Maklumlah, semenjak bayi ia dilahirkan di alam pedusunan. Menjadi dewasa dan bersuamikan seorang penduduk biasa yang memilih hidup sebagai petani. Ia biasa bekerja sendiri tanpa seorang pembantu pun.
Tak heran ia malahan merasa tersiksa oleh pelayanan-pelayanan itu. Meskipun otaknya sederhana, tetapi ia mulai lagi menduga-duga, mengapa pangeran itu memperlakukan dirinya begitu baik. Meskipun alasan yang dikemukakan adalah masuk akal, samar-samar ia merasakan sesuatu. Perasaan samar-samar itu menggugah dan mengingatkan hatinya kepa¬da suaminya yang sangat mencintainya. Ia merasa diri menjadi bagian hidup suaminya. Kini secara tiba-tiba direnggutkan oleh sesuatu nasib. Teringat akan cintanya kepada suaminya, berpura-puralah dia berbaring memeluk Sanjaya. Diam-diam ia menangis sedih sekali.
Dalam pada itu, Pangeran Bumi Gede berangkat ke bagian kota yang ramai dengan membekal uang. Ia melihat penduduk kota masih saja merayakan hari penobatan raja. Mereka berbelanja, berhias dan berbicara melebihi kebiasaannya. Gerak-geriknya halus dan menyenangkan hati.
Pangeran Bumi Gede adalah seorang pange¬ran yang mempunyai cita-cita besar. Ia bersekutu dengan Patih Danureja II. Dengan sendirinya dalam hatinya memusuhi Sultan Hamengku Buwono II. Maksud persekutuan itu ialah untuk sesuatu tujuan tertentu. Pertama -tama ia melihat Patih Danureja II berpengaruh besar dan luas. Kompeni Belanda berada di belakangnya. Kedua, ia mengagumi kecakapan Patih Danureja II. Jika ia pandai menempelkan diri kepadanya, tak urung di kemudian hari akan ke bagian rejeki.
Dia sendiri seorang bupati daerah Bumi Gede. Tetapi ia ingin menjadi seorang Bupati Mancanegara seperti Raden Rangga Prawiradirja III. Siapa tahu, malahan bisa diangkat menjadi pangeran penuh yang memerintah negara agung . Siapa tahu pula, bahwa oleh pengaruh Patih Danureja II dia bisa dicalonkan sebagai pengganti raja. Inilah cita-cita gilanya, tetapi mungkin pula terjadi. Sebab Patih Danureja II benar-benar lawan Sultan Hamengku Buwono II sampai ke bulu-bulunya …
Dengan tenang dan rasa puas bangsawan itu berjalan menyusur tembok-tembok kota. Maklumlah, hari itu ia memperoleh tanda-tanda Sapartinah telah dapat dikuasainya. Ia seorang bangsawan yang teliti dan halus sepak-terjangnya. Gejolak hati sebenarnya tidaklah nampak dari penglihatan. Jika ia mempunyai tujuan, sepak terjangnya kian lembut. Perempuan sesederhana Sapartinah bagaimana dapat menebak maksud hatinya.
Selagi ia melamunkan rencana-rencananya terhadap Sapartinah, mendadak didengarnya derap kuda. Ia tertarik dan menjadi heran. Bagaimana tidak? Jalan yang dilalui tidaklah cukup leluasa bagi seseorang yang berkuda. Lagi pula waktu itu banyak orang berjalan hilir mudik. Di tepi jalan pedagang-pedagang kain, makanan, dolanan dan pikulan-pikulan sayur. Lantas siapa orang itu? Mestinya salah seorang keluarga raja. Mendapat pikiran demikian cepat-cepat ia menepi.
Tak usah dia lama menunggu, maka nampaklah seekor kuda berwarna putih melesat mendatangi. Kuda itu gagah, tegap dan cepat larinya. Ia mengagumi kuda itu. Tetapi ia heran pula penunggangnya. Dia bukan anak seorang pangeran atau salah seorang keluarga raja. Melainkan seseorang yang mengenakan pakaian pendeta.
Tampaknya seperti orang gila. Ia bercokol di atas pelana tanpa memegang kendali. Perawakan orangnya agak pendek, tapi tubuhnya berisi.
Menyaksikan kuda lari demikian cepat tanpa dikendalikan, Pangeran Bumi Gede menjadi cemas juga. Tetapi ajaib. Meskipun berlari begitu liar, kuda itu tak pernah menyinggung orang. Pikulan-pikulan dilompatinya dengan gesit. Orang-orang yang tidak sempat menyibakkan diri dilintasi dengan teliti. Kuda itu seperti berlari di tengah lapang tiada rintangan. Larinya merdeka dan pandai menghindari rintangan-rintangan semacam orang bersilat.
Pangeran Bumi Gede tak percaya, kalau kuda itu Iari tanpa dikuasai penunggangnya. Karena itu tanpa sadar ia kagum dan heran.
“Bagus!” Ia memuji penunggangnya. “Kalau bukan seorang ahli bagaimana dia sanggup melintasi jalanan begini sesak dan kacau.”
Penunggang kuda itu tatkala hampir melin¬tasi Pangeran Bumi Gede sekonyong-konyong menoleh. Pandang matanya tajam seperti lagi mengancam. Tak terasa tersiraplah darah Pa¬ngeran Bumi Gede.
Ih! Mengapa dia memandangku seperti itu? pikirnya menggeridik.
Sekonyong-konyong dari simpang jalan nampaklah dua kanak-kanak lari menyeberang jalan. Orang-orang menjerit kaget. Tak terkecuali Pangeran Bumi Gede. Penunggang kuda lantas saja menarik kendali sambil menjejak punggung. Ia terloncat ke atas dengan berjumpalitan. Kudanyapun seperti ikut tertarik. Ia ter¬loncat dan melintasi kepala dua kanak-kanak itu tanpa menyinggung sehelai rambutnya. Tatkala kakinya turun ke jalan, si penunggang turun dari udara dan jatuh tepat di atas pelana.
Pangeran Bumi Gede tercengang-cengang. Siapa dia? ia menebak-nebak. Kenapa harus melarikan kudanya seperti setan?
Karena itulah ia segera mempercepat jalannya. Ia ingin tahu ada apa. Dia seorang pemuda yang gesit dan tangkas. Sebentar saja ia dapat mengejar larinya kuda dengan jarak tetap. Tetapi orang-orang yang dilalui pada heran. Mereka mengira, dialah pemilik kuda yang sedang mengejar si pencuri.
Pangeran Bumi Gede tak menghiraukannya. Perhatiannya terpusat kepada si penunggang kuda. Kalau aku belum mengetahui jelas siapa dia, biar aku berlari-lari sepanjang malam. Sayang, kalau seseorang sepandai itu berada di pihak raja. Dia harus dapat kutarik ke pihakku, pikirnya.
Makin lama makin menggilalah lari si kuda putih. Ia jadi khawatir akan kehilangan jejak. Sekonyong-konyong di depan Istana Kepatihan kuda putih itu berhenti. Penunggangnya lantas saja melompati penjagaan dan meng-gempur penjaga-penjaga.
“Ih!” Pangeran Bumi Gede terkejut. “Meng¬apa memusuhi kepatihan? Apa dia yang bikin onar dalam Istana Kepatihan?”
Ia lantas berdiri menonton di pinggir jalan. Waktu itu si penunggang kuda menyerang penjaga-penjaga dengan cepat. Sebentar saja belasan orang penjaga jatuh berserakan di atas tanah. la tak terkalahkan. Bahkan sekarang berdiri tegak menghadap gapura. Berkata nyaring, “Hai kalian begundal-begundal Belanda! Inilah Hajar Karangpandan! Kalau kalian sakit hati kejarlah aku!”
Setelah berkata demikian ia melompati kudanya lagi dan melesat pergi. Penjaga-pen¬jaga yang berada di dalam gapura membunyikan genta tanda bahaya. Tak lama kemudian sepasukan tentara berkuda keluar dari ga¬pura memburu Hajar Karangpandan. Tetapi mereka tak dapat mengejarnya. Melihat bayangannya saja tidak sempat.
Pangeran Bumi Gede berdiri tertegun menyaksikan kejadian itu. Hebat! Hebat orang itu, pikirnya. Ternyata dia benci kepada orang-orang yang bekerja sama dengan Belanda.Patih Danureja memang bersahabat dengan kompeni. Dan aku bersekutu dengan Patih Danureja. Bukanlah setali tiga uang? katanya di dalam hati. Ih! Kalau aku kepergok orang itu … akupun akan …Ia mendapat firasat buruk. Teringatlah dia akan Sapartinah. Maka cepat-cepat ia kembali ke penginapan. Lega hatinya saat melihat Sapartinah masih ada di dalam kamarnya. Keesokan harinya ia menyuruh Sapartinah berganti pakaian dan bersolek secara isteri orang ningrat. Kemudian disewanya sebuah kereta. Ia khawatir terlihat oleh si penunggang kuda semalam. Siapa tahu orang itu mengganggu Sapartinah. Urusan bisa runyam nanti, pikirnya. Biarlah kuantarkan pulang dulu Sapartinah, katanya di dalam hati. Setelah beres kucari orang itu. Sayang! Sungguh sayang jika orang itu terlepas dari tanganku. Kalau aku bersikap bijaksana pasti dia dapat kutarik ke pihakku.
Memikir demikian hatinya tenteram kembali. Sapartinah dan Sanjaya dinaikkan ke dalam kereta tertutup. Dia tetap menunggang kuda mengamat-amati dari jauh.
TUJUH tahun lewatlah sudah tanpa cerita dan kisah. Tetapi pada suatu hari, di pinggiran kota Jakarta nampaklah seorang pemuda tanggung berumur empat belas tahun duduk merenung-renung di tepi kali. Pandangnya tiada beralih dari permukaan air, seolah-olah hendak menempati dasarnya. Dialah Sangaji anak Rukmini dan Made Tantre.
Tujuh tahun yang lalu Rukmini minggat dari pondokan sewaktu Kodrat lagi menghubungi tangsi-tangsi kompeni Belanda hendak mencari pekerjaan. Jakarta bagi dia masih sangat asing. Kecuali pergaulan hidupnya juga bahasanya. Tetapi dia sudah bertekad. Dan kalau seseorang telah dibangkitkan tekadnya, ia tak akan ragu lagi untuk maju.
Dua minggu lamanya dia hidup tak berketentuan. Tidurnya di teritisan rumah dan makannya diatur sehemat mungkin. Sebuah kalung emas yang masih dikenakan, dijual sejadi-jadinya. Dalam hati ia berdoa semoga kalung emas itu dapat menyambung umur sampai nasib buruk terkikis habis.
Hati Rukmini sedih bukan main. Pada malam hari atau pada waktu-waktu senggang selalu saja dia teringat suaminya, rumah-tangganya. kebahagiaannya, kampung halamannya dan anaknya seorang ini yang terpaksa pula harus menderita. Peristiwa begini belum pernah terlintas dalam pikirannya sewaktu masih hidup tenteram damai di desanya.
Pada suatu malam ia tidur diteritisan rumah seorang haji. Sangaji dipeluknya erat-erat. Mendadak terdengarlah gerit pintu. Kagetlah dia, segera Sangaji dipeluknya makin erat.
Tampak seorang laki-laki keluar pintu de¬ngan berjalan tertatih-tatih. Melihat Rukmini dan Sangaji orang itu menegur, “Siapa kalian?”
Rukmini belum pandai berbahasa Melayu. Karena gugupnya ia menjawab dalam bahasa Jawa.“Kula tiyang kesrakat .”
Secara kebetulan haji itu ternyata seseorang yang berasal dari Indramayu . la mengerti bahasa Jawa. Segera ia menegas minta keterangan dan Rukmini terpaksa mengisahkan riwayat perjalanannya.
“Masyaallah … di dunia ini kenapa ada kejadian begitu,” haji itu mengeluh dalam. “Mengapa di Jawa pun ada peristiwa semacam pem¬bakaran kampung Cina !”
Haji itu bernama Idris bin Lukman. Dia se¬orang yang berhati baik. Mendengar riwayat kesengsaraan Rukmini segera ia mengulurkan tangan. Ia bawa Rukmini masuk ke dalam rumahnya. Disediakan sebuah bilik. Dan semenjak malam itu Rukmini ikut padanya.
Dua tahun kemudian Rukmini telah mempunyai simpanan uang agak lumayan jumlahnya. Hasil keringat sebagai pembantu rumah tangga Haji Idris. Ia kini sudah dapat menyesuaikan diri dengan kampung halamannya yang baru. Timbullah keinginannya untuk mencoba hidup sendiri. Ia menyewa sebuah rumah sederhana. Kemudian membuka warung makanan dan panganan masakan Jawa. Dapatlah dibayangkan betapa sibuknya ia mengatur perjuangan hidup ini. Masakan Jawa kala itu belum dikenal orang-orang Jakarta. Perjuangan hidupnya timbul tenggelam tak menentu. la tetap gigih sampai lima tahun lagi lewat tanpa suara.
Sangaji tumbuh menjadi seorang laki-laki yang kuat tubuhnya dan cerdik. Gerak-geriknya cekatan, karena dibentuk alam penghidupan kota besar yang serba cepat. Kesibukannya sehari-hari belajar mengaji dan menjadi kuli kasar orang-orang Tionghoa di kota perdagangan .
Pada hari itu ia lagi iseng. la dolan keluar kota dengan membawa katapel dan pancing. Kalau aku bisa membawa pulang beber¬apa ekor burung dan ikan, alangkah senang hati Ibu, pikir Sangaji.
Tetapi ia gagal mencari burung. Terpaksa kini mencurahkan perhatiannya ke kali. Tatkala pancingnya diturunkan ke kali ia melihat sebuah lubang besar semacam terowongan yang menusuk dinding sungai. Dilihatnya tero¬wongan itu. Ia berpikir tentang sarang ikan. Apa ini juga sarang ikan? pikirnya. Atau sarang kura-kura?
Mendadak selagi ia sibuk berpikir terdengarlah di kejauhan suara derap kuda. Tak lama kemudian derap-derap kuda yang lain. Lantas suara lengking terompet. Lantas suara genderang, disusul tembakan-tembakan senapan.
Sangaji terperanjat. Ia lari mendaki gundukan tanah yang ada di depannya melihat ke jauh sana. Nampak debu tebal mengepul ke udara, lalu muncullah suatu pasukan kompeni. Berapa jumlah mereka tak dapatlah dia menghitung. Hanya kepala pasukan itu terdengar berteriak-teriak melepaskan aba-aba dan perintah. Pasukan itu lantas terpecah menjadi dua bagian ke timur dan ke barat. Yang mengarah ke timur seregu serdadu berpakaian hijau. Yang mengarah ke barat berpakaian hitam lekam.
Sangaji tertarik hatinya. Rasa takutnya hilang. Tetapi karena serdadu-serdadu kerapkali melepaskan tembakan ia lantas bertiarap dan terus mengintai.
Tak lama kemudian barisan yang memecah menjadi dua bagian nampak teratur rapi. Terdengar suara terompet dari arah selatan. Muncullah kemudian beberapa barisan lagi yang dikepalai oleh seorang perwira bertubuh agak kegemuk-gemukan. Perwira itu berpa¬kaian mentereng. Berjas tutup dengan bulu putih sebagai penutup leher. Dia mengenakan sebatang pedang di pinggang kiri.
Barisan yang memecah diri menjadi dua bagian, mendadak berhenti. Mereka menunggu. Begitu pasukan yang datang dari arah sela-tan tiba, mereka menyerbu dengan cepat dan garang. Pertempuran segera terjadi .
Pihak penyerang berjumlah lebih sedikit daripada yang mempertahankan diri. Meski-pun berkesan gagah berani, tetapi lambat laun terdesak mundur. Tetapi dari arah belakang. datanglah lagi bala bantuan yang terdiri dari tiga pasukan besar. Mereka lantas saja datang menyerang. Kini jumlah mereka berimbang. Masing-masing pantang menyerah.
Sekonyong-konyong terdengarlah bunyi genderang dan terompet riuh sekali. Mereka menyerang kemudian berteriak-teriak nyaring. “Barisan menyibak! Gubernur Jenderal Mr. P Vuyst datang!”
Mendengar teriakan itu, seluruh pertempur¬an berhenti dengan tiba-tiba. Mereka mengalihkan perhatian. Pandang mereka mengarah kepada suatu pasukan besar yang datang de¬ngan perlahan-lahan.
Sangaji ikut mengalihkan perhatian. Dilihatnya pasukan itu sangat berwibawa. Nampak pula sehelai bendera raksasa berwarna merah putihbiru berkibar-kibar ditiup angin. Lantas terdengar suara teriakan nyaring, “Serang! Gubernur Jenderal berkenan menyaksikan! “
Mendengar teriakan itu pasukan penyerang lantas saja mulai menyerbu. Pertempuran sengit berulang lagi. Debu mengepul ke udara menutup penglihatan. Pasukan penyerang kali ini nampak bersemangat. Mereka tak kenal takut lagi. Dengan semangat bertempur itu, mereka dapat mengacaukan lawannya.
Panji-panji raksasa yang berada jauh di selatan, bergerak mendaki sebuah gundukan ting¬gi. Sangaji yang bermata tajam mengarahkan penglihatannya ke atas gundukan. Di sana ia melihat seorang perwira tinggi perkasa duduk tenang-tenang di atas pelana kudanya. Perwi¬ra itu mengenakan pakaian baju perang yang dilapisi perisai. Kain lehernya ditebali oleh segulung kain putih. Lengan pergelangan tangan dihiasi penebal berwarna putih pula. Pada pinggangnya tergantung seleret pedang panjang. Ia menumpahkan seluruh perhatiannya ke arah gelanggang pertempuran. Disampingnya berdiri dua regu kompeni yang siap menembak. Pedang-pedangnya terhunus pula.
Tak lama kemudian keadaan gelanggang pertempuran berubah. Pasukan penyerang dipukul mundur. Perwira berkain leher putih yang memimpin serangan memutar kudanya dan lari mendaki bukit. Ia meloncat dari kudanya dan berteriak nyaring kepada Gubernur Jenderal Vuyst.
“Musuh tak terkalahkan. Mereka terdiri dari pasukan Dua Belas Majikan .”
Gubernur Jenderal Vuyst kelihatan tenang-tenang saja.
“Bawalah dua ratus serdadu darat. Pergilah ke balik gundukan itu. Dua ratus pasukan berkuda pimpinan Kapten Doorslag, suruhlah melarikan diri ke arah barat. Sisanya biar bertahan sebisa-bisanya. Tapi dengarkan! Jika kau mendengar bunyi tembakan tiga kali, kalian harus menyerbu berbareng.” Katanya memberi perintah.
Perwira muda itu lantas saja mengundurkan diri. la mencari Kapten Doorslag dan menyampaikan perintah Gubernur Jenderal. Kemudian terjadilah suatu keributan. Pasukan penyerang ditarik mundur. Mereka lari berpencar seolah-olah kalah perang. Melihat itu pasukan Dua Belas Majikan bersorak gemuruh.
Dengan pimpinan seorang kapten pula, mereka menyerbu. Kini mengarah ke gundukan tinggi di mana Gubernur Jenderal Vuyst berada. Keruan saja pasukan pengawal Gu¬bernur Jenderal gugup bukan main. Mereka lantas mempertahankan diri dengan dipimpin Mayor de Groote.
“Lindungi Gubernur Jenderal! Lainnya ikut menyerbu!” perintahnya garang.
Pertempuran kini menjadi seru sengit. Masing-masing berusaha mencapai tujuan. Pedang, golok, belati, pistol dan senapan mulai berbicara. Hawa pembunuhan mengaung-ngaung di sepanjang gelanggang.
Sangaji tertegun menyaksikan pertempuran hebat itu. Hatinya ikut berkebat-kebit. la me¬lihat suatu pertarungan simpang-siur. Yang sebagian lari berpencar. Lainnya menyerang dan merangsak. Lainnya lagi saling bertubrukan. Sudah barang tentu pertempuran menimbulkan korban terlalu banyak. Mayat-mayat berserakan dan bertumpuk-tumpuk. Kuda-kuda yang kehilangan penunggang berlari-larian menubras-nubras sejadi-jadinya. Pasukan pengawal Gubernur Jenderal Mr. P Vuyst ternyata didesak mundur. Mayor de Groote gugup. Secepat kilat ia datang meng-hadap Gubernur Jenderal Vuyst.
“Pasukan pengawal tak sanggup bertahan,” katanya.
“Hm,” sahut Gubernur Jenderal. “Kenapa tak sanggup bertahan? Kalau berlagak mau mengambil kekuasaan VOC sudah tak mampu, bagaimana akan sanggup mengurusi tanah jajahan yang tersebar luas di bumi kepu¬lauan ini? Hai, jangan sekali-kali lagi bilang sebagai seorang mayor gagah perkasa!”
Didamprat demikian Mayor de Groote berdiri gemeteran. Wajahnya terus berubah. Mendadak saja ia merampas pistol seorang serdadu dan menyerbu dengan menghunus pedangnya. Ia mengamuk seperti orang gila. Pedangnya berputaran seperti kitiran. Sebentar saja tiga orang musuh dirobohkan.
Seregu barisan yang diserbu Mayor de Groote mundur ke barat. De Groote terus menyerang. Pistolnya kini mulai berbicara. Sepak terjangnya ini ditiru oleh serdadu-serdadunya. Mereka lantas menyerbu.
Mendadak de Groote melihat sebuah panji-panji bertuliskan VOC berkibar-kibar di tengah-tengah barisan Dua Belas Majikan. Segera ia melompat dan menyerang. Dengan sembilan sepuluh tebasan pedang, ia berhasil merangsak maju. Panji-panji VOC kena dirampasnya. Ia gembira. Cepat-cepat ia mengundurkan diri sambil membawa panji-panji rampasan.
Diacungkan panji-panji itu di depan Guber¬nur Jenderal hendak mencari pujian.
“Sudah dapat kurampas! Apa sudah tiba saatnya kita melepaskan tiga kali tembakan tanda serbuan serentak?” teriaknya.
“Bagus! Kau bisa merampas panji-panji VOC. Tetapi serbuan serentak belum tiba saat¬nya. Mereka belum lelah.”
De Groote jadi gelisah sendiri. Barisan lawan gusar menyaksikan panji-panji kebesarannya terampas. Selama malang-melintang di seluruh kepulauan Nusantara belum pernah sekali juga terampas panji-panji kebesarannya. Itulah sebabnya mereka lantas saja menyerbu dengan gagah berani. Terdengar teriakan-teriakan mereka.
“Serbu! Tangkap hidup-hidup Vuyst jahanam!”
Barisan pengawal Gubernur Jenderal P Vuyst kian menipis. Mereka bertahan mati-matian. Mayor de Groote tertegun sambil menggenggam tongkat panji-panji erat-erat. Ia belum dapat mengambil keputusan tetap.
Sekonyong-konyong dari arah timur muncullah seorang panglima dengan mengenakan pakaian perisai. Ia menjengkelit sepucuk senapan. Lantas menembak. Dan tiang panji-panji VOC yang digenggam Mayor de Groote patah berantakan. “Bagus!” seru Gubernur Jenderal P Vuyst. Sekali lagi si panglima itu menembak. Dan tiang bendera kebangsaan Belanda runtuh pula. Mayor de Groote kaget. Tetapi Gubernur Jenderal tak memperhatikan hal itu. la menegakkan kepala. Matanya mencoba menajamkan penglihatannya.
“Bagus! Penembak jitu. Siapa dia?” Teriaknya nyaring.
Berbareng dengan kata-kata pujian terdengar lagi ia menembak. Dua orang pengawal yang melindungi Gubernur Jenderal jatuh terjengkang tak bernapas. Mayor de Groote menggigil cemas.
“Apa kita lepaskan tembakan tanda serbuan serentak?” Mayor de Groote berteriak.
“Sebentar lagi,” sahut Gubernur Jenderal P Vuyst.
Terdengar lagi tembakan bersuing. Gubernur Jenderal P Vuyst kaget. Kakinya kena tem¬bakan dan peluru senapan orang itu menembus perut kuda. Serentak ia rubuh ke tanah. Kudapun rubuh setelah kedua kaki depannya meninju udara.
Seluruh pasukan pengawal terkejut bukan kepalang. Mereka gusar bercampur cemas. Tetapi Gubernur Jenderal P Vuyst bangkit kem-bali. Kemudian memberi perintah, “Lepaskan tembakan tiga kali, kita menyerbu berbareng.”
Dengan perintah itu tembakan tanda ser¬buan dilepaskan ke udara. Dari balik gundukan dan dari arah barat muncullah dua pasukan besar, pimpinan perwira Speelman dan Kapten Doorslag. Mereka menyerbu serempak dengan teriakan-teriakan dan tembakan-tembakan bergemuruh. Mayor de Groote yang memimpin pengawal Gubemur Jenderal lantas saja memberi aba-aba maju menyerang.
Diserang dari tiga jurusan pasukan Dua Belas Majikan seketika jadi berantakan. Mereka tadi sedang menyerbu serentak. Kini mendadak didesak dan dirangsak dari samping. Keruan saja mereka keripuhan dan mundur sejadi-jadinya.
Panglima yang mahir menembak yang berada di belakang pasukan penyerbu Dua Belas Majikan, lantas saja berteriak-teriak menghadang, “Jangan kacau! Bertahan dan serang!”
Tetapi usahanya sia-sia belaka. Dia bahkan kena, diterjang mundur sampai kudanya berputar-putar berkisar dari tempatnya. Senapannya tak dapat digunakan lagi. Dia bagaikan sebuah perahu tanpa kemudi lagi dan mau tak mau terseret-seret arus. Lambat-laun, ia terpisah. Sisa pasukan Dua Belas Majikan telah lari berserabutan meninggalkan gelanggang.
“Tangkap dia!” perintah Gubemur Jenderal P Vuyst.
Beberapa puluh serdadu berkuda lantas saja mengaburkan kudanya dan berbareng mendesak. Melihat gelagat buruk panglima itu memutar kudanya dan lari mengarah ke gundukan Sangaji.
Hebat panglima itu. Sambil melarikan kudanya ia menembak. Tembakannya jitu tak pernah luput. Itulah sebabnya tujuh delapan serdadu pengejar jatuh terjungkal dari atas kudanya. Yang berada di belakangnya jadi terhalang. Mereka terpaksa menyibakkan ku¬danya dulu, baru mulai mengejar lagi, dengan demikian panglima itu dapat meloloskan diri.
Sangaji kagum melihat sepak terjang pangli¬ma itu. Pandang matanya tak pernah lepas daripadanya. Mendadak saja panglima itu menelungkupi punggung kudanya. Ternyata ia kena tembakan berondongan dari kejauhan. Di kaki gundukan sebelah timur ia terpelanting dari kudanya dan jatuh terbanting di tanah.
Tubuhnya terus bergulungan dan terbaring di depan Sangaji. Sangaji terperanjat. Tersentak oleh rasa kagumnya, ia menghampiri. Muka panglima itu penuh debu. Dadanya berlepotan darah. la terluka parah. Tetapi ia masih berusaha merangkak-rangkak sambil tangannya mencabut pedang. Tubuhnya bergoyang-goyang, matanya bersinar merah. Masih saja ia tampak garang.
“Tolong ambilkan air!” Katanya ketika meli¬hat Sangaji.
Sangaji tertegun. Pikirannya bekerja. Men¬dadak teringatlah dia air sungai. Sangaji lantas lari menuruni gundukan menghampiri sungai. Setelah sampai di tepi sungai matanya celingukan mencari daun. la mendapat daun itik. Cepat-cepat ia menyenduk air dan dibawa hati-hati kepada panglima itu. “Ini air sungai,” katanya. Panglima itu tak mempedulikan. Air itu disambarnya dan terus diminum. Baru saja mulutnya menempel air, darah dari dadanya terkucur membasahi tangan. Lukanya benar-benar parah. Sedikit saja bergerak, darah terus menyemprotkan. la rubuh di tanah. Wajahnya pucat lesi, tetapi nampak gagah.
Sangaji terperanjat. Tak tahu dia apa yang harus dilakukan. Ia hanya berjongkok mendekati. Tiba-tiba suatu pikiran menusuk benak. Cepat ia menanggalkan bajunya dan dibuatnya membebat luka panglima itu.
Panglima itu ternyata seorang Indo Belanda. Namanya Willem Erbefeld. Ternyata dia salah seorang keturunan Pieter Erbefeld yang berontak melawan kekuasaan VOC pada tahun 1721 dengan kawannya Kartadriya
Beberapa saat kemudian, Willem menyenakkan mata.
“Adik kecil … kaupunya senjata bidik?” katanya perlahan.
“Punya.”
“Bagus. Ambilkan aku air lagi.”
Sangaji lari kembali ke kali. Ia memetik setangkai daun itik lagi dan menyenduk air dengan cepat. Setelah sampai, ia menolong meminumkan air.
“Terima kasih, adik yang baik,” bisik Willem. “Kau mengorbankan bajumu untuk lukaku.”
Willem kemudian merogoh sakunya dan mengeluarkan segenggam mata uang. Diulurkan mata uang itu kepada Sangaji. “Adik yang baik, terimalah uang ini untukmu.”
Sangaji menggelengkan kepala.
“Aku tak dilarang menerima apa pun juga sebagai balas jasa.”
“Siapa yang melarangmu?”
“Ibu.”
Willem tercengang. Lalu tertawa terbahak-bahak. Tetapi justru dia tertawa darahnya menyemprot lagi. Berbareng dengan itu didengarnya derap kuda makin mendekat.
“Adik!” ia terkejut. “Mana senjata bidikmu?”
Sangaji merogoh sakunya dan mengeluar¬kan katapelnya. Diangsurkan katapel itu ke Willem. Willem yang tadinya mengharapkan memperoleh senapan, menjadi lesu melihat katapel. Tetapi ia tertawa lebar.
“Adik yang baik … aku mau bertempur. Bukan mencari burung.”
Sangaji bingung. Tak dapat ia menebak maksud orang itu. Willem lantas saja tertawa berkakakan.“Terima kasih, adik. Kau sudah berusaha memenuhi permintaanku. Tetapi maksudku senjata bidik ialah senapan. Bukan katapel.”
“Senapan? Aku tak punya,” ujar Sangaji.
Willem sadar akan kekeliruannya sendiri. Pikirnya, mana bisa seorang kanak-kanak mempunyai senapan. Dia bukan anak kompeni. Mendapat pertimbangan itu, dia tertawa lagi,“Ah … akulah yang salah. Sekarang minggir! Aku akan bertempur melawan mereka dengan pedang ini.”
“Kauluka parah … tak bisa melawan mereka seorang diri. Kenapa tak sembunyi saja?”
Willem heran oleh usul itu. “Di mana aku bisa bersembunyi?”
Sekarang Sangaji yang terkejut. la menyapukan pandangannya. Tidak dilihatnya seonggok gerumbulan. Tiba-tiba dia teringat akan tero¬wongan air di dalam sungai. Gap-gap ia berkata, “Di dalam tebing sungai kulihat ada sebuah terowongan. Mungkin goa … mungkin pula …”
Willem lantas saja bangkit. Ia harus mengambil keputusan cepat. Bertempur dalam keadaan luka, tanpa senjata pula adalah tidak mungkin. Lawan begitu banyak jumlahnya. Satu-satunya yang harus dilakukan ialah ber¬sembunyi.
“Baik. Kuserahkan nyawaku padamu, adik yang baik. Tunjukkan tempatnya!”
Dengan tertatih-tatih Willem menghampiri sungai. Sangaji membimbingnya dan segera menunjukkan terowongan tanah. Tanpa menimbang-nimbang lebih jauh, Willem lantas saja menceburkan diri ke dalam sungai dan berenang memasuki terowongan. Ternyata terowongan itu sebuah goa air. Di sana orang bisa bersembunyi semaunya dan selama mungkin tanpa gangguan, asalkan membawa makanan.
“Aku takkan menunjukkan pada siapa pun,” teriak Sangaji.
Tatkala itu pasukan pengejar sudah hampir tiba di kaki gundukan. Sangaji cepat-cepat kembali ke atas gundukan dan bertiarap di atas tanah. la pandai berlaku tenang. Seperti seseorang yang lagi mengintip suatu pertempuran tadi.
Tak lama kemudian pasukan pengejar tiba di atas gundukan. Mayor de Groote yang memimpin pengejaran melihat Sangaji. Ia menarik kendali sambil bertanya kasar, “Hai bocah! Kaulihat orang lari dengan kuda?”
Serdadu-serdadu lainnya lantas datang mengepung. Sangaji nampak bergemetaran karena takut.
“Ya, aku lihat.”
“Di mana?” mereka berbareng menegas.
“Ke sana!” dia menuding ke utara. “Dia kena tembakan.”
“Hm,” serdadu-serdadu itu sangsi. Mayor de Groote lantas memerintah serdadu-serdadu-nya. “Bawa kemari bocah itu!”
Sangaji digiring menghampiri Mayor de Groote. Ia telah mengambil suatu keputusan. Biar aku dihajar, aku takkan menunjukkan tempatnya bersembunyi. Sangaji menatap ke Mayor de Groote de-ngan berani. Teringatlah dia, kalau perwira itulah yang memimpin pasukan pengawal Gubernur Jenderal di kaki gundukan. Dia pulalah yang berhasil merebut panji-panji VOC tetapi tiangnya lantas kena tembak panglima yang lagi bersembunyi.
“Apa bilangnya bocah ini?” ia bertanya kepada serdadu-serdadunya dengan kasar. Dilihatnya sekitarnya. Di sebelah utara ia melihat seekor kuda tanpa penunggang lagi meng-gerumuti rumput. Lantas dia menuding sambil berkata keras, “Bukankah itu kudanya? Cari dia! Pasti ada di sekitar tempat ini!”
Begitu ia memberi perintah sepuluh orang serdadu lalu menghampiri kuda. Mereka menyebar dan menubras-nubras semak-semak. Dijenguknya sungai. Mereka melihat percikan darah di bawa arus air.Kuda itu kemudian dituntun oleh dua orang serdadu dan dibawa menghadap Mayor de Groote.
“Hm,” dengus Mayor de Groote. “Bukankah ini kudanya Kapten Willem Erbefeld?”
“Benar,” mereka menjawab gemuruh.
Mayor de Groote lantas merampas cambuk salah seorang serdadunya. Lalu dicambukkan ke kepala Sangaji.
“Dia bersembunyi di mana? Bilang!” ia menggertak bengis. “Jangan kau berdusta. Nyawamu ada di tanganku, kautahu setan cilik?”
Willem Erbefeld yang bersembunyi di dalam goa air, mengikuti peristiwa di atas tebing dan mendengarkan setiap pembicaraan. Ia menggenggam hulu pedang sambil menggertak gigi, tatkala mendengar cambuk meletus menampar kepala Sangaji. Ia kenal tabiat Mayor de Groote yang gila pada pujian. Bocah itu pasti akan dianiaya semaunya sampai mengaku. Biarlah aku keluar saja mengadu nyawa, pikirnya.
Sangaji kesakitan kena cambuk. Tetapi ia tak mau merintih. Ia tahan rasa sakitnya. Lantas berteriak, “Mana aku tahu dia bersem¬bunyi di mana.”
“Setan cilik! Kau dapat sogokan berapa?” bentak Mayor de Groote. Pada saat itu masalah sogokan sudah menjadi umum. Orang menggunakan istilah itu untuk memuaskan rasa sangsinya.
“Aku tak tahu! Aku tak tahu!”
Tatkala itu rombongan serdadu yang melihat percikan darah segera memeriksa sungai. Diketemukan pula dua jejak kaki yang berlainan. Satunya bertelanjang kaki, lainnya bersepatu. Terang itulah jejak kaki Sangaji. Serdadu-serdadu itu lalu melaporkan.
“Hm. Apa kaubilang sekarang?” bentak Mayor de Groote. “Mau ngaku tidak?”
Sangaji tahu tak dapat dia mengelakkan tuduhan itu. Tetapi ia nekad. Jeritnya lagi. “Apa yang harus kukatakan? Aku tak tahu! Aku tak tahu!”
Mayor de Groote mengayunkan cambuknya lagi. Mendadak didengarnya derap barisan dari arah belakang. Itulah barisan Gubernur Jenderal P Vuyst.
Mayor de Groote mengurungkan niatnya. Cambuk dilemparkan ke tanah. Dan bergegas ia memutar kudanya menyambut kedatangan Gubernur Jenderal. la melompat dari kudanya dan melihat Gubernur Jenderal Vuyst menderita karena lukanya.
Darahnya terus merembes keluar meskipun kakinya telah dibebat kencang-kencang. Ia nampak gusar dan memerintahkan Mayor de Groote mencari Willem Erbefeld sampai ketemu. Ingin ia menawan kapten itu dan mau menghukum dengan tangannya sendiri untuk memuaskan hatinya.
“Kudanya telah tertangkap. Jejaknyapun telah kami ketahui,” lapor Mayor de Groote.
“Aku mau orangnya yang tertangkap, bukar. kudanya. Mana dia?”
Didamprat begitu Mayor de Groote mengalihkan rasa mendongkolnya kepada Sangaji. Serentak ia berpaling ke arah Sangaji. Kemudian dengan menghunus pedang ia menghampiri.
“Kaubilang tidak?” bentaknya.
Sangaji tetap membandel. Karena itu Mayor de Groote menghajar kepalanya dengan gagang pedang. Darah lantas saja mengucur. Tetapi justru melihat darahnya sendiri keberanian Sangaji muncul.
“Tak mau aku bilang. Tak mau aku bilang,” teriaknya.
Gubernur Jenderal memperhatikan bocah itu. Ia tersenyum tatkala mendengar ucapannya. Kapten Doorslag dibisiki, “Bujuk dia de¬ngan cara lain agar mau mengaku. Dia berkata tak mau bilang, bukan berkata tak tahu.”
Kapten Doorslag tersenyum pula. Yakinlah dia, kalau Sangaji mestinya tahu dan berusaha membebaskan diri dari tuduhan. Hanya dia salah ucap.
“Bocah!” kata Kapten Doorslag lembut. “Berbicaralah yang benar! Kuberi hadiah ini.” Kapten Doorslag mengangsurkan sebilah belati. Tetapi Sangaji tetap mengulangi teriakannya, “Aku tak mau bicara!” Mayor de Groote kehilangan kesabarannya. Ia merampas cambuk serdadu yang berada di dekatnya. Kemudian menghajar Sangaji bolak-balik sehingga jatuh bergelimpangan. Keruan Sangaji menderita kesakitan. Darahnya mengucur dan seluruh badannya bergarit-garit babak-belur.
“Ceburi sungai! Aduk airnya! Gerayangi tebing-tebingnya. Pasti dia ada di situ,” perintahnya lagi.Sangaji dengan Willem Erbefeld baru kali itu bertemu. Meskipun demikian ia bersedia membela dan melindungi. Ada dua sebab. Pertama, karena ia kagum kepada kegagahan Willem Erbefeld. Kedua, jelas karena pengucapan naluriah. Ia memiliki jiwa luhur. Sesuatu hal yang tak dapat diajarkan oleh manusia.
Demikianlah, tatkala mendengar Mayor de Groote memberi perintah mengaduk sungai, ia jadi nekat. Kenekadan ini timbul dengan mendadak. Hal ini disebabkan letupan rasa amarah karena dianiaya sampai kesakitan.
“Jangan aduk! Jangan aduk!” teriaknya berulang kali.
Mayor de Groote lantas saja dapat menebak teka-teki itu. Ia tertawa berkakakkan sambil menghajar lebih keras sebagai hukuman orang berdusta. Mendadak di luar dugaannya Sangaji terus menubruk kakinya dan menggigit keras-keras. Keruan dia berkaok-kaok kesakitan. Cambuknya diayunkan dan disambarkan sejadi-jadinya sambil berusaha merenggutkan din. Tetapi Sangaji sudah nekat. Ia memeluk kaki Mayor de Groote erat-erat dan menggigit lebih keras lagi sampai giginya bergetaran.
Mayor de Groote kelabakan. la berputar-putar. Mulutnya berkaok-kaok. Menyaksikan kejadian itu Kapten Doorslag tertawa terpingkal-pingkal. Juga Gubernur Jenderal Vuyst.
Melihat Gubernur Jenderal tertawa, serdadu-serdadu yang bersikap segan kepada Mayor de Groote lantas saja tertawa meledak. Mereka tak segan-segan lagi.
Karena rasa sakit tak terperikan lagi Mayor de Groote melemparkan cambuk. Kini mengalihkan pedangnya yang digenggam di tangan kiri ke tangan kanannya. Kemudian menumbuki kepala Sangaji dengan gagang pedang. Dua kali ia menumbuk kepala Sangaji. Dengan mendadak didengarnya suara beriuh. Ternyata Willem Erbefeld muncul dari tebing sungai. Dengan menekan dada ia menghampiri Mayor de Groote dan menendang perutnya. Mayor de Groote terpental. Sangaji ikut pula terbanting. Gigitannya lantas saja terlepas.
Sambil membangunkan Sangaji, Willem Erbefeld mendamprat. “Kausiksa seorang kanak-kanak, apa tidak malu?”
Mayor de Groote tertatih-tatih bangun. Ia menderita kesakitan luar biasa. Daging pupunya semplak. Darahnya merembesi celananya. Perutnya seakan-akan terasa hampir meledak pecah. Ia tak dapat berbicara. Wajahnya pucat. Napasnya tersengal-sengal.
Serdadu-serdadu lantas saja mengepung Willem Erbefeld rapat-rapat. Tetapi Willem Erbefeld tak mengenal takut. Dengan tenang ia menyapukan pandangan. Kemudian berkata kepada Gubernur Jenderal Vuyst dengan meludah. “Sayang! Sayang! Mengapa VOC akhirnya jatuh ke tangan manusia-manusia rendah semacam ini.”
Semenjak VOC dibentuk Oldenbarneveld pada tanggal 20 Maret 1602 kekuasaan di Indonesia dipegang oleh Gubernur Jenderal dengan dibantu oleh Raad van Indie. Sekarang tiba-tiba orang mendamprat begitu rupa kepa¬da seorang Gubernur Jenderal. Keruan saja Gubernur Jenderal Vuyst menjadi gusar.
“Apa kaubilang?”
“Aku bilang, manusia-manusia ini tak mem-punyai moral,” sahut Willem Erbefeld. “Dia sudah dapat menyiksa seorang anak di bawah umur. Dan seorang macam itu kau gunakan sebagai perwira pengawal pribadi. Bukankah pengawal itu mencerrninkan hati yang dikawal?”
Gubernur Jenderal P Vuyst lantas menghunus pedang. Willem Erbefeld tidak gentar. la tentang pedang itu dengan pandang tajam.
“Kau bunuhlah aku! Aku takkan melawan.” katanya dengan keras.
Gubernur Jenderal menggigil menahan marah. Tetapi ia mengurungkan niatnya menyabet pedang. Ia pandang Willem Erbefeld tanpa berkedip.
“Siapa kau sebenarnya!”
“Willem! Willem Erbefeld. Aku keluarga pemberontak. Leluhurku dihukum pancung. Nah, hukumlah aku!” sahut Willem Erbefeld dengan berani. “Tetapi aku mau mati secara kesatria. Sayang, di sini tidak seorangpun yang berhati jantan.”
Gubernur Jenderal Vuyst berpaling kepada Mayor de Groote.
“De Groote! Kau kena tendangnya. Kau kuberi kehormatan untuk berduel. Hukum dia!” perintahnya.
Perintah itu mana menyenangkan hati Mayor de Groote. la lagi kesakitan. Tapi mengingat Willem Erbefeld luka parah pula, timbullah keberaniannya. Lantas saja ia men-cari pedangnya yang terpental dari tangan. Lalu maju menghampiri dengan menahan perutnya yang terasa sakit luar biasa.
Willem Erbefeld telah menghunus pedang. Maka kedua orang itu lantas saja bertarung. Para serdadu membuat pagar arena. Mereka menahan napas. Dalam hatinya, mereka menyokong Mayor de Groote. Sebaliknya Sangaji berdoa untuk kemenangan Willem Erbefeld.
Willem Erbefeld tak berani bergerak dan menggunakan tenaga yang tak perlu. Ia hanya menangkis dan berkisar seperempat atau setengah langkah. Tetapi sabetan pedangnya cepat dan bertenaga.Mayor de Groote mana mau mengalah bertempur di depan Gubernur Jenderal Vuyst. Meskipun perut dan kakinya kesakitan, ia berkelahi dengan penuh semangat. Ia cerdik lagi. Tahu kalau musuhnya luka parah di dadanya, ia merangsak hebat. Ia mau mengaduk tenaga lawannya. Dengan cara demikian ia mengharap lawannya Ietih sendiri karena kehilangan banyak darah.
Willem Erbefeld sadar akan kelemahannya sendiri. Tetapi ia seorang kapten yang gagah berani. Ia melayani rangsakan Mayor de Groote dengan tenang. Mendadak pundaknya kena tersabet pedang. Ia jatuh miring. Sangaji terperanjat. Sebaliknya serdadu-serdadu bersorak penuh kemenangan.
Mayor de Groote berbesar hati melihat tikamannya mengenai. Tetapi ia terlalu tergesa-gesa membusungkan dadanya. Ia kehilangan kewaspadaan. Tatkala menyabetkan pedang hendak mengakhiri pertarungan hatinya sudah beralih kepada Gubernur Jenderal mengharap mendapat pujian.
Ia lengah. Kelengahan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Willem Erbefeld. Memang ia mengetahui tabiat lawannya itu yang merupakan titik kelemahan. Sengaja ia membiarkan pundaknya terkena tikaman pedang. Tetapi mendadak ia menusuk tubuhnya de¬ngan menggulungkan diri. Pedang Mayor de Groote menusuk tanah. Karena hebatnya tenaga yang dikeluarkan pedangnya sampai tertancap kuat. Willem Erbefeld lantas saja membabatkan pedangnya ke lengannya. Mayor de Groote memekik terkejut. Sedetik itu ia sadar akan kesalahannya. Tetapi pedang tak mempunyai mata dan pendengaran. Dalam sedetik itu lengannya terputung menjadi dua. Ia memekik tinggi dan tubuhnya roboh di atas tanah.
Para serdadu gusar bukan main. Mereka merangsak maju. Tetapi Gubernur Jenderal melarang mereka bertindak.
“Aku mau ia mati puas. Jangan sampai kita disebut perempuan,” katanya nyaring.
Willem Elbefeld nampak kehabisan tenaga. Darahnya menyemburi dadanya. Wajahnya pucat. Tubuhnya bergoyang-goyang. Napasnya naik ke leher. Meskipun demikian ia memaksa diri untuk berbicara.
“Aku bisa membunuhnya. Tapi aku menghendaki suatu pertukaran.”
“Apa maksudmu?”
“Satu nyawa ditukar dengan satu nyawa.”
Serdadu-serdadu menggerendeng mendengar perkataanya. Tetapi Gubernur Jenderal Vuyst tersenyum.
“Kamu ingin kubebaskan? Baiklah. Akupun seorang laki-laki. Kamu kubebaskan.”
Tetapi Willem Erbefeld menggelengkan kepala. Sahutnya, “Bukan untukku. Tapi aku menghendaki agar anak itu dibebaskan dari segala hukuman.”
Gubernur Jenderal Vuyst tercengang-ce-ngang mendengar kata-kata Willem Erbefeld. Sampai-sampai ia tak percaya kepada pendengarannya sendiri. Diam-diam ia mengagumi. Sekarang kesannya berbalik. Kalau tadi ia menaruh dendam, kini mendadak merasa sayang.
“Hm. Kau tak sayang nyawamu sendiri. Jangan menyesal! Pertimbangkan lagi. Apa gunanya membela bocah Bumiputra?”
Willem Erbefeld tersenyum pahit.
“Bocah ini belum pernah berkenalan denganku. Namun ia berani mengorbankan keselamatannya sendiri. Kalau bocah sekecil ini sudah berani mengorbankan nyawa, aku yang sudah berumur hampir setengah abad mengapa sayang pada nyawa sendiri. Aku dididik keluargaku untuk menghormati jiwa besar dan watak jantan. Aku merasa takluk padanya. Dan bukan kepada ancaman serdadu-serdadu rendahan tak berarti ini.”
Tajam perkataannya, tetapi Gubernur Jenderal Vuyst malahan kian tertarik.
“Baiklah, bocah itu kami bebaskan dari segala hukuman. Sekarang tentang dirimu sendiri. Siapa yang kautantang lagi? Pilihlah di antara perwira-perwiraku.”
Tanpa berkedip Willem Erbefeld menjawab, “Semuanya maju berbareng, itulah permintaanku.”
“Kauberani melawan?” Gubernur Jenderal Vuyst menebak-nebak.
“Aku tidak melawan. Tidak ada gunanya aku melawan, karena aku sedang luka parah.”
Kesunyian terjadi. Gubernur Jenderal Vuyst mengalihkan pandang ke Kapten Doorslag, “Kau maju! Habisi dia!”
Kapten Doorslag menghunus pedang. Kemudian berkata dengan takzim. “Perintah Gubernur Jenderal akan kami lakukan. Tetapi izinkan kami berbicara.”
“Bicaralah!”
“Dia terluka parah. Dengan sekali tebas kami sanggup menghabisinya. Tetapi bagi ka¬mi itu bukan tugas yang terhormat. Bagaimana tidak? Karena aku pasti tak mendapat perlawanan yang layak. Namaku akan dikutuknya sampai ke alam baka sebagai laki-laki rendahan. Sebaliknya dia mati sebagai seorang laki-laki. Mati karena dikerubut banyak orang. Itulah sebabnya apabila Gubernur Jenderal menyetujui, ampunilah dia.”
Gubernur Jenderal menjatuhkan pedangnya ke tanah. la mendengar rintih Mayor de Groote. Timbulah pikirannya, perwira pengawalku tidak dapat memenuhi tugasnya lagi dengan sempurna. Dia telah cacat. Mengapa aku tak mengharapkan bantuan orang itu?
Mendapat pikiran begitu lantas dia berkata nyaring kepada Willem Erbefeld. “Apakah kamu masih akan melawan kami?”
Dengan memaksa diri Willem Erbefeld maju tertatih-tatih.
“Aku menghendaki mati terhormat. Seumpama seseorang dijatuhi hukuman mati. perkenankan aku memohon satu kali permintaan.” la berhenti mengesankan. “Tak sudi dan tak rela aku, kalau yang membunuh diriku adalah seorang yang sederajat denganku. Aku minta agar Gubernur Jenderal sendiri yang menjatuhkan hukuman.”
Mendengar permintaan orang itu, Gubernur Jenderal Vuyst tertegun. Memang ia ingin menghukum orang itu dengan tangannya sendiri. Tapi justru karena orang itu mengucap demikian, hatinya seperti kena ditusuk kaget.
“Mengapa aku?” tanyanya tergagap.
“Aku sudah menembak dan melukai Gu¬bernur Jenderal. Sudah sepantasnya Gubernur Jenderal sendiri yang menghukum aku,” sahut Willem Erbefeld. Dan ia lantas berlutut di hadapannya mengangsurkan lehemya.
Jawaban Willem Erbefeld tanpa disadari mengenai tepat relung hati Gubernur Jenderal Vuyst lagi. Dia makin tertegun. Akhirnya setelah berdiam menimbang-nimbang, ia berkata agak lunak.
“Aku melihat keperwiraanmu. Aku kagum padamu. Ingin aku mempunyai seorang perwira seperti dirimu. Seumpama kamu kuberi ampun, bagaimana?”
Pemberian ampun ini sama sekali tak terduga. Sekaligus terlihatlah dua kesan pengucapan yang bemilai besar. Yang pertama, membuktikan kebijaksanaan Gubernur Jenderal Vuyst yang dapat melihat jauh. Kedua, memperoleh kesetiaan penuh dari seorang perwira yang sama sekali tak mengharapkan hidup lagi.
Willem Erbefeld menggigil seluruh tubuhnya. Lantas saja dia membungkuk hormat sambil menjawab pertanyaan Gubernur Jen¬deral setengah bersumpah.
“Mulai hari ini aku bersedia mati untuk Gu¬bernur Jenderal Vuyst. Aku berhutang nyawa.”
Gubernur Jenderal Vuyst tertawa berkakakkan. Serdadu-serdadu dan para perwira tercengang-cengang karena sama sekali tak mengira kalau peristiwa besar itu berakhir demikian rupa. Mereka sampai tertegun de¬ngan kepala kosong.
Gubernur Jenderal Vuyst lantas mengangsurkan pedangnya sambil merogoh saku.
“Pedangku ini kuberikan kepadamu. Mulai sekarang kau ikut aku. Dan ini terimalah gajimu yang pertama.”
5 komentar:
Gmn ini mana kelanjutany padahal seruu??? Kalo ada kasih tau dong nanggung nih bacany
Emang susah sekali cari sambunganny bende mataram, serasa kurang praktis penyajiaany
mkasih ... kenangan swaktu msih smp thun 80 an... banyak cersil Indonesia
Maaf Sangat mengecewakan. Coba diba dibuat seperti karya Sh Mintaredja Api dibukit Menoreh Pelangi di langit Singasari dlsb padti lebih bagus
Jilidnya berantakan yg tersusun rapi sesuai dgn urutannya
Posting Komentar