Pendekar Gelandangan Bab 049

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

49

Perasaan Cia Siau-hong bagaikan tenggelam ke dasar samudra yang tak terukur dalamnya.

Tiba-tiba ia menemukan bahwa seluruh kekuatan yang dimilikinya telah lenyap tak berbekas, bahkan tenaga untuk bangkit berdiripun sudah tak ada.

Sekalipun ia dapat bangkit berdiri, asal setiap orang dari belasan orang tersebut mendorongnya pelan dengan ujung jari masing-masing, maka dia akan berbaring kembali.

Sesungguhnya siapakah mereka ini? Kenapa mereka memandang ke arahnya dengan sorot mata seaneh ini?

Tiba-tiba belasan orang itu membubarkan diri, mengundurkan diri jauh ke sudut ruangan sana dan berkumpul kembali sambil berbisik-bisik seperti merundingkan sesuatu.

Walaupun Cia Siau-hong tidak mendengar apa yang sedang mereka bicarakan, tapi ia tahu bahwa mereka pasti sedang merundingkan sesuatu persoalan yang sangat penting dan persoalan tersebut pasti mempunyai hubungan yang sangat erat dengan dirinya.

Sebab sambil berunding, seringkali mereka masih berpaling dan diam-diam memperhatikan dirinya dengan ujung mata.

Apakah mereka sedang berunding dengan cara apakah hendak menghadapi dirinya? Menyiksa dirinya?

Di manakah Siau Te?

ooo)O(ooo

Akhirnya Siau Te muncul juga.

Selama beberapa waktu, tampaknya ia sangat lelah dan payah, wajahnya tampak layu dan mengenaskan.

Tapi sekarang ia telah berganti dengan satu stel pakaian yang baru dan indah, rambutnya di sisir pula dengan rapi dan licin.

Pada hakekatnya ia seperti telah berubah menjadi seseorang yang lain.

Persoalan apakah yang secara tiba-tiba membuat semangatnya bangkit kembali?

Apakah karena pada akhirnya ia berhasil menemukan suatu cara yang paling bagus, akhirnya menjual Cia Siau-hong ke pihak Thian-cun untuk memperoleh pahala besar?

Menyaksikan ia berjalan masuk, belasan orang itu segera mengerumuni dirinya, sikap mereka murung dan gelagapan.

Paras muka Siau Te serius, tanyanya dengan suara dingin:

"Bagaimana?"

"Tidak bisa!", jawab belasan orang itu hampir bersamaan waktunya.

"Tiada cara lain?"

"Tak ada!"

Siau Te segera menarik mukanya, sinar kegusaran memancar keluar dari balik matanya, tiba-tiba ia turun tangan dan mencengkeram kerah baju salah seorang di antaranya.

Orang itu berusia paling besar, gayanya pun paling mentereng, di tangannya masih memegang sebuah huncwe antik yang paling tidak harganya mencapai seribu tahil emas murni.

Akan tetapi di hadapan Siau Te pada hakekatnya ia seperti seekor kucing yang sedang menangkap tikus.

"Kaukah yang bernama Kian Hu-seng?", tegur Siau Te.

"Benar!"

"Konon orang lain memanggil dirimu sebagai Ki-si-hu-seng (Bangkit dari kematian hidup kembali) Kian Toa-sianseng?"

"Itu hanya julukan yang diberikan orang lain kepadaku, lohu sesungguhnya tak pantas menerima panggilan tersebut", jawab Kian Hu-seng.

Siau Te memperhatikannya dari atas hingga ke bawah, tiba-tiba ia tertawa lagi.

"Ehmm.....! Pipa huncwe-mu tampaknya indah sekali", dia berseru.

Meskipun Kian Hu-seng masih merasa sangat ketakutan, namun sinar matanya toh memancarkan juga sinar kebanggaan.

Pipa huncwe itu terbuat dari batu kumala asli yang diukir, ia seringkali membawanya kemanapun ia pergi, bahkan sewaktu tidurpun ia selalu meletakkannya di bawah bantal.

Setiap kali ia mendengar ada orang memuji pipa huncwe-nya, pada hakekatnya ia merasa lebih bangga daripada mendengar orang lain memuji-muji akan kehebatan ilmu pertabibannya.

Siau Te tersenyum kembali, katanya:

"Agaknya pipamu itu terbuat dari sebuah batu kumala yang utuh, harganya paling tidak pasti di atas seribu tahil perak bukan?"

Tak tahan Kian Hu-seng ikut tertawa.

"Sungguh tak kusangka toa-sauya juga seseorang yang mengerti nilainya sebuah benda", serunya.

"Darimana kau dapatkan begitu banyak uang perak?"

"Itulah biaya yang diberikan para penyakitan kepadaku sewaktu selesai pengobatan"

"Tampaknya tidak sedikit biaya pengobatan yang kau terima"

Lama kelamaan Kian Hu-seng tak bisa tertawa lagi.

"Bolehkah pinjamkan kepadaku sebentar?", tanya Siau Te.

Sekalipun Kian Hu-seng merasa sangat keberatan, namun iapun tak berani untuk tidak diberikan kepadanya.

Siau Te menerima pipa huncwe itu, dan dinikmatinya sebentar, setelah itu gumamnya:

"Bagus, betul betul sebuah barang bagus, cuma sayang manusia semacam kau masih belum pantas untuk mempergunakan barang sebagus ini!"

Baru selesai ia berkata: "Traaaak....!" Pipa huncwe yang tak ternilai harganya itu tahu-tahu sudah dibantingnya sehingga hancur berkeping-keping.........

Paras muka Kian Hu-seng segera berubah hebat, berubah menjadi lebih jelek dari wajah seorang anak berbakti yang baru saja kematian ibu kandungnya, hampir saja dia akan menangis.

Siau Te segera tertawa dingin, katanya:

"Percuma kau disebut Tabib kenamaan, biaya pengobatan yang kau terima jauh lebih tinggi daripada siapapun, tapi luka ringan sekecil itupun tak sanggup kau sembuhkan, sebenarnya kau ini manusia maknya macam apa?"

Sekujur badan Kian Hu-seng menggigil keras, peluh dingin membasahi seluruh badannya, bibirnya tergagap tapi entah harus berbicara apa.

Pemuda perlente yang berada di sampingnya segera tampil ke depan sambil memprotes:

"Luka semacam itu bukan suatu luka yang ringan, sedemikian parahnya luka yang diderita tuan itu, pada hakekatnya baru pertama kali ini kujumpai kasus seperti ini"

"Kau ini manusia macam apa?", seru Siau Te sambil melotot sekejap ke arahnya.

"Aku bukan barang, aku adalah manusia, bernama Kian Po-sia!"

"Kau anaknya Kian Hu-seng?"

"Benar!"

"Kalau toh kau bernama Kian Po-sia, aku pikir kau pasti sudah memperoleh seluruh warisan ilmu pertabiban yang dimilikinya, pengetahuanmu pasti tidak cetek!"

"Walaupun pelajaran yang kuterima masih terlalu cetek, akan tetapi pengetahuanku tentang luka bacokan serta cara pengobatannya masih mengetahui sedikit banyak"

Kemudian sambil menuding orang-orang di belakangnya, dia berkata kembali:

"Beberapa orang empek dan paman ini semuanya merupakan tabib berpengalaman dari daerah ini, jika kami beberapa orang tak sanggup menyembuhkan luka tersebut, jangan harap orang lain bisa menyembuhkannya"

Siau Te menjadi sangat gusar.

"Darimana kau tahu kalau orang lainpun tak dapat menyembuhkannya?", teriaknya.

"Luka yang berada di tubuh tuan ini seluruhnya berjumlah lima tempat, dua di antaranya adalah luka lama, sedang tiga lainnya baru dilukai pada dua hari berselang, meskipun tusukan itu tidak berada di tempat yang berbahaya atau mematikan, tapi setiap tusukan itu menghasilkan luka yang sangat dalam, luka itu sudah hampir menyentuh tulang persendian serta otot-otot pentingnya"

Setelah menghembuskan napas panjang, ia berkata lebih lanjut:

"Bila seseorang segera mencari pengobatan dan beristirahat penuh setelah terluka, mungkin luka itu tak akan sampai mendatangkan cacad badan, sayangnya bukan saja setelah terluka bekerja kelewat batas, bahkan masih juga minum arak, arak yang diminumpun sangat banyak, mulut lukanya sekarang sudah mulai membusuk"

Apa yang diucapkan memang semuanya jitu dan cocok dengan ke adaan yang sesungguhnya, maka Siau Te hanya mendengarkan saja di samping.

Terdengar Kian Po-sia berkata lebih lanjut:

"Tapi yang paling parah keadaannya adalah dua buah luka lamanya itu, sekalipun kami berhasil, dia cuma bisa hidup tujuh hari lagi"

Setelah berhenti sejenak, ia menambahkan:

"Ya, tujuh hari yang terakhir!"

"Tapi bukankah ke dua buah luka lamanya sudah merapat kembali seperti sedia kala?", ucap Siau Te.

"Justru lantaran mulut lukanya sudah merapat kembali, maka paling banter ia cuma bisa hidup tujuh hari lagi"

"Aku tidak mengerti!"

"Kau tentu saja akan mengerti, dasarnya memang tidak banyak orang yang mengerti akan persoalan ini, lebih tidak beruntung ternyata ia telah mengenal seseorang bahkan secara kebetulan orang itu adalah sahabatnya"

"Sahabatnya?", Siau Te lebih-lebih tidak mengerti lagi.

"Setelah terluka kebetulan ia berjumpa dengan sahabatnya itu, kebetulan sahabatnya membawa obat luka yang paling baik, tapi kebetulan pula membawa racun Huan-kut-san (bubuk pembuyar tulang) yang paling beracun......."

Setelah menghela napas panjang, lanjutnya:

"Obat luka menutup kulit, bubuk penghancur tulang di kala mulut luka sudah merapat, racun keji itu sudah merasuk ke tulang, dalam tujuh hari mendatang, ke seratus tiga puluh tujuh batang tulang belulang di sekujur tubuhnya pasti akan melarut dan hancur sebagai gumpalan darah kental"

Siau Te menggenggam tangannya kencang-kencang, lalu berseru:

"Apakah ada obat mustika yang bisa memunahkan racun itu?"

"Tidak ada!"

"Juga tak ada orang yang bisa memunahkan racun ini?"

"Tidak ada!"

Jawaban singkat, tandas dan jelas, membuat orang tak bisa sangsi lebih baik lagi untuk tak percaya.

Tapi bila kenyataan ini harus dipercayai oleh Siau Te, maka hal tersebut merupakan suatu kejadian yang kejam, kejadian yang menyiksa perasaan dan batinnya.

Hanya dia seorang yang tahu siapakah sahabat yang dimaksudkan Kian Po-sia tersebut, justru lantaran dia tahu, maka batinnya merasa lebih menderita, lebih tersiksa.

Hanya penderitaan, lain tidak!.

Karena dia bahkan untuk membencipun tak dapat membenci.

Seharusnya yang dicintai ternyata tak dapat dicintai, seharusnya benci tak dapat di benci, berbicara bagi seorang pemuda yang darahnya belum mendingin seperti dia, bagaimana mungkin penderitaan tersebut dapat ditahan?

Tiba-tiba ia seperti mendengar Cia Siau-hong sedang bertanya:

"Paling banter tujuh hari, paling sedikit berapa hari?"

Ia tak berani berpaling untuk menatap Cia Siau-hong, pun tak ingin mendengar jawaban dari Kian Po-sia. Tapi ia telah mendengar semuanya dengan jelas.

"Tiga hari!"

Walaupun jawaban dari Kian Po-sia masih tetap singkat, tandas dan jelas, namun nada suaranya telah membawa suatu kesedihan, suatu perasaan murung yang apa boleh buat.

"Paling sedikit mungkin hanya tiga hari"

ooo)O(ooo

Bagaimanakah perasaannya di kala seseorang secara tiba-tiba mengetahui bahwa kehidupannya tinggal tiga hari saja?

Reaksi dari Cia Siau-hong ternyata sangat istimewa. Ia tertawa.

Kematian bukan suatu kejadian yang menggelikan, pasti bukan!.

Lantas mengapa ia tertawa? Apakah lantaran ia sedang mengejek, mencemooh kehidupannya? Atau karena semacam pemandangan yang terbuka atas kehidupannya di dunia ini?

Tiba-tiba Siau Te memutar badannya dan menerjang ke sisinya, lalu dengan suara keras berteriak:

"Mengapa kau masih tertawa? Kenapa kau masih bisa tertawa?"

Cia Siau-hong tidak menjawab, sebaliknya malah balik bertanya:

"Mereka semua datang dari tempat yang jauh, sebagai tuan rumah mengapa kau tidak menyediakan arak untuk mereka?"

Tangan Kian Hu-seng masih saja gemetar keras, saat itu dia baru bisa menghembuskan napas panjang.

"Ya, aku pikir setiap orang memang membutuhkan secawan arak pada saat ini!"

Yang dimaksudkan 'secawan arak' pada umumnya bukan benar-benar cuma secawan belaka.

Setelah tiga cawan arak masuk ke perut Kian Hu-seng baru dapat memulihkan kembali perasaannya.

Arak memang dapat mengendorkan syarat orang, membuat perasaan orang menjadi tenang.

Seorang tabib yang sepanjang tahun bertugas menangani orang yang terluka memang tidak seharusnya memiliki sepasang tangan yang sering menggigil keras.

Cia Siau-hong memperhatikan terus tangannya dari samping, tiba-tiba ia bertanya:

"Kau sering minum arak?"

Kian Hu-seng sangsi sejenak, akhirnya dia mengakui juga:

"Ya, aku sering minum, cuma tidak banyak yang kuminum!"

"Bila seseorang seringkali minum arak, apakah hal ini lantaran dia gemar minum?"

"Mungkin begitulah!"

"Kalau memang gemar minum mengapa tidak minum agak banyak agar lebih puas?"

"Karena minum arak yang terlampau banyak akan merugikan kesehatan badan, oleh karena itu......."

"Oleh karena itu meski dalam hati kau ingin minum lebih banyak namun mau tak mau kau harus berusaha keras untuk mengencang napsu sendiri, bukan?"

Kian Hu-seng mengakuinya.

"Karena kau masih ingin hidup lebih lanjut masih ingin hidup beberapa tahun lagi, hidup makin lama semakin baik, maka meski mengencang napsu sendiri kaupun rela melakukannya?", Cia Siau-hong menambah.

Kian Hu-seng lebih-lebih tak dapat menyangkal lagi........selembar nyawanya memang lebih berharga daripada arak, siapa yang tidak menyayangi nyawa sendiri?

Cia Siau-hong mengangkat cawannya dan meneguk isinya sampai habis, kemudian katanya lagi:

"Di kala seseorang masih hidup dia tentu mempunyai banyak keinginan yang tak berani dilakukannya, karena bila seseorang ingin hidup lebih lanjut, ia tak akan terlepas dari pelbagai ikatan, pantangan maupun peraturan, bukankah.....demikian?"

Sekali lagi Kian Hu-seng menghela napas panjang, setelah tertawa getir, katanya:

"Dari kehidupan kita di alam semesta, siapakah yang dapat melepaskan diri dari ikatan, pantangan maupun peraturan? Siapakah yang dapat melakukan apa yang diinginkan dalam hatinya secara bebas dan leluasa?"

"Hanya sejenis manusia!", jawab Cia Siau-hong.

"Manusia yang mana?"

Cia Siau-hong tersenyum.

"Mereka yang tahu kalau usianya paling banter tinggal beberapa hari!"

Ia sedang tertawa tapi kecuali ia sendiri, siapa yang tega ikut tertawa? Siapa pula yang bisa tertawa? Di antara sekian banyak kesedihan yang di alami manusia, kesedihan manakah yang bisa menandingi kesedihan akibat suatu kematian? Semacam kesedihan yang tak terlukiskan........

Tiba-tiba Cia Siau-hong bertanya:

"Andaikata kau tahu bahwa usiamu paling banter tinggal beberapa hari lagi, dalam beberapa hari yang teramat singkat itu, apa yang bakal kau lakukan? Bagaimana caramu mengatur jadwal kehidupanmu yang teramat singkat itu?"

ooooOOOOoooo

Bab 27. Tiga Hari Yang Penuh Keanehan

Itulah suatu pertanyaan yang aneh, aneh tapi menarik, namun mengandung pula sindiran yang keji.

Mungkin ada banyak orang pernah bertanya kepada diri sendiri, di kala tengah malam mereka terbangun dan tak dapat tidur kembali.

Seandainya aku hanya bisa hidup tiga hari lagi, dalam tiga hari yang singkat ini apa yang hendak kulakukan?

Tapi orang yang bisa mengajukan pertanyaan ini untuk bertanya kepada orang lain tentu tak banyak jumlahnya.

Sekarang, ternyata Cia Siau-hong mengajukan pertanyaan ini, yang dia tanya bukan seseorang tertentu, melainkan setiap orang yang hadir di tempat itu.

Mendadak seseorang melompat bangun dari tempat duduknya dan berteriak keras:

"Kalau dia adalah aku, maka aku hendak membunuh orang"

Orang ini bernama Si Keng-meh. Keluarga Si adalah sebuah keluarga yang termasyhur di sungai besar, kakek moyangnya dulu adalah seorang tabib kenamaan, ketika ilmu pertabiban tersebut diwariskan kepadanya, ia sudah merupakan keturunan yang ke sembilan dan setiap generasinya semuanya merupakan orang-orang terpandang yang terhormat dan tahu aturan.

Tentu saja diapun seorang lelaki sejati, jarang bicara, sopan santun dan tahu adat, tapi sekarang ternyata dia mengucapkan kata-kata tersebut, orang yang kenal dengannya tentu saja dibikin terperanjat.

Cia Siau-hong sebaliknya malah tertawa.

"Kau hendak membunuh orang? Berapa banyak yang hendak kau bunuh?", tanyanya.

Agaknya Si Keng-meh dibikin terperanjat oleh pertanyaan itu, gumamnya seorang diri:

"Membunuh berapa orang? Berapa orang yang bisa kubunuh?"

"Kau ingin membunuh berapa orang?"

"Sebetulnya aku hanya ingin membunuh seorang, tapi setelah kupikir kembali, rasanya masih ada orang yang masih dibunuh pula!"

"Apakah mereka telah berbuat sesuatu yang menyalahi dirimu?"

Si Keng-meh menggigit bibirnya kencang-kencang, sinar berapi-api memancar keluar dari balik matanya, dan setiap waktu setiap saat, ia hendak memenggal batok kepala mereka.

Cia Siau-hong menghela napas panjang, katanya:

"Sayang kau masih mempunyai waktu yang cukup lama untuk hidup, karena itu kaupun hanya bisa menyaksikan hidup aman sentosa dengan bebasnya, bahkan mungkin hidup mereka jauh lebih gembira dan bahagia daripada dirimu sendiri"

Sampai lama sekali Si Keng-meh berdiri termangu-mangu, pelan-pelan tangannya yang menggenggam mengendor kembali. Sinar berapi-api yang memancar keluar dari matanya juga mulai lenyap, ujarnya dengan sedih:

"Benar, justru karena aku harus hidup lebih lanjut, maka terpaksa aku pun membiarkan mereka hidup lebih jauh!"

Nada suaranya penuh dengan perasaan sedih dan apa boleh buat, baginya bisa hidup lebih jauh bukan merupakan suatu hal yang menggembirakan, sebaliknya justru berubah menjadi beban dan tanggung-jawab.

Tanpa sadar ia mulai bertanya pada diri sendiri:

"Jika seseorang harus hidup lebih jauh, sesungguhnya kejadian ini adalah suatu kemujuran? Ataukah suatu ketidak-mujuran?"

Tiba-tiba Cia Siau-hong berpaling, sambil menatap wajah Kian Po-sia dia bertanya:

"Dan kau!"

Sebenarnya Kian Po-sia hanya termenung terus selama ini, maka pertanyaan yang diajukan kepadanya itu sangat mengejutkan hatinya.

"Aku?", dia berseru.

"Kau adalah seorang manusia yang punya bakat dan kepandaian, mana asal-usulnya baik, kepandaiannya baik, lagi pula gagah dan perkasa, aku pikir selama ini kau pasti dihormati setiap orang dan kau sendiri tentu saja tak akan berani melakukan perbuatan yang melanggar sopan santun dan adat istiadat!"

Kian Po-sia tidak menyangkal.

Tidak ada komentar: