Pendekar Gelandangan 014

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

14

Penderitaan dalam berjuang untuk hidup tak pernah dibayangkan olehnya sebelum ia lakukan sendiri sekarang. Kini ia mulai sadar bahwa untuk menjual kejujuran dan tenaganya, seseorang harus mempunyai jalan. Tapi, ia tidak mempunyai jalan.

Tukang batu mempunyai grupnya sendiri, tukang kayu mempunyai perkumpulannya sendiri, bahkan tukang pikul dan kuli kasarpun mempunyai organisasi. Bila seseorang bukan termasuk di dalam perkumpulannya, maka jangan harap dia bisa memperoleh pekerjaan.

Sudah dua hari ia menderita kelaparan.

Pada hari yang ketiga, uang sebesar tujuh biji mata uang tembaga untuk minum air tehpun sudah tidak dimiliki lagi. Dia hanya bisa berdiri di luar warung sambil makan angin.

Ia sudah hampir roboh ketika seseorang menepuk bahunya sambil bertanya:

"Pekerjaan memikul kotoran manusia sanggup kau lakukan tidak? Sehari dengan upah lima pence?"

A-kit cuma bisa memandang orang itu dengan terbelalak, ia tak mampu berbicara lagi, karena tenggorokannya terasa seperti di sumbat dengan suatu benda.

Ia hanya bisa mengangguk, mengangguk tiada hentinya.

Hingga lama, lama sekali, ia baru dapat mengutarakan rasa terima kasih yang dialaminya ketika itu.

Rasa terima kasihnya waktu itu adalah luapan perasaan yang murni dan bersungguh-sungguh.

Sebab yang diberikan orang itu kepadanya bukan hanya tugas untuk memikul kotoran manusia melainkan suatu kesempatan untuk melanjutkan hidup.

Akhirnya ia dapat juga melanjutkan hidupnya.

Dan orang yang telah memberi kesempatan kepadanya itu bernama Lo Biau-cu.

ooo)O(ooo

Lo Biau-cu benar-benar berasal dari wilayah Biau.

Ia mempunyai perawakan tubuh yang tinggi besar, kekar, bertampang jelek tapi bertubuh kekar penuh berotot. Sewaktu tertawa terlihat dua baris giginya yang putih dan kuat.

Telinga kirinya kelewat panjang, diatasnya malah terlihat bekas yang menunjukkan bahwa dulunya ia memakai giwang.

Ia sedang memperhatikan A-kit dengan seksama

Ketika waktu istirahat tengah hari, tiba-tiba ia bertanya:

"Sudah berapa hari kau menderita kelaparan?"

"Apakah kau mengetahui bahwa aku sedang kelaparan?", A-kit balik bertanya.

"Hari ini hampir saja kau jatuh tak sadarkan diri sebanyak tiga kali.....!"

A-kit menundukkan kepalanya, memandang kaki sendiri yang masih berlepotan kotoran manusia.

"Pekerjaan semacam ini adalah pekerjaan yang sangat berat, aku kuatir kau tak sanggup bertahan lebih jauh"

"Lantas mengapa kau datang mencari diriku?"

"Sebab keadaanku waktu pertama kali datang kemari tak jauh berbeda dengan keadaanmu tadi. Jangankan pekerjaan lain, pekerjaan untuk memikul kotoranpun tidak berhasil kudapatkan"

Dari dalam sakunya dia mengeluarkan sebuah bungkusan kertas, Dari dalam bungkusan itu dikeluarkan dua buah kueh dan sebatang asinan wortel.

Ia membagi separuh dari bekalnya itu untuk A-kit.

A-kit menerima pemberian itu tanpa sungkan-sungkan dan segera melahapnya, bahkan kata 'terima kasih' pun lupa diucapkan.

Lo Biau-cu hanya memandang ke arah pemuda itu dengan sekulum senyuman menghiasi bibirnya, tiba-tiba ia bertanya:

"Malam ini kau hendak tidur di mana?"

"Aku tidak tahu"

"Aku mempunyai rumah, rumahku besar sekali, kenapa kau tidak tidur di rumahku saja?"

"Kalau kau suruh aku ke sana, aku akan ikut ke sana!"

ooo)O(ooo

Rumah besar dari Lo Biau-cu memang tidak terhitung kecil, atau paling sedikit lebih besar sedikit daripada sangkar burung dara.

Ketika mereka pulang ke rumah, seorang nyonya tua yang rambutnya telah beruban, sedang menanak nasi di dapur.

"Dia adalah ibuku, ahli sekali dalam memasak hidangan-hidangan yang lezat", kata Lo Biau-cu memperkenalkan.

A-kit melirik sekejap ke arah batang sayur dan bubur kasar yang berada dalam kuali, kemudian katanya:

"Ehmmmm..... sudah ku cium bau harumnya semenjak tadi"

Tertawalah nenek itu, ia mengambilkan semangkuk besar bubur baginya.

Tanpa sungkan-sungkan A-kit menerimanya dan langsung dimakan. Diapun tidak mengucapkan kata 'terima kasih'.

Paras muka Lo Biau-cu menunjukkan perasaan puas, katanya kemudian:

"Dia bernama A-kit. Dia adalah seorang pemuda yang baik!"

"Jika tidak kuketahui akan hal itu, memangnya kubiarkan ia bersantap di sini?", jawab nenek itu sambil mengetuk mangkuk putranya.

"Malam ini bolehkah ia tidur bersama-sama dengan kita?", Lo Biau-cu kembali bertanya.

Sambil memicingkan matanya, nenek itu melirik sekejap ke arah A-kit, lalu katanya:

"Bersediakah kau untuk tidur seranjang dengan putraku? Apakah kau tidak takut merasa bau badannya?"

"Dia tidak bau!"

"Kau adalah bangsa Han, bangsa Han seringkali menganggap kami orang-orang Biau adalah manusia yang paling bau!"

"Aku adalah bangsa Han, aku lebih bau daripadanya!", A-kit berbantah.

Nenek itu segera tertawa tergelak, diketuknya kepala pemuda itu dengan sendok kayu, seperti pula sedang mengetuk kepala putranya.

Setelah tergelak sekian lama, ia berkata lebih jauh:

"Cepat makan, mumpung masih panas! Setelah kenyang, cepat naik ke pembaringan untuk beristirahat, dengan demikian besok baru punya tenaga untuk bekerja lagi"

A-kit sedang bersantap, bahkan bersantap dengan gerakan paling cepat.

Kembali nenek itu berkata:

"Cuma, sebelum naik ke pembaringan nanti, kau mesti melakukan suatu pekerjaan lebih dulu!"

"Apa yang harus kulakukan?", tanya A-kit.

"Cuci bersih dulu kakimu sebelum naik ke pembaringan, kalau tidak si Boneka pasti marah!"

"Siapa si Boneka itu?"

"Dia adalah putriku, adik perempuannya!"

"Tapi seharusnya ia adalah seorang tuan putri, sebab sejak dilahirkan ia lebih pantas menjadi seorang tuan putri"

Di ruang belakang berjajar tiga buah pembaringan, diantaranya yang paling bersih dan empuk tentu saja milik si tuan putri.

A-kit ingin sekali menjumpai tuan putri itu.

Tapi ia merasa terlalu lelah, setelah menghabiskan bubur sayur, sepasang kelopak matanya terasa berat sekali bagaikan diberi beban sebesar beribu-ribu kati.

Sekalipun tidur berdesakan dengan seorang laki-laki semacam Lo Biau-cu bukan sesuatu yang menyenangkan, tapi dengan cepatnya ia sudah tertidur lelap.

Di tengah malam ia pernah terbangun satu kali, dalam remang-remangnya cuaca ia seakan-akan menyaksikan seorang gadis yang berambut panjang sedang duduk termangu di muka jendela. Akan tetapi ketika diperhatikan untuk kedua kalinya, ia sudah menyembunyikan tubuhnya di balik selimut.

ooo)O(ooo

Keesokan harinya ketika mereka makan berangkat bekerja, gadis itu masih tidur, bahkan separuh badannya bersembunyi di balik selimut, seolah-olah ia sedang menghindari suatu malapetaka yang menakutkan.

A-kit hanya menyaksikan rambutnya yang panjang dan hitam terurai di atas bantal.

Fajar belum menyingsing, kabut tebal masih menyelimuti permukaan tanah.

Mereka berjalan melawan hembusan angin yang serasa menusuk tulang.

Tiba-tiba Lo Biau-cu bertanya:

"Kau telah berjumpa dengan si Boneka?"

A-kit gelengkan kepalanya.

Dia hanya menyaksikan rambutnya yang hitam dan panjang.

"Ia bekerja di rumah gedung seorang hartawan kaya, sebelum larut malam tak mungkin bisa pulang", Lo Biau-cu menerangkan.

Lalu sambil tersenyum katanya lagi:

"Ya, maklumlah! Orang kaya biasanya memang tidur sampai larut malam......"

"Aku mengerti!"

"Cepat atau lambat kau harus berjumpa dengannya", kata Lo Biau-cu lebih jauh.

Dengan pancaran sinar bangga dan kagum, ia meneruskan:

"Asal kalian telah bertemu, kau pasti menyukainya, sebab kami selalu bangga atas prestasinya"

A-kit dapat merasakan kebanggaan orang, ia percaya gadis itu pastilah seorang tuan putri yang patut disayangi.

Di waktu beristirahat tengah hari, di kala ia sedang menikmati bakpao pemberian si nenek, tiba-tiba muncul tiga orang laki-laki menghampirinya. Walaupun baju mereka compang-camping, topinya dikenakan miring ke bawah sehingga menutupi sebagian wajahnya, sebilah pisau kecil terselip di pinggang mereka.

Waktu itu mulut luka bekas bacokan di tubuhnya belum merapat, bahkan kadangkala masih terasa sakit.

Salah seorang di antara ketiga orang itu, seorang laki-laki dengan sepasang matanya yang berbentuk segi tiga, memperhatikan wajahnya dengan seksama, kemudian sambil mengulurkan tangannya ia berseru:

"Bawa kemari!"

"Apanya yang bawa kemari?", tanya A-kit keheranan.

"Meskipun kau baru datang, seharusnya kau memahami peraturan di tempat ini!"

"Peraturan apa?", tanya A-kit tidak habis mengerti.

"Upah kerja yang kau dapatkan harus dibagi menjadi tiga bagian, dan sekarang akan kutarik untuk sebulan lebih dulu"

"Aku cuma mempunyai tiga biji mata uang tembaga!"

Laki-laki bermata segi tiga itu segera tertawa dingin.

"Heeehhh...heeehh....heeeehhh....cuma tiga biji mata uang tembaga?. Nyatanya kau bisa menikmati bakpao putih!"

Sebuah pukulan yang keras dan telak menjatuhkan bakpao dalam genggaman A-kit.

Bakpao tersebut menggelinding di tanah dan terjatuh di atas kotoran.

Dengan mulut membungkam, A-kit memungutnya kembali dan mengelupas kulit bagian luarnya.

Dia harus makan bakpao tersebut, sebab dengan perut kosong tak mungkin punya tenaga untuk bekerja.

Menyaksikan perbuatan A-kit, laki-laki bermata segi tiga itu segera tertawa tergelak.

"Haaahhhh....haaahhh...haaaahhh...bakpao berselai kotoran, entah bagaimana rasanya?"

A-kit tidak menjawab.

"Huuuuh......makanan semacam itupun kau lahap, sesungguhnya kau ini manusia atau anjing!", damprat laki-laki bermata segitiga.

"Terserah kepadamu, apa yang kau katakan itulah aku"

Kemudian sambil mengigit bakpaonya, A-kit berkata lebih lanjut:

"Aku hanya mempunyai tiga biji mata uang tembaga, kalau kau menghendaki, nah ambillah!"

"Kau tahu siapakah aku?", bentak laki-laki itu.

A-kit gelengkan kepalanya.

"Kau pernah dengar nama si kusir kereta?", kembali laki-laki itu membentak.

Sekali lagi A-kit gelengkan kepalanya.

Orang itu berkata lebih jauh:

"Si kusir kereta adalah anak buah Thi tau toako kami. Thi tau toako adalah saudara cilik dari toa tauke!"

Kemudian sambil menunjuk ke hidung sendiri katanya lagi:

"Dan aku adalah saudara kecil dari si kusir kereta. Kau anggap aku sudi menerima tiga biji mata uang tembagamu yang bau itu?"

"Kalau kau tidak sudi, biarlah untukku saja", ujar A-kit.

Laki-laki bermata segitiga itu tertawa tergelak, tiba-tiba ia menendang ke selangkangan pemuda tersebut.

A-kit menjerit kesakitan, saking mulasnya dia sampai terbungkuk-bungkuk......

"Hmm.......! Kalau bajingan ini tidak diberi sedikit pelajaran, dia tentu tak akan tahu tebalnya bumi dan tingginya langit!", omel laki-laki itu dengan geramnya.

Ketiga orang itu sudah bersiap sedia turun tangan. Tiba-tiba muncul seseorang yang segera menghadang di hadapan mereka. Orang itu mempunyai perawakan yang satu kali lipat lebih besar daripada tubuh mereka.

Laki-laki bermata segi tiga itu mundur setengah langkah, lalu teriaknya dengan lantang:

"Lo Biau-cu, lebih baik kau tak usah turut campur dalam urusan kami!"

"Dalam hal ini bukan terhitung campur tangan urusan orang lain lagi", teriak Lo Biau-cu.

Sambil menarik tangan A-kit, ia menambahkan:

"Sebab orang ini adalah saudaraku!"

Laki-laki bermata segi tiga itu melirik sekejap ke arah tangannya yang kasar dan besar itu, kemudian sambil tertawa katanya:

"Kalau dia memang saudaramu, apakah dapat kau jamin bahwa upah kerjanya akan disetor tiga bagian kepada kami?"

"Dia pasti akan melunasinya!", Lo Biau-cu berjanji.

ooo)O(ooo

Senja itu ketika mereka membawa tubuh yang penat lagi bau pulang ke rumah, A-kit masih basah oleh keringat dingin, tendangan itu tidak enteng baginya.

Lo Biau-cu memperhatikan sekejap wajahnya, kemudian tiba-tiba bertanya:

"Jika orang lain memukul dirimu, apakah kau selalu tidak membalas pukulan tersebut?"

A-kit termenung agak lama, lama sekali dia baru berkata:

"Sebelum sampai di sini, aku pernah bekerja di suatu rumah pelacuran, orang-orang di sana telah menghadiahkan sebuah julukan untukku"

"Apakah julukan itu?"

"Mereka selalu memanggilku sebagai A-kit yang tak berguna"

ooo)O(ooo

Suasana dalam dapur kering dan hangat.

Ketika mereka baru sampai di pintu depan, suara teriakan gembira dari si nenek sudah kedengaran.

"Hari ini tuan putri kita akan makan di rumah, kita semua bakal ada daging untuk bersantap!"

Seperti seorang anak kecil, sambil tertawa katanya lebih lanjut:

"Setiap orang akan mendapat sepotong daging secara adil, sepotong daging yang besar lagi lezat!"

Suara tertawa dari si nenek selalu mendatangkan rasa hangat dan gembira di dalam hati kecil A-kit, tapi terkecuali untuk hari ini, sebab akhirnya ia telah berjumpa dengan si Tuan Putri.

ooo)O(ooo

Dapur yang sempit telah ditaruh kursi yang banyak, sewaktu bersantap mereka harus duduk berdesak-desakan, tapi ada sebuah kursi yang masih dalam keadaan kosong.

Kursi itu khusus disediakan untuk tuan putri mereka, dan sekarang ia sudah duduk di kursi itu, tepat berhadapan muka dengan A-kit.

Dia mempunyai sepasang mata yang besar dan jeli, sepasang tangan yang ramping dan putih halus, rambutnya yang hitam dan panjang disanggul di atas kepala, dengan sikapnya yang agung tapi lembut, ia memang tampak seperti seorang tuan putri sungguhan.

Seandainya baru pertama kali ini A-kit berjumpa dengannya, seperti juga orang-orang lain, dia pasti akan menghormatinya bahkan menyayangi dirinya pula.

Sayang perjumpaannya sekarang bukanlah perjumpaan yang pertama kalinya.

ooo)O(ooo

Pertama kali ia bertemu dengan nona ini di dapurnya Han toa-nay-nay, yakni di sisi si gajah bengkak. Waktu itu dia duduk sambil mengangkat tinggi-tinggi sepasang kakinya, sehingga sepasang kakinya yang kecil mungil terlihat jelas.

Waktu itu A-kit tidak memperhatikannya walau sekejap, tapi secara diam-diam ia selalu memperhatikan dirinya.

Kemudian ia baru tahu bahwa nona itu adalah orang termuda dan teramai dagangannya di antara anak buah Han toa-nay-nay lainnya.

Di sana ia bernama 'Siau-li', tapi orang lain lebih suka menyebutnya sebagai siluman kecil.

Untuk kedua kalinya mereka berjumpa di dalam kamar di kala ia terkena tujuh-delapan bacokan golok.

Sampai kini ia belum melupakan liukan tubuhnya yang telanjang di balik selembar kain tipis yang mengerudungi badannya.

Waktu itu dia harus menggunakan tenaga dan pikiran yang paling besar untuk mengendalikan diri, bahkan sewaktu mengutarakan kata:

"Enyah!"

Sesungguhnya dia mengira pertemuan di antara mereka sudah berakhir pada malam itu, sungguh tak disangka kini mereka harus berjumpa kembali................

Cuma saja, siluman kecil yang jalang dan genit itu kini sudah berubah menjadi si boneka yang agung bagaikan tuan putri, bahkan merupakan satu-satunya tumpuan harapan dari mereka sekeluarga.

Mereka semua adalah sahabat-sahabatnya. Ia diberi makan, diberi tempat tinggal bahkan menganggap dirinya sebagai saudara sendiri.

A-kit menundukkan kepalanya. Sungguh amat sakit hatinya saat ini, sedemikian sakitnya sehingga bagaikan disayat-sayat dengan pisau tajam.

Sementara itu si nenek telah menarik tangannya sambil berkata dengan wajah berseri:

"Hayo cepat kemarilah dan jumpai tuan putri kita!"

Terpaksa A-kit beranjak dan menghampiri nona itu, kemudian agak gelagapan katanya:

"Baik-baikkah kau?"

Nona itu memandang sekejap ke arahnya, wajahnya tanpa emosi, seakan-akan belum pernah dijumpainya manusia yang bernama A-kit itu, dia hanya berkata dengan tawar:

"Duduklah, mari kita makan daging!"

A-kit kembali duduk di tempatnya, seakan-akan ia mendengar suaranya sedang berkata:

"Terima kasih tuan putri!"

Lo Biau-cu yang mendengar perkataan itu segera tertawa terbahak-bahak.

"Haaahhh.....haaahhh...haahhh....kau tak usah memanggil tuan putri kepadanya, seperti juga kami semua, harus memanggilnya sebagai si boneka!"

Ia memilihkan sepotong daging asin yang paling besar dan paling tebal untuk A-kit, kemudian katanya:

"Hayo cepat, makan daging, setelah kenyang kita harus tidur sebaik-baiknya!"

Malam itu A-kit tak dapat tidur.

ooo)O(ooo

Tidak ada komentar: