Pendekar Gelandangan 039

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

39

Cia Siau-hong pun tahu, bagaimanapun jua ia tak tega untuk menyingkirkan gadis itu dari pelukannya.

"Tiba-tiba....."Blaaang!", pintu di dorong orang keras-keras, seorang pemuda berwajah pucat tahu-tahu muncul di luar pintu, sorot matanya penuh pancaran rasa sedih, menderita dan penuh kebencian.

Siapa yang tahu berapa besarkah kekuatan dari suatu dendam sakit hati, sehingga membuat orang melakukan berapa banyak peristiwa yang menakutkan?

Siapa tahu kesedihan yang sebenarnya bagaimana rasanya?

Mungkin Siau Te telah mengetahuinya.

Mungkin Cia Siau-hong juga telah mengetahuinya.

ooo)O(ooo

Mayat Hoa Sau-kun ditemukan orang satu jam berselang dalam gardu persegi enam.

Tenggorokannya sudah digorok orang hingga kutung, bajunya, tangannya dan jenggotnya penuh berlepotan darah.

Tak seorangpun yang bisa membayangkan bagaimanakah rasa sedih, menderita dan gusar yang mencekam perasaan Cia Hong-hong sewaktu menjumpai mayat suaminya.

Dalam waktu singkat ia seakan-akan berubah menjadi seekor binatang liar yang sedang kalap.

Ia menangis meraung-raung, berteriak seperti orang histeris, mencakar muka sendiri, menarik rambut sendiri, kalau bisa ia hendak mencabik-cabik tubuh sendiri, lalu membakarnya dengan api lalu menumbuknya menjadi bubuk dan memusnahkannya dari muka bumi.

Ada tujuh-delapan pasang tangan yang kuat menahan tubuhnya, hingga satu jam kemudian ia baru dapat menenangkan kembali hatinya.

Namun air mata masih jatuh bercucuran dengan deras.

Hubungan suami isteri yang berlangsung selama dua puluh tahun, senang sama dicicipi, sengsara sama di atasi, hubungan batin tersebut hakekatnya telah meresap hingga ke dalam lubuk hati.

......Sekarang ia telah menjadi tua, kenapa ia musti mati duluan? Kenapa ia harus mati dalam keadaan yang mengenaskan?

Kesedihan yang melewati batas ini tiba-tiba saja berubah menjadi dendam kesumat, katanya mendadak dengan suara dingin:

"Kalian lepaskan aku, biarkan aku duduk sendiri!"

ooo)O(ooo

Fajar sudah hampir menyingsing, lentera meja masih memancarkan sinarnya dan menerangi wajah Buyung Ciu-ti, paras mukanyapun tampak pucat pias.

Cia Hong-hong telah duduk dihadapannya, air mata telah mengering, yang masih tertinggal di balik matanya hanya dendam kesumat.

Kesedihan yang sungguh-sungguh melewati batas dapat membuat orang menjadi gila, dendam kesumat yang betul-betul meresap ke tulang dapat membuat orang menjadi tegang.

Dengan pandangan dingin, dia awasi sinar lampu yang berkedip-kedip, lalu tiba-tiba berbisik:

"Aku keliru, kaupun keliru!"

"Mengapa kau keliru?"

"Karena kita semua telah tahu bahwa pertarungan pagi tadi bukan dimenangkan Hoa Sau-kun, melainkan oleh Cia Siau-hong, tapi kita semua tidak mengutarakan keluar!"

Buyung Ciu-ti tak dapat menyangkal.

Seandainya pedang Cia Siau-hong betul-betul mencelat karena getaran tenaga, maka tak nanti senjata tersebut akan menancap persis di samping Cia Hong-hong.

Ia dapat meminjam tenaga getaran orang untuk mengembalikan pedang tersebut ke tangan Cia Hong-hong, tenaga serta kemampuan semacam itu pada hakekatnya telah digunakan secara jitu dan hebat.

"Sebetulnya bukan saja Cia Siau-hong dapat mengalahkannya, diapun dapat membunuhnya!", kata Cia Hong-hong lebih lanjut, "tapi Cia Siau-hong tidak berbuat demikian, maka orang yang membunuhnya pasti bukan Cia Siau-hong"

Buyung Ciu-ti tak dapat menyangkal akan kebenaran ucapan tersebut.

Cia Hong-hong menatapnya tajam-tajam, kemudian berkata lagi:

"Oleh karena itu aku ingin bertanya kepadamu, kecuali Cia Siau-hong, masih ada siapakah di tempat ini yang sanggup menggorok kutung lehernya dengan pedang?"

Buyung Ciu-ti termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, lewat lama sekali baru sahutnya:

"Hanya ada seorang!"

"Siapa?"

"Dia! Dia sendiri!"

Cia Hong-hong menggenggam tangan sendiri kencang-kencang, jari-jari tangannya sampai menembusi telapak tangan sendiri, serunya dengan suara tergagap:

"Maksudmu......maksudmu dia.......dia bunuh diri?"

"Ehmmm, begitulah!"

Sekali lagi Cia Hong-hong gelengkan kepalanya berulang kali, teriaknya dengan suara keras:

"Tidak mungkin, hal ini tidak mungkin, demi aku tak nanti ia akan berbuat demikian!"

Buyung Ciu-ti menghela napas panjang.

"Aaaaiii....siapa tahu kalau ia justru berbuat demikian demi dirimu?"

Sebelum perempuan itu menjawab, ia telah berkata lebih jauh:

"Karena ia telah tahu, bahwa kaupun mengetahui bila orang yang betul-betul kalah adalah dia, kau tak tega mengatakannya keluar, dia sendiri tentu saja lebih baik tak berkeberanian untuk menceritakannya keluar, penghinaan, penderitaan serta rasa malu itu selalu menyiksa hatinya, sekalipun ia gagah dan keras hati, tapi lama kelamaan mana sanggup untuk mempertahankan diri?"

Cia Hong-hong menundukkan kepalanya rendah-rendah, ia berbisik:

"Tapi......."

"Tapi kalau tiada Cia Siau-hong, diapun tak akan mati", Buyung Ciu-ti melanjutkan.

Ia sendiri adalah seorang perempuan, tentu diapun memahami perasaan seorang perempuan.

Bila kaum perempuan sedang sedih dan marah dan kebetulan rasa sedih serta marahnya tiada tempat pelampiasan, seringkali semua hal tersebut akan dilampiaskan kepada orang lain.

Betul juga, Cia Hong-hong segera mendongakkan kepalanya, lalu berkata:

"Cia Siau-hong sendiripun cukup mengetahui wataknya, mungkin ia telah memperhitungkan sampai ke situ, maka ia sengaja berbuat demikian!"

Buyung Ciu-ti menghela napas panjang, katanya:

"Aaaaii.....berbicara sesungguhnya, keadaan semacam ini bukannya tidak mungkin terjadi"

Lompatan kobaran api memancar ke luar dari balik mata Cia Hong-hong, ia menatap lama sekali wajah perempuan itu, tiba-tiba serunya:

"Konon aku dengar kau seorang yang mengetahui titik kelemahan dalam ilmu pedang Cia Siau-hong"

Buyung Ciu-ti tertawa getir.

"Aku memang tahu, tapi apa gunanya sekalipun aku mengetahuinya?"

"Kenapa tak berguna?"

"Sebab kekuatanku tidak cukup hebat, kecepatan gerakkupun tidak cukup meyakinkan, sekalipun dengan jelas ku tahu dimana letak titik kelemahan tersebut, menunggu serangan tersebut kulancarkan, mungkin keadaan sudah tidak sempat lagi"

Setelah menghela napas panjang, ia berkata kembali:

"Seperti juga walaupun dengan jelas kulihat ada seekor burung gereja di atas pohon, tapi menunggu aku memanjat pohon dan ingin menangkapnya, burung tersebut sudah keburu terbang"

"Tapi paling tidak kau sudah tahu cara menangkap burung gereja itu, bukan?", seru Cia Hong-hong.

"Ehm, benar!"

"Sudahkah kau beritahukan rahasia ini kepada orang lain?"

"Hanya memberitahukan kepada seseorang karena hanya pedang miliknya yang sanggup menghadapi Cia Siau-hong!"

"Tapi siapakah orang itu?"

"Yan Cap-sa!"

ooo)O(ooo

Siau Te telah putar badan menerjang keluar, tanpa mengucapkan sepatah katapun ia putar badan dan kabur dari situ.

Dengan mata kepala sendiri ia saksikan mereka berangkulan, saling berpelukan dengan mesra, dalam keadaan begini, apa lagi yang dapat ia katakan.

.......Sekalipun kejadian yang disaksikan dengan mata kepala sendiri, belum tentu hal itu merupakan kenyataan.

Ia belum sempat memahami ucapan tersebut, pun tak ingin mendengarkan penjelasan itu, dia hanya ingin menyingkir sejauh-jauhnya, makin jauh semakin baik.

Karena ia merasa dirinya telah tertipu, hatinya telah terluka, sekalipun terhadap si Boneka ia tak menaruh rasa cinta, tapi gadis itupun tidak seharusnya menghianati dia, lebih-lebih Cia Siau-hong, tidak seharusnya ia berbuat begini.

Cia Siau-hong dapat memahami perasaan hatinya sekarang.

Sebab ia pernah tertipu, pernah juga terluka hatinya, diapun pernah menjadi seorang pemuda berdarah panas yang keras hati dan penuh kobaran emosi.

Dengan cepat ia mengejar keluar, dia tahu Cia ciangkwe dapat merawat si Boneka baginya, dan ia sendiri harus baik-baik mengawasi Siau Te.

Hanya dia seorang yang dapat melihat kelemahan dalam perasaan pemuda yang tampaknya keras hati dan dingin tersebut.

Maka dia harus melindunginya, tidak membiarkan ia menerima penderitaan maupun siksaan lagi.

Walaupun Siau Te tahu bahwa ia mengikuti di belakangnya, namun ia sama sekali tak berpaling.

Ia tak ingin berjumpa lagi dengan orang itu, tapi diapun tahu jika Cia Siau-hong telah bertekad untuk menguntil seseorang, maka siapapun kau jangan harap bisa lolos dengan begitu saja.

Cia Siau-hong tidak buka suara.

Karena diapun tahu bila pemuda tersebut telah bertekad tak akan mendengarkan penjelasan orang, perduli apapun yang kau katakan kepadanya juga percuma.

ooo)O(ooo

Fajar telah menyingsing langit terang benderang dan sinar emas memancar ke empat penjuru.

Dari lorong yang sempit mereka menuju ke jalan yang ramai, dari jalanan yang ramai memasuki pinggiran kota yang sepi, lalu dari pinggiran kota yang sepi menuju ke jalan raya menuju ke luar kota.

Di atas jalan raya, para pejalan kaki sedang melakukan perjalanan masing-masing dengan cepat dan tergesa-gesa.

Kini masa panen telah lewat, inilah saatnya semua orang memperhitungkan untung ruginya setelah membanting tulang sepanjang tahun.

Ada sebagian orang yang buru-buru membawa pulang hasil jerih payah mereka untuk dinikmati bersama keluarganya.

Ada pula yang membawa pulang hati yang kesal, badan yang penat serta segudang hutang.

Tak tahan Cia Siau-hong bertanya kepada diri sendiri.

........Apakah selama setahun ini ia giat menanam budi kebaikan? Lalu apa hasilnya?

........Sepanjang setahun ini adalah aku merugikan orang lain, ataukah orang lain yang telah merugikan dirinya?

Ia tak sanggup memberi jawabannya.

Ada sementara hutang yang sesungguhnya memang tak mungkin bisa diselesaikan oleh siapapun.

ooo)O(ooo

Tengah hari menjelang tiba.

Mereka telah masuk kembali dalam sebuah kota dan menelusuri sebuah jalan yang teramat ramai di kota tersebut.

Meskipun berbeda kota, tapi manusianya adalah sama saja, mereka bekerja keras demi nama dan kedudukan, merekapun dibikin pusing oleh dendam ataupun perselisihan.

Tanpa terasa Cia Siau-hong menghela napas panjang, ketika mendongakkan kepalanya, ia baru menyaksikan Siau Te telah berhenti dan sedang memandang ke arahnya dengan dingin.

Ia berjalan menghampirinya, tapi sebelum bersuara, tiba-tiba Siau Te bertanya:

"Selama ini kau mengikuti terus diriku, apakah karena kau telah bertekad untuk baik-baik merawat dan memperhatikan diriku?"

Cia Siau-hong mengakuinya.

Secara tiba-tiba ia menemukan bahwa Siau Te memahami perasaannya, seperti juga ia memahami perasaan Siau Te.

"Aku sudah lelah sekali melakukan perjalanan, lagi pula laparnya setengah mati", kata Siau Te lagi.

"Kalau begitu mari kita bersantap!"

"Bagus sekali!"

Di mana ia berhenti adalah persis di bawah merek emas dari Cong-goan-lo.

Baru saja putar badan, ciangkwe gemuk yang bermuka hok-kie itu telah membungkukkan badan kepada mereka sambil tersenyum simpul.

"Siapkan delapan hidangan panas, empat masakan barang berjiwa, empat macam masakan barang tak berjiwa, siapkan dulu delapan piring kecil untuk teman minum arak, lalu hidangkan enam macam hidangan utama. Udang bago, Yan-oh, H-sit, ayam lengkap, bebek lengkap, semuanya siapkan komplit, jangan ada semacampun yang ketinggalan."

Itulah sayur yang dipesan oleh Siau Te.

Sambil tersenyum dan bungkukkan badan memberi hormat, ciangkwe gemuk itu segera menyahut:

"Bukannya siaujin bicara ngibul, kecuali rumah makan kami, jangan harap bisa ditemukan hidangan sekomplit ini dalam waktu yang begini tergesa-gesa di tempat lain"

"Ya, asal hidangan bisa dibikin sebaik mungkin dan secepat mungkin, uang persen tak akan lupa"

"Entah berapa orang tamu yang hendak di undang? Sampai kapan baru tiba di sini?"

"Tak ada tamu lainnya"

"Hanya kalian berdua?", ciangkwe gemuk itu melototkan sepasang matanya bulat-bulat, "kenapa memesan sayur begini banyaknya?"

"Asalkan aku lagi senang, tidak habis di makan, mau dibuang ke pecomberan pun urusanku, buat apa kau turut campur?"

Ciangkwe gemuk itu tak berani bersuara lagi, dengan munduk-munduk ia lantas mengundurkan diri dari situ.

Tapi saat itulah dari meja lain kedengaran ada orang sedang tertawa dingin sambil menyindir:

"Heeeeehhhh....... heeeeehhhhh........ heeeeehhhhh..... entah bocah keparat itu lagi kaya mendadak? Ataukah sudah kelaparan hingga mendekati sinting?"

Siau Te seakan-akan tak mendengar sindiran tersebut, hanya gumamnya seorang diri:

"Sayur-sayur itu merupakan hidangan kegemaranku, cuma sayang dihari-hari biasa tidak mudah bagiku untuk menikmatinya!"

"Asal kau lagi gembira, bisa makan berapa banyak makanlah!", Cia Siau-hong menimpali.

Tak seorang manusiapun dapat menghabiskan hidangan sebanyak ini, setiap macam Siau Te hanya mencicipi sekerat, lalu sambil menggerakkan kembali sumpitnya ia berkata:

"Aku sudah kenyang!"

"Tidak banyak yang kau makan", kata Cia Siau-hong.

"Jika sekepingpun sudah dapat dirasakan bagaimana rasanya, buat apa kita musti makan terlalu banyak?"

Setelah menghembuskan napas panjang dan memukul meja, ia berseru dengan suara lantang:

"Bawa rekeningnya ke mari!"

Tidak terlalu banyak tamu semacam dia ini, semenjak tadi ciangkwe gemuk telah menunggu di sampingnya, segera ujarnya sambil tertawa paksa.

"Hidangan semeja penuh yang dipesan adalah delapan tahil perak, ditambah arak wangi seluruhnya berjumlah sepuluh tahil empat mata uang"

"Ehmmmm, tidak mahal!"

"Rumah makan kami selamanya berdagang menurut aturan, tak pernah kami mengambil untung terlalu banyak untuk tamu-tamu kami", kata ciangkwe gemuk dengan cepat.

Siau Te lantas berpaling ke arah Cia Siau-hong sambil berkata:

"Bila ditambah dengan uang tip, bagaimana kalau kita bayar dua belas tahil perak saja?"

"Ya, seharusnya memang demikian"

"Kenapa kau belum juga membayarnya?"

"Karena satu tahil perakpun tidak kumiliki!"

Siau Te tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba ia bangkit berdiri dan berjalan menuju ke meja di mana suara tertawa dingin tadi berasal.

Di sekitar meja tersebut duduk empat orang tamu, kecuali seorang pemuda berbaju kasar yang kelihatan agak ketolol-tololan, minum arak paling sedikit dan berbicara paling sedikit, tiga orang lainnya merupakan pemuda-pemuda gagah yang berusia dua puluh tahunan, gagah, ganteng dan kelihatan amat perkasa.

Di atas meja terdapat tiga bilah pedang, bentuknya sangat antik dan indah, sekalipun belum diloloskan dari sarungnya, tapi siapapun tahu bahwa pedang tersebut pastilah sebilah pedang yang tajam.

Orang yang tertawa dingin tadi mengenakan baju paling perlente dan bersikap paling angkuh. Ketika menyaksikan Siau Te berjalan ke arahnya, sekali lagi ia tertawa dingin.

Siau Te tidak memperhatikan wajahnya melainkan pedang antik yang berada di atas meja itu, tiba-tiba ia menghela napas panjang kemudian berbisik lirih:

"Ehmm, sebilah pedang yang bagus!"

"Kau juga mengerti tentang pedang?", ejek orang itu sambil tertawa dingin.

"Konon dahulu ada seorang Si Lu-cu, Si taysu yang mempunyai kepandaian membuat pedang yang hebat dan tiada tandingannya di kolong langit, dengan air dari telaga pelepas pedang di bukit Bu-tong, ia telah menempa tujuh bilah pedang tajam, oleh sang ciangbunjin ke tujuh pedang tersebut diberikan kepada tujuh orang muridnya yang terlihay dengan pesan pedang ada orang hidup, pedang hilang nyawa lenyap, setelah mati pedang itu harus diserahkan kembali kepada ketuanya untuk dioperkan ke orang lain....."

Setelah tersenyum iapun bertanya:

"Entah pedang tersebut apa betul merupakan salah satu diantaranya?"

Pemuda yang tertawa dingin itu masih juga tertawa dingin tiada hentinya, sedangkan seorang pemuda berbaju ungu yang ada disampingnya segera berseru memuji:

"Suatu ketajaman mata yang luar biasa!"

"Boleh aku tahu siapa nama margamu?"

"Aku she Wan, juga she Cho!"

"Jangan-jangan kau adalah murid yang termuda dan tertampan di antara tujuh orang murid Bu-tong-pay yang disebut Cho Han-giok itu?"

"Suatu ketajaman mata yang mengagumkan!", kembali orang berbaju ungu itu berseru.

"Kalau begitu kau pastilah toa-kongcu dari keluarga Wan berbaju ungu itu dari kota Kim-leng?"

"Bukan, aku adalah Lo-ji bernama Wan Ji-im, dialah toako kami, Wan Hui-im!", kata manusia berbaju ungu itu memperkenalkan diri.

Wan Hui-im duduk tepat di sampingnya, jenggot sudah tumbuh pada janggutnya.

"Dan yang ini?"

Orang yang ditanya Siau-te adalah pemuda berbaju kasar yang kelihatan amat jujur itu, katanya lebih lanjut:

"Burung Hong tak akan sudi terbang bersama burung gagak, aku pikir saudara inipun pastilah sauya kongcu dari keluarga kenamaan juga?"

"Aku bukan!", pemuda berbaju kasar itu menjawab singkat.

"Bagus sekali!"

Di bawah dua patah kata tersebut jelas masih ada perkataan lain, pemuda berbaju kasar itu justru sedang menantikan kata-kata selanjutnya.

Orang jujur biasanya tidak banyak berbicara, pun tidak banyak bertanya......

Betul juga, ternyata Siau Te yang berkata lebih jauh:

"Di tempat ini paling tidak masih ada orang yang tiada perselisihan maupun dendam sakit hati dengannya"

Tidak ada komentar: