Pendekar Gelandangan Bab 045

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

45

"......Sesungguhnya pemuda macam apakah dirinya itu?"

Ternyata di hadapan Cia Siau-hong yang tiada tandingannya di dunia pun, dia tak ingin mencari keuntungan barang sedikitpun? Manusia seangkuh dia, mana mungkin bisa melakukan terkutuk yang keji dan jahat?

Thi Kay-seng kembali berkata:

"Silahkan, silahkan memilih sebilah lebih dulu!"

Gagang pedang itu semuanya berbentuk sama.

Ujung pedang pun sama-sama menancap hingga menembusi permukaan tanah.

Sesungguhnya pedang yang manakah yang terbuat dari bahan lebih baik? Pedang mana kah yang lebih berat bobotnya? Siapapun tak berhasil untuk mengetahui.

Lantas bagaimana kalau tak dapat melihatnya?

Apa pula gunanya ada pedang? Apa pula gunanya tanpa pedang?

Pelan-pelan Cia Siau-hong membungkukkan badannya dan menggenggam sebilah gagang pedang tapi ia tidak mencabutnya keluar.

Ia sedang menunggu Thi Kay-seng.

Meskipun ujung pedang masih di tanah, tapi tangannya telah menggenggam gagang pedang, hawa pedang seakan-akan telah menembusi tanah dan muncul keluar.

Sekalipun sedang membungkukkan badan, melengkungkan pinggang, tapi posisinya itu hidup dan indah, sama sekali tidak menutup kemungkinan buat dirinya untuk melancarkan serangan secara tiba-tiba.

Thi Kay-seng memperhatikan dirinya, dalam pandangan matanya seakan-akan telah muncul kembali sesosok bayangan manusia yang lain, seseorang yang sama-sama dihormati olehnya.

Bukit yang terpencil diliputi keheningan, kadangkala bulan bersinar terang, kadang kala hujan turun amat deras, bukan saja orang itu telah mewariskan ilmu pedang Tui-hun-toh-mia-kiam-hoat kepadanya, seringkali menceritakan kisah tentang Cia Siau-hong kepadanya.

Sekalipun orang itu belum pernah saling berjumpa dengan Cia Siau-hong, akan tetapi ia sangat memahami akan segala tindak-tanduk dari Cia Siau-hong, mungkin jauh lebih memahami daripada siapapun dalam dunia ini.

Sebab sasarannya yang terutama selama hidupnya adalah ingin mengalahkan Cia Siau-hong.

Apa yang pernah ia katakan, tak pernah dilupakan oleh Thi Kay-seng.....

......Hanya orang yang berhati lurus dan tidak dicabangkan oleh persoalan lain, baru dapat melatih suatu ilmu pedang yang tiada tandingannya di dunia ini.

......Cia Siau-hong adalah manusia semacam itu.

Ia tak pernah memandang enteng musuhnya, oleh sebab itu setiap kali melancarkan serangan, ia pasti menyerangnya dengan sepenuh tenaga.

Hanya cukup dalam hal ini, setiap orang yang ingin belajar pedang di dunia ini sudah sepantasnya kalau mengambilnya sebagai contoh yang paling baik.

Meskipun tangan Thi Kay-seng dingin seperti es, darahnya panas seakan-akan sedang mendidih.

Bila bertempur dengan Cia Siau-hong, hal ini dianggapnya sebagai suatu peristiwa yang paling dibanggakan dan paling digembirakan selama hidupnya.

Ia berharap bisa menangkap pertarungan ini dan menangkap namanya hingga termasyhur di mana-mana, diapun ingin menggunakan darah Cia Siau-hong untuk mencuci bersih penghinaan yang telah dialami Hong-ki-piaukiok.

Tapi dalam dasar hati kecilnya, mengapa justru menaruh rasa hormat dan kagum yang luar biasa terhadap orang ini?

"Silahkan!"

Baru saja perkataan itu diutarakan, pedang Thi Kay-seng telah dicabut keluar lalu menusuk ke depan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.

Tentu saja ia lebih-lebih tak berani memandang enteng musuhnya, karena itu begitu serangan dilancarkan segenap tenaga yang dimiliki telah digunakan.

Thi-khi-kuay-kiam (pedang kilat si penunggang kuda baja) tersohor di mana-mana, seratus tiga puluh satu gerakan Lian-huan-kuay-kiam (pedang kilat berantai) nya begitu lihay sehingga serangan yang satu lebih ganas daripada tusukan yang lain.

Dalam sekejap mata, ia telah melepaskan tiga kali tujuh dua puluh satu tusukan. Ini ilmu Luan-sian-si bagian pertama dari ilmu pedang kilat.

Karena biasanya di saat ia pergunakan jurus yang ke dua puluh satu ini, pihak lawan tentu akan menangkis serangannya dengan tangkisan pedang.

Suara beradunya sepasang pedang akan menimbulkan suara dentingan yang memekikkan telinga, karenanya serangan tersebut disebutnya sebagai jurus yang memekikkan.

Tapi sekarang sekalipun jurus yang kedua puluh satu telah dilancarkan ternyata sama sekali tak terdengar sedikit suarapun.

Karena di tangan lawan sama sekali tiada pedang, hanya ada selembar ikat pinggang berwarna hitam yang bercahaya tajam.

Itulah kain hitam yang sebenarnya digunakan untuk membungkus gagang pedang.

Ternyata Cia Siau-hong tidak mencabut pedang tersebut dia hanya melepaskan kain pengikat gagang pedang tersebut.

Kain pengikat juga boleh, pedangpun juga boleh, sesudah berada di tangan Cia Siau-hong, maka semuanya akan berubah menjadi bertuah dan memiliki kekuatan yang mengerikan.

Ibaratnya panah sudah terlepas dari busurnya pertarungan telah berlangsung dan Thi Kay-seng sudah tiada pilihan lain lagi.

Kain pengikat tersebut ternyata membawa semacam tenaga kekuatan yang sangat aneh, kekuatan itu telah menggerakkan pedangnya untuk ikut bergerak pula.

Hakekatnya ia sudah tak mampu untuk menghentikan serangannya lagi.

Kembali tiga kali tujuh dua puluh satu tusukan telah dilancarkan, kali ini yang digunakan adalah gerakan Toan-sian-sin bagian terakhir dari ilmu Thi-khi-kuay-kiam nya.

Di sini pula terletak semua intisari kehebatan dari ilmu pedang kilat. Di antara kilatan cahaya pedang yang menyilaukan mata, lamat-lamat terdengar suara derap kaki kuda yang memekikkan telinga serta suara teriak-teriakan di medan pertempuran.

Sewaktu masih muda dulu napsu membunuh yang meliputi benak Thi Tiong-khi sangat tebal, biasanya dari ke seratus tiga puluh dua jurus Lian-huan-kuay-kiam nya itu baru digunakan jurus yang ke delapan sembilan puluh jurus, pihak lawan pasti sudah tewas di ujung pedangnya.

Seandainya jurus bagian yang terakhirpun harus dipergunakan itu berarti musuhnya pasti sangat tangguh, karenanya dalam ilmu pedang bagian yang terakhir ini, semua jurus serangan yang dipergunakan merupakan jurus-jurus ganas yang tiada sayangnya untuk mengajak musuhnya untuk beradu jiwa.

Oleh sebab itu setiap serangan yang dilancarkan tak pernah meninggalkan tempat luang bagi lawannya untuk menghindar, tidak pula untuk dirinya sendiri.

Karena dua puluh satu tusukan terakhir ini sesudah dilepaskan, maka semua jurus serangannya akan berakhir.

Hawa pedang menyelimuti angkasa, dalam waktu singkat ia telah melancarkan kedua puluh satu tusukan yang terakhir, setiap tusukan yang dilancarkan semuanya ibarat seorang ksatria yang membunuh musuh, semuanya merupakan serangan-serangan keji yang tidak memberi peluang buat lawannya.

Sedemikian hebatnya serangan itu, rasanya tiada ilmu pedang manapun di dunia ini yang bisa dibandingkan.

Tapi setelah dua puluh satu tusukan itu lewat, ibaratnya batu yang tercebur di tengah samudra, lenyap dan hilang dengan begitu saja, sedikitpun tiada kabar beritanya.

Menanti hingga tiba saat seperti ini, sekalipun orangnya belum mati, jurus pedangnya telah berakhir, tidak matipun terpaksa harus mati juga.

Ketika para pengikut Thi Kay-seng yang hadir di sana menyaksikan cong piautau-nya mengeluarkan jurus serangan yang terakhir, tanpa terasa semua orang memperdengarkan helaaan napas yang disertai dengan rasa kaget.

Siapa tahu, begitu jurus serangan yang terakhir lewat, tiba-tiba Thi Kay-seng merubah jurus pedangnya, dengan suatu gerakan yang enteng ia lepaskan sebuah tusukan lagi.

Bila dalam melancarkan serangannya tadi hawa pedang dan hawa pembunuhan menyelimuti angkasa dengan tebalnya ibarat awan tebal di angkasa, maka tusukan tersebut ibaratnya awan tebal yang tiba-tiba membuyar dan sang suryapun bersinar kembali, sekalipun bukan sinar matahari yang memberikan kehangatan, tapi sinar panas yang membuat emaspun meleleh, sinar yang merah seperti darah.

ooo)O(ooo

Ketika Thi Kay-seng melancarkan serangan dengan ilmu pedang yang gagah perkasa tadi, agaknya Cia Siau-hong masih tidak memandangnya di dalam hati.

Tapi begitu tusukan terakhir dilepaskan, tiba-tiba ia bersorak kegirangan:

"Bagus, bagus, suatu ilmu pedang yang amat bagus!"

Baru selesai beberapa patah kata itu, Thi Kay-seng telah melepaskan kembali empat tusukan, setiap tusukan tersebut seakan-akan menghadang perubahan yang tiada habisnya, tapi seakan-akan juga tanpa perubahan apapun, begitu melayang, begitu mantap, begitu enteng, tapi sesungguhnya ganas dan hebat.

Cia Siau-hong tidak menyerang, diapun tidak menangkis.

Dia hanya melihat.

Ia seakan-akan sedang menyaksikan seorang gadis cantik yang masih muda berada dalam keadaan bugil, seakan-akan ia dibikin terpesona hingga lupa daratan.

Tapi ke empat buah tusukan tersebut sama sekali tidak berhasil melukai tubuhnya, bahkan seujung rambutpun tidak.

Thi Kay-seng merasa heran sekali.

Tusukan yang dengan jelas ia lihat menembusi dadanya, ternyata di saat yang terakhir hanya bergeser lewat dengan menempel di atas dadanya, sebuah serangan yang dengan jelas telah menembusi tenggorokannya, ternyata meleset sama sekali.

Setiap tusukan dan arah sasaran maupun perubahan dari gerak pedangnya itu seakan-akan telah berada di dalam dugaannya semua.

Tiba-tiba serangan pedang dari Thi Kay-seng berubah menjadi amat pelan, pelan sekali.

Tusukan itu dilepaskan bukan saja tanpa sasaran tertentu, bahkan sama sekali tak beraturan.

Akan tetapi tusukan itu seakan-akan mata dalam lukisan naga, sekalipun kosong tapi memiliki kunci perubahan yang sama sekali tak terduga.

Bagaimanapun juga lawannya akan bergerak, asal bergerak sedikit saja, maka akibatnya serangan berikut akan menembusi tubuhnya dan merenggut nyawanya.

Gerakan Cia Siau-hong hampir berhenti sama sekali, pada detik itu tampaklah gerakan pedang yang lamban dan kasar yang sedang menusuk tiba pelan-pelan itu, mendadak berubah menjadi selapis hujan bunga yang menyilaukan mata.

Ya, itulah bunga pedang yang memenuhi seluruh angkasa, hujan pedang yang menyelimuti udara, tiba-tiba saja berubah menjadi serentetan bianglala yang menyilaukan mata.

Itulah tujuh buah bianglala yang berwarna-warni, tujuh buah tusukan maut yang bergetar di udara, bergetar sambil melakukan pelbagai perubahan yang tak terhitung banyaknya.

Tapi tiba-tiba saja semua bianglala tergulung di balik awan tebal berwarna hitam.

Itulah kain pengikat berwarna hitam.

Tiba-tiba Thi Kay-seng menghentikan gerakannya, peluh dingin membasahi seluruh tubuhnya dan bercucuran seperti air hujan.

Cia Siau-hong menghentikan pula semua gerakannya, lalu sepatah kata demi sepatah kata bertanya:

"Inikah ilmu pedang Toh-mia-cap-sa-kiam dari Yan Cap-sa........?"

Thi Kay-seng membungkam.

Membungkam berarti dia telah mengaku.

"Bagus, ilmu pedang yang sangat bagus!", seru Cia Siau-hong lagi.

Tiba-tiba ia menghela napas panjang lagi, lalu berseru:

"Sayang........sayang......!"

"Apanya yang sayang?", tak tahan Thi Kay-seng bertanya.

"Sayang hanya ada tiga belas jurus, kalau masih ada jurus yang ke empat belas maka aku pasti kalah"

"Mungkinkah masih ada jurus yang ke empat belas?", tanya Thi Kay-seng keheranan.

"Ya, pasti ada!"

Sesudah termenung lama sekali, pelan-pelan ia baru berkata lebih lanjut.

"Jurus ke empat belas baru merupakan inti sari dari seluruh ilmu pedang ini!"

Intisari dari ilmu pedang berarti nyawa bagi manusia sama-sama tak berwujud dan melayang-layang, sekalipun tidak terlihat dengan mata, akan tetapi tiada seorang manusiapun yang menyangkal akan kebenarannya.

Cia Siau-hong berkata kembali:

"Semua perubahan dan kekuatan yang berada dalam Toh-mia-cap-sa-kiam baru akan terpancar keluar di dalam jurus yang ke empat belas, bilamana jurus ke empat belas dapat dipecahkan lagi, maka ilmu pedangnya akan berubah menjadi suatu ilmu pedang yang tiada tandingannya di dunia ini......"

Tangan bergetar keras, tiba-tiba saja kain tersebut menjadi lurus dan kaku persis seperti sebilah pedang.

Ketika pedang itu bergerak ibaratnya sinar di waktu senja, seperti pula matahari, seperti bianglala, seperti awan hitam, seperti bergerak tapi tenang, seperti kosong tapi nyata, seperti ada di kiri seperti pula ada di kanan, seperti ada di depan seperti juga di belakang, seperti cepat seperti pelan, seperti kosong seperti pula berisi.

Sekalipun yang bergerak tak lebih hanya sebilah kain pengikat, tapi dalam sekejap mata telah berubah menjadi sebilah senjata tajam yang jauh lebih mengerikan daripada senjata tajam manapun juga.

Dalam saat yang amat singkat inilah, peluh dingin telah membasahi seluruh pakaian Thi Kay-seng.

Ia hampir boleh dibilang tak bisa mematahkan lagi serangan tersebut, tak mampu menangkis, tak mampu menyambut, tak mampu pula untuk menghindarkan diri.

"Inilah jurus yang ke empat belas!", kata Cia Siau-hong.

Thi Kay-seng tak mampu berbicara lagi.

"Jika kau gunakan jurus serangan ini, maka semua jalan mundurku akan kau sumbat hingga aku menjadi terjepit", Cia Siau-hong berkata lebih jauh.

Thi Kay-seng sedang menyesal, ia menyesal kenapa selama ini tak sanggup untuk memikirkan perubahan tersebut.

"Sekarang kau sudah melihat jelas jurus seranganku ini?", tanya Cia Siau-hong lagi.

Thi Kay-seng telah melihat jelas, sejak kecil ia sudah mulai belajar ilmu pedang, ia melatihnya terus dengan tekun.

Dalam bidang ini ia memang seorang manusia cerdas yang berbakat, lagipula pernah mengucurkan keringat, pernah mengucurkan darah........

"Coba kau ulangi sekali lagi!", Cia Siau-hong berseru.

Thi Kay-seng mainkan lagi semua jurus dan perubahan dari jurus pedang itu sekali lagi, kemudian baru bertanya:

"Sekarang apakah kau dapat mengingat semuanya?"

Thi Kay-seng mengangguk.

"Kalau begitu cobalah kau gunakan!"

Thi Kay-seng memandang ke arahnya, ia masih belum memahami maksudnya yang sebenarnya.

"Aku inginkan kau gunakan jurus pedang itu untuk menghadapiku, coba lihatlah apakah dapat mengalahkan ilmu pedangku?", kata Cia Siau-hong.

Mencorong sinar mata dari balik mata Thi Kay-seng, akan tetapi dengan cepat sinar mata tajam itu sirap kembali.

"Aku tak dapat berbuat demikian!", sahutnya.

"Aku mengharuskan kau berbuat demikian"

"Kenapa?"

"Sebab akupun ingin mencoba apakah jurus itu bisa mematahkan ilmu pedangku?"

Karena ilmu pedang tersebut meski diciptakan olehnya, akan tetapi perubahan intisarinya jurus berasal dari ilmu Toh-mia-cap-sa-kiam (Tiga belas jurus ilmu pedang perenggut nyawa).

Nyawa dari jurus tersebut termasuk juga nyawa dari Yan Cap-sa.

Thi Kay-seng sudah mulai memahami maksudnya, mencorong sinar kagum dari balik matanya.

"Kau memang seorang lelaki yang pantas merasa tinggi hati!"

"Aku memang demikian!"

"Tapi kau memang pantas untuk bersikap demikian!"

"Ya, aku memang begitu!"

ooooOOOOoooo

Bab 24. Kemunculan Yang Tak Terduga

Ketika serangan itu dilancarkan hawa pedang yang dingin menyeramkan segera menyelimuti angkasa, bahkan sinar lentera pun kehilangan cahayanya.

Cia Siau-hong sedang mundur ke belakang.

Serangan tersebut telah menyumbat semua jalan mundur bagi gerakan pedangnya maka terpaksa ia harus mundur.

Mundur bukan berarti kalah.

Meskipun ia sedang mundur, bukan berarti ia sudah kalah.

Tubuhnya yang tertekan oleh hawa pedang telah melengkung ke belakang, melengkung bagaikan sebuah gendewa.

Tapi semakin kencang, gendewa itu melengkung, setiap saat kemungkinan besar akan memberikan daya pantulan yang besar, semakin besar daya tekanannya semakin besar pula daya pantulnya.

Bila saat seperti itu telah tiba, maka saat itu pula mati hidup menang kalah mereka akan ditentukan.

Siapa tahu di saat semua tenaganya tertekan, hingga mencapai pada puncaknya dan sebelum sempat dipancarkan keluar, tiba-tiba dari belakang kereta barang, dari balik serambi ruangan bermunculan empat bilah sinar pedang yang berkilauan.

Padahal semua perhatian dan semua kekuatannya sedang ditujukan pada pedang di tangan Thi Kay-seng, semua kekuatannya sedang dipersiapkan untuk menyambut datangnya serangan tersebut, ia sama sekali tidak memiliki sisa kekuatan lagi untuk memikirkan persoalan lain.

Cahaya pedang berkelebat lewat, tiga bilah pedang bersama-sama telah menusuk bahu, paha kiri dan punggungnya.

Seketika itu juga semua kekuatannya gugur dan hilang.

Serangan pedang dari Thi Kay-seng pun telah menyongsong tiba, ujung pedangnya telah menyambar ke bagian yang mematikan di atas tenggorokannya.

Ia tahu dirinya tak nanti bisa menghindar atau menangkis lagi, akhirnya dia harus merasakan bagaimana rasanya menghadapi saat kematian.......

......Perasaan yang bagaimanakah keadaan seperti itu?

......Benarkah di saat menjelang kematiannya, seseorang bisa terkenang kembali semua kejadian yang pernah dialaminya di masa lampau....?

......Sepanjang penghidupannya di dunia ini, sesungguhnya berapa banyak kegembiraan yang telah ia terima? Berapa banyak kesedihan yang dia alami? Sebenarnya orang lain yang bersikap masa bodoh kepadanya? Ataukah dia yang telah menyia-nyiakan pengharapan orang?

Semua pertanyaan semacam itu, kecuali dirinya sendiri, boleh dibilang tak seorangpun bisa menjawabnya.

Tapi ia sendiripun tak mampu menjawab.

Ujung pedang yang dingin dan keras telah menusuk tenggorokannya.

Dia hanya merasakan hawa dingin yang merasuk tulang menembusi tubuhnya, begitu dingin sehingga rasanya amat getir.

Akhirnya Cia Siau-hong roboh ke tanah, roboh di ujung pedang Thi Kay-seng dan tergeletak di atas genangan darah sendiri.

Ia bahkan tak sempat mengetahui siapakah empat orang penyergapnya itu.

Tapi Thi Kay-seng melihatnya dengan jelas.

Kecuali Cho Han-giok serta dua bersaudara dari keluarga Wan, masih ada lagi seorang manusia asing yang tinggi semampai dengan pakaian yang perlente, tapi wajahnya justru memancarkan rasa sedih, murung, letih dan kesal yang amat tebal.

Wan Ji-im sedang tersenyum sambil berkata:

"Kionghi Cong-piautau, akhirnya kau berhasil juga merobohkannya, nama besarmu pasti akan termasyhur di mana-mana"

Paras muka Thi Kay-seng sama sekali tidak memancarkan perubahan apa-apa, pedangnya telah terkulai lemas ke bawah.

"Sekalipun dalam serangan kali ini, kamipun menyumbangkan sedikit tenaga, tapi sesungguhnya cong-piautau-lah yang telah memegang peranan penting", kata Wan Ji-im lebih jauh.

"Kami berempat menyerang bersama-sama tanpa melukai tempat yang mematikan di tubuhnya, apakah hal ini kalian siapkan agar aku yang membunuhnya dengan tanganku sendiri?", Thi Kay-seng bertanya.

Wan Ji-im sama sekali tidak menyangkal

Thi Kay-seng memperhatikan laki-laki asing berbaju perlente itu sekejap, kemudian katanya:

Tidak ada komentar: