Pendekar Gelandangan Bab 042

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

42

"Aku termasuk shio sapi, jadi tahun ini genap berusia lima puluh tahun.....!"

Pemuda itu manggut-manggut, lalu berkata lagi:

"Sudah berapa tahun kau bekerja dalam perusahaan Hong-ki-piaukiok kita ini?"

"Semenjak lo-piautau mendirikan perusahaan pengawalan barang ini, aku telah bekerja di sini!"

"Ehmmm.....! Itu berarti sudah dua puluh enam tahun lamanya dari sekarang?"

"Ya, sudah dua puluh enam tahun lamanya!"

Pemuda itu menghela napas panjang.

"Watak mendiang ayahku keras lagi berangasan, kau bisa berbakti kepadanya selama dua puluh enam tahun jangka waktu tersebut sudah terhitung tidak gampang"

Thio Si menundukkan kepalanya rendah-rendah dan memperlihatkan wajah sedih, lama sekali ia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.

Mendengar sampai di situ, Siau Te pun telah mengetahui bahwa lo-piautau yang mereka maksudkan tak lain adalah Thi-khi-kuay-kiam Thi Tiong-khi yang mendirikan perusahaan Hong-ki-piaukiok, pemuda itu menyebutnya sebagai "mendiang ayahku" berarti pula dia adalah putranya.

Ayah meninggal anak menggantikan, tak heran kalau dengan usianya yang masih muda ia telah memegang tampuk pimpinan dalam perusahaan tersebut.

ooooOOOOoooo

Bab 22. Hukum Yang Tegas

Pengaruh Thi-lo-piautau masih tertanam dalam hati masing-masing orang, karena itu semua orang tak bisa tidak harus tunduk kepadanya.

Yang mengherankan, kenapa dalam keadaan dan situasi seperti ini tiba-tiba saja ia menyinggung soal rumah tangganya, sedang soal bendera perusahaan yang patah dan piausu yang dihina malahan tidak disinggungnya sama sekali.

Berbeda dengan Cia Siau-hong, ia dapat menangkap bahwa di balik pertanyaan sekitar rumah tangga perusahaannya itu, pemuda tersebut sesungguhnya mempunyai maksud yang mendalam.

Kesedihan yang mencekam wajah Thio Si, tampak jelas bukan dikarenakan terkenang oleh budi kebaikan Thi lo-piautau, melainkan merasa murung dan menyesal karena ia telah melalaikan kewajiban serta tanggung jawabnya.

Pemuda itu menghela napas panjang, tiba-tiba tanya lagi:

"Bukankah kau menikah pada usia tiga puluh sembilan tahun?"

"Benar!", jawab Thio Si.

"Konon istrimu lemah lembut dan amat pintar, terutama dalam bidang masak memasak"

"Beberapa macam sayur yang sederhana memang masih bisa dimasak olehnya dengan lumayan!"

"Berapa anak yang kau peroleh darinya?"

"Tiga orang, dua lelaki satu perempuan!"

"Asal ada seorang ibu bijaksana yang mendidik anak-anaknya, di kemudian hari anak-anakmu itu pasti dapat sukses dalam usahanya"

"Semoga saja demikian!"

"Ketika mendiang ayahku meninggal dunia, ibuku selalu merasa kekurangan seorang pembantu di sisinya, bila kau tidak keberatan, suruhlah istrimu pindah ke ruang belakang untuk menemani dia orang tua"

Thio Si jatuhkan diri berlutut, kemudian......."Blang, blang, blang!", menyembah tiga kali di hadapan pemuda tersebut seolah-olah ia merasa berterima kasih sekali atas kebijaksanaan dari si anak muda itu mengaturkan keluarganya.

Pemuda itu tidak menghalangi perbuatannya, menunggu ia selesai menyembah, baru tanyanya lagi:

"Apakah kau masih ada pesan lainnya?"

"Tidak ada lagi!"

Sekali lagi pemuda itu menatapnya lekat-lekat, kemudian setelah menghela napas, katanya sambil mengulapkan tangannya:

"Kalau begitu, pergilah!"

"Baik!"

Ketika ucapan tersebut selesai diutarakan, tiba-tiba tampak butiran darah memercik ke mana-mana, menyusul kemudian Thio Si roboh terkapar di tanah.

Tangannya masih menggenggam sebilah pedang, pedang yang telah menggorok leher sendiri.

Sepasang tangan dan kaki Siau Te mulai dingin.

Hingga sekarang ia baru mengerti kenapa pemuda tersebut mengajukan pertanyaan sekitar rumah tangganya dalam keadaan begini.

Peraturan hukum dalam perusahaan Hong-ki-piaukiok memang ketat, siapapun di dunia ini mengetahuinya. Thio Si telah melalaikan tanggung-jawabnya untuk melindungi panji perusahaan, sudah sepantasnya kalau ia dijatuhi hukuman mati.

Tapi bila kita lihat dari kemampuan pemuda tersebut untuk membuat seorang kakek yang susah payah bekerja selama dua puluh enam tahun dalam perusahaan menggorok leher sendiri dengan hati yang rela, bahkan berterima kasih, dapat diketahui bahwa kepintaran pemuda itu serta ketegasannya menghadapi persoalan jauh di luar dugaan siapapun.

Darah yang berceceran di tanah dalam sekejap mata telah terguyur bersih oleh aliran hujan yang deras, namun rasa jeri dan ngeri yang terpancar di wajah piausu-piausu tersebut bagaimanapun derasnya hujan juga tak akan mengguyurnya hingga lenyap.

Terhadap congpiautau yang masih muda belia ini, jelas orang menaruh perasaan jeri dan takut yang amat tebal.

Air muka pemuda itu masih tetap tenang dan sama sekali tak beremosi, kembali ujarnya dengan tawar:

"Oh piautau, di mana kau?"

Seorang laki-laki yang selama ini berdiri di belakang sambil menundukkan kepala dan menutupi wajahnya dengan payung, segera menjatuhkan diri berlutut setelah mendengar perkataan itu, berlutut di atas genangan air hujan yang bercampur dengan darah.

"Oh Hui ada di sini!", sahutnya lirih.

Pemuda itu sama sekali tidak berpaling untuk melihat sekejap ke arahnya, kembali tanyanya:

"Sudah berapa lama kau bekerja di perusahaan kami?"

"Belum sampai sepuluh tahun!"

"Berapa banyak gaji yang kau terima setiap bulannya?"

"Menurut peraturan seharusnya adalah empat belas tahil, tapi berkat kebaikan congpiautau, setiap bulannya aku mendapat tambahan sebesar enam tahil perak"

"Berapa harga pakaian ditambah ikat pinggang dan topi yang kau kenakan sekarang?"

"Dua......dua belas tahil!", jawab Oh Hui ragu-ragu.

"Di belakang kota sebelah barat kau punya sebuah gedung besar, berapa besar biaya pengeluaranmu setiap bulannya?"

Wajah Oh Hui mulai mengejang keras, air hujan dan peluh dingin bercucuran bersama membasahi sekujur badannya, bahkan suarapun ikut menjadi parau.

"Aku tahu kau adalah seorang yang amat memperhatikan soal makan dan minum", kata pemuda itu lagi, "sampai dapur yang dipakai dalam rumahpun merupakan dapur rumah makan Cong-goan-lo yang kau boyong pulang dengan membayar tinggi, tanpa dua tiga ratus tahil perak sebulannya aku rasa sulit bagimu untuk melanjutkan hidup"

"Semua.......semuanya itu dibayar orang lain untukku, aku.....aku tak pernah ke luar ongkos sendiri, walau cuma satu-dua tahil pun!"

Pemuda itu segera tertawa.

"Tampaknya kepandaianmu cukup hebat juga, sehingga orang lain begitu rela mengeluarkan uang beberapa ratus tahil perak setiap bulannya untuk kau gunakan, cuma........."

Senyuman yang menghiasi wajahnya lambat-laun menjadi lenyap, katanya lebih jauh:

"Kawan-kawan dalam dunia persilatan mana bisa tahu kalau kau memiliki kepandaian sehebat ini? Ketika mereka saksikan seorang piausu dari perusahaan Hong-ki-piaukiok pun bisa hidup mewah semacam itu, di hati kecilnya mereka pasti keheranan, kenapa Hong-ki-piaukiok bisa begitu sosial dan punya uang banyak? Jangan-jangan mereka memang bersekongkol dengan para orang gagah dari golongan Liok-lim sehingga berhasil mendapat untung besar?"

Oh Hui yang mendengar ucapan-ucapan tersebut menjadi menggigil saking takutnya, sambil menyembah berulang kali serunya:

"Lain kali aku pasti tak akan melakukan perbuatan semacam itu lagi, aku sudah tobat, lain kali pasti tak akan diulang lagi"

"Kenapa? Apakah disebabkan orang yang mengeluarkan uang bagimu itu sudah direbut orang lain?"

Seluruh wajah Oh Hui telah berlumuran darah, tapi ia tak berani mengakui, juga tak berani menyangkal.

"Ada orang mengeluarkan uang untukmu gunakan, memberi kepuasan bagimu, sesungguhnya hal ini merupakan suatu perbuatan yang baik", kata pemuda tersebut, "dan tidak semestinya perusahaan menguruskan urusan pribadimu, tapi kau ternyata membiarkan orang lain merampas milikmu dengan mata mendelong saja, bahkan membalas dendampun tak berani, bukankah perbuatanmu itu sama artinya dengan melenyapkan kegagahan sendiri dengan mengobarkan kehebatan orang lain?"

Mencorong sinar tajam dari mata Oh Hui, dengan cepat ia berseru dengan suara lantang:

"Bocah keparat itu bukan lain adalah orang yang telah menghancurkan panji perusahaan kita!"

"Kalau memang begitu, kenapa kau tidak menghampirinya dan membunuh orang itu?"

"Baik!"

Sejak tadi ia memang sudah ingin melampiaskan rasa dendamnya, maka setelah congpiautau mereka menjadi tulang punggungnya, iapun tak usah takut-takut lagi.

Maka sambil mencabut ke luar golok yang tersoren di pinggangnya, ia melompat ke depan.

Tiba-tiba cahaya pedang berkelebat lewat, sebilah pedang telah menusuk datang, tusukan tersebut agaknya tidak begitu cepat.

Tapi menanti dia ingin menghindarkan diri, pedang tersebut sudah menusuk ketiak kirinya, hingga tembus ke dalam tenggorokan. Darah segar muncrat ke empat penjuru dan menyirami seluruh permukaan tanah. Bahkan ia hampir tidak melihat, siapakah yang telah melancarkan tusukan tersebut.

Tapi orang lain dapat melihat kejadian tersebut dengan amat jelas.

Baru saja Oh Hui melompat ke udara, tiba-tiba pemuda itu meloloskan pedang yang tersoren di pinggang salah seorang di belakangnya, kemudian pedang itu ditusukkan ke depan sekenanya, sejak permulaan sampai akhir, ia tak pernah berpaling untuk memperhatikan lawannya barang sekejappun.

Meskipun demikian, tusukan itu dilakukan dalam waktu yang tepat dengan arah sasaran yang menakjubkan.

Tapi, yang betul-betul menakutkan bukanlah tusukan pedangnya, melainkan kekejaman dan ketidak berperasaannya untuk melancarkan serangan tersebut.

Tiba-tiba Siau Te tertawa, tertawa tergelak-gelak, kemudian berkata:

"Kau membunuh anak buahmu sendiri, memang dianggap bisa membuat hatiku takut? Haaaaahhhh........ haaaaahhhhh...... haaaahhhhhh....... sekalipun kau bunuh ke dua ribu anak buah perusahaan Hong-ki-piaukiok hingga habis juga tiada sangkut pautnya dengan aku!"

Pemuda itu sama sekali tidak memperdulikan dirinya, hingga sekarangpun ia tak pernah memandang sekejap ke arahnya, seakan-akan ia tak tahu kalau panji perusahaannya dipatahkan oleh orang itu.

Kembali ia bertanya:

"Apakah Cia Siau-hong, Cia tayhiap juga telah datang?"

Piausu yang selama ini berdiri di belakang sambil memegangkan payung baginya itu segera menyahut:

"Benar!"

"Siapakah Cia tayhiap itu?"

"Orang yang berdiri di atas kereta itu!"

"Aaaahh, tidak benar!"

"Tidak benar?"

"Dengan kedudukan serta nama besar Cia tayhiap, bila ia telah berada di sini dan menjumpai peristiwa semacam ini, sejak tadi ia pasti sudah tampil ke depan dan melakukan penilaian terhadap peristiwa ini, kenapa ia cuma berdiri berdiam diri saja di sana? Cia tayhiap bukan seorang manusia yang suka melihat kemalangan orang lain!"

Tiba-tiba Cia Siau-hong tertawa, katanya:

"Majikan yang bagus!"

Kereta itu sebenarnya berada empat kaki jauhnya dengan dihalangi oleh tujuh - delapan belas orang, tapi menunggu ia telah menyelesaikan kata-katanya itu, tahu-tahu ia sudah berada di hadapan pemuda tersebut, bahkan sedemikian dekatnya, sehingga bila ia ulurkan tangannya segera dapat menepuk bahunya.

Walaupun paras muka pemuda itu agak berubah, tetapi dengan cepat pulih kembali dalam ketenangannya, ia telah mundur ke belakang meski cuma setengah langkahpun.

"Apakah congpiautau juga she Thi?", Cia Siau-hong segera menegur.

"Aku Thi Kay-seng!"

"Akulah Cia Siau-hong!"

Walaupun para piausu telah tahu kalau orang ini berilmu silat amat tinggi, walaupun mereka tahu Cia Siau-hong juga telah berada di situ, tapi setelah mendengar pengakuannya sendiri itu, tak urung wajah mereka berubah juga.

Thi Kay-seng segera memberi hormat, lalu berkata:

"Semasa masih hidupnya dulu, mendiang ayahku seringkali membicarakan soal jiwa pendekar yang dimiliki Cia Tayhiap kepada diri boanpwee, kata beliau dengan sebilah pedangnya Cia Tayhiap tak pernah menjumpai tandingan di dunia ini!"

"Ilmu pedangmu juga tidak terhitung jelek!", kata Cia Siau-hong.

"Tidak berani......."

"Ilmu pedang yang bisa dipakai untuk membunuh orang adalah ilmu pedang yang baik"

"Tapi membunuh orang, bukanlah bertujuan membunuh orang untuk menanam musuh, lebih-lebih tidak bermaksud membunuh orang untuk menyenangkan hati!"

"Lantas, biasanya kau membunuh orang karena apa?"

"Karena tiga hal yang ditanamkan mendiang ayahku kepada kita semua sewaktu mendirikan perusahaannya dahulu!"

"Tiga hal mana?"

"Tanggung jawab, prestasi dan kebanggaan!"

"Bagus, ternyata kau memang gagah perkasa dan berjiwa ksatria, tak heran nama baik Hong Ki-piaukiok selalu berdiri tangguh selama dua puluh enam tahun tanpa goyah sedikitpun"

Thi Kay-seng segera membungkukkan badannya mengucapkan terima kasih, setelah itu ujarnya dengan serius:

"Mendiang ayahku seringkali memberi nasehat kepada kami, bila hendak menggunakan nama perusahaan sebagai kebanggaan, maka setiap saat harus mengingat tiga hal itu di dalam hati, kalau tidak lalu apa bedanya dengan para pencoleng dan perampok!"

Wajahnya berubah semakin serius, ujarnya lebih jauh:

"Oleh karena itu, barang siapa berani melanggar ketiga hal tersebut di atas, maka dia harus dibunuh tanpa ampun!"

"Ehmmmm......, suatu kata dibunuh tanpa ampun yang bagus!"

"Thio Si terlalu teledor dan bertindak gegabah, melalaikan tanggung jawabnya melindungi panji perusahaan. Oh Hui menjerumuskan diri ke lumpur kehinaan, tidak mempertahankan prestasi diri, maka dari itu walaupun mereka adalah orang-orang lama mendiang ayahku, boanpwe tak akan pilih kasih untuk menghukum mereka juga"

Dengan sorot mata yang tajam ia menetap Cia Siau-hong lekat-lekat, kemudian katanya lagi:

"Nama besar Sin-kiam-san-ceng tersohor di seantero jagat, aku percaya kalianpun memiliki peraturan rumah tangga yang bisa dibanggakan!"

Cia Siau-hong tidak dapat menyangkalnya.

"Jika anak keturunan perkampungan Sin-kiam-san-ceng berani melanggar peraturan, apakah merekapun akan dihukum?", tanya Thi Kay-seng lebih jauh.

Sekali lagi Cia Siau-hong tak dapat menyangkal.

"Perduli peraturan dari perguruan manapun, bukankah semuanya tidak mengijinkan anak buahnya merusak peraturan persilatan dan berbuat sewenang-wenang terhadap masyarakat?", kata Thi Kay-seng kembali.

Ditatapnya lawannya dengan sorot mata setajam sembilu, lebih-lebih lagi ketajaman lidahnya ketika berbicara.

"Membuat huru-hara di tengah kota, tanpa sebab mencari urusan, bukan cuma melukai orang, merusak pula panji perusahaan yang merupakan kebanggaan orang lain dan dipertahankan dengan jiwa raga oleh segenap anggotanya, terhitungkah perbuatan semacam ini sebagai suatu perbuatan yang merusak peraturan dunia persilatan?"

"Ya, benar!", jawaban Cia Siau-hong amat sederhana dan langsung.

Dari balik sinar mata Thi Kay-seng untuk pertama kalinya memancarkan sinar kaget dan tercengang.

Ia telah mempersiapkan kolong tali yang siap digunakan untuk menjirat tengkuk Siau Te, semestinya Cia Siau-hong memahami maksud tujuannya, kenapa ia tidak mencoba untuk menahan jiratan tali itu dari atas leher Siau Te?

Tapi bagaimanapun juga, kesempatan yang sangat baik ini tak boleh dibiarkan lewat dengan begitu saja, segera desaknya lebih jauh.

"Bila tidak memperdulikan keamanan orang banyak, tanpa sebab merusak peraturan dunia persilatan, manusia macam ini telah melanggar kesalahan apa?"

"Kesalahan yang pantas dijatuhi hukuman mati!", jawaban dari Cia Siau-hong tetap singkat dan langsung.

Thi Kay-seng segera menutup mulutnya rapat-rapat.

Kini tali itu sudah menjirat tengkuk Siau Te, diapun telah memahami maksud Cia Siau-hong.

Walaupun jiwa Siau Te berharga, nama baik Sin-kiam-san-ceng jauh lebih berharga, maka seandainya dia harus memilih salah satu di antaranya, terpaksa ia harus mengorbankan selembar jiwa Siau Te.

Sekarang Thio Si dan Oh Hui telah mati oleh dosanya, maka sudah barang tentu Siau Te pun harus mati karena perbuatannya.

Sebagai kawanan jago persilatan yang cukup kawakan, pengalaman dari para piausu perusahaan Hong-ki-piaukiok itu cukup luas, tentu saja merekapun dapat memahami akan hal tersebut, tanpa sadar tangan mereka mulai meraba gagang golok dan bersiap sedia melancarkan tubrukan ke depan.

Thi Kay-seng kembali ulapkan tangannya berulang kali sambil berseru:

"Mundur, mundur, kalian semua mundur dari sini!"

Tak seorangpun yang mengerti kenapa ia berbuat demikian, tapi tak seorang pula yang berani membangkang perintahnya.

Dengan hambar Thi Kay-seng berkata:

"Dosa itu dijatuhkan sendiri oleh Cia tayhiap, maka selama Cia tayhiap masih berada di sini, buat apa kalian musti lakukan baginya?"

"Siapapun tak perlu turun tangan!", tiba-tiba Siau Te berteriak keras-keras.

Kemudian setelah menatap Cia Siau-hong lekat-lekat, ia tertawa tergelak, serunya:

"Cia Siau-hong, kau memang tak malu disebut Cia Siau-hong, kau memang sangat baik menjaga diriku, aku merasa amat berterima kasih sekali!"

Di tengah gelak tertawanya yang amat keras, ia melompat turun dari atap kereta dan menerjang ke tengah kawanan manusia......"Kraaak!", lengan seorang piausu telah dicengkeram dan dipatahkan olehnya, pedang yang berada di tangan orang itu segera berpindah tangan, kemudian tanpa berpaling lagi ke arah Cia Siau-hong, ia memutar mata pedang tersebut dan menggorok ke atas leher sendiri.

Wajah Cia Siau-hong yang pucat pasi tetap tanpa emosi, tubuhnya dari atas sampai bawah sama sekali tak bergerak, tapi semua orang mendengar suara desingan tajam berkumandang memecahkan keheningan menyusul......."Kraaak!", pedang di tangan Siau Te tahu-tahu sudah tinggal gagangnya, sedang mata pedang yang tajam telah patah dan jatuh ke bawah menyusul sebuah benda lainnya.

Ternyata benda itu adalah sebutir mutiara.

Bunga mutiara yang berada di tangan Cia Siau-hong, lagi-lagi berkurang satu butir.

Meskipun Siau Te masih memegang gagang pedang itu, tapi seluruh tubuhnya telah tergetar mundur sejauh dua langkah dari tempat semula.

Tiga orang piausu yang berada di belakangnya segera saling berpandangan sekejap, kemudian dua bilah golok dan sebilah pedang hampir pada saat yang bersamaan menyambar ke depan secepat kilat.

Tiga orang piausu itu merupakan piausu-piausu yang mempunyai hubungan paling akrab dengan piausu yang lengannya patah tadi, rasa dendam mereka sesungguhnya hanya tertanam di dalam hati, tapi setelah Cia Siau-hong turun tangan sekarang, berarti merekapun tidak melanggar perintah congpiautau sekalipun balas melakukan ancaman.

Tentu saja serangan yang dilancarkan tiga orang ini adalah serangan-serangan pembunuh yang mematikan.

"Criiiit....!", Cia Siau-hong kembali menyentilkan ujung jarinya, menyusul kemudian, "Kreeek....!", dua golok satu pedang tersebut sekali lagi patah menjadi dua bagian.

Ketiga orang itu segera merasakan tubuhnya bergetar keras hingga mundur lima langkah lebih, bahkan gagang golokpun tak sanggup digenggam lagi.

Sambil menarik muka, Thi Kay-seng segera berkata dengan suara dingin:

"Sungguh kekuatan yang sangat hebat, sungguh kepandaian yang luar biasa!"

Cia Siau-hong hanya membungkam diri dalam seribu bahasa.

Tidak ada komentar: