Pendekar Gelandangan Bab 046

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

46

"Sahabat ini adalah......."

"Dia adalah kongcu dari keluarga Hee-ho, Hee-ho Seng adanya!"

Thi Kay-seng menghela napas panjang, lalu bergumam.

"Terima kasih banyak, terima kasih banyak....."

Suaranya pelan dan rendah, seakan-akan ia merasakan keletihan yang luar biasa, semacam keletihan yang akan dirasakan sehabis meraih suatu kemenangan.

Kata Wan Ji-im kembali:

"Sekarang darahnya belum dingin mengapa cong-piautau tidak pergunakan darahnya untuk menambah kesemarakan dari panji merah perusahaanmu.....?"

"Ya, aku memang sedang bermaksud untuk berbuat demikian!"

Ketika kata terakhir melompat keluar, tiba-tiba pedangnya yang terkulai ke bawah itu menyambar ke depan dan masuk ke tubuh Wan Ji-im.

Dengan terperanjat Wan Ji-im menyambut serangan itu dengan tangkisan, suara beradunya senjata segera berkumandang memecahkan keheningan.

Dengan suara keras Thi Kay-seng berkata:

"Peristiwa ini bukan aku yang mengatur, Thi Kay-seng bukan manusia rendah yang begitu tak tahu malu. Penghinaan hanya bisa dicuci dengan darah, kalau bukan darah kalian adalah darahku!"

Ucapan tersebut seakan-akan ditujukan untuk Cia Siau-hong, tapi mungkinkah orang mati masih bisa menangkap suara?

Selama ini Hee-ho Seng menatap terus tubuh Cia Siau-hong yang tergeletak di tanah dengan penuh kesedihan, kemarahan dan kebencian yang meluap-luap, tiba-tiba ia melompat ke depan dan menusuk lambungnya.

Siapa tahu sebelum tusukan itu mencapai sasaran, tiba-tiba Cia Siau-hong melompat bangun dari genangan darah dan menyusup ke depan.

"Dia belum mati.......dia belum mati.......", teriak Hee-ho Seng dengan suara keras.

Suaranya yang penuh dengan luapan emosi itu hampir mendekati suatu kekalapan, permainan pedangnya lantaran luapan emosi tersebut berubah pula mendekati kekalapan, bagaikan seorang yang kalap ia mengejar dari belakang Cia Siau-hong dan melepaskan serangan yang semuanya ditujukan pada bagian-bagian mematikan di tubuhnya.

Cia Siau-hong telah mencabut keluar pedang yang menancap di tanah itu dan memutar senjatanya sambil melancarkan serangan balasan.

Dia tidak berpaling, tapi setiap titik kelemahan yang terdapat dalam ilmu pedang Hee-ho Seng tampaknya sudah ia perhitungkan dengan tepat, meskipun hanya babatan pedang yang sederhana, akan tetapi semua tempat titik kelemahan di tubuh Hee-ho Seng telah diserang olehnya.

Bagaimanapun Hee-ho Seng berusaha untuk merubah gerak serangannya, setiap kali pula serangan tersebut kandas di tengah jalan dan hancur berantakan.

Tapi dalam keadaan luka lama belum sembuh, luka baru telah muncul, ayunan tangannya itu segera mendatangkan rasa sakit yang luar biasa pada bahunya yang robek.

Betul serangan pedangnya menang dalam teknik, sayang kalah dalam tenaga.

"Triiiiing.....!", ketika sepasang pedang saling membentur, kembali pedangnya digetarkan sehingga terlepas dari cekalannya.

Cahaya pedang bagaikan bintang kejora dengan kecepatan luar biasa senjata itu mencelat keluar dinding pekarangan.

Menyaksikan pedang sendiri mencelat ke udara, Cia Siau-hong hanya merasakan lambungnya tiba-tiba berkerut seakan-akan menyaksikan kekasihnya tiba-tiba jauh meninggalkan dirinya, seperti pula kakinya tiba-tiba menginjak di tempat yang kosong dan terjerumus ke dalam sebuah jurang yang beribu-ribu kaki dalamnya.

Belum pernah dia mengalami pengalaman seperti ini.

Sesungguhnya kejadian seperti ini tak akan terjadi pada dirinya.

Mata pedang yang dingin telah menempel di atas tengkuknya, hampir saja memotong nadi besar di atas lehernya.

Hee-ho Seng telah menghentikan gerakan tangannya, lalu sepatah demi sepatah kata ia bertanya:

"Kau tahu siapakah aku?"

"Agaknya tenaga dalam yang kau miliki telah peroleh kemajuan yang amat pesat!", kata Cia Siau-hong, "tapi sebenarnya kau tak pernah menyergap orang dari belakang!"

Hee-ho Seng memutar badannya dan telah tiba dihadapannya, mata pedangpun melingkari tengkuknya, bergeser pula ke depan sehingga meninggalkan sebuah jalur panjang berdarah seperti seorang bocah perempuan yang memakai kalung merah di lehernya.

Mulut luka yang ditusuk Thi Kay-seng tadi kini darahnya telah membeku, seperti batu mirah yang tergantung pada seuntai kalung merah.

Cia Siau-hong sama sekali tidak mengerutkan dahinya, dengan hambar ia berkata:

"Sungguh tak kusangka keluarga persilatan Hee-ho memiliki pula sebilah pedang yang sedemikian tajamnya!"

Hee-ho Seng tertawa dingin.

"Kejadian tak terduga yang terjadi di dunia ini sesungguhnya memang banyak sekali", katanya.

"Ya, memang banyak sekali!", sambung Cia Siau-hong sambil menghela napas panjang.

Tiba-tiba Hee-ho Seng merendahkan suaranya sambil berbisik:

"Sekarang dia berada di mana?"

"Siapa yang kau maksudkan?"

"Semestinya kau tahu siapa yang sedang kutanyakan?"

"Kenapa aku semestinya harus tahu?"

Hee-ho Seng menggertak giginya keras-keras menahan rasa bencinya yang meluap-luap, katanya:

"Sejak kawin denganku, dengan sepenuh hati aku melayani dirinya, aku hanya berharap bisa hidup bahagia dengannya sampai akhir tua nanti, setengah langkahpun tidak meninggalkan dirinya, tapi dia........dia.....aiii, dia........"

Ketika berbicara sampai di sini, tiba-tiba suaranya gemetar lewat sesaat kemudian ia baru bisa melanjutkan kembali kata-katanya.

"Setiap kali ada kesempatan, ia selalu berusaha dengan segala macam akal muslihat untuk kabur dari sisi tubuhku, pergi berjudi, minum arak, bahkan menjadi pelacur, seakan-akan asal meninggalkan diriku, maka apapun yang suruh dia lakukan, dengan senang hati ia bersedia untuk melakukannya"

Cia Siau-hong memandang ke arahnya, timbul juga perasaan simpatik dalam hatinya.

"Mungkin hal ini dikarenakan kau telah melakukan sesuatu kesalahan!", katanya.

"Aku tidak bersalah, dialah yang bersalah, kaulah yang bersalah!", jerit Hee-ho Seng seperti orang kalap.

"Aku yang salah?"

"Hingga sekarang aku baru mengerti, kenapa ia bisa melakukan perbuatan semacam ini"

"Kenapa?"

"Karena.......karena......"

Sambil menggigit bibir, tiba-tiba badannya melingkari kembali tubuh Cia Siau-hong satu lingkaran, mata pedang sekali lagi meninggalkan bekas darah yang melingkar di atas tengkuk Cia Siau-hong, ini membuat ia tampak lebih indah, tapi keindahan yang mengenaskan dan mengerikan hati orang.

"Pedang ini adalah sebilah pedang yang tajam!", kata Hee-ho Seng kemudian.

"Ya, aku mengerti!"

"Asal aku melingkari tengkuk tiga kali lagi, maka batok kepalamu segera akan rontok ke tanah"

"Aku tahu!"

"Kalau begitu seharusnya kaupun musti tahu karena apa ia berbuat demikian?"

"Aku tak tahu!"

"Ia berbuat demikian karena kau!", teriak Hee-ho Seng keras-keras.

Suaranya gemetar semakin keras, bahkan tangan dan kakinya ikut menggigil keras.

"Meskipun kawin denganku, tapi dalam hatinya hanya ada kau, tahukah kau selama hidupmu ini sudah berapa banyak perkumpulan yang hancur di tanganmu? Sudah berapa pasang suami isteri yang cerai berai karena perbuatanmu?"

Tiba-tiba wajah Cia Siau-hong mulai mengejang keras, mengejang karena penderitaan yang hebat.

Bila seorang lelaki ternyata dicintai seorang perempuan, apakah kesalahan ini terletak pada pihaknya?

Jika seorang perempuan telah mencintai seorang laki-laki yang pantas ia cintai, apakah perbuatannya inipun salah?

Jika mereka tidak bersalah, siapa pula yang bersalah?

Ia tak sanggup menjawab, diapun tak dapat menjelaskan.

ooo)O(ooo

Kombinasi dari sepasang pedang dua bersaudara Wan telah mengunci Thi Kay-seng di posisinya semula.

Sudah sepuluh keturunan keluarga Wan menjagoi dunia persilatan, nama besar mereka tak pernah runtuh, tentu saja ilmu pedang keluarga mereka telah mengalami penempaan yang matang, perduli siapapun ingin mematahkan kerja sama dari sepasang pedang mereka, hal ini tak mungkin bisa dilakukan secara mudah.

Malahan beberapa kali Thi Kay-seng sudah hampir mampu untuk melancarkan serangan yang berhasil mematahkan lawan.

Ilmu Toh-mia-cap-sa-kiam yang dimilikinya seakan-akan merupakan ilmu pedang tandingan dari ilmu pedang semacam itu, asal ia pergunakan jurus yang "ke empat belas", niscaya kerja sama sepasang pedang itu akan hancur berantakan.

Akan tetapi ia selalu tidak mempergunakan jurus pedang tersebut.

Ia terlalu angkuh.

Bagaimanapun juga jurus pedang itu merupakan hasil ciptaan Cia Siau-hong, padahal antara dia dengan Cia Siau-hong masih ada persoalan yang harus diperhitungkan.

Walaupun ia tak dapat membiarkan Cia Siau-hong dicelakai orang lantaran terdesak oleh jurus ciptaannya itu akan tetapi diapun tak dapat menggunakan jurus itu untuk melukai orang.

Selamanya dia adalah seseorang yang mengerti akan pertarungan.

Sayangnya Toh-mia-cap-sa-kiam (tiga belas pedang pencabut nyawa) kekurangan satu jurus seperti melukis naga yang tidak diberi mata, sekalipun tampak hidup, sayangnya sama sekali tak berkekuatan.

Sewaktu bertarung melawan Cia Siau-hong tadi, ia telah mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya, sekarang tenaganya kian lama kian lemah dan tak tahan, serangan-serangannya juga makin lama semakin macet karena dibendung semua oleh dua bersaudara Wan.

Cho Han-giok tertawa dingin, menyaksikan kesemuanya itu, ia sudah tak sudi untuk turun tangan lagi, anehnya para piausu dari perusahaan Hong-ki-piaukiok pun hanya berpeluk tangan belaka, tak seorangpun di antara mereka yang bermaksud maju ke depan membantu cong piautau-nya.

ooo)O(ooo

Cahaya pedang berkilauan, di atas leher Cia Siau-hong telah bertambah lagi dengan beberapa buah luka berdarah, kali ini mata pedang tersebut mengiris lehernya lebih dalam, darah segar telah mengucur keluar dan membasahi seluruh pakaiannya.

"Mau bicara tidak?", bentak Hee-ho Seng sambil menatapnya tajam-tajam.

"Bicara apa?"

"Asal kau katakan dimanakah ia berada sekarang, segera kuampuni selembar jiwamu"

Sinar mata Cia Siau-hong dialihkan ke tempat kejauhan sana, seakan-akan sama sekali tidak melihat akan orang yang berada dihadapannya ini.

Lewat lama sekali, pelan-pelan ia baru berkata:

"Kalau memang dalam hatinya tiada kau, buat apa kau mencari dirinya? Setelah ketemu, apa pula gunanya?"

Otot hijau di atas jidat Hee-ho Seng telah menonjol keluar, peluh dingin setetes demi setetes meleleh keluar.

"Apalagi akupun tak ingin kau mengampuni jiwaku", kata Cia Siau-hong lagi, "kalau ingin membunuhku, kau masih belum pantas!"

Hee-ho Seng membentak marah, tiba-tiba pedangnya di dorong ke muka menusuk tenggorokan Cia Siau Hong.

Akan tetapi baru saja pedang itu bergerak, tiba-tiba terdengar "Plaaaak....", mata pedang tersebut tahu-tahu sudah dijepit oleh sepasang telapak tangan Cia Siau-hong.

Hee-ho Seng ingin mencabut pedangnya, namun tak berhasil mencabutnya hingga terlepas.

Diapun tahu tenaga dalam serta ilmu pedang yang dimilikinya telah peroleh kemajuan yang pesat, semenjak kalah di tangan Yan Cap-sa, ia benar-benar telah manfaatkan setiap kesempatan untuk berlatih diri dengan tekun, sayangnya ia masih belum bisa menandingi kehebatan dan kesempurnaan dari Cia Siau-hong.

Bahkan Cia Siau-hong yang sudah terluka parahpun tak sanggup ditandingi.

Ia telah menyadari bahwa dirinya jangan harap bisa menandingi Cia Siau-hong selama hidup, baik di dalam bagian manapun.

Menyuruh seseorang mengakui akan kekalahan serta kegagalan dirinya sendiri bukanlah suatu pekerjaan yang gampang, setelah sampai pada saat tak bisa tidak harus mengakuinya, perasaan tersebut bukan hanya rasa malu dan marah saja, bahkan rasa sedih yang meluap, semacam rasa sedih yang penuh penderitaan dan keputus-asaan.

Di atas wajahnya bukan hanya basah oleh keringat saja, air mata ikut jatuh berlinang.

Di sisi tubuhnya masih ada seseorang sedang menghela napas.

Dengan langkah yang pelan, Cho Han-giok telah mendekatinya, di tengah helaan napasnya terkandung pula rasa simpatik dan kecewa.

"Seandainya tidak terdapat seorang manusia romantis yang tak berperasaan macam dia, enso tentu dapat menjaga harga dirinya sebagai seorang perempuan, saudara Hee-ho pun tak akan menelantarkan ilmu silat karena hatinya selalu gundah dan tak tenang. Dengan kecerdasan serta ilmu pedang warisan keluarga Hee-ho, belum tentu kau tak bisa menandingi Cia Siau-hong dari perkampungan Sin-kiam-san-ceng"

Apa yang dia katakan memang merupakan suatu kenyataan.

Setia atau tidaknya seorang istri yang dikawini seorang pria, seringkali akan menentukan pula nasib kehidupan selanjutnya di dunia ini.

Hee-ho Seng menggigit bibirnya kencang-kencang, perkataan itu menyinggung secara telak hatinya yang sakit dan terluka.

Cho Han-giok kembali tertawa, katanya:

"Untung saja laki-laki romantis yang tak berperasaan inipun seperti juga orang lain, hanya memiliki dua belah tangan"

Dalam telapak tangannya telah ada pedang.

Ia tersenyum, sambil menempelkan ujung pedangnya ke atas tenggorokan Cia Siau-hong dia mengejeknya:

"Sam sauya, apalagi yang hendak kau ucapkan?"

Apa lagi yang bisa dikatakan oleh Cia Siau-hong?

"Kalau memang demikian, kenapa kau masih belum juga mengendorkan tanganmu?", kata Cho Han-giok.

Cia Siau-hong tahu, asal tangannya dikendorkan maka pedang Hee-ho Seng segera akan menusuk ke atas tenggorokannya.

Tapi sekalipun ia tidak lepas tangan, juga apa gunanya?

Bila seseorang telah tiba pada saatnya untuk melepaskan tangan tapi masih belum juga lepas tangan, itu namanya mencari penyakit buat diri sendiri.........

Hanya orang paling bodoh yang akan melakukan perbuatan semacam ini.

Cia Siau-hong bukan orang tolol, sekarang ia telah tiba pada saat harus melepaskan tangannya.

Setelah tiba pada saat seperti ini, ia masih belum bisa melupakan, siapa pula yang masih belum dapat dilupakan?

Ayah-ibunyakah? Buyung Ciu-ti kah? Atau Siau Te?

ooo)O(ooo

Tiba-tiba cahaya pedang di tangan Thi Kay-seng memencar ke depan, seketika dua bersaudara Wan terdesak mundur ke belakang.

Akhirnya ia menggunakan juga jurus pedang itu! Jurus ke empat belas dari ilmu Toh-mia-cap-sah-kiam.

Cahaya pedang berkelebat lewat bagaikan bianglala, hawa pedang terasa menusuk tulang sumsum, tahu-tahu ujung pedang itu telah tiba di depan mata Cho Han-giok serta Hee-ho Seng.

Tak seorang manusiapun sanggup menghadapi serangan ini.

Mau tak mau mereka harus mundur, mundur dengan cepatnya. Pedang di tangan Hee-ho Seng telah terlepas pula dari genggamannya.

Sepasang mata Thi Kay-seng menatap ke arah mereka, sebaliknya mulut bertanya kepada Cia Siau-hong:

"Kau masih sanggup membalas serangan?"

"Aku belum mati!", jawab Cia Siau-hong.

"Jurus pedang tadi adalah jurus pedang ciptaanmu, kugunakan jurus tersebut oleh karena kau harus menolongmu!"

Cia Siau-hong dapat memahami maksud perkataannya.

Seandainya bukan untuk menyelamatkan Cia Siau-hong sampai matipun dia tak akan mempergunakan jurus pedang tersebut.

"Oleh sebab itu kau tak usah berterima kasih kepadaku", kata Thi Kay-seng lebih jauh, "karena yang menyelamatkan jiwamu adalah ilmu pedang ciptaanmu, bukan aku!"

Tiba-tiba Cho Han-giok tertawa dingin, katanya:

"Sekarang kau menyelamatkan jiwanya, sebentar siapa pula yang akan menyelamatkan jiwamu?"

Thi Kay-seng memutar kepalanya dan memandang para piausunya.

Di antara mereka kebanyakan adalah rekan-rekan yang hidup senang bersama menempuh bahaya dan sengsara bersama dirinya, banyak pula di antara mereka yang merupakan jago-jago pilihan yang berpengalaman luas dalam pelbagai pertarungan.

Akan tetapi ketika sinar matanya menyapu wajah mereka semua, ditemukan bahwa setiap wajah mereka diliputi sikap yang kaku dan tanpa emosi.

Setiap orang seakan-akan telah berubah menjadi sebatang kayu balok.

Perasaan Thi Kay-seng mulai tenggelam, tiba-tiba hatinya diliputi oleh perasaan gusar dan ngeri yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.

Akhirnya ia telah memahami satu hal, semua piausu di bawah panji perusahaannya telah dibeli orang untuk menghianati dirinya.

Perusahaan Hong-ki-piaukiok pada hakekatnya sudah musnah dan lenyap dari muka bumi.

Menyaksikan perubahan mimik wajahnya yang aneh dan diliputi rasa gusar serta ngeri itu, Cho Han-giok segera tertawa terbahak-bahak, sambil menuding ke arahnya dengan ujung pedang, ia berseru:

"Bunuh!"

"Barang siapa dapat membunuh mereka berdua akan memperoleh hadiah yang besar!"

"Siapa berhasil mendapat batok kepala mereka mendapat pahala dan hadiah yang cukup menghidupkan keluarga seumur hidup!"

"Batok kepala Thi Kay-seng bernilai lima ribu tahil perak, batok kepala Cia Siau-hong bernilai sepuluh ribu tahil perak!"

ooo)O(ooo

Serentak para piausu yang berada di sekeliling tempat itu meloloskan senjatanya.

Di bawah cahaya lampu merah yang membara, sinar pedang terasa merah menyala bagaikan darah.

Cia Siau-hong dan Thi Kay-seng berdiri bersanding, dengan dingin memandang cahaya golok yang sedang berputar dan menari-nari tertuju ke tubuh mereka.

Seandainya kejadian ini berlangsung di hari-hari biasa pada hakekatnya mereka tak akan memandang sebelah matapun terhadap orang-orang itu, tapi sekarang satu di antara mereka telah terluka parah sedang yang lain sudah lemah kehabisan tenaganya, sekalipun mereka bertenaga untuk membantai sampai habis manusia-manusia pengkhianat tersebut, mereka tak akan mampu menghadapi tiga bilah pedang Cho Han-giok serta dua bersaudara dari keluarga Wan.

Jika seseorang sudah tiba pada saatnya menghadapi kematian, apa pula yang bakal mereka pikirkan?

Tiba-tiba Cia Siau-hong bertanya:

"Apa yang sedang kau pikirkan sekarang?"

Thi Kay-seng termenung sebentar, lalu menjawab:

"Aku merasa sangat tak puas, kenapa nilai dari batok kepalamu lebih mahal satu kali lipat dibandingkan batok kepalaku?"

Mendengar itu Cia Siau-hong segera tertawa terbahak-bahak.

Di tengah gelak tertawa yang amat keras itu, mendadak dari luar dinding pekarangan melompat masuk sesosok tubuh manusia yang langsung menerjang masuk ke tengah kilatan cahaya golok.

Sambil mengacungkan ibu jari kanan ke langit dan ibu jari kiri ke tanah, ia berteriak keras:

Tidak ada komentar: