Pendekar Gelandangan Bab 044

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

44

"Sebenarnya aku adalah kacung bukunya, sejak kecil dibesarkan bersama dengannya, tapi.........."

Kulit mukanya mengejang keras, setelah berhenti sejenak ia melanjutkan:

"Tapi......tapi aku tak tega menyaksikan lo-piautau mati dengan hati penasaran........ selama hidupnya lo-piautau adalah seorang pendekar sejati yang penuh welas asih, aku banyak berhutang budi kepadanya...... akupun sebenarnya tak tega menghianati Thi Kay-seng, tapi setelah kusaksikan kematian empat orang rekanku tadi, aku......aku benar-benar merasa tak tahan......."

Suaranya semakin sesenggukan, tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut dan.........."Tuuuk, tuuuk, tuuuk", ia menyembah tiga kali.

Katanya lebih jauh:

"Hari ini mereka berani munculkan diri di depan umum dan membongkar kedok kemunafikan Thi Kay-seng karena mereka telah melihat kehadiran Cia tayhiap di sana, mereka tahu bahwa Cia tayhiap pasti tak akan membiarkan mereka mati penasaran, asal Cia tayhiap bersedia memberi bantuan untuk menegakkan kembali keadilan dan kebenaran, aku......akupun rela untuk mati"

Ia menyembah dengan penuh luapan emosi sehingga kepalanya penuh berlepotan darah, tiba-tiba dari balik sepatunya ia cabut ke luar sebilah pisau dan segera ditusukkan ke ulu hati sendiri.

Akan tetapi, secara tiba-tiba saja pisau itu sudah berpindah ke tangan Cia Siau-hong.

Dengan sorot mata tajam, Cia Siau-hong menatapnya lekat-lekat, kemudian ujarnya:

"Perduli apakah aku menyanggupi permintaanmu itu atau tidak, kau tak usah mati!"

"Aku.......aku kuatir kalau Cia tayhiap masih tidak percaya dengan perkataanku, maka aku akan pergunakan kematianku untuk menyatakan kejujuran hatiku ini"

"Aku percaya padamu!"

ooo)O(ooo

Betapapun banyaknya kejadian menyedihkan yang dapat di dengar oleh kuil yang suram serta patung-patung arca yang angker, tak nanti mereka dapat bersuara.

Tapi di balik jagad yang luas, tentu saja ada sepasang mata yang sedang mengawasi semua kejadian yang menyedihkan, menggembirakan, kejujuran, kejahatan, ketulusan dan kebohongan yang sedang berlangsung di alam semesta, tentu saja iapun mempunyai hukum dan kekuatan untuk menjatuhkan hukuman bagi mereka yang melanggar.

Tiba-tiba Thi Gi berkata lagi:

"Tapi Cia tayhiap harus berhati-hati, sebab Thi Kay-seng bukan seorang manusia yang mudah dihadapi, ilmu pedangnya jauh lebih cepat, jauh lebih menakutkan daripada lo-piautau di masa jayanya dulu"

"Apakah ilmu silatnya bukan ajaran Thi lo-piautau?", tanya Cia Siau-hong.

"Sebagian besar adalah ajarannya, tapi dalam rangkaian ilmu pedangnya, ia memiliki tiga belas jurus lebih banyak dari apa yang dimiliki lo-piautau!"

Tiba-tiba sinar matanya memancarkan rasa ngeri yang tebal, kembali katanya:

"Konon ke tiga belas jurus ilmu pedang yang dimilikinya ini bukan saja amat ganas, bahkan luar biasa hebatnya, hingga kini belum ada manusia dalam dunia yang sanggup untuk menghadapinya"

"Tahukah kau siapa yang telah mengajarkan ke tiga belas jurus ilmu pedang itu kepadanya?"

"Aku tahu!"

"Siapa?"

"Yan Cap-sa!"

ooooOOOOoooo

Bab 23. Darah Mengalir di Hong-ki-piaukiok

Senja menjelang tiba, hujan telah lama berhenti.

Sang surya memancarkan sinar sorenya dengan sebuah bianglala yang indah tergantung di kaki langit, selewatnya hujan badai, suasana waktu itu tampak indah dan penuh ketenangan.

Konon, menurut orang tua, bila bianglala muncul di langit, itu pertanda datangnya kedamaian dan kebahagiaan bagi umat manusia.

Tapi, kenapa sinar senja tetap berwarna merah?

ooo)O(ooo

Panji Hong-ki-piaukiok pun tetap berwarna merah.

Tiga belas lembar panji di atas tiga belas kereta barang.

Rombongan itu berhenti tepat di halaman belakang sebuah rumah penginapan.

Berdiri di bawah wuwungan rumah yang masih meneteskan air, Thi Kay-seng memperhatikan panji di atas kereta-kereta itu, tiba-tiba serunya dengan lantang:

"Lepaskan semua panji-panji itu!"

Para piausu masih sangsi, ternyata tak seorangpun berani melaksanakan perintah tersebut.

Dengan suara lantang Thi Kay-seng kembali berkata:

"Jika ada orang yang menghancurkan selembar panji kita, itu sama artinya beribu-ribu dan berlaksa panji kita telah hancur musnah semua sebelum dendam ini di balas, sebelum penghinaan ini dicuci, dalam dunia persilatan tak akan dijumpai lagi panji-panji dari perusahaan kita!"

Paras mukanya masih tanpa emosi, tapi suaranya begitu tegas dan penuh kebulatan tekad.

Apa yang ia perintahkan masih tetap merupakan suatu perintah.

Tiga belas orang segera maju ke depan, tiga belas buah tangan bersama-sama mencabut panji perusahaan tersebut, tiba-tiba ke tiga belas buah tangan itu berhenti di tengah udara, tiga belas pasang mata bersama-sama telah menyaksikan seseorang.

Itulah seorang manusia yang jauh berbeda dari orang lain, di saat kau tidak membiarkan ia pergi, ia justru pergi, tapi di kala kau tak menyangka dia akan kembali, ia justru telah kembali.

Rambut orang itu sudah amat kusut, pakaiannya yang basah oleh hujan masih belum mengering, ia tampak amat lelah dan keadaannya mengenaskan sekali.

Akan tetapi tiada orang yang memperhatikan rambut serta pakaiannya, tiada orang pula yang merasakan keletihan dan keadaan mengenaskan yang mencekam dirinya, karena orang itu tak lain adalah Cia Siau-hong.

Thi Gi sesungguhnya adalah seorang pemuda yang tinggi kekar, alis matanya tebal, matanya besar, ia merupakan seorang anak muda yang gagah dan perkasa.

Tapi setelah berdiri di belakang orang itu, keadaannya segera berubah ibaratnya seekor kunang-kunang dengan sebuah rembulan, seperti sebuah lilin di bawah sinar sang surya.

Karena orang itu tak lain adalah Cia Siau-hong.

Thi Kay-seng melihat ia berjalan masuk, melihat ia berjalan ke hadapannya, lalu menyapa:

"Kau telah datang kembali!"

"Sepantasnya kau bisa menduga bahwa aku pasti akan datang lagi!", jawab Cia Siau-hong.

"Karena kau pasti sudah mendengar banyak cerita?", tanya Thi Kay-seng kemudian.

"Benar!"

"Dalam telapak tanganmu tiada pedang!"

"Benar!"

"Pedang itu masih berada dalam hatimu?"

"Apakah dalam hatiku ada pedang atau tidak, paling tidak seharusnya kau dapat melihatnya sendiri"

Thi Kay-seng menatapnya tajam-tajam, lalu berkata:

"Jika dalam hati ada pedang, hawa membunuh tentu berada di alis mata......!"

"Benar!"

"Dalam telapak tanganmu tiada pedang, dalam hatimu pun tiada pedang, lantas di manakah pedangmu?"

"Dalam tanganmu!"

"Pedangku adalah pedangmu?"

"Benar!"

Tiba-tiba Thi Kay-seng meloloskan pedangnya.

Ia sendiri tidak membawa pedang, anak yang berbakti pasti tak akan membawa senjata pembunuh di saat orang tuanya baru meninggal.

Tapi orang-orang yang mengikuti di belakangnya membawa pedang semua, walaupun bentuk pedang itu amat sederhana, tapi bagi orang yang berpengalaman segera akan mengenali bahwa setiap bilah pedang tersebut adalah pedang yang sangat tajam.

Pedang itu sama sekali tidak ditusukkan ke tubuh Cia Siau-hong........

Setiap orang hanya merasakan cahaya pedang berkelebat seakan-akan lepas tangan, tapi pedang tersebut masih berada di tangan Thi Kay-seng, hanya saja mata pedangnya telah terbalik dan tertuju ke arah diri sendiri.

Ia menjepit ujung pedang dengan ke dua jari tangannya, lalu pelan-pelan menyodorkan gagang pedang tersebut ke hadapan Cia Siau-hong.

Perasaan setiap orang mulai tercekat, peluh dingin mulai membasahi telapak tangannya.

Dengan tindakannya itu, bukankah hakekatnya seperti lagi bunuh diri.......?

Asal Cia Siau-hong telah memegang gagang pedang itu dan mendorongnya ke muka, siapakah yang bisa menghindarinya? Siapa pula yang bisa membendungnya?

Cia Siau-hong menatapnya lekat-lekat, akhirnya pelan-pelan ia menjulurkan tangannya dan menggenggam gagang pedang tersebut.

Thi Kay-seng mengendorkan jari tangannya ke bawah.

Ke dua orang itu saling bertatapan lama sekali, sorot mata merekapun memancarkan suatu sikap yang sangat aneh.

Tiba-tiba cahaya pedang kembali berkelebat lewat, menyambar seenteng angin yang berhembus dan menyergap secepat sambaran kilat.

Tiada orang yang bisa menghindari serangan tersebut, Thi Kay-seng pun tidak menghindarkan diri.

Tapi tusukan tersebut sama sekali tidak menusuk ke arahnya, cahaya pedang berkelebat lewat, tahu-tahu ujung pedang tersebut sudah menempel di atas tenggorokan Thi Gi.

Paras muka Thi Gi segera berubah hebat, paras muka setiap orangpun berubah hebat.

Hanya Thi Kay-seng tetap tenang seperti biasa, perubahan yang sangat mengejutkan itu agaknya sudah berada dalam dugaannya.

Thi Gi merasa tenggorokannya seperti tersumbat, lewat lama sekali ia baru bisa bersuara kembali.

Dengan suara yang parau dan gemetar bisiknya:

"Cia tayhiap, kau........kau apa-apaan ini?"

"Kau tidak mengerti?", tanya Cia Siau-hong.

"Aku tidak mengerti!"

"Kalau begitu kau memang dasarnya terlalu bodoh!"

"Aku sebenarnya memang seorang yang bodoh"

"Kalau sudah tahu bodoh, kenapa justru suka berbohong?"

"Siii....siapa.......siapa yang bohong?"

"Cerita yang kau susun memang sangat bagus, permainan sandiwaramu pun amat hidup dan mempesonakan, bahkan setiap peranan dalam sandiwara tersebut bisa kau kombinasikan secara bagus, malah adegan demi adegan bisa dilangsungkan dengan indahnya, sayang kau telah membuat satu kekeliruan besar"

"Kekeliruan? Kekeliruan apakah itu?"

"Tiga hal setelah Thi lo-piautau dikebumikan, Thi Kay-seng segera mengusir ke empat orang itu dari perusahaan, bahkan kaulah yang diutus untuk membunuh mereka?"

"Benar!"

"Tapi kau tak tega untuk turun tangan, maka hanya kau bawa empat stel pakain yang berlepotan darah untuk memberi laporan?"

"Benar!"

"Dan Thi Kay-seng pun mempercayai semua perkataanmu?"

"Selamanya ia memang percaya kepadaku!"

"Tapi ke empat orang yang telah kau bunuh itu tiba-tiba hidup kembali hari ini, Thi Kay-seng telah melihat sendiri kemunculan mereka, namun ia masih tetap mempercayaimu, malah suruh kau menyelidiki asal-usul mereka, apakah kau anggap dia seorang dungu? Tapi kau lihat dia agaknya sangat tidak mirip?"

Thi Gi tak sanggup berbicara lagi, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya seperti hujan deras.

Cia Siau-hong menghela napas panjang, katanya lebih lanjut:

"Aaaaii....! Seandainya kau ingin agar aku bisa membantumu melenyapkan Thi Kay-seng, seandainya kau menginginkan dua ekor bangau berkelahi dan membiarkan kau si nelayan tinggal memungut hasil, maka kau harus mengarang suatu cerita yang lebih bagus lagi, atau paling tidak kau harus tahu dengan jelas bahwa sekuntum bunga mutiara semacam itu, tak mungkin dapat dibeli dengan uang sebesar tiga ratus tahil perak........"

Tiba-tiba ia memutar mata pedangnya dan menjepit ujung pedang tersebut dengan ke dua jari tangannya, setelah itu menyerahkan pedang tersebut kepada Thi Gi.

Kemudian ia putar badan menghadap ke arah Thi Kay-seng dan ujarnya dengan hambar:

"Mulai sekarang, orang ini orangmu!"

Ia tidak memandang lagi ke arah Thi Gi walaupun hanya sekejap matapun, sebaliknya Thi Gi menatapnya lekat-lekat, menatap tengkuk serta tulang tengkorak bagian belakangnya, tiba-tiba sinar pembunuhan memancar keluar dari matanya, lalu secepat kilat pedangnya meluncurkan tusukan ke depan.

Cia Siau-hong tidak berpaling, pun tidak menghindar, hanya terasa sekilas cahaya pedang menyambar lewat dari sisi tengkuknya kemudian menembusi tenggorokannya Thi Gi.

Tidak sampai di situ saja, ternyata sisa kekuatan yang kemudian terpancar keluar telah menyeret tubuhnya sejauh tujuh-delapan depa lebih dan terpantek hidup-hidup di atas sebuah kereta barang.

ooo)O(ooo

Panji merah di atas kereta berkibar-kibar terhembus angin.

Ketika itu sinar senja sudah semakin redup dan samar, bianglala yang indahpun telah lenyap tak berbekas.

Ada orang yang memasang lampu dalam halaman itulah lampu berwarna merah.

Sinar lampu menerangi wajah Thi Kay-seng yang pucat sehingga berwarna kemerah-merahan.

Cia Siau-hong memandang ke arahnya lalu berkata.

"Sejak pertama kali tadi kau sudah tahu kalau aku pasti akan kembali lagi"

Thi Kay-seng mengakuinya.

"Karena aku tentu sudah mendengar banyak perkataan, kau percaya aku pasti dapat menemukan titik kelemahan di balik pembicaraan itu......", kata Cia Siau-hong lebih jauh.

"Ya, tentu saja! Karena kau adalah Cia Siau-hong!"

Wajahnya masih juga tanpa emosi, tapi setelah menyebut kata 'Cia Siau-hong' wajahnya segera menunjukkan sikap hormat yang luar biasa.

Dari balik sorot mata Cia Siau-hong muncul senyuman ramah, kembali ia berkata:

"Apakah kau bersiap-siap mengundangku minum arak barang dua cawan....?"

"Selamanya aku tak pernah minum setetes arakpun", jawab Thi Kay-seng.

Cia Siau-hong segera menghela napas.

"Minum sendiri tentu tidak menyenangkan, agaknya aku terpaksa harus angkat kaki dari sini"

"Sekarang kau masih belum boleh pergi!"

"Kenapa?"

"Kau harus meninggalkan dua macam barang terlebih dahulu!"

"Apa yang harus kutinggalkan?"

"Tinggalkan kuntum bunga mutiara itu!"

"Bunga mutiara?", tanya Cia Siau-hong.

"Benda itu aku telah membelinya dengan harga tiga ratus tahil perak untuk dihadiahkan untuk orang lain, aku tak dapat menghadiahkannya kepadamu!"

Kelopak mata Cia Siau-hong segera berkerut:

"Jadi benar-benar kau yang membeli? Jadi kau benar-benar menyuruh Thi Gi yang pergi membeli?"

"Tidak bakal salah lagi!"

"Tapi bunga mutiara seperti itu nilainya paling tidak di atas delapan ratus tahil perak, mana mungkin kau bisa membelinya dengan uang tiga ratus tahil?"

"Ciangkwe dari toko Thian-po adalah bekas kasir perusahaan Hong-ki-piaukiok, maka harga yang dia perhitungkan kepadaku istimewa murahnya, apalagi di dalam dagang mutiara, keuntungannya paling banyak dan gampang dicari sebab itu meskipun ia menjual kepadaku dengan harga sekecil itu, diapun tak bakal rugi"

Perasaan Cia Siau-hong semakin tenggelam, segulung hawa dingin tiba-tiba muncul dari dasar kakinya dan menyusup naik sampai ke atas kepala.

......Jangan-jangan aku sudah salah menuduh Thi Gi.

......Thi Kay-seng menyuruhnya pergi menyelidiki asal usul ke empat orang tersebut, apakah hal inipun merupakan suatu jebakan?

Tiba-tiba saja ia menemukan bahwa bukti yang berhasil diperoleh dan data yang bisa disimpulkan terlampau sedikit, pelu dingin segera membasahi tubuhnya.

"Kecuali bunga mutiara", kata Thi Kay-seng, "kaupun harus meninggalkan darahmu, darah untuk mencuci Hong-ki kami!"

Lalu sepatah kata demi sepatah kata ia berkata:

"Penghinaan atas hancurnya sebuah panji hanya bisa dicuci bersih dengan darah, kalau bukan darahmu itu berarti darahku!"

Angin dingin berhembus kencang, tiba-tiba seluruh jagad diliputi oleh hawa nafsu membunuh yang sangat tebal.

Akhirnya Cia Siau-hong menghela napas panjang, katanya:

"Kau adalah seorang yang pintar, kau benar-benar pintar sekali......"

"Bagi seorang pintar, dengan uang se-sen-pun bisa membeli sebuah kereta", kata Thi Kay-seng.

"Sebetulnya aku tak ingin membunuhmu"

"Tapi aku terpaksa harus membinasakan dirimu"

Cia Siau-hong segera menatapnya tajam-tajam lalu berkata:

"Ada suatu persoalan, akupun terpaksa harus menanyakan dulu kepadamu hingga jelas"

"Persoalan apakah itu?"

"Thi Tiong-khi, Thi lopiautau, apa benar-benar adalah ayah kandungmu?"

"Bukan!"

"Sesungguhnya apa yang menyebabkan kematiannya?"

Tiba-tiba kulit wajah Thi Kay-seng yang sekeras batu karang mengejang keras, serunya dengan suara menggeledek:

"Perduli apapun yang menyebabkan kematian dari dia orang tua, hal ini sama sekali tiada hubungan atau sangkut pautnya denganmu"

Tiba-tiba ia meloloskan pedangnya, meloloskan dua bilah pedang dan menyambitnya ke tanah hingga menancap di atas permukaan hingga tinggal gagangnya.

Itulah dua bilah pedang yang sederhana, dua bilah pedang dengan gagang yang dibungkus kain hitam.

"Walaupun ke dua bilah pedang ini ditempa bersama dalam sebuah tungku yang sama, namun ada perbedaan berat ringannya", demikian Thi Kay-seng berkata.

"Kau terbiasa memakai yang mana?"

"Dalam sekali tempaan ada tujuh bilah pedang yang telah dibuat, ke tujuh bilah pedang tersebut pernah kugunakan semua dengan enak, maka dalam hal ini aku jauh lebih beruntung daripadamu"

"Itu tak menjadi soal!"

"Meskipun ilmu pedangku mengandalkan kecepatan sebagai keistimewaannya, tapi di dalam suatu pertarungan antara jago lihay, rasanya kemantapan masih tetap merupakan titik pokok yang terpenting"

"Aku mengerti!"

Tentu saja ia mengerti.

Dengan tenaga dalam yang mereka miliki sekalipun pedang yang lebih beratpun dalam tangan mereka sama saja enteng dan leluasa kalau digunakan.

Tapi dua bilah pedang yang sama besar kecilnya, bila salah satu di antaranya jauh lebih berat, tentu saja bahan pedang tersebut berarti jauh lebih baik.

Semakin berat sebagai bahan pedang itu berarti pula membantu sebagian tenaga kekuatannya, padahal dalam suatu pertarungan antara dua jago lihay, selisih yang kecilpun bisa mengakibatkan hal-hal yang amat fatal.

"Aku tak rela memberikan yang lebih berat kepadamu, akupun tak ingin mencari keuntungan bagi diriku sendiri, sebab itu lebih baik kita saling beradu nasib", kata Thi Kay-seng.

Cia Siau-hong memandangnya lekat-lekat, dalam hati kecilnya kembali ia bertanya:

Tidak ada komentar: