Pendekar Gelandangan Bab 050

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

50

"Tapi seandainya hidupmu tinggal tiga hari lagi, apa yang bakal kau lakukan......?", tanya Cia Siau-hong lagi.

"Aku.....aku akan baik-baik mengatur semua persiapan pada akhir hidupku dan kemudian menunggu kematian dengan tenang!"

"Sungguh?"

Sinar matanya lebih tajam dari sembilu, seakan-akan sedang menembusi hatinya dan mengorek isi hatinya.

"Jujurkah perkataanmu itu?"

Kian Po-sia tertunduk rendah-rendah, tapi dengan cepat mendongakkan kepalanya kembali sambil berteriak:

"Tidak, tidak jujur, aku sedang berbohong!"

Setelah meneguk tiga cawan arak, ia berkata lagi dengan suara lantang:

"Seandainya hidupku tinggal tiga hari, aku akan pergi makan besar, minum sepuasnya, berjudi dan akhirnya mengumpulkan semua pelacur yang ada di kota ini, menelanjangi mereka semua dan bermain petak-umpet dengan mereka"

Dengan perasaan terkejut ayahnya memandang ke arahnya, lalu berseru:

"Kau.....kau.....mengapa kau bisa berpikir melakukan perbuatan semacam ini?"

"Perbuatan semacam itu merupakan perbuatan yang paling menyenangkan, andaikata kau hanya bisa hidup tiga hari kemungkinan besar kaupun akan berbuat seperti apa yang kukatakan!"

"Aku......aku.......", Kian Hu-seng tergagap dan tak mampu melanjutkan kembali kata-katanya.

"Sayang, kalian semua masih hidup lebih lama lagi", kata Cia Siau-hong, "maka sekalipun dalam hati ingin sekali, kalian hanya bisa memikirkannya saja dalam hati"

Akhirnya Kian Hu-seng menghela napas, setelah tertawa getir, ujarnya:

"Terus terang kukatakan pada hakekatnya untuk membayangkan saja aku tak berani"

Seorang nona berusia dua puluh delapan-sembilan tahunan, kebetulan masuk ke dalam ruangan sambil membawa semangkuk besar itik masak angsio yang masih kebul-kebul.

Tiba-tiba Siau-hong bertanya kepadanya:

"Seandainya kau bisa hidup tiga hari lagi, apa yang ingin kau lakukan....?"

Oleh pertanyaan tersebut, tampaknya nona tersebut merasa amat terkejut, ia menjadi tergagap dan tak mampu mengucapkan sepatah kata.

Sambil menarik muka Siau Te segera membentak:

"Kalau memang Cia sianseng bertanya kepadamu, apa yang ingin kau katakan harus kau katakan dengan sejujurnya"

Dengan perasaan ya malu, ya takut, akhirnya nona itu menjawab juga dengan wajah merah:

"Aku ingin kawin!"

"Apakah selama ini kau belum pernah kawin?"

"Belum!"

"Kenapa tidak kawin?"

Dengan wajah tersipu-sipu, nona itu menundukkan kepalanya rendah-rendah.

"Semenjak kecil aku sudah dijual kepada orang untuk menjadi pelayan, manusia seperti aku mana mungkin bisa mendapat suami yang baik? Lagi pula lelaki mana yang bersedia mengawini diriku?"

"Tapi seandainya kau hanya bisa hidup tiga hari lagi, tentunya tak akan kau perdulikan bukan lelaki mana yang bakal mengawini dirimu?"

"Ya, asal dia seorang lelaki, seorang lelaki hidup, laki-laki tulen, itu sudah lebih dari cukup", jawab si nona.

Tiba-tiba wajahnya bersinar dan tampak lebih bersemangat, dengan suara keras ujarnya kembali:

"Setelah itu akan kubunuh dirinya......!"

Kalau ada seorang nona yang berusia dua puluh delapan-sembilan tahunan ingin kawin, maka kejadian ini bukan sesuatu yang aneh, tapi kata-katanya yang terakhir justru membuat orang merasa tidak habis mengerti...............

Dengan perasaan terkejut, semua orang bertanya:

"Kalau kau memang berkeinginan untuk kawin dengannya, kenapa pula kau hendak membunuhnya?"

"Karena akupun belum pernah merasakan jadi seorang janda, aku ingin tahu bagaimanakah rasanya menjadi seorang janda!"

Semua orang saling berpandangan dan ingin tertawa, tapi tak seorangpun di antara mereka bisa tertawa, siapapun tidak menyangka kalau perempuan ini bisa berpikir begini hebat dan luar biasa, suatu angan-angan yang lain daripada yang lain.

"Sayang aku masih akan hidup lama di dunia ini!", ujar si nona kembali, "oleh sebab itu bukan saja aku tak akan menjadi seorang janda, bahkan kemungkinan untuk kawinpun amat tipis!"

Ia menundukkan kepalanya dan menghela napas panjang, setelah meletakkan mangkuk ke meja, dengan kepala tertunduk ia mengundurkan diri dari ruangan itu.

Lewat lama, lama sekali, dari atas pembaringan tiba-tiba terdengar seseorang bergumam:

"Andaikata aku hanya bisa hidup tiga hari lagi, aku pasti akan mengawininya"

Orang ini bernama Yu Cun-cay, diapun seorang tabib kenamaan bahkan seorang lelaki yang berjiwa ksatria dan gagah perkasa, apa lacur, ia memiliki bentuk tubuh yang aneh dan lucu, bukan cuma punggungnya bongkok, kakinya pincang, bahkan seluruh mukanya penuh dengan bopeng.

Justru lantaran dia punya nama.......bukan cuma nama dalam profesi bahkan nama besar karena kejelekannya, maka walaupun banyak mak comblang yang berusaha dengan segala cara dan akal mencarikan jodoh baginya, begitu pihak wanita mengetahui kalau jodohnya adalah "Ma Tay-hu" atau Tabib Bopeng, kontan saja mereka mengundurkan diri cepat-cepat, malah ada satu kali sang mak comblang kena diusir orang dengan sapunya.

"Kau betul-betul ingin mengawininya?", tiba-tiba Cia Siau-hong bertanya pelan.

"Perempuan itu mana bersih, mana montok, halus lagi kulit badannya, bisa mengawininya sebagai biniku, hal mana sudah terhitung rejekiku, cuma sayang....."

"Cuma sayang kau masih belum mati maka mau tak mau harus mempertahankan pula nama baik keluargamu, bagaimanapun tak mungkin akan mengawini seorang pelayan dan menjemputnya pulang dengan tandu besar yang digotong delapan orang", sambung Cia Siau-hong.

Yu Cun-cay cuma mengangguk, menghela napas, tertawa getir dan meneguk arak.

Cia Siau-hong kembali tertawa terbahak-bahak.

Dengan keheranan semua orang menatap dirinya yang sedang tertawa.

Pelan-pelan Cia Siau-hong berkata lagi:

"Tadi kalian semua ingin bertanya kepadaku, seorang yang dengan jelas tahu bahwa dirinya hampir mati, kenapa masih juga bisa tertawa tergelak? Sekarang mengapa kalian tidak bertanya lagi?"

Tak seorangpun yang menjawab, tak seorangpun dapat menjawab pertanyaannya itu.

Cia Siau-hong segera memberi jawaban atas pertanyaannya sendiri:

"Karena sekarang secara diam-diam kalian sedang mengagumi diriku, iri kepadaku, sebab apa yang ingin kalian lakukan ternyata tak berani dilakukan, sedang aku dapat melakukannya semua dengan bebas dan leluasa....."

"Bila seseorang bisa hidup bebas dan leluasa selama beberapa hari dengan penuh keriangan dan kegembiraan tanpa segala ikatan dan batasan-batasan, aku percaya pasti ada banyak orang yang secara diam-diam iri dan kagum kepadanya"

Yu Cun-cay sudah menghabiskan dua cawan arak, tiba-tiba ia bertanya:

"Bagaimana dengan kau sendiri? Selama beberapa hari ini, apa yang ingin kau lakukan?"

"Aku minta kau mengawininya!", jawab Cia Siau-hong.

Sekali lagi Yu Cun-cay terperanjat.

"Mengawini siapa?"

"Adik angkatku!"

"Adik angkatmu? Siapa adik angkatmu?"

Mendadak Cia Siau-hong menyerbu ke depan dan menarik masuk si nona pelayan yang selama ini bersembunyi di luar pintu dan diam-diam mencuri dengar pembicaraan mereka.

"Dialah adik angkatku!", Cia Siau-hong menerangkan.

Yu Cun-cay tertegun. Si nonapun tertegun.

"Kau she apa? Siapa namamu?", tanya Cia Siau-hong lebih lanjut.

Si nona menundukkan kepalanya rendah-rendah.

"Sebagai pelayan orang, dari mana datangnya nama she (marga)? Majikan hanya memberi nama Hong-bwe kepadaku!"

"Mulai sekarang kau punya nama she, kau she Cia!", kata Cia Siau-hong lagi.

"She Cia?"

"Mulai sekarang kau sudah menjadi adik angkatku, aku she Cia, kalau tidak ikut she Cia lantas she apa?"

"Tapi kau.....kau....."

"Aku adalah Sam sauya dari keluarga Cia, Cia Siau-hong dari perkampungan Sin-kiam-san-ceng, telaga Liok Sui-oh, bukit Cui-im-kok"

Agaknya Hong-bwe pernah mendengar nama itu, dia mengulangi:

"Sam sauya dari keluarga Cia? Cia Siau-hong?"

"Ya, perduli siapapun setelah menjadi adik angkatnya Sam sauya dari keluarga Cia, kejadian ini sudah pasti bukan merupakan kejadian yang memalukan!"

Lalu sambil menuding ke arah Yu Cun-cay, dia melanjutkan:

"Walaupun orang ini bukan tergolong tampan, tapi dia adalah seorang suami yang baik"

Kepala Hong-bwe tertunduk semakin rendah.

Cia Siau-hong menarik tangannya dan diletakkan di atas genggaman Yu Cun-cay, kemudian berkata lebih lanjut:

"Detik ini ku umumkan bahwa kalian sudah menjadi suami isteri, adakah seseorang merasa keberatan?"

Tak ada! Tentu saja tak ada! Karena kejadian ini adalah suatu peristiwa perkawinan suatu perkawinan yang luar biasa, tidak menuruti aturan permainan, bahkan agak sedikit tak masuk di akal.

Tapi, perkawinan dalam bentuk macam apapun selalu akan mendatangkan kegembiraan dan kobaran semangat bagi siapapun.

Hanya Si Keng-meh yang duduk terpekur dengan wajah murung dan sedih.

Pelan-pelan Cia Siau-hong menghampirinya, tiba-tiba ia bertanya:

"Apakah orang itu adalah sahabatmu?"

"Orang yang mana?", tanya Si Keng-meh.

"Orang yang telah berbuat kesalahan kepadamu!"

Si Keng-meh mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, katanya:

"Aku.......aku selalu menganggapnya sebagai sahabatku, tapi dia........dia.......!"

"Ternyata dia telah melakukan perbuatan yang menyalahi diriku......?"

Si Keng-meh menutup mulutnya rapat-rapat, sepatah katapun tidak diucapkan, tapi air matanya sudah jatuh bercucuran membasahi pipinya, agaknya ia tak tega untuk mengutarakan kisah tersebut.

Betapapun besarnya rasa benci dan dendam, betapapun dalamnya penderitaan dan siksaan, ia dapat menerimanya sambil mengertak gigi, tapi ia tak kuasa menahan rasa malu dan aib yang diberikan peristiwa ini kepada dirinya.

Cia Siau-hong memandang ke arahnya, memandang dengan penuh rasa simpatik.

"Aku dapat melihat bahwa kau adalah seorang yang amat jujur!"

Si Keng-meh menundukkan kepalanya makin rendah, katanya dengan amat sedih:

"Aku tak lebih hanya seorang manusia yang tak berguna!"

Orang jujur bisa diartikan pula dengan seorang manusia yang tak ada gunanya.

"Tapi paling tidak kau pernah bersekolah", kata Cia Siau-hong.

"Mungkin lantaran aku pernah bersekolah, maka aku baru berubah menjadi begini tak ada gunanya"

"Ada, kau ada gunanya"

Si Keng-meh tertawa, suatu tertawa yang penuh dengan ejekan dan cemoohan terhadap diri sendiri.

"Berguna? Apa gunanya?", ia berkata.

"Kadangkala dengan pena pun orang bisa membunuh sesamanya", Cia Siau-hong berkata.

"Dengan pena juga bisa membunuh orang?"

"Kau tidak percaya?"

"Aku......."

"Di atas meja sana toh ada pena dan tinta, apa salahnya untuk pergi mencobanya?"

"Bagaimana cara mencobanya?"

"Kau hanya cukup menulis tiga patah kata dan ketiga patah kata itu sudah cukup untuk merenggut nyawa seseorang"

"Tiga patah kata?"

"Ya, tiga patah kata! Nama orang itu!"

Si Keng-meh mendongakkan kepalanya memandang wajahnya dengan penuh rasa terkejut.

Hingga sekarang ia baru menyadari bahwa orang yang hampir mati dan berdiri di hadapannya sekarang ternyata membawa sesuatu kekuatan yang misterius dan menakutkan, setiap saat setiap waktu dapat melakukan suatu perbuatan yang tidak menguntungkan bagi orang lain.

"Cepat kau tulis nama orang itu", Cia Siau-hong berkata lagi, "selesai menulis simpanlah dalam sampul dan tutuplah dengan rapat, kemudian serahkan kepadaku, aku jamin di sini tak seorangpun yang bisa membocorkan rahasiamu"

Akhirnya Si Keng-meh bangkit juga, berjalan mendekati meja dan mengambil pena.

Kekuatan misterius dari orang itu sungguh membuatnya tak sanggup melakukan perlawanan, apa yang dia ucapkan juga tak bisa tidak untuk dipercayainya...........

ooo)O(ooo

Sampul yang diberi segel telah berada di tangan Cia Siau-hong, dalam sampul hanya berisi selembar kertas dan sebuah nama.

"Kecuali kau seorang, aku jamin tiada orang lain yang tahu siapakah nama yang tercantum dalam sampul tertutup ini", kata Cia Siau-hong.

Si Keng-meh manggut-manggut, wajahnya yang pucat mengejang jeras karena gembira dan tegang, tak tahan ia bertanya:

"Bagaimana selanjutnya?"

"Selanjutnya hanya seorang yang bisa melihat nama tersebut!"

"Siapa?"

"Seorang yang pasti dapat menyimpan rahasia ini dengan sebaik-baiknya"

Ia berpaling ke arah Siau Te dan melanjutkan:

"Tentu saja sudah kau duga bukan kalau orang tersebut adalah kau?"

"Ya!", Siau Te mengangguk.

"Setelah kau membaca nama orang itu, tentu saja nyawa orang itu tak akan hidup lebih lama bukan?"

"Tentu saja!"

"Dan kematiannya tentu saja jauh di luar dugaan?"

"Betul!"

Ia mengulur tangannya dan menerima sampul surat tersebut dari tangan Cia Siau-hong, tangannya semantap dan setenang tangan Cia Siau-hong.

Setiap orang sedang memandang ke arah mereka semua, mimik wajah mereka entah sedang menampilkan rasa kagumkah? Ataukah jeri?

Sebuah sampul, secarik kertas, sebuah nama, dalam sekejap mata telah menentukan mati hidup seseorang. Sesungguhnya siapakah ke dua orang itu? Mengapa mereka memiliki kekuatan sebesar ini?

Peluh sebesar kacang telah membasahi seluruh jidat Si Keng-meh, mendadak ia menerjang ke muka, merampas surat itu dari tangan Siau Te, melumat-lumatnya menjadi satu, kemudian dijejalkan ke dalam mulut, melumatnya menjadi hancur, lalu ditelan dan akhirnya mulai muntah-muntah.

Cia Siau-hong hanya menyaksikan tindak-tanduknya itu dengan pandangan dingin, ia tidak bicara, pun tidak menghalangi perbuatannya.

Paras muka Siau Te lebih tenang lagi, tanpa emosi di atas wajahnya.

Hingga ia selesai muntah, Cia Siau-hong baru bertanya dengan suara hambar:

"Kau tak tega melihat dia mati?"

Si Keng-meh menggelengkan kepalanya dengan sepenuh tenaga, air mata dan peluh dingin mengucur keluar bersama-sama.

"Kalau kau toh membencinya hingga merasuk ke tulang sumsum, mengapa pula kau tak tega membiarkan dia mati?", tanya Cia Siau-hong.

"Aku........aku........"

"Di sana masih tersedia kertas dan pena, aku bisa memberi sebuah kesempatan lagi kepadamu!"

Sekali lagi Si Keng-meh menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Aku benar tak ingin dia mati, benar-benar tak ingin!", serunya.

Cia Siau-hong tertawa.

"Ternyata rasa bencimu kepadanya tidaklah begitu mendalam seperti apa yang kau bayangkan semula!", katanya.

Sambil tersenyum ditariknya Si Keng-meh yang hampir lemas tak bertenaga itu dari atas tanah, lalu katanya lebih lanjut.

"Bagaimana juga kau toh sudah memiliki kesempatan untuk membunuhnya, tapi kau telah melepaskannya kembali, asal kau teringat akan hal ini maka hatimu akan terasa jauh lebih lega dan tenang"

Ruangan itu amat gelap, tapi wajahnya seakan-akan bersinar, tanpa terasa semua orang berpaling ke arahnya, mimik wajah mereka hanya menampilkan rasa hormat tanpa rasa ngeri dan seram.

Sebuah sampul, secarik kertas, sebuah nama, dalam waktu singkat telah melenyapkan rasa benci dan dendam yang telah tertanam dalam-dalam di hati seseorang.

Sesungguhnya siapakah dia? Kenapa bisa memiliki kekuatan sedahsyat dan semisterius begini?

ooo)O(ooo

Arak telah memenuhi seluruh cawan, setiap orang sedang meneguk arak dengan mulut membungkam, meneguk hingga habis, setiap orang mengerti secawan arak itu mereka minum untuk menghormati siapa?

Mungkin hanya tiga hari, dalam tiga hari ini apa pula yang hendak dia lakukan?

Cia Siau-hong menghembuskan napas panjang, gelak tertawanya semakin riang, terhadap segala sesuatunya ia tampak merasa amat puas.

Ia gemar minum arak, iapun suka orang lain menghormatinya, walaupun kedua macam persoalan ini sudah lama terlupakan, tapi sekarang lambat-laun mulai merembes dalam tubuhnya dan mendatangkan rasa hangat di seluruh badan.

"Yang harus pergi, cepat atau lambat dia pasti akan pergi", ditatapnya sekejap semua orang, kemudian melanjutkan, "di antara kalian sekarang, masih adakah seseorang yang bersikeras hendak menahanku tetap tinggal di sini?"

Sekali lagi Siau Te mengangkat cawannya dan meneguk isi cawan hingga habis, kemudian sepatah demi sepatah kata menjawab:

"Tidak ada, tentu saja tidak ada!"

Sekali lagi semua orang mengangkat cawannya dan meneguk isi cawan hingga habis, setiap orang sedang memperhatikan Cia Siau-hong.

Hanya Kian Po-sia yang tertunduk selalu, tiba-tiba ia bertanya:

"Sekarang, apakah kau sudah seharusnya pergi?"

"Benar!", jawab Cia Siau-hong.

Ia beranjak dan menghampirinya, lalu sambil menggenggam lengan Kian Po-sia, tambahnya:

"Mari kita berangkat bersama!"

"Kita berangkat bersama?", akhirnya Kian Po-sia mendongakkan juga kepalanya, "kau hendak mengajak aku kemana?"

"Pergi makan besar, minum sepuasnya, bermain judi dan bermain pelacur......!"

"Kemudian?"

"Kemudian aku pergi mati, sedang kau kembali ke rumah untuk meneruskan kedudukanmu sebagai seorang kuncu!"

3 komentar:

nonton flim online mengatakan...

mantap gan ceritanya...
sangat menarik dan bermanfaat...

Unknown mengatakan...

Sip...

Unknown mengatakan...

Sip...