Pendekar Gelandangan Bab 043

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

43

Thi Kay-seng tertawa dingin, kembali ujarnya:

"Kelihaian kepandaian silat yang dimiliki Cia tayhiap telah diketahui oleh setiap umat persilatan di dunia, tapi ke tidak dapat percayanya ucapan Cia tayhiap mungkin belum ada beberapa orang yang tahu"

"Apakah ucapanku tidak dapat dipercaya?", Cia Siau-hong bertanya.

"Siapa yang telah menjatuhkan hukuman kepadanya tadi?"

"Aku"

"Hukuman apa yang telah kau jatuhkan kepadanya?"

"Hukuman mati!"

"Kalau kau memang telah menjatuhkan hukuman mati kepadanya, kenapa sekarang malah turun tangan menolongnya?"

"Aku hanya menjatuhkan hukuman mati kepada seorang manusia, tapi hukuman tersebut bukan tertuju untuknya"

"Kalau bukan dia lantas siapa?"

"Aku!"

Untuk ketiga kalinya Thi Kay-seng memperlihatkan sinar mata yang penuh dengan rasa kaget dan tercengang, katanya:

"Kenapa bisa kau?"

"Karena akulah yang mengajarkan kepadanya bagaimana caranya merusak peraturan persilatan dan bagaimana caranya membuat huru-hara di depan masyarakat"

Dari sorot matanya kembali memancarkan penderitaan dan rasa sedih yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, pelan-pelan ia berkata lebih jauh:

"Kalau bukan karena aku, tak nanti dia akan melakukan perbuatan semacam itu, dosaku yang pantas dihukum mati, aku tak akan biarkan ia mati lantaran aku"

Thi Kay-seng menatap wajahnya lekat-lekat, kelopak matanya kembali berkerut, mendadak ia mendongakkan kepalanya sambil menghela napas panjang.

"Ketika kau dengan sebatang sumpit berhasil mematahkan ilmu pedang aliran Bu-tong dari Cho Han-giok ketika berada di loteng Cong-goan-lo, aku sudah tahu kalau kehebatan ilmu pedangmu sudah tiada tandingannya lagi di dunia ini"

Hingga kini Siau Te baru tahu siapa yang menang siapa yang kalah dari pertarungan yang berlangsung di loteng Cong-goan-lo tersebut.

Walaupun ia melirik sekejap ke arahnyapun tidak, namun hatinya menyesal, ia menyesal kenapa waktu itu tidak tinggal di sana dan menyaksikan kehebatan Sam sauya dari keluarga Cia mematahkan ilmu pedang orang hanya dengan sebatang sumpit.

Kembali Thi Kay-seng berkata:

"Waktu itu dua bersaudara dari keluarga Wan pun tahu, sekalipun sepasang pedang mereka bersatu juga bukan tandinganmu, oleh karenanya mereka bersedia mengundurkan diri sebelum mengalami kerugian. Sepasang matakupun belum buta, tentu saja akupun tahu akan hal tersebut, seandainya keadaan tidak terlalu terpaksa, aku benar-benar segan untuk bertempur denganmu"

"Bagus sekali!"

"Tapi sekarang, sekalipun kau berkata demikian, akupun telah bersiap-siap untuk melangsungkan pertarungan mati hidup denganmu"

Setelah tertawa dingin, kembali ia melanjutkan:

"Sesungguhnya masalah yang menyangkut soal dunia persilatan hanya bisa dibikin jelas di ujung senjata, kalau tidak begini buat apa semua orang harus melatih diri dengan tekun? Bila seseorang memiliki kepandaian yang amat tinggi, sekalipun perkataan yang salahpun akan menjadi perkataan yang benar, jadi hal yang demikian sudah bukan merupakan suatu kejadian aneh lagi"

Cia Siau-hong menatapnya tajam-tajam, lewat lama sekali dia baru menghela napas panjang.

"Kau keliru!", bisiknya.

"Di mana letak kekeliruanku?"

"Kalau aku sudah mengakui kesalahanku, dus berarti akupun tak perlu menyuruhmu untuk turun tangan"

Walaupun selama hidupnya Thi Kay-seng amat angkuh, senang gusarnya sukar diketahui orang, tapi saat ini tak urung rasa kaget dan tercengangnya tercermin juga di atas wajahnya.

Menerima penderitaan karena orang lain, menyiksa diri demi sahabat, hal semacam itu bukannya tak pernah dijumpai dalam dunia persilatan, akan tetapi dengan kepandaian serta kedudukan Cia Siau-hong saat ini, kenapa pula harus merendahkan derajat kehidupan sendiri?

Sementara itu, Cia Siau-hong telah menghampiri Siau Te dan menepuk bahunya, lalu berkata:

"Di sini sudah tak ada urusanmu lagi, pergilah!"

Siau Te tidak berkutik, diapun tidak berpaling.

"Selama ini aku tak pernah merawatmu secara baik", kata Cia Siau-hong lebih jauh, "sewaktu masih kecil dahulu, kau tentu sudah kenyang di cemooh dan dihina orang lain, aku hanya berharap kau bisa menjadi orang baik di kemudian hari, gila arak gila perempuan lebih baik........"

Kata-kata selanjutnya sudah tidak terdengar lagi oleh Siau Te.

Terbayang kembali penderitaan yang dialaminya di kala masih kecil, terbayang juga adegan di saat si Boneka dipeluk olehnya. Siau Te merasa ada segulung hawa amarah muncul dari dasar hatinya.

Tiba-tiba ia berteriak keras:

"Baik, aku akan pergi! Sekalipun bukan aku yang minta kau mengikutiku, sekalipun aku tidak berhutang apapun kepadamu!"

Begitu ia bilang mau pergi, iapun pergi tanpa berpaling lagi.

Tiada orang yang menghalangi kepergiannya, setiap orang hanya mengalihkan perhatiannya untuk mengawasi Cia Siau-hong.

ooo)O(ooo

Hujan turun dengan derasnya, memabashi rambutnya yang kusut, membasahi matanya dan pipinya, ia tak bisa membedakan lagi manakah air hujan? Dan mana pula air mata?

Tanpa bergerak barang sedikitpun ia berdiri di sana tak berkutik, seakan dalam jaga yang luas tinggal dia seorang saja.

Entah sudah lewat berapa lama.....pelan-pelan ia baru memutar badan dan menghadap ke arah Thi Kay-seng.

Thi Kay-seng tidak bersuara, iapun tidak perlu berbicara lagi.

Setelah Sam sauya dari keluarga Cia menanggung dosa itu, siapa lagi dari anggota Hong-ki-piaukiok yang bisa berbicara?

Tiba-tiba Cia Siau-hong mengajukan suatu pertanyaan yang aneh sekali:

"Konon belakangan ini Thi lo-piautau jarang sekali melakukan perjalanan lagi dalam dunia persilatan, apakah tujuannya adalah untuk membimbingmu menjadi seorang pemimpin yang sejati?"

Pelan-pelan Thi Kay-seng mengangguk, sahutnya dengan sedih:

"Sungguh tak beruntung dia orang tua telah tiada pada dua bulan berselang"

"Tapi kau toh sudah berhasil menggantikan kedudukannya!"

"Ya, hal ini disebabkan karena boanpwee tak berani melupakan semua nasehatnya!"

Cia Siau-hong pun pelan-pelan menganggukkan kepalanya.

"Bagus sekali, bagus sekali, bagus sekali.......", gumamnya.

Entah sudah berapa puluh kali dia ulangi perkataan tersebut, suaranya makin lama semakin lirih, kepalanyapun makin lama tertunduk semakin rendah.

Tangannya telah mengepal kencang-kencang.

Lautan manusia telah berkerumun di sepanjang jalan raya, di antara mereka ada anggota Hong-ki-piaukiok, ada juga yang bukan, tapi setiap orang dapat melihat bahwa pendekar kenamaan yang tiada tandingannya di dunia ini sedang diliputi oleh rasa sedih, murung dan menyesal, ia telah bersiap-siap menggunakan darahnya untuk mencuci bersih semua kekesalan hatinya.

Pada saat itulah, tiba-tiba ada seseorang berteriak keras dari balik kerumunan orang banyak:

"Cia Siau-hong, kau keliru, yang seharusnya mati adalah Thi Kay-seng, bukan kau karena........."

Ketika berbicara sampai di situ, mendadak suaranya terhenti, seakan-akan tenggorokannya telah digorok orang secara tiba-tiba.

Seorang laki-laki menerjang ke luar dari balik kerumunan orang banyak dengan mata melotot ke luar, ia mendelik ke arah Thi Kay-seng seperti hendak mengucapkan sesuatu.

Tapi sebelum sepatah katapun sempat diucapkan, ia sudah roboh terjengkang di atas tanah, sebilah golok telah menancap di atas punggungnya, hingga tinggal gagangnya saja yang berada di luar.

Tapi seseorang yang lain segera menyambung kembali kata-kata yang belum sampai habis diucapkan itu:

"Karena panji kebesaran Hong-ki-piaukiok telah dinodai lebih dulu olehnya, panji itu sudah berubah menjadi sama sekali tak ada harganya, dia......."

Ketika berbicara sampai di situ, kembali suaranya terpotong, seorang laki-laki muncul dari kerumunan orang banyak dengan tubuh bermandikan darah, ketika tiba di tengah arena iapun roboh dan binasa.

Benar-benar tak disangka kalau dalam dunia masih ada juga orang yang tak takut mati, ternyata kematian tidak membuat mereka menjadi ketakutan.

Dari arah depan sana, kembali ada seseorang berteriak keras:

"Wajahnya saja tampak jujur dan gagah, sesungguhnya dia adalah manusia munafik yang berhati licik, bukan saja kematian dari Thi lo-piautau tidak jelas, lagi pula........."

Orang itu sambil berteriak sambil lari keluar dari kerumunan orang banyak, tiba-tiba cahaya golok melintas lewat, tahu-tahu tenggorokannya sudah tertembus.

Dari arah utara dengan cepat terdengar seseorang melanjutkan lagi kata-kata tersebut:

"Lagi pula rumah emas berisi gadis-gadis cantik di belakang kota sebelah baratpun milik pribadinya, oleh karena lo-piautau baru meninggal mau tak mau dia harus menghindari kecurigaan dan belakangan ini jarang sekali berkunjung ke situ, karena itulah Oh Hui telah memanfaatkannya....."

Agaknya orang yang berseru kali ini memiliki kepandaian silat agak tinggi, ia berhasil menghindari dua kali sergapan dan kabur ke atas wuwungan rumah, katanya lebih lanjut:

"Tadi Oh Hui tak berani mengatakan sebab kuatir dibunuh olehnya, siapa tahu sekalipun ia tidak membuka rahasia, kematianpun tak dapat dihindari......"

Sambil berkata dia mundur terus ke belakang, baru saja kata terakhir meluncur keluar, tiba-tiba sekilas cahaya pedang menyambar lewat dari wuwungan rumah dan menusuk dari tengkuk hingga tembus pada tenggorokan, darah segar segera berhamburan ke mana-mana, tubuh orang itupun menggelinding jatuh dari atas atap rumah dan terkapar di tengah jalan.

Keheningan mencekam seluruh jalan raya itu.

Hanya dalam waktu singkat sudah empat orang tewas di tempat itu dengan berlumuran darah. Peristiwa ini sungguh menggetarkan perasaan siapapun, apalagi kematian mereka begitu perkasa, begitu mengenaskan hingga menimbulkan rasa haru bagi siapapun.

Paras muka Thi Kay-seng sama sekali tak berubah, tiba-tiba serunya dengan dingin:

"Thi Gi!"

Seorang piausu tinggi besar muncul dari barisan dan membungkukkan badannya memberi hormat.

"Hamba siap!"

"Selidiki siapa yang menjadi dalang dari perbuatan ke empat orang ini, coba kita lihat siapakah memfitnah yang telah mengarang cerita bohong tersebut?"

"Baik!"

"Bila mereka benar-benar hanya memfitnah belaka, kenapa kau harus membunuh orang untuk melenyapkan saksi?", tiba-tiba Cia Siau-hong menegur.

Thi Kay-seng segera tertawa dingin.

"Kau tahu siapa yang telah melakukan pembunuhan ini?"

Tiba-tiba Cia Siau-hong melompat ke dalam kerumunan orang banyak, pada lompatan yang ke empat kalinya, ada empat orang pula yang terlempar keluar dari kerumunan orang banyak dan terbanting ke tengah jalanan, ternyata dandanan mereka semua adalah dandanan dari seorang piausu perusahaan Hong-ki-piaukiok.

Air muka Thi Kay-seng belum berubah juga, kembali ia berseru:

"Thi Gi!"

"Hamba siap!"

"Coba kau selidiki kembali, siapakah ke empat orang itu dan dari mana mereka dapatkan pakaian tersebut?"

Pakaian ringkas yang mereka kenakan bukan terhitung pakaian seragam yang mahal harganya, para piautau dari Hong-ki-piaukiok dapat mengenakannya, orang lainpun sama saja dapat pula mengenakannya.

"Baik", sahut Thi Gi.

Namun tubuhnya belum juga beranjak dari tempat semula.

"Kenapa kau belum juga melaksanakan tugasmu?", Thi Kay-seng segera menegur.

Tiba-tiba Thi Gi memperlihatkan suatu perubahan yang aneh sekali, sambil menggigit bibir teriaknya keras-keras:

"Aku tak usah menyelidiki lagi, karena akulah yang memberi semua pakaian itu, bunga mutiara yang berada di tangan Cia tayhiap, sekarangpun aku pula yang pergi membelinya!"

Paras muka Thi Kay-seng mulai berubah, tentu saja ia tahu dari mana Cia Siau-hong mendapatkan untaian bunga mutiara tersebut.

Tentu saja Cia Siau-hong sendiri juga tahu.

Ia mendapatkannya dari atas kepala seorang perempuan yang mirip kucing, ia meraih untaian bunga mutiara tersebut sebab akan dipakainya sebagai senjata rahasia untuk menolong orang.

Dengan suara keras Thi Gi berkata:

"Congpiautau telah memberi uang sebesar tiga ratus tahil perak kepadaku untuk membeli untaian bunga mutiara dan sepasang gelang di toko Thian-po, sisanya belasan tahil telah diberikan kepadaku sebagai tip"

Kalau memang Thi Kay-seng yang membeli untaian bunga mutiara tersebut, kenapa benda itu bisa dipakai oleh seorang perempuan seperti kucing.......?

Tiba-tiba Cia Siau-hong menyambar tubuh Thi Gi seperti mengangkat orang-orangan dari kertas saja, ia melompat sejauh empat kaki lebih dan naik ke atas atap rumah.

Terdengar desingan senjata tajam memecahkan keheningan, belasan titik cahaya tajam segera menyambar lewat dari bawah kaki mereka.

Coba saja kalau Cia Siau-hong terlambat selangkah saja, niscaya Thi Gi sudah dibunuh untuk membungkamkan mulutnya.

Tapi atap rumah itupun belum terhitung aman, sebab belum lagi kaki mereka berdiri tegak, dari balik wuwungan rumah, kembali ada sekilas cahaya pedang menyambar lewat dan langsung menusuk tenggorokan Cia Siau-hong.

Cahaya pedangnya berkilat bagaikan bianglala, orang yang melancarkan tusukan itu jelas adalah seorang jago lihay, senjata yang digunakannyapun pasti sebilah pedang mestika.

Sekarang orang yang hendak mereka bunuh sudah bukan Thi Gi, melainkan Cia Siau-hong.

Padahal ketika itu Cia Siau-hong mengempit orang di tangan kirinya dan memegang bunga mutiara di tangan kanannya, agaknya tusukan tersebut segera akan menembusi tenggorokannya.

Tiba-tiba ia mengangkat tangan kanannya, dengan gagang bunga mutiara ia sambut tibanya mata pedang......

"Criiiiing!", sebutir mutiara mencelat sejauh dua depa diikuti sebutir mutiara lagi, sungguh cepat gerakan tersebut.

Ketika dua biji mutiara itu saling beradu di udara, biji mutiara yang pertama melayang ke kiri menghajar pelipis kanan manusia baju hitam yang melancarkan serangan tersebut.

Sedikit miringkan badan, ia berhasil menghindari timpukan itu, siapa tahu ketika biji mutiara itu terjatuh ke bawah, dengan telak telah menghantam jalan darah Cit-pit-hiat di lengannya yang memegang pedang, kontan saja pedang itu terjatuh ke tanah.

Menanti ia sudah pulih kembali ketenangannya, Cia Siau-hong sudah pergi amat jauh.

Hujan turun dengan derasnya bagaikan sebuah tirai, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas.

Thi Kay-seng masih berdiri di bawah payungnya tanpa menunjukkan reaksi apa-apa, tubuhnya pun sama sekali tak berkutik.

Piausu yang selama ini berdiri terus di belakangnya sambil membawakan payung itu, tiba-tiba bertanya dengan lirih:

"Perlu dikejar tidak?"

"Kalau tak sanggup mengejar, kenapa harus dikejar?", Thi Kay-seng balik bertanya dengan dingin.

"Tapi kalau persoalan ini tidak dibikin jelas, agaknya sulit bagi kita untuk menguasai mereka"

Thi Kay-seng kembali tertawa dingin.

"Jika ada orang tak mau tunduk, bunuh tanpa ampun!"

ooo)O(ooo

Hujan masih turun terus dengan derasnya, cuaca semakin lama berubah semakin gelap.

Di dalam sebuah kuil kecil yang lembab dan gelap, Thi Gi mendekam di tanah sambil muntah-muntah dengan napas tersengal.

Menanti ia bisa bersuara, maka semua hal yang diketahuipun segera diutarakan keluar:

"Empat orang yang dibunuh tadi adalah orang-orangnya Lo-piautau, orang terakhir yang di bunuh di atas atap rumah adalah seorang piausu, sedangkan tiga orang lainnya adalah orang kepercayaan lo-piautau"

"Dua bulan berselang, pada suatu malam yang penuh halilintar dan hujan deras seperti malam itu, agaknya lo-piautau mempunyai sesuatu masalah yang mengganjal hatinya, di kala bersantap, ia minum dua cawan arak, kemudian pergi tidur lebih awal, tapi keesokan harinya aku dengar dia orang tua telah meninggal dunia"

"Seorang kakek yang jatuh sakit setelah minum arak sebenarnya bukan suatu kejadian yang aneh, tapi kebetulan sekali para petugas yang merondai sekitar halaman pada malam itu telah mendengar ada suara ribut-ribut di dalam kamarnya lo-piautau, salah satu suara tersebut ternyata adalah suara Thi Kay-seng......"

"Betul! Thi Kay-seng hanya anak angkat yang dipelihara lo-piautau, akan tetapi lo-piautau selalu menganggapnya seperti anak kandung sendiri, sekalipun di hari-hari biasa ia selalu menunjukkan rasa baktinya kepada orang tua, tapi hari itu ternyata sikapnya kasar dan berani bercekcok dengan lo-piautau, sesungguhnya hal ini sudah merupakan suatu kejadian aneh"

"Apalagi jika dibilang sebab kematian lo-piautau adalah kambuhnya penyakit setelah minum arak, tapi kalau memang demikian, kenapa sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, dia masih memiliki tenaga untuk cekcok dengan orang?"

"Yang lebih aneh lagi, semenjak terjadinya peristiwa itu, sampai saat jenasah lo-piautau dikubur, ternyata Thi Kay-seng melarang orang lain untuk mendekati layonnya, malahan sewaktu mendandani mayatpun Thi Kay-seng telah melakukannya sendiri"

"Oleh karena itulah semua orang menganggap di balik persoalan ini pasti ada hal-hal yang tak beres, hanya saja siapapun tak berani mengatakannya secara berterus terang"

Mendengar sampai di situ, Cia Siau-hong baru bertanya:

"Apakah ke empat orang itu yang bertugas meronda pada malam kejadian?"

"Ya, benar!", Thi Gi manggut-manggut.

"Di manakah nyonya lo-piautau?"

"Sejak banyak tahun berselang, mereka sudah tidur berpisah kamar......"

"Apakah tak ada orang lain yang mendengar suara cekcok di antara mereka berdua?"

"Malam itu hujan terlalu deras, gunturpun menggelegar membelah angkasa, kecuali empat orang yang sedang bertugas jaga malam, boleh dibilang yang lain sudah masuk tidur setelah minum sedikit arak......"

"Setelah terjadinya peristiwa itu, apalagi dalam perusahaan tersiar berita burung sebanyak itu, tentu saja Thi Kay-seng mendengarnya juga sedikit banyak, tentu diapun tahu bukan, kata-kata semacam itu berasal dari mana?"

"Tentu saja"

"Apakah selama ini dia tidak memberikan reaksi apa-apa terhadap ke empat orang itu?"

"Sebenarnya persoalan ini tanpa bukti, jika secara tiba-tiba ia lakukan suatu tindakan, bukankah hal ini malah akan menimbulkan kecurigaan orang? Sekalipun usianya tidak terlalu besar, tapi otaknya betul-betul jalan, sudah barang tentu dia tak akan melakukan tindakan secara gegabah. Tapi tiga hari setelah jenazah lo-piautau dikebumikan, dengan mencari alasan lain ternyata ia telah memecat ke empat orang itu dari keanggotaan perusahaan"

"Alasan apa yang telah ia gunakan?"

"Minum arak sampai mabuk di masa berkabung!", jawab Thi Gi, kemudian sambungnya lagi:

"Mereka sudah menerima budi kebaikan dari lo-piautau, apalagi punya rahasia yang tak bisa diutarakan, minum arak memang tak bisa dihindari, apalagi hatinya lagi murung!"

Cia Siau-hong manggut-manggut pelan, tanyanya kemudian:

"Kalau memang begitu, mengapa ia tidak manfaatkan alasan tersebut untuk membunuh mereka berempat? Siapa yang mereka cari?"

"Aku!"

"Dan kau tak tega untuk membunuh mereka?"

"Ya, aku memang merasa amat tak tega", jawab Thi Gi sedih, "sebab itu kubawa empat stel baju yang penuh berlepotan darah untuk memberi laporan"

"Ia bisa menyuruh kau membeli bunga mutiara untuk dihadiahkan kepada gundiknya, lalu menyuruh dirimu untuk membunuh orang dan menghilangkan saksi, tentunya kau telah dianggapnya sebagai orang kepercayaannya bukan?"

Tidak ada komentar: