Kenapa ia melakukan hal itu bagi musuh besarnya? Tidakkah hal ini suatu peristiwa yang aneh?

Buyung Ciu-ti tidak bertanya, pun tidak merasa keheranan, segera sahutnya:

"Aku segera akan suruh orang buatkan tugu di sini, tak sampai setengah hari tentu sudah siap, cuma saja........"

"Kenapa?"

"Seandainya ada bocah nakal atau orang dusun yang kebetulan lewat di sini, lalu mencabut pedang tersebut dan membawanya kabur, bagaimana jadinya? Mereka toh tidak kenal dengan Sam sauya, tidak pula dengan Hoa sianseng, bahkan membaca tulisanpun belum tentu bisa, lantas apa yang musti dilakukan?"

Ia tahu bahwa Hoa Sau-kun belum sampai berpikir ke situ, maka diapun mengemukakan idenya:

"Biar kubangunkan sebuah gardu pedang di situ, lalu menyuruh orang menjaganya siang malam secara bergilir, entah bagaimana pendapat Hoa sianseng? Cocok dengan seleramu tidak!"

Cara tersebut memang terhitung cara yang paling bagus dan sempurna, kecuali rasa terima kasih dan terharu, apalagi yang bisa dikatakan Hoa Sau-kun?

Kembali Buyung Ciu-ti menghela napas sedih, katanya:

"Kadangkala aku betul-betul merasa tak habis mengerti, perduli apapun yang ia lakukan terhadap orang lain, orang lain selalu bersikap sangat baik kepadanya"

Hoa Sau-kun termenung dan berpikir sebentar, kemudian sahutnya:

"Ya, mungkin hal ini disebabkan karena dialah Cia Siau-hong!"

ooo)O(ooo

Di belakang bukit sana merupakan sebuah hutan pohon Hong dengan daunnya yang berwarna merah membara seperti api.

Baru saja Cia Siau-hong mencari sebuah batu untuk duduk, Cia ciangkwe telah menyusul ke sana, tiada peluh yang membasahi tubuhnya, napaspun tidak tersengal-sengal.

Setelah menjadi ciangkwe siapapun selama puluhan tahun dalam rumah makan, siapapun pasti akan berubah menjadi pandai bersandiwara, cuma siapa saja tentu akan tiba saatnya untuk lupa bersandiwara.

Hingga kini, Cia Siau-hong baru merasakan bahwa dirinya belum pernah sungguh-sungguh memahami orang tersebut.

Tak tahan ia bertanya kepada diri sendiri:

"........Aku pernah sungguh-sungguh memahami siapa, Buyung Ciu-ti? Ataukah Hoa Sau-kun?"

Cia ciangkwe menghela napas panjang, katanya:

"Sejak kecil sampai kau menjadi dewasa, aku selalu mendampingimu, tapi hingga sekarang aku baru menemukan bahwa sesungguhnya aku sendiripun tak tahu manusia macam apakah dirimu itu, setiap perbuatan yang kau lakukan seakan-akan tak pernah kufahami!"

Cia Siau-hong tidak memberitahukan kepadanya apa yang hendak ia ucapkan dalam hatinya, hanya dengan suara hambar dia bertanya:

"Persoalan apakah yang tidak kau fahami?"

Cia ciangkwe menatapnya lekat-lekat kemudian balik bertanya:

"Kau benar-benar kalah?"

"Kalah ya kalah, benar-benar atau tidak toh sama saja!"

"Bibi ya bibi, perduli ia telah kawin dengan siapapun tetap sama saja!", sambung Cia ciangkwe.

"Kalau kau sudah mengerti, itu lebih baik lagi!"

Cia ciangkwe menghela napas panjang lalu tertawa getir.

"Mengertipun tidak lebih baik, jadi orang memang lebih baik rada bodoh dan dungu!"

Tampaknya Cia Siau-hong enggan untuk melanjutkan pembicaraannya tentang persoalan itu, dengan cepat ia mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, tanyanya:

"Sebenarnya bagaimana ceritanya sehingga kau bisa sampai di sini?"

"Aku mendengar orang bilang kau berada di sini, maka tanpa berhenti ku larikan kuda menyusul kemari, sebelum kau berhasil kutemukan, nona Buyung telah menemukan diriku lebih dulu!"

"Kemudian?"

"Kemudian ia membawaku menuju ke rumah penginapan kecil di bawah tebing sana. Ketika ia pergi menjumpai dirimu, kami disuruh menunggu di luar, tentu saja kami tak berani sembarangan menerjang masuk ke dalam sana!"

"Bukankah kalian tak berani masuk karena kuatir mengganggu perbuatan baik kami?", tegur Cia Siau-hong dingin.

Cia ciangkwe segera tertawa getir.

"Terlepas dari semua persoalan, bagaimanapun jua hubungan kalian toh jauh lebih istimewa daripada orang lain"

Cia Siau-hong tertawa dingin tiada hentinya, tiba-tiba ia bangkit berdiri, lalu serunya:

"Sekarang kau telah bertemu denganku, sudah boleh pulang kau dari sini!"

"Kau tidak pulang?"

"Sekalipun aku hendak pulang, rasanya tak perlu kau membawakan jalan bagiku, aku masih cukup tahu jalan mana yang musti di tempuh untuk kembali ke rumah sendiri"

Cia ciangkwe menatapnya tajam-tajam, kemudian bertanya:

"Kenapa kau tidak pulang? Sesungguhnya kesulitan apakah yang terkandung di dalam hatimu sehingga enggan memberitahukannya kepada orang lain......?"

Cia Siau-hong tidak menjawab, ia telah bersiap-sedia untuk pergi meninggalkan tempat itu.

"Kau hendak pergi ke mana?", Cia ciangkwe segera bertanya, "apakah masih seperti waktu-waktu yang lalu, pergi bergelandangan dan menyiksa diri sendiri?"

Pada hakekatnya Cia Siau-hong sama sekali tidak memperdulikan kata-katanya lagi.

Mendadak Cia ciangkwe melompat bangun, lalu serunya dengan suara lantang:

"Aku sama sekali tak ingin mengurusi persoalanmu, tapi ada satu hal yang bagaimanapun jua musti kau urusi"

Akhirnya Cia Siau-hong memandang juga sekejap ke arahnya, kemudian bertanya:

"Urusan apakah itu?"

"Bagaimanapun juga kau tidak seharusnya membiarkan anakmu mengawini seorang pelacur!"

"Pelacur?", bisik Cia Siau-hong sambil menyipitkan matanya.

"Aku tahu dua bersaudara dari suku Biau itu adalah sahabatmu, akupun tahu bahwa mereka berdua adalah orang baik, akan tetapi......"

"Darimana kau bisa tahu tentang kesemuanya itu?", tukas Ciau Siau-hong cepat.

Sebelum Cia ciangkwe sempat buka suara, dari luar hutan kedengaran seseorang menimpali:

"Akulah yang memberitahukan kesemuanya itu kepadanya!"

Orang itu berada di luar hutan, suaranya masih amat jauh.

Secepat anak panah yang terlepas dari busurnya, Cia Siau-hong menyusup ke luar dari hutan dan mencekal tangan orang itu.

Tangan itu dingin sekali seperti seekor ular berbisa.........Bukankah Tiok Yap Cing adalah sejenis ular paling beracun di antara pelbagai jenis ular beracun yang ada?

"Kau belum mampus.....?", tegur Cia Siau-hong sambil tertawa dingin tiada hentinya.

Tiok Yap-cing tersenyum.

"Hanya bukan orang baik yang berumur panjang. Aku bukan orang baik-baik!"

"Kau ingin mampus?"

"Tidak ingin!"

"Kalau begitu lebih baik kau cepat angkat kaki dan menyingkir jauh-jauh dari sini, selama hidup jangan sampai berjumpa lagi denganku......"

"Sebetulnya aku memang hendak pergi, cuma ada sebuah hadiah yang musti kusampaikan terlebih dulu sebelum pergi meninggalkan tempat ini!"

"Hadiah apa?", sekali lagi kelopak mata Cia Siau-hong menyipit menjadi kecil sekali.

"Tentu saja hadiah perkawinan untuk nona suku Biau itu dengan Siau Te, apalagi perkawinan ini diselenggarakan oleh Buyung Ciau-ti hujin dengan Yu-liong-kiam-kek suami isteri sebagai saksi, bagaimanapun juga hadiah ini harus dihantar sampai ke tempat tujuannya"

Sesudah tersenyum, kembali ia bertanya:

"Apakah Sam-sauya pun berminat untuk mengirim hadiah kepadanya?"

Sepasang tangan Cia Siau-hong telah berubah menjadi dingin bagaikan es......

"Hujin menaruh belas kasihan atas nasib dan penderitaan yang dialami nona Biau-cu selama ini", kata Tiok Yap-cing kembali, "dia pun tahu bahwa Sam sauya amat menaruh belas kasihan kepada orang lain, maka akhirnya diputuskan untuk mengawinkannya kepada Siau Te"

Mendadak sepasang tangan Cia Siau-hong mengepal kencang.

Peluh dingin segera bercucuran membasahi wajah Tiok Yap-cing, buru-buru ujarnya kembali:

"Tapi aku tahu bahwa Sam sauya pasti tak akan setuju dengan perkawinan tersebut!"

Dengan merendahkan suaranya ia berkata lebih jauh:

"Cuma sejak kecil Siau Te pun mempunyai tabiat yang keras kepala, bila ada orang yang melarangnya mengerjakan sesuatu, mungkin ia malah sengaja melakukannya, oleh karena itu jika Sam sauya ingin menyelesaikan persoalan ini, cara yang terbaik adalah melenyapkan sang pembawa perkara!"

Ada semacam manusia tampaknya sejak dilahirkan telah berbakat untuk menyelesaikan persoalan rumit dari orang lain, tak bisa disangsikan lagi Tiok Yap-cing adalah manusia semacam ini.

Tanpa kobaran api, tak mungkin makanan apapun yang di masak dalam kukusan dapat matang, tanpa pengantin perempuan, tentu saja pesta perkawinan tak mungkin bisa diselenggarakan.

Sepasang tangannya yang mengepal kini telah mengendor, Cia Siau-hong kembali bertanya:

"Sekarang mereka berada di mana?"

Tiok Yap-cing menghembuskan napas panjang, sahutnya:

"Betul semua orang di kota ini tahu bahwa di sini ada seorang manusia yang bernama Toa-tauke, tapi tidak banyak yang pernah berjumpa dengannya, lebih-lebih lagi yang mengetahui tempat tinggalnya"

"Kau tahu?", Cia Siau-hong bertanya.

Sekali lagi Tiok Yap-cing memperlihatkan senyumannya.

"Untung saja aku tahu!"

"Mereka berada di situ?"

"Ciu Ji sianseng, Tam Ci-hui serta Yu-liong-kiam-khek suami isteri juga berada di situ, mereka semua amat setuju dengan perkawinan tersebut dan tak mungkin akan biarkan orang lain membawa kabur pengantin perempuannya!"

Setelah tersenyum ujarnya kembali:

"Untung saja mereka sudah lelah sekali, malam ini mereka pasti akan tertidur lebih awal, setelah malam tiba, asal ada aku yang membawa jalan, maka Sam sauya hendak pergi dengan membawa siapapun akan bisa kau lakukan dengan leluasa"

Cia Siau-hong menatapnya tajam-tajam, lalu berkata dingin:

"Kenapa kau musti menaruh perhatian yang begitu besar terhadap persoalan ini?"

Tiok Yap-cing menghela napas panjang.

"Aaaai......nona Biau-cu pasti menaruh kesan yang kurang baik kepadaku, sedangkan Siau Te justru adalah putra tunggal hujin, bila perkawinan ini jadi dilangsungkan, maka di kemudian hari aku kuatir tak akan ada kehidupan yang baik lagi bagiku!"

Setelah memandang sekejap mulut luka Cia Siau-hong, ia berkata lebih lanjut:

"Tapi penghidupanku sekarang masih terhitung lumayan, dalam setiap pelosok kota ini masih terdapat tabib pintar, masih ada arak bagus, dan aku mengetahui semuanya....."

ooo)O(ooo

Malam telah kelam.

Pelan-pelan Hoa Sau-kun merangkak bangun dari pembaringannya, mengenakan pakaian kemudian pelan-pelan membuka pintu dan berjalan keluar dari ruangan itu.

Cia Hong-hong sama sekali tidak tertidur, iapun tidak memanggilnya dan bertanya hendak ke mana ia pergi?

Ia cukup memahami perasaan suaminya, ia tahu dalam keadaan seperti ini ia pasti ingin berjalan-jalan seorang diri di tempat luaran.

Selama banyak tahun belakangan ini meski mereka amat jarang tidur bersama seperti hari ini, tapi setiap kali ia selalu dapat membuat istrinya merasa puas dan bahagia, terutama sekali pada hari ini, kelembutan dan kepuasan yang diberikan kepadanya, hakekatnya seperti pengantin baru saja........

Ia memang seorang suami yang baik, ia telah berusaha dengan keras untuk menunaikan semua kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai seorang suami, bagi seorang kakek yang telah berusia enam puluh tahun lebih, hal itu sudah terhitung tidak gampang.

Memandang bayangan punggungnya yang tinggi besar dan kekar itu berjalan ke luar dari ruangan, luapan terima kasih dan sayang menyelimuti perasaan perempuan itu. Ia berharap dirinyapun telah melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai seorang isteri dengan sebaik-baiknya, agar ia dapat hidup beberapa tahun lagi, dan melewatkan beberapa tahun penghidupan yang tenang dan penuh kegembiraan, melupakan perhatian dunia persilatan, melupakan Cia Siau-hong dan melupakan pertarungan di atas bukit tersebut.

Ia berharap di kala ia kembali nanti, semuanya telah terlupakan olehnya, ia sendiripun enggan untuk berpikir terlalu banyak.

Kemudian dalam kelelapan tersebut, iapun tertidur, tertidur lama sekali, tapi Hoa Sau-kun belum juga kembali.

ooo)O(ooo

Kebun bunga yang besar dan lebar berada dalam keheningan dan kegelapan luar biasa.

Seorang diri Hoa Sau-kun duduk dalam gardu persegi enam di luar jembatan Kui-ci-kiau, ia duduk lama sekali di sana.

Setelah melampaui suatu hubungan yang mesra dan penuh keriangan dengan istrinya, ia masih belum juga dapat tertidur.

Ia tak dapat melupakan pertarungan di atas bukit tersebut, perasaannya penuh diliputi penderitaan, penyesalan dan rasa sedih.

Malam semakin kelam, ketika ia hendak kembali ke kamarnya untuk tidur, tiba-tiba tampak sesosok bayangan manusia berkelebat lewat dari belakang bukit-bukitan sana, di atas bahunya seakan-akan membopong sesosok tubuh manusia.

Ketika ia menyusul ke situ, ternyata bayangan itu sudah lenyap tak berbekas.

Tapi dari gunung-gunungan sana, ia seakan-akan menangkap suara dari Tiok Yap-cing sedang berkata:

"Sekarang apakah kau telah percaya bahwa orang yang dibawa pergi olehnya itu adalah si Boneka?"

Suara Tiok Yap-cing masih penuh dengan nada pancingan, kembali katanya:

Tidak ada komentar: