Pendekar Gelandangan 038

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

38

"Pada malam ibumu tukar cincin, ia telah membawa kabur ibumu dari sisi tunangannya, dan sekarang ia membawa kabur binimu, bahkan aku sendiripun tidak habis mengerti, kenapa ia senang melakukan perbuatan semacam itu?"

"Tutup mulut!", tiba-tiba terdengar suara seorang pemuda membentak dengan penuh kegusaran.

Tentu saja pemuda tersebut adalah Siau Te.

Tiok Yap-cing tidak berusaha untuk tutup mulut, kembali ujarnya:

"Aku pikir saat ini mereka pasti telah kembali ke rumah si Boneka yang dulu, meskipun tempatnya kuno dan bobrok, tapi tenang dan bersih, mereka menyangka tak akan ada orang yang bisa menemukan mereka di situ, lebih baik kaupun ikut ke sana, sebab......."

Belum lagi ia menyelesaikan kata-katanya, sesosok bayangan tubuh telah meluncur ke luar dari balik gunung-gunungan secepat sambaran kilat.

Untung saja ketika itu Hoa Sau-kun telah melompat naik ke atas gunung-gunungan dan mendekam di atas puncaknya.

Ia kenali orang itu sebagai Siau Te, dan diapun kenali orang yang berjalan di belakangnya bukan lain adalah Tiok Yap-cing.

Tapi untuk sementara waktu ia masih belum menampakkan diri, karena ia telah bertekad untuk membongkar intrik keji ini hingga sama sekali terbuka.

Ia bertekad melakukan suatu perbuatan baik bagi Cia Siau-hong.

ooo)O(ooo

Sambil bergendong tangan Tiok Yap-cing berjalan cepat pelan-pelan menelusuri jalanan kecil dan dengan cepat menemukan ruangan tempat tidurnya yang bermandikan cahaya.

Ia tinggal dalam ruangan terpencil yang tak jauh letaknya dari gunung-gunungan itu, di luar bangunan tumbuh beratus-ratus batang bambu serta beberapa kuntum bunga seruni.

Bila kamar itu berlampu, berarti Ki Ling masih menantikan kedatangannya, hari itu setiap persoalan yang dilakukan seakan-akan semuanya berjalan lancar, ia berhak untuk menikmati malam itu dengan penuh kegembiraan dan keasyikan, bahkan mungkin diiringi dengan sedikit arak.

Pintu itu tak terkunci, orang yang tinggal di situpun tak perlu mengunci pintu, sebab dikuncipun tak ada gunanya.

Ia telah membayangkan bagaikan Ki Ling dengan tubuhnya yang bugil sedang berbaring di atas pembaringan menantikan kedatangannya, tapi tidak mengira kalau masih ada seseorang yang lain berada di situ.

Ternyata Ciu Ji sianseng pun sedang menantikan kedatangannya.

Di depan lampu ada arak, arak tersebut sudah habis di minum, agaknya tak sedikit yang diminum Ciu Ji sianseng, berarti pula sudah lama ia menanti di situ......

Duduk di sampingnya sambil menuang arak adalah Ki Ling.

Ia sama sekali tidak telanjang bulat, ia mengenakan pakaian, bahkan mengenakan dua stel.

Tapi, meskipun mengenakan dua stel pakaian, sekalipun digabungkan juga tak lebih tipis daripada selapis kabut.

"Ooooh.....tak kusangka kalau Ciu Ji sianseng pun pandai menikmati suasana", tegur Tiok Yap-cing sambil tertawa.

Ciu Ji sianseng meletakkan cawan araknya, kemudian berkata:

"Sayang sekali arak ini arakmu, perempuan itupun perempuanmu, sekarang kau telah kembali, maka setiap waktu setiap saat kau boleh menerimanya kembali"

"Oooh, tak perlu!"

"Tak perlu?"

Tiok Yap-cing tertawa, ujarnya:

"Sekarang arak itu arakmu dan perempuan itu perempuanmu, tak ada salahnya kalau kau memakainya dan menikmatinya pelan-pelan!"

"Dan kau sendiri......?"

"Aku akan menyingkir"

Ternyata ia benar-benar hendak menyingkir dari situ.

Ciu Ji sianseng memandang ke arahnya, rasa kaget, tercengang dan curiga menyelimuti sorot matanya, menanti ia saksikan orang sudah akan keluar dari pintu, tiba-tiba serunya dengan keras:

"Tunggu sebentar!"

Tiok Yap-cing segera berhenti sambil bertanya:

"Masih ada perkataan apa lagi yang hendak kau katakan?"

"Aku hanya ingin berkata sepatah kata saja!"

Tiok Yap-cing memutar badannya menghadap ke arahnya dan menantikan jawabannya.

Ciu-ji sianseng menghela napas panjang, katanya:

"Ada sementara persoalan sebetulnya tidak pantas untuk kutanyakan kepadamu, tapi aku amat ingin tahu sebenarnya manusia macam apakah kau ini? Dan sesungguhnya jalan pikiran apakah yang mendekam dalam ingatanmu itu.....?"

Tiok Yap-cing kembali tertawa, katanya:

"Aku tidak lebih hanya seorang manusia yang gemar bersahabat, terutama sekali bersahabat dengan seorang teman seperti kau!"

Ciu Ji sianseng pun ikut tertawa.

Wajahnya masih tertawa, tapi kelopak matanya telah menyurut kecil, kembali ia bertanya:

"Masih ada berapa orang sahabatmu lagi yang telah kau jual?"

"Hei, apa yang sedang kau katakan?", seru Tiok Yap-cing hambar, "sepatah katapun tidak kufahami?"

"Semestinya kau mengerti, karena hampir saja kau menghianati diriku satu kali!"

Ia tidak memberi kesempatan bagi Tiok Yap-cing untuk buka suara, kembali katanya:

"Hek-sat sebetulnya temanmu pula, tapi kau telah mempergunakan Mao It-leng untuk membunuh mereka. Tam Ci-hui, Liu Kok-tiok, Hok-kui-sin-sian-jiu serta hweesio tua itu bila datang membantu tepat pada saat yang telah direncanakan, Mao It-leng pun tidak akan sampai mati, tapi kau sengaja melepaskan tanda terlalu lambat, karena kau masih ingin meminjam tangan Cia Siau-hong untuk membunuh Mao It-leng"

Tiok Yap-cing tidak membantah, pun tidak mendebat, ia malah menarik sebuah bangku dan duduk dengan santai sambil mendengarkan pembicaraan tersebut.

Ciu Ji sianseng berkata lebih jauh:

"Siau Te sebenarnya juga sahabatmu, tapi kau telah menjualnya kepada Cia Siau-hong, sekalipun Cia Siau-hong tidak tega membunuhnya, tapi mungkin ia akan menumbukkan kepalanya sendiri ke atas dinding, apalagi melihat perempuannya sendiri dibawa kabur orang. Hmm...., kecuali kau yang sanggup menahan diri dalam keadaan semacam ini, tak ada orang lain yang bisa berpeluk tangan belaka semacam kau!"

Tangannya telah meraba gagang pedang di meja, katanya lebih lanjut:

"Oleh karena itu sengaja aku hendak bertanya kepadamu, sampai kapan kau baru akan menghianatiku? Dan kepada siapa akan hendak kau jual?"

Tiok Yap-cing kembali tertawa, sambil berdiri dan menoleh ke jendela, ujarnya:

"Di luar udara dingin mencekam, Hoa sianseng, kalau toh sudah kemari, kenapa tidak masuk untuk minum dulu beberapa cawan arak?"

ooooOOOOoooo

Bab 18. Senyuman Di Balik Pisau

Daun jendela tidak bergerak, pintupun terbuka sendiri tanpa hembusan angin.

Lewat lama sekali, pelan-pelan Hoa Sau-kun baru berjalan masuk lewat ke dalam.

Empat puluh tahun berselang, sudah beratus-ratus kali pertarungan yang pernah ia alami, entah sudah berapa kali pula dipecundangi orang.

Hingga kini ia masih dapat hidup, hal ini disebabkan ia adalah seorang manusia yang selalu waspada dan berhati-hati.

Ditatapnya Tiok Yap-cing dengan dingin lalu katanya:

"Sebenarnya aku tak pantas datang, tapi sekarang telah datang, kata-kata semacam itu semestinya tak pantas kudengar, tapi sekarang telah kudengar, maka dari itu akupun ingin bertanya kepadamu, sesungguhnya manusia macam apakah kau ini? Perhitungan apa yang sesungguhnya telah kau rencanakan dalam hatimu?"

Tiok Yap-cing tersenyum, sahutnya:

"Aku tahu bahwa pada malam ini Hoa sianseng tentu tak dapat tidur, kau tentu masih teringat dengan pertarungan pagi tadi, maka sedari tadi aku sudah berencana untuk menghantar arak wangi bagi Hoa sianseng untuk menghilangkan kemasgulan dan kekesalan hatimu!"

Jawaban yang sama sekali tiada hubungan dengan apa yang ditanyakan tadi, seakan-akan ia tidak mendengar apa yang diucapkan Hoa Sau-kun barusan dan telah membebaskan dirinya secara mudah dari semua tuduhan yang dilontarkan kepadanya tadi.

Betul juga, paras muka Hoa Sau-kun segera berubah hebat, dengan suara lantang bentaknya:

"Kenapa aku tak bisa tidur? Kenapa aku musti menghilangkan kemasgulan dan kemurungan?"

"Sebab Hoa sianseng adalah seorang kuncu, seorang laki-laki sejati!"

Tiba-tiba senyuman di bibirnya berubah menjadi penuh kelicikan dan sindiran, ia menambahkan:

"Cuma sayang, kaupun bukan betul-betul seorang kuncu sejati!"

Sepasang tangan Hoa Sau-kun telah gemetar keras, jelas ia sedang berusaha keras untuk mengendalikan hawa amarahnya.

"Siapakah yang menang dan siapa yang kalah dalam pertarungan pagi tadi, aku pikir kau pasti lebih jelas dari pada siapapun"

Tangan Hoa Sau-kun gemetar semakin keras, tiba-tiba ia menyambar separuh guci arak di meja dan sekaligus meneguknya sampai habis.

"Jika kau adalah seorang kuncu sejati, kau sudah mengakui kekalahanmu ketika berada di hadapan binimu tadi"

Hoa Sau-kun mengepal sepasang tangannya kencang-kencang, kemudian katanya dengan suara gemetar:

"Lanjutkan kata-katamu!"

"Bila kaupun seperti aku, seorang manusia siaujin yang tulen, maka tak akan kau pikirkan persoalan semacam itu dalam hati, sayang sekali kaupun bukan seorang siaujin tulen, oleh karena itu hatimu baru menderita dan tersiksa karena merasa malu, menyesal dan merasa dirimu telah berbuat kesalahan kepada Cia Siau-hong!"

Setelah berhenti sebentar, dengan suara dingin ia melanjutkan:

"Maka dari itu bila sekarang ada orang bertanya kepadamu, manusia macam apakah sesungguhnya dirimu, maka tiada halangan bagimu untuk memberitahu kepadanya bahwa kau bukan saja seorang kuncu gadungan, kau merupakan juga seorang munafik!"

Hoa Sau-kun menatapnya tajam-tajam kemudian selangkah demi selangkah maju menghampirinya sambil berkata:

"Benar, aku adalah manusia munafik, tapi aku toh sama saja dapat membunuh orang!"

Tiba-tiba suaranya menjadi kabur dan tidak jelas, sorot matanya ikut membuyar dan menjadi sayu dan kuyu.........

Menyusul kemudian iapun roboh terkapar di tanah.

Dengan terkejut Ciu Ji sianseng memandang ke arahnya, dia ingin bergerak namun tidak bergerak sedikitpun.

"Bukankah kau tidak habis mengerti kenapa secara tiba-tiba ia bisa roboh terkapar?", tanya Tiok Yap-cing tiba-tiba.

"Dia mabuk.......?"

"Dia sudah merupakan seorang kakek yang bertubuh lemah, apalagi minum arak begitu cepat, seandainya dalam arak itu tidak kucampuri dengan obat pemabuk, mungkin ia masih belum roboh juga"

"Obat pemabuk?", seru Ciu Ji sianseng dengan paras muka hebat.

"Walaupun obat pemabuk jenis ini berbau keras dan rasanya getir, namun bila dicampurkan ke dalam arak Tiok Yap-cing yang berusia tua, maka tidaklah gampang untuk membedakannya, aku telah mencobanya beberapa kali dan setiap kali rasanya cukup mendatangkan hasil yang diharapkan"

Tiba-tiba Ciu Ji sianseng membentak gusar, dia ingin menubruk ke depan, tapi tubuhnya segera menumbuk meja hingga jatuh tertelungkup.

Tiok Yap-cing tersenyum, katanya:

"Padahal kaupun mestinya dapat membayangkan sendiri sebagai seorang siaujin semacam aku, masa dapat memberikan arak sebagus ini untuk dinikmati orang lain?"

Ciu Ji sianseng yang tergeletak di tanah berusaha untuk berpegangan di sisi meja dan bangun berdiri, tapi baru saja bangun kembali ia sudah roboh ke tanah.

"Sesungguhnya akupun musti berterima kasih kepadamu", kata Tiok Yap-cing kembali, "Hoa Sau-kun sudah tersohor karena ketelitian serta kewaspadaannya, andaikata ia tidak melihatmu minum arak tersebut, tak nanti dia akan minum juga arak tersebut, siapa tahu justru karena kau minum arak amat lambat, maka obat pemabuk itu baru bekerja pada saat ini........"

Ciu Ji sianseng merasa ucapannya itu kian lama kian bertambah jauh, orang yang berdiri di hadapannya pun makin lama semakin jauh, kemudian apapun tak terdengar lagi olehnya, dan apapun tidak terlihat lagi olehnya.

Tiba-tiba Ki Ling menghela napas panjang, katanya sambil tertawa getir:

"Sebetulnya aku mengira ambisimu tak lain hanya ingin menjatuhkan Toa-tauke belaka, tapi sekarang.........sekarang bahkan aku sendiripun tak tahu manusia apakah sebetulnya dirimu ini dan apa saja yang kau rencanakan dalam hatimu?"

"Ya, selamanya kau tak akan tahu!", Tiok Yap-cing tertawa.

ooo)O(ooo

Ketika Cia Hong-hong terbangun dari impian buruknya, seluruh badannya basah kuyup oleh keringat dingin.

Dalam mimpinya ia saksikan suaminya pulang dan berdiri di depan pembaringan dengan tubuh berlumuran darah, darah itu menindih tubuhnya hingga membuat ia tak sanggup bernapas.

Ketika ia tersadar kembali hanya kegelapan yang menyelimuti sekitar tempat itu, lampu yang disulut suaminya tadi kini telah padam.

Bab 19. Keturunan Keluarga Kenamaan

Dalam ruangan tiada cahaya lampu, seorang diri Cia Siau-hong duduk dalam kegelapan, duduk di atas kursi di mana tempat itu selalu mereka kosongkan bila sedang bersantap dan khusus disediakan buat tuan putri.

......Semenjak dilahirkan, semestinya dia adalah seorang tuan putri, bila bertemu dengannya, maka kau pasti akan menyukainya, kami merasa bangga karena dia.

Api dalam tungku telah padam, bahkan abupun telah dingin.

Dapur nan sempit dan kecil, selamanya tak akan memancarkan kehangatan lagi seperti dulu, bau harum kuah daging yang dapat menghangatkan badan sampai ke lubuk hatipun selamanya tak akan terendus kembali.

Tapi di tempat itulah ia pernah merasakan kepuasan dan ketentraman yang sebelumnya tak pernah ia rasakan atau jumpai.

......Aku bernama A-kit, A-kit yang tak berguna.

......Hari ini tuan putri kita pulang makan, kita semua akan mendapat daging untuk bersantap, setiap orang akan mendapatkan sepotong daging, sepotong daging yang besar, besar sekali.

Ketika daging dihidangkan, sorot mata setiap orang mencorong tajam, setajam sinar pedang.

Cahaya pedang berkelebat lewat, hawa pedang memancar ke empat penjuru, darah berhamburan ke mana-mana dan musuh besar roboh tak bernyawa.

......Aku adalah Sam sauya dari keluarga Cia, akulah Cia Siau-hong.

......Akulah Cia Siau-hong yang tiada keduanya dalam dunia ini.

Sesungguhnya siapakah di antara kedua orang ini yang jauh lebih gembira dan bahagia?

A-kit? Atau Cia Siau-hong?

ooo)O(ooo

Pelan-pelan pintu didorong orang, sesosok bayangan tubuh yang ramping dan halus masuk ke dalam.

Tempat itu adalah rumahnya, ia sangat hapal dengan setiap macam benda yang berada di sana, sekalipun tidak melihatnya, iapun dapat merasakannya.

Orang yang membawanya pulang adalah seorang laki-laki asing yang bertubuh gemuk, tapi memiliki ilmu meringankan tubuh yang jauh lebih enteng daripada seekor burung walet, mendekam di atas tubuhnya bagaikan berjalan di atas awan.

Ia tidak kenal dengan orang itu.

Ia mau mengikutinya karena ia berkata ada orang sedang menantikannya, lantaran orang yang menunggu dirinya adalah Cia Siau-hong.

Pelan-pelan Cia Siau-hong bangun berdiri lalu berkata:

"Duduklah!"

Tempat itu khusus mereka sediakan baginya, bila ia pulang maka tempat itu sepantasnya diberikan kepadanya.

Siau-hong masih ingat, ketika untuk pertama kalinya melihat dia duduk di kursi itu dengan rambut yang hitam dan panjang terurai di bahu, sikapnya yang lembut dan anggun itu mengingatkan kita kepada seorang Tuan Putri sungguhan.

Waktu itu ia hanya berharap sebelum perjumpaan tersebut mereka tak pernah berkenalan, ia berharap perempuan itu adalah seorang tuan putri sungguhan.

.......Bagaimanapun juga kau tak dapat membiarkan keturunan keluarga Cia mengawini seorang pelacur sebagai istrinya.

.......Ya, Pelacur! Lonte!

Tanpa terasa ia terbayang lagi kembali kejadian ketika pertama kali bertemu dengannya, teringat pula rasa panas yang memancar ke luar dari selangkangan si nona ketika tangannya menekan tempat 'itu' nya, terbayang pula olehnya liuk-liuk tubuhnya ketika berbaring di tanah sambil memamerkan seluruh bagian tubuhnya yang terlarang itu.....

.......Aku baru berusia lima belas tahun, cuma saja tampaknya jauh lebih besar dari orang lain.

Siau Te masih seorang bocah.

.......Tak ada orang yang suka melakukan pekerjaan semacam itu, tapi setiap orang membutuhkan hidup, setiap orang perlu makan.

.......Gadis itu adalah satu-satunya harapan bagi ibunya dan kakaknya, ia harus memberi daging untuk mereka.

Tapi Siau Te baru berusia lima belas tahun, Siau Te adalah darah daging keluarga Cia.

Si Boneka telah duduk, ia duduk seperti seorang tuan putri sungguhan, sepasang matanya yang jeli memancarkan sinar terang di tengah kegelapan itu.

Cia Siau-hong sangsi sejenak, akhirnya ia berkata:

"Aku telah berjumpa dengan toako-mu!"

"Aku tahu!"

"Agaknya luka yang dideritanya telah mulai sembuh, sekarang tak nanti ada orang akan pergi mencarinya lagi!"

"Aku tahu!"

"Aku kuatir kau merasa kurang leluasa, maka kusuruh Cia ciangkwe untuk menjemputmu"

"Aku tahu!"

Tiba-tiba si Boneka tertawa lebar, katanya lebih jauh:

"Akupun tahu kenapa kau membawaku ke mari"

"Kau tahu?", tanya Cia Siau-hong keheranan.

"Ya, kau minta aku kemari karena tak boleh kawin dengan Siau Te!"

Ia masih tertawa.

Pelan-pelan ia berkata lebih lanjut:

"Karena kau merasa aku tak pantas untuk mendampinginya, kau sangat baik kepadaku, memperhatikan diriku, semuanya itu tak lebih karena kau kasihan kepadaku, menaruh belas kasihan kepadaku, tapi dalam hati sesungguhnya sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadaku"

"Aku......."

"Kau tak perlu memberi penjelasan kepadaku," tukas si Boneka, "aku cukup mengerti tentang keadaan yang sedang kuhadapi, orang yang benar-benar kau sukai masih tetap Buyung hujin tersebut, karena ia memang ditakdirkan bernasib seorang nyonya besar, karena ia tak perlu menjual diri untuk membiayai hidup keluarganya, ia tak perlu menjadi seorang pelacur...........!"

Air matanya jatuh bercucuran amat deras, mendadak sambil menangis tersedu-sedu, katanya:

"Tapi tak pernahkah kau berpikir bahwa pelacurpun manusia, pelacurpun berharap bisa memperoleh pasangan yang baik, berharap ada orang yang benar-benar mencintainya"

Cia Siau-hong merasa hatinya amat sakit, seperti ditusuk-tusuk dengan pisau, setiap ucapannya seakan-akan sebatang jarum yang menghujam ulu hatinya.

Tak tahan lagi ia maju menghampirinya dan membelai rambutnya yang lembut, dia ingin menghibur dengan kata-kata yang lembut, tapi ia tak tahu bagaimana harus berkata.

Si Boneka tak kuasa menahan dirinya lagi, ia menubruk ke dalam pelukannya dan menangis tersedu-sedu.

Baginya, bisa berbaring dalam pelukannya sudah merupakan suatu penghiburan yang paling besar baginya.

Tidak ada komentar: