Pendekar Gelandangan Bab 048

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

48

"Itulah nasehat yang dikuatirkan raja pencuri dan nenek moyang pencuri untuk kita semua, jika ingin menjadi seseorang pencuri cilik, maka jangan lupa untuk menghapalkan kata-kata nasehat tersebut di dalam hatinya"

"Sebab sekalipun di tangkap orang baik juga tak akan luar biasa akibatnya, lain kalau ditangkap orang jahat, bisa remuk semua tulang di dalam tubuhmu!"

"Bukan cuma remuk semua tulangmu, akibatnya benar-benar bisa luar biasa sekali!"

"Tapi orang baikpun juga pandai menangkap pencuri?"

"Oleh karena itulah, lagi-lagi aku tertangkap basah", Cia Siau-hong sedang menghela napas, "sekalipun tidak luar biasa akibatnya, namun akupun mendapat sebuah pelajaran!"

"Pelajaran apa?"

"Kalau ingin mencuri arak untuk di minum, lebih baik biarkan orang lain yang pergi mencuri, sedangkan dirimu paling banyak hanya berdiri di luar sambil memperhatikan situasi!"

"Baik, kali ini biar aku yang mencuri, kau berjaga-jaga saja di luar rumah!"

ooo)O(ooo

Thi Kay-seng benar-benar tidak mencuri arak, benda apapun tak pernah dicuri olehnya, tapi perduli apakah yang di suruh curi, ia tak pernah mengalami kesulitan.

Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya mungkin tak bisa dikatakan yang terbaik, tapi jika kau memiliki dua ratus guci arak yang disembunyikan di bawah pembaringan, sekalipun telah dicuri sampai ludas olehnya, belum tentu kau akan menyadari hal ini.

Jarang sekali ada orang yang menyembunyikan guci araknya di kolong pembaringan.

Hanya di gedung-gedung besar, rumah-rumah orang kaya baru di simpan arak wangi, seringkali gedung-gedung megah itu memiliki gudang arak yang khusus.

Untuk mencuri arak yang disimpan dalam gudang arak, sudah barang tentu jauh lebih gampang daripada mencuri guci arak yang di simpan di kolong pembaringan.

Kepandaian Thi Kay-seng untuk mencuri arak meski tak bisa dibandingkan kepandaian Cia Siau-hong, takaran-takaran araknya juga selisih tak sedikit.

Oleh karena itu, yang mabuk terlebih dulu tentu saja dia.

Entah mabuk sungguh-sungguh? Atau mabuk pura-pura? Mabuk seluruhnya? Atau mabuk setengah? Kata-kata yang diucapkan kenyataannya jauh lebih banyak daripada di hari-hari biasa, lagi pula apa yang di bicarakan adalah kata-kata yang di hari-hari biasa tak pernah dikatakan olehnya.

Tiba-tiba Thi Kay-seng bertanya:

"Saudara yang bernama Siau Te, apakah benar-benar bernama Siau Te......?"

Cia Siau-hong tak dapat menjawab, pun tak ingin menjawab.

"Siau Te sesungguhnya she apa? Kau suruh dia bagaimana mesti menjawab?"

"Tapi perduli dia bernama Siau Te atau bukan, yang pasti dia sudah bukan seorang Siau Te (adik kecil) lagi", sambung Thi Kay-seng lebih lanjut.

"Ya, dia bukan!"

"Sekarang dia sudah seorang lelaki sejati!"

"Kau menganggap dia adalah seorang lelaki sejati?"

"Aku hanya tahu, seandainya aku adalah dia, kemungkinan besar tak akan kuungkapkan isi surat itu!"

"Kenapa?"

"Karena akupun tahu bahwa dia adalah orangnya Thian-cun, ibunya adalah Buyung Ciu-ti!"

Cia Siau-hong termenung sampai lama sekali, akhirnya dia menghela napas panjang.

"Ya, dia memang sudah seorang lelaki sejati!"

"Aku masih mengetahui juga akan satu persoalan!", kata Thi Kay-seng kembali.

"Persoalan apa?"

"Ia datang menolongmu, kau merasa sangat gembira bukan dikarenakan ia telah menyelamatkan jiwamu, melainkan karena ia telah datang"

Cia Siau-hong minum arak, lalu tertawa getir.

Walaupun arak itu dingin, walaupun terasa pula sedikit getir, apa mau dikata dalam hatinya justru penuh dengan kehangatan serta luapan rasa terima kasih.

Berterima kasih kepada seseorang yang bisa memahami suara hati serta jalan pemikirannya.

"Ada satu hal kau boleh tak usah kuatir, aku tak akan pergi mencari Si Ko-jin lagi!", kata Thi Kay-seng.

Si Ko-jin adalah perempuan seperti kucing itu.

"Karena meskipun ia berbuat salah, kesalahan itu disebabkan suatu paksaan, lagi pula ia telah menebus dosanya"

"Tapi......", bisik Cia Siau-hong.

"Tapi kau harus pergi mencarinya!", sambung Thi Kay-seng.

Dengan suara yang keras ia melanjutkan:

"Walaupun aku tidak pergi mencarinya, kau harus pergi mencari dirinya"

Cia Siau-hong dapat memahami maksud hatinya.

Meskipun Thi Kay-seng melepaskan dirinya, Buyung Ciu-ti tak akan melepaskan dirinya dengan begitu saja.

Bahkan Cho Han-giok, dua bersaudara dari keluarga Wan, serta perusahaan Hong-ki-piaukiok pun sudah berada di bawah kekuasaan Thian-cun, dewasa ini masih ada persoalan apa lagi yang tak sanggup mereka lakukan?

"Aku pasti akan pergi mencarinya!", Cia Siau-hong berjanji.

"Selain itu masih ada pula seorang lain yang mau tak mau harus kau temui juga!"

"Siapa?"

"Yan Cap-sa!"

ooo)O(ooo

Malam sudah kelam, udara serasa gelap gulita, inilah saat paling gelap menjelang tibanya fajar.

Cia Siau-hong memandang ke tempat kejauhan sana, ia merasa Yan Cap-sa seolah-olah berdiri di tempat kegelapan di kejauhan sana, seakan-akan telah melebur diri dengan kesepian malam yang dingin ini.

Ia belum pernah berjumpa dengan Yan Cap-sa tersebut.

Seseorang yang kesepian dan dingin.

Semacam rasa dingin, kaku dan letih yang telah merasuk ke tulang sumsum.

Ia letih karena ia sudah membunuh terlalu banyak orang, bahkan ada di antara mereka orang-orang yang tidak seharusnya di bunuh.

Ia membunuh orang, karena ia tiada pilihan lain kecuali berbuat demikian.

Dari dasar hatinya yang paling dalam, Cia Siau-hong menghela napas panjang.

Ia dapat memahami perasaan semacam ini, hanya dia yang bisa memahami perasaan semacam ini paling mendalam.

Karena diapun membunuh orang, diapun sama-sama merasa letih, pedangnya dan nama besarnya seolah-olah telah menjadi sebuah bungkusan yang selamanya tak dapat ia tanggalkan, dengan berat menindih di atas bahunya, membuat untuk napaspun tersengkal rasanya.

Barang siapa menjadi pembunuh, seringkali akibat apakah yang akan diterimanya? Apakah dia harus mati pula di tangan orang lain?

Tiba-tiba ia teringat kembali perasaan hatinya di saat menghadapi kematian tadi.

Di detik-detik terakhir sesungguhnya apa yang telah ia pikirkan di dalam hati?

ooo)O(ooo

"Yan Cap-sa"

Setelah menyebutkan ke tiga patah kata ini, Thi Kay-seng yang sebenarnya sudah mabuk kepayang seolah-olah menjadi sadar kembali secara tiba-tiba.

Sorot matanya pun ditujukan ke tempat kejauhan sana, lewat lama sekali pelan-pelan dia baru berkata:

"Selama hidupmu, manusia manakah yang pernah kau jumpai dan kau anggap paling menakutkan?"

"Dia adalah seorang asing yang belum pernah kujumpai", jawab Cia Siau-hong.

"Orang asing tidak menakutkan!"

Karena orang asing kalau toh tidak memahami perasaanmu, dia tak akan tahu pula titik kelemahanmu.

Hanya seorang sahabat yang paling akrab baru akan mengetahui tentang kesemuanya ini, menanti mereka telah mengkhianati dirimu, barulah serangan mereka akan membinasakan dirimu.

Kata-kata semacam ini sama sekali tidak ia utarakan, dia tahu Cia Siau-hong pasti dapat memahami pendapat tersebut.

"Tapi orang asing ini justru jauh berbeda dengan orang-orang yang lain......", Cia Siau-hong menerangkan.

"Apa perbedaannya?"

Cia Siau-hong tak sanggup menjawab.

Oleh karena tak sanggup menjawab, maka hal ini barulah sangat menakutkan.

Kembali Thi Kay-seng bertanya:

"Kau pernah menjumpainya di mana?"

"Di suatu tempat yang sangat asing bagiku."

Di tempat yang sangat asing itulah ia telah berjumpa dengan orang asing yang menakutkan, ia sedang berkumpul dengan seorang yang paling dekat dan akrab dengannya, sedang membicarakan ilmu pedang.

Sedang membicarakan ilmu pedangnya.

Apakah orang yang paling dekat dan paling akrab dengannya itu adalah Buyung Ciu-ti?

"Menurut pendapatmu, orang asing tersebut mungkinkah Yan Cap-sa?", tanya Thi Kay-seng.

"Kemungkinan besar!"

Tiba-tiba Thi Kay-seng menghela napas panjang.

"Dalam kehidupan ini, orang paling menakutkan yang pernah kujumpai adalah dia, bukan kau!"

"Bukan aku?"

"Ya, sebab bagaimanapun juga kau toh tetap seorang manusia!"

Mungkin hal ini disebabkan karena aku telah berubah.

Ucapan tersebut sama sekali tidak diutarakan oleh Cia Siau-hong, karena bahkan dia sendiri tak tahu mengapa dirinya dapat berubah.

"Yan Cap-sa justru bukan!", kata Thi Kay-seng.

"Dia bukan manusia?"

"Seratus persen bukan!"

Setelah termenung sejenak, pelan-pelan dia melanjutkan:

"Dia tak berkawan, tiada sanak saudara, walaupun ia sangat baik kepadaku, mewariskan ilmu pedangnya kepadaku, tapi belum pernah membiarkan aku bergaul mesra dan akrab dengannya, diapun belum pernah membiarkan aku tahu darimanakah dia datang, dan hendak pergi kemana?"

......Karena dia kuatir dirinya telah mengikat hubungan batin dengan seseorang.

......Karena untuk menjadi seorang pendekar pedang pembunuh manusia dia harus tak berperasaan.

Kata-kata tersebutpun tidak diutarakan Thi Kay-seng, ia percaya Cia Siau-hong pasti dapat memahaminya.

Lama sekali mereka membungkamkan diri dalam seribu bahasa, tiba-tiba Thi Kay-seng berkata lagi:

"Perubahan jurus ke empat belas dari Toh-mia-cap-sah-kiam tersebut, bukanlah hasil ciptaanmu!"

"Apakah dia?"

Thi Kay-seng manggut-manggut.

"Sejak lama ia sudah tahu tentang perubahan jurus yang ke empat belas ini, lagi pula diapun sudah lama mengetahui kalau di balik ilmu pedangmu masih terdapat sebuah titik kelemahan"

"Akan tetapi ia tidak mewariskannya kepadamu?", kata Cia Siau-hong.

"Ya, ia tidak mewariskannya kepadaku"

"Kau anggap dia sengaja menyembunyikannya?"

"Aku tahu ia tidak bermaksud demikian"

"Kau juga tahu kenapa ia bertindak demikian?"

"Ya, karena dia kuatir setelah kupelajari perubahan jurus pedangnya itu, maka aku akan datang mencarimu"

"Karena dia sendiripun masih belum mempunyai keyakinan yang mantap terhadap perubahan jurus itu", Cia Siau-hong menambahkan.

"Tapi kaupun sama juga tak memiliki keyakinan untuk mematahkan jurus pedangnya itu"

Cia Siau-hong tidak memberikan reaksi apa-apa.

Thi Kay-seng menatapnya tajam-tajam, kemudian berkata:

"Aku tahu, kau sendiripun tidak mempunyai keyakinan, sebab ketika kugunakan jurus pedang tadi, seandainya kau mempunyai keyakinan sedari tadi kau sudah turun tangan, kaupun tak akan membiarkan dirimu kena disergap serta dilukai orang"

Cia Siau-hong masih belum mempunyai keyakinan.......

"Kunasehati dirimu lebih baik janganlah pergi mencarinya", kata Thi Kay-seng, "oleh karena kalian berdua sama-sama tidak mempunyai keyakinan, aku tak ingin menyaksikan kalian berdua saling membunuh dan kedua-duanya terluka parah"

Cia Siau-hong kembali termenung sampai lama sekali, tiba-tiba ia bertanya:

"Seseorang di kala berada di saat menjelang kematiannya, apa yang biasanya dipikirkan?"

"Apakah dia akan mengenang kembali semua sanak keluarganya yang paling akrab selama hidup serta kenangan-kenangan di masa lampau?"

"Bukan!"

Ia menambahkan:

"Sebenarnya akupun beranggapan pasti hal-hal itu yang dipikirkan, tapi semenjak aku merasakan pula detik-detik menjelang saat kematian ternyata yang dipikirkan bukanlah persoalan-persoalan tersebut"

"Apa yang kau pikirkan ketika itu?"

"Jurus pedang itu, jurus pedang yang ke empat belas!"

Thi Kay-seng termenung akhirnya dia menghela napas panjang, dalam detik yang singkat itu, apa yang dipikirkan olehnya ternyata jurus pedang itu pula.

Seseorang apabila telah mengorbankan segenap kehidupannya untuk pedang, bagaimana mungkin di saat menjelang kematiannya dapat memikirkan persoalan yang lain?

"Sebenarnya aku memang tidak memiliki keyakinan untuk mematahkan jurus pedang itu", kata Cia Siau-hong, "tapi pada detik yang terakhir itulah, dalam hatiku seolah-olah telah melintas suatu ingatan sekalipun jurus pedang itu tampaknya tangguh kokoh dan tak mampu dipatahkan, tapi oleh sambaran kilat yang melintas dalam benakku itulah segera mengalami perubahan!"

"Berubah menjadi bagaimana?"

"Berubah menjadi sangat menggelikan!"

Jurus pedang yang sebenarnya menakutkan tiba-tiba saja berubah menjadi sangat menggelikan, perubahan semacam inilah baru benar-benar merupakan suatu perubahan yang mengerikan.

Thi Kay-seng minum arak semakin banyak semakin cepat.

"Arak bagus!", serunya kemudian.

"Arak yang di dapatkan dengan jalan mencuri, biasanya memang arak bagus.....", kata Cia Siau-hong.

"Setelah perpisahan hari ini, entah sampai kapan kita dapat mabuk bersama?"

Tiba-tiba Thi Kay-seng tertawa terbahak-bahak, sambil tertawa tergelak ia bangkit berdiri, lalu tanpa mengucapkan sepatah katapun pergi dari situ.

Cia Siau-hong tidak berbicara apa-apa pula, dia hanya menyaksikan ia tertawa tergelak, menyaksikan ia pergi meninggalkan tempat itu.

Meskipun Thi Tiong-khi bukan ayah kandungnya, tapi demi menjaga serta melindungi nama baik Thi Tiong-khi, ia lebih suka mati, lebih suka menanggung dan memikul semua dosa tersebut, karena bagaimanapun juga mereka telah mempunyai hubungan batin antara seorang ayah dengan anaknya.

Cia Siau-hong tidak tertawa.

Teringat akan hal ini, dari mana mungkin bisa tertawa?

Ia telah meneguk habis arak yang terakhir, ia tak dapat membedakan lagi apakah rasanya arak itu pedas? Atau getir?

Perduli pedas atau getir, yang pasti tetap adalah arak, bukan air, juga bukan darah, tak seorangpun dapat memungkiri kenyataan ini.

Bukankah hal ini sama juga dengan hubungan batin antara ayah dan anaknya?

Fajar telah menyingsing.

Kereta kuda itu masih ada, Siau Te pun masih ada pula.

Ketika Cia Siau-hong berjalan kembali, meski sudah hampir mabuk, anyir darah di tubuhnya justru jauh lebih tebal daripada bau harumnya arak.

Siau Te menyaksikan ia naik ke atas kereta, menyaksikan ia roboh di lantai, namun apapun tidak dibicarakan.

Tiba-tiba Cia Siau-hong berkata:

"Sayang sekali kau tidak ikut kami minum arak bersama-sama, arak itu benar-benar adalah arak bagus!"

"Arak hasil curian biasanya memang selalu adalah arak bagus!", jawab Siau Te.

Itulah kata-kata yang pernah diucapkan Cia Siau-hong belum lama berselang.

Cia Siau-hong segera tertawa terbahak-bahak.

"Sayang sekali betapapun baiknya arak tersebut, juga tak akan menyembuhkan luka yang kau derita", kembali Siau Te menambahkan.

Perduli apakah luka itu berada di badan? Ataukah di hati? Kedua-duanya tak akan bisa disembuhkan.

Cia Siau-hong masih juga tertawa:

"Untung saja ada sementara luka yang pada hakekatnya tak perlu disembuhkan lagi"

"Luka apakah itu?"

"Luka yang pada hakekatnya tak mungkin bisa disembuhkan!"

Siau Te memandang ke arahnya, lewat lama sekali baru pelan-pelan katanya:

"Kau mabuk!"

"Kaupun mabuk?", sambung Cia Siau-hong.

"Oya?"

"Kau harus tahu jenis manusia manakah di dunia ini yang paling gampang melepaskan diri dari segala-galanya?"

"Tentu saja orang mati!"

"Jika kau tidak mabuk, maka kalau memang kau berusaha keras untuk melepaskan diri dari kejaranku, mengapa pula justru datang menyelamatkan diriku?"

Siau Te menutup kembali mulutnya, tiba-tiba ia turun tangan menotok sebelas buah jalan darah di tubuhnya.

Paling akhir yang masih sempat dilihat olehnya adalah sepasang mata Siau Te, sepasang mata yang penuh dengan pancaran perasaan yang tak akan dipahami oleh siapapun juga.

Waktu itu sinar matahari sedang memancar masuk lewat daun jendela, menyinari sepasang matanya.

ooo)O(ooo

Ketika Cia Siau-hong tersadar kembali, pertama-tama yang dilihat olehnya juga mata, tapi bukan mata Siau Te.

Ada belasan buah mata yang dijumpainya.

Tempat itu adalah sebuah gedung yang sangat besar, keadaan maupun suasananyapun ikut megah pula.

Ia sedang berbaring di atas sebuah pembaringan yang sangat besar.

Belasan orang sedang mengelilingi pembaringan itu dan mengawasi dirinya, ada yang kurus tinggi, ada yang gemuk, ada yang tua, ada pula yang muda, pakaian maupun dandanan mereka amat perlente, muka merah segar, jelas orang itu adalah manusia-manusia yang sudah biasa hidup makmur dan senang.

Belasan pasang mata itu ada yang besar, ada pula yang kecil, sinar mata mereka tajam sekali, setiap mata mereka semua membawa semacam perasaan yang sangat aneh, seakan-akan segerombol penjagal yang sedang mengamati korban atau kambing jagalannya, tapi tak dapat mengambil keputusan dari manakah mereka akan mulai turun tangan.

Tidak ada komentar: