Pendekar Gelandangan 015

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

15

Malam sudah semakin larut. Lo Biau-cu yang tidur di sisinya sudah mendengkur. Si Boneka yang berada di ranjang lain rupanya juga sudah tertidur nyenyak.

Tapi A-kit harus berbaring dengan mata terpentang lebar, peluh dingin mengucur ke luar tiada hentinya.

Hal ini bukan saja dikarenakan hatinya secara lamat-lamat terasa sakit, luka-luka bekas bacokan di tubuhnyapun ikut terasa sakit, bahkan sakitnya bukan kepalang.

Memikul kotoran manusia bukan suatu pekerjaan yang ringan, dan selama ini mulut luka bekas bacokan golok itu tak pernah merapat.

Akan tetapi ia tak pernah memperhatikannya. Ia seakan-akan acuh terhadap luka-luka di tubuhnya.

Kadangkala sewaktu dia harus memikul kotoran manusia yang berat, seringkali mulut luka di bahunya terasa merekah dan pecah, tapi ia selalu busungkan dadanya sambil mengertak gigi rapat-rapat. Ia tak ambil perduli terhadap siksaan badaniah yang dideritanya.

Sayang bagaimanapun jua, tubuhnya bukan terdiri tulang besi otot kawat. Sore tadi ia telah menemukan bahwa beberapa buah mulut lukanya mulai membusuk dan menyiarkan bau yang memuakkan.

Setelah berbaring di atas pembaringan, ia mulai merasakan sekujur badannya menggigil kedinginan, peluh dingin mengucur keluar tiada hentinya, kemudian secara tiba-tiba badannya menjadi panas bagaikan digarang di atas api. Dari setiap mulut lukanya seolah-olah muncul bara api yang membakar dengan hebatnya.

Ia masih berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengendalikan diri, berusaha menahan penderitaan, akan tetapi sekujur tubuhnya sudah mulai mengejang keras, ia merasa tubuhnya seakan-akan terjatuh ke bawah, terjatuh ke dalam jurang yang gelap dan tidak nampak dasarnya.

Di antara sadar tak sadar, ia seakan-akan mendengar jeritan kaget dari sahabatnya, tapi ia sudah tidak mendengar lagi.

Dari kejauhan diapun seakan-akan mendengar orang sedang memanggil namanya, suara itu begitu lembut dan halus, tapi berasal dari tempat yang amat jauh.........

Akan tetapi ia dapat mendengarnya dengan jelas.

ooooOOOOoooo

Bab 6. Pantang Menyerah

Seorang pemuda yang tiada masa depan, seorang gelandangan yang air matanya telah mengering, ibarat selembar daun yang terhembus angin, seperti pula ganggang di air, tiada tumpuan harapan, tiada pula masa depan....................

Dalam keadaan demikian, mungkinkah ada orang dikejauhan yang rindu kepadanya, memperhatikan keadaannya?

Kalau ia memang mendengar panggilan orang itu, mengapa ia masih belum juga kembali, kembali ke sisi orang itu?

Sesungguhnya kesedihan dan penderitaan apakah yang terkandung dalam hatinya, sehingga rahasia tersebut enggan diutarakan kepada orang lain?

Sang surya telah memancarkan sinar keemas-emasan ke empat penjuru. Hari ini udara cerah.

A-kit tidak selalu berada dalam keadaan pingsan, ia sudah sadar beberapa kali, setiap kali tersadar kembali, ia selalu merasa seakan-akan ada seseorang sedang duduk di sisinya sambil menyeka keringat yang membasahi jidatnya.

Ia tak pernah melihat jelas wajah orang itu, sebab sesaat kemudian ia kembali jatuh tak sadarkan diri.

Menanti ia dapat melihat jelas raut wajah orang itu, sinar matahari kebetulan sedang mencorong masuk lewat daun jendela dan menyinari rambutnya yang hitam dan mulus.

Ia mempunyai sepasang mata yang sayu, sorot mata penuh perasaan sedih dan kuatir.

A-kit memejamkan kembali sepasang matanya.

Tapi pada saat itulah ia mendengar nona itu berkata:

"Aku tahu kau tidak memandang harga diriku. Kau memandang hina aku si perempuan rendah, tapi aku tak akan menyalahkan dirimu"

Ucapan tersebut diucapkan dengan tenang dan mantap, sebab nona itupun sedang berusaha untuk mengendalikan perasaannya.

"Akupun tahu, dalam hatimu pasti terdapat banyak penderitaan dan kedukaan yang tak dapat diutarakan keluar, akan tetapi kau tak perlu menyiksa diri secara begini kejam"

Suasana dalam ruangan itu hening, tidak terdengar suara orang lain, tentu saja Lo Biau-cu sudah berangkat bekerja.

Tak mungkin bagi rekannya itu untuk meninggalkan pekerjaan apapun yang tersedia, sebab ia tahu hanya dengan bekerja baru ada nasi untuk makan.

Tiba-tiba A-kit mementangkan matanya lebar-lebar dan mendelik ke arahnya, kemudian dengan ketus katanya:

"Seharusnya kaupun tahu, bahwa aku tak mungkin mampus!"

"Seandainya kau ingin mampus, sekarang kau pasti sudah mampus beberapa kali!", sahut si boneka.

"Lantas mengapa kau tidak pergi untuk melakukan pekerjaanmu?"

"Aku sudah tak akan pergi lagi!"

Suaranya begitu tenang, begitu datar, sedikitpun tanpa emosi.

Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya dengan hambar:

"Sejak kini, aku tak akan kembali lagi ke tempat seperti itu!"

"Kenapa?", tanya A-kit tak tahan.

Tiba-tiba si Boneka tertawa dingin.

"Apakah kau mengira sejak lahir aku sudah menyukai pekerjaan semacam itu?"

A-kit menatap tajam wajahnya, seolah-olah berusaha menembusi hatinya, lalu tanyanya lagi:

"Sejak kapan kau memutuskan untuk tidak ke sana lagi?"

"Hari ini!"

A-kit menutup mulutnya, ia merasa hatinya mulai sakit lagi.

......Tiada seorang manusiapun yang semenjak dilahirkan sudah menyukai pekerjaan semacam itu, tapi setiap orang harus hidup, setiap orang harus bersantap.

......Dia adalah satu-satunya tumpuan harapan dari ibu dan kakaknya, ia harus mencarikan daging untuk ibu dan kakaknya.

......Ia tak boleh membuat kecewa ibu dan kakaknya.

......Mungkinkah kejalangan dan kecabulannya disebabkan suatu penderitaan dalam hati yang tak terlampiaskan keluar? Maka dengan sekuat tenaga ia berusaha menyiksa diri, merendahkan derajat sendiri?

......Tapi sekarang ia telah bertekat untuk tidak melanjutkan pekerjaannya, sebab ia tak ingin dipandang hina oleh orang lain.

Andaikata A-kit masih mempunyai air mata, mungkin pada saat ini telah bercucuran, sayang ia tak lebih hanya seorang gelandangan.

Gelandangan itu tanpa perasaan, diapun tak punya air mata.

Oleh sebab itu dia harus pergi meninggalkan tempat itu, sekalipun harus merangkak, dia harus merangkak ke luar dari situ.

Sebab ia sudah mengetahui perasaan nona itu, ia tak dapat menerimanya tapi diapun tak ingin melukai perasaannya.

Bukan saja orang telah memberi kesempatan hidup kepadanya, merekapun telah memberi kasih sayang dan kehangatan yang belum pernah di alaminya selama ini. Ia tak dapat menyedihkan hati mereka.

Si Boneka menatap tajam wajahnya, seakan-akan ia telah menebak suara hatinya. Tiba-tiba katanya:

"Bukankah kau ingin pergi lagi?"

A-kit tidak menjawab, ia meronta dan berusaha bangun, kemudian dengan sekuat tenaga melangkah keluar dari ruangan itu.

Si Boneka tidak menghalanginya. Dia tahu meskipun tubuh orang itu bukan terdiri dari tulang besi otot kawat, tapi ia memiliki jiwa dan tekad yang lebih keras dari baja.

Jangankan menghalangi, berdiripun tidak, cuma air mata tampak membasahi pipinya.

A-kit sama sekali tidak berpaling.

Kekuatan tubuhnya tak mungkin bisa membawanya pergi jauh, mulut luka di tubuhnya lamat-lamat mulai terasa sakit.

Tapi bagaimanapun juga ia harus pergi, sekalipun selangkah kemudian ia bakal terjerumus ke dalam selokan, sekalipun dia bakal mampus dan membusuk seperti tikus, ia tak ambil perduli.

Siapa tahu, belum sempat dia berjalan keluar dari pintu, si nenek sambil membawa keranjang sayur telah pulang ke rumah, sorot matanya yang penuh kasih sayang itu dengan sinar mata yang membawa nada menegur menatapnya tajam-tajam, kemudian tegurnya:

"Kau tidak boleh bangun, aku telah belikan sedikit kuah daging yang akan membantu menyehatkan tubuhmu dengan cepat. Setelah minum kuah daging badanmu baru akan bertenaga kembali. Hayo, cepat kembali ke dalam rumah dan berbaring!"

A-kit memejamkan matanya rapat-rapat.

......Betulkah gelandangan tiada perasaan?

......Benarkah gelandangan tiada air mata?

Tiba-tiba ia menggunakan segenap sisa tenaga yang dimilikinya untuk menerjang lewat dari sisi si nenek dan menyerbu keluar pintu.

Banyak persoalan sulit rasanya untuk dijelaskan, lantas apa gunanya mesti dijelaskan?

ooo)O(ooo

Lorong sempit itu gelap, lembab dan kotor. Sinar matahari tak dapat menyorot masuk ke situ.

Sambil mengertak gigi menahan sakit yang kian menjadi, ia menerobos maju ke depan.

Tiba-tiba dari lorong sana ia saksikan seseorang sedang menerjang masuk pula ke dalam lorong dengan langkah sempoyongan.

Sekujur badan orang itu berlepotan darah, pakaian yang koyak-koyak telah berubah pula menjadi merah karena noda darah, bahkan tulang wajahnya kelihatan seperti remuk.

"Lo Biau-cu!"

A-kit menjerit kaget dan menerjang maju ke muka.

Lo Biau-cu menerjang pula ke mari, kedua orang itu saling berpelukan.

"Lukamu belum sembuh, mau apa ke luar rumah?", tegur Lo Biau-cu dengan segera.

Meskipun luka yang di deritanya sangat parah, tapi ia tak ambil perduli, ia lebih menguatirkan keadaan dari sahabatnya.

"Aku........aku.......", A-kit tak dapat melanjutkan kembali kata-katanya. Ia harus mengertak gigi menahan golakan emosinya.

"Apakah kau ingin meninggalkan tempat ini?", tanya Lo Biau-cu.

Sekuat tenaga dipeluknya tubuh sahabatnya itu lalu menjawab:

"Aku tak akan pergi sekalipun dibunuh, aku tak akan pergi!"

Dengan lima buah bacokan golok dan empat biji tulang iga terhajar patah, andaikata bukan seorang laki-laki sejati, siapakah yang mampu mempertahankan diri?

Si nenek memperhatikan keadaan putranya yang mengenaskan itu dengan air mata bercucuran.

Lo Biau-cu masih juga tertawa, malah katanya dengan suara keras:

"Apa artinya luka-luka sekecil ini? Paling banter besok pagipun akan sembuh dengan sendirinya!"

"Mengapa kau bisa terluka separah ini?", tanya si nenek dengan penuh rasa kuatir.

"Aku terpeleset, karena tergesa-gesa dan kurang berhati-hati, aku terjatuh dari atas loteng!"

Sekalipun seorang nenek yang tak akan mengenali huruf sebesar gajahpun tak akan percaya kalau luka macam begitu adalah luka-luka akibat terpeleset dan terjatuh dari loteng.

Sekalipun memang benar terjatuh dari loteng yang tingginya mencapai tujuh delapan kaki, tak nanti luka yang dideritanya bakal separah sekarang ini.

Tapi, si nenek ini jauh berbeda dengan nenek lainnya.

Iapun mengetahui bahwa luka tersebut bukan luka akibat terjatuh dari loteng, diapun jauh lebih menguatirkan keselamatan putranya daripada orang lain.

Akan tetapi ia tidak mendesak lebih jauh, hanya pesannya dengan air mata bercucuran:

"Jika akan menuruni anak tangga, lain kali kau harus lebih berhati-hati, jangan sampai terpeleset lagi!"

Kemudian dengan wajah penuh kesedihan ia berlalu dari sana, masuk ke dapur untuk memasak kuah dagingnya.

Ya, itulah pekerjaan yang harus dilakukan kaum wanita. Ia cukup memahami bahwa kaum pria selamanya paling benci kalau pekerjaan yang dilakukan dicampuri pula oleh kaum wanita.

Sekalipun perempuan itu adalah ibu kandungnya sendiri.

ooo)O(ooo

Dengan termangu A-kit mengawasi bayangan punggungnya yang tinggi besar, meskipun tiada air mata lagi yang bercucuran, paling sedikit sepasang matanya masih memerah.

......Betapa agungnya seorang ibu, betapa agungnya perempuan itu, sebab justru karena di dunia ini masih terdapat perempuan semacam ini, maka umat manusia masih bisa melanjutkan hidupnya.

Menunggu sampai perempuan itu sudah masuk ke dalam dapur, A-kit baru berpaling dan menatap tajam wajah Lo Biau-cu.

"Siapa yang melukai dirimu?"

"Siapa yang melukai diriku?", Lo Biau-cu ikut tertawa, "siapa yang berani melukaiku?"

"Aku tahu kalau kau tidak bersedia memberitahukan kepadaku, apakah kau ingin menyaksikan aku pergi menanyai mereka sendiri?"

Senyuman yang menghiasi wajah Lo Biau-cu segera membeku, dengan wajah serius katanya:

"Sekalipun aku telah dilukai orang, tapi soal ini adalah urusan pribadiku sendiri, tak perlu kau mencampurinya"

"Ya, sebab dia takut kau pergi menerima gebuk lagi dari mereka", sambung si Boneka yang selama ini hanya berdiri di bawah jendela jauh di dalam ruangan sana.

"Aku...........", A-kit tak sanggup melanjutkan kata-katanya.

Kembali si Boneka tertawa dingin sambil menukas:

"Heeeehhh........heeeehh.......heeeehhh........padahal diapun tak usah merisaukan soal ini, sekalipun dia harus menerima gebuk lantaran dirimu, kaupun tak nanti akan membantunya untuk melampiaskan rasa mengkal ini"

Setelah berhenti sejenak, tambahnya lagi dengan suara dingin:

"Karena saudara A-kit yang tak berguna ini selamanya paling tak suka berkelahi"

Terjelos rasanya perasaan A-kit, ia menundukkan kepalanya rendah-rendah. Sekarang tentu saja ia telah paham mengapa rekannya digebuk orang hingga menjadi begitu rupa, ia belum lupa dengan manusia-manusia bengis bermata segi tiga itu.

Diapun bukannya tidak tahu, meskipun ucapan dari si boneka bernada tajam bagaikan jarum, namun air mata telah mengembang dalam kelopak matanya........

Akan tetapi ia tak dapat melampiaskan rasa mendongkol itu buat sahabatnya, ia tak dapat pergi berkelahi, diapun tidak berani.

Ia membenci diri sendiri, bencinya setengah mati.

Pada saat itulah, tiba-tiba ia mendengar seseorang berkata dengan dingin:

"Dia bukannya tak suka berkelahi, dia takut digebuk!"

Itulah suara dari si manusia bermata segi tiga.

Yang datang bukan cuma dia seorang, dua pemuda yang menyelinapkan sebilah pisau di pinggangnya menemani kedatangan orang itu. Yang seorang berwajah panjang dengan kaki yang panjang pula, sambil bertolak pinggang ia berdiri di belakang mereka berdua, pakaiannya amat bagus dan perlente.

Sambil mengacungkan jempolnya, laki-laki bermata segi tiga itu menuding orang di belakangnya itu sambil memperkenalkan:

"Dia adalah lo-toa kami yang bernama 'si kusir kereta' sekalipun nama itu digadaikan ke rumah pegadaian juga laku beberapa ratus tahil perak"

Seluruh kulit tubuh Lo Biau-cu mengejang keras, teriaknya dengan suara parau:

"Mau apa kalian datang kemari?"

"Jangan kuatir!", jawab laki-laki bermata segi tiga itu sambil tertawa seram, "setelah puas menggebuk, kami tak akan datang untuk mencari gara-gara lagi denganmu"

Ia berjalan menghampiri A-kit kemudian menepuk-nepuk bahunya sambil mengejek:

"Bocah keparat inipun bukan manusia sembarangan, rasanya toaya sekalian juga enggan untuk mencari gara-gara dengannya"

"Lantas siapa yang kalian cari?", teriak Lo Biau-cu.

"Heeehhh....heeehhh.....heeehhh...siapa lagi? Tentu saja mencari adik perempuanmu!"

Tiba-tiba ia memutar tubuhnya dan menatap si Boneka tajam-tajam, sinar buas memancar keluar dari sepasang mata segitiganya yang menyeramkan itu.

"Hayo kita berangkat, siau-moay-cu!"

Paras muka si Boneka berubah hebat.

"Kaa.......kalian.......kalian hendak membawaku pergi kemana?", bisiknya dengan suara gemetar.

Laki-laki bermata segitiga itu tertawa dingin.

"Heeeeehhh.....heeeehh....heeeeehh......kemana kita harus pergi, kesitulah kita pergi. Lebih baik kau tak usah berlagak pilon di hadapan kami........mengerti!"

Si Boneka mundur terus selangkah demi selangkah dengan ketakutan.

"Apakah beristirahat seharipun tak boleh?", keluhnya.

"Kau adalah orang yang paling laris di antara orang-orangnya Han toa-nay-nay, sehari tidak bekerja, berapa tahil perak kita bakal rugi? Kalau tak ada uang untuk kita, dengan apa kita musti makan?"

"Tapi Han toa-nay-nay telah mengabulkan permintaanku, dia................."

"Anggap saja apa yang telah ia katakan sebagai kentut anjing yang paling bau, andaikata tak ada kami bersaudara, sampai hari inipun dia tak lebih cuma seorang pelacur, pelacur tua yang sehari menjadi pelacur, sehari pula harus menjajakan tubuhnya.................."

Si boneka tak ingin laki-laki itu melanjutkan kata-kata kotornya, dengan suara keras ia menukas:

"Kumohon kepada kalian lepaskanlah diriku selama dua hari ini, mereka semua telah terluka, tidak enteng luka yang mereka derita.........kumohon kepada kalian, bermurahlah hati, lepaskanlah aku selama dua hari ini............."

"Mereka? Siapakah mereka?", jengek laki-laki bermata segi tiga itu, "sekalipun yang seorang adalah kakakmu, yang seorang lagi itu manusia macam apa?"

Dua orang laki-laki yang membawa pisau belati itu segera maju bersama sambil berkata pula:

"Kami kenal dengan bajingan cilik ini. Ia pernah bekerja sebagai pelayan di gedungnya Han toa-nay-nay, sudah pasti dia punya hubungan gelap dengan pelacur kecil itu"

"Bagus, bagus sekali!", kata laki-laki bermata segi tiga itu.

Tiba-tiba sambil memutar tubuhnya, ia menampar wajah A-kit keras-keras, kemudian makinya:

"Sungguh tak kusangka kau pelacur kecil masih mempunyai simpanan gendak macam bajingan cilik ini.................Hmmm, bila kau tak mau ikut kami pergi, pertama-tama dialah yang akan kami bereskan dulu"

Sambil mengancam, ia menggerakkan kakinya lagi untuk menendang selangkangan A-kit.

Tapi si Boneka sudah keburu menubruk ke muka, menubruk ke atas tubuh A-kit, teriaknya setengah menjerit:

"Sampai matipun aku tak akan pergi bersama kalian, lebih baik kalian bunuhlah aku lebih dulu"

"Pelacur busuk, kau benar-benar pingin mampus?", hardik laki-laki bermata segi tiga itu.

Kali ini sebelumnya ia sempat mengangkat kakinya, Lo Biau-cu telah menarik bahunya sambil membentak.

"Kau mengatakan dia sebagai apa?"

"Pelacur busuk, tahu dengan Pelacur busuk?"

Apapun tidak diucapkan lagi oleh Lo Biau-cu, kepalannya yang lebih besar dari mangkuk itu langsung ditonjokkan ke wajah laki-laki bermata segi tiga itu.

Sekalipun laki-laki itu kena dijotos keras-keras, akan tetapi dia sendiripun harus menerima dua buah tendangan keras dari dua orang di sampingnya, begitu keras tendangan itu membuatnya kesakitan dan berguling di atas tanah dengan keringat dingin bercucuran.

Pada saat itulah si nenek menerjang keluar dari dapur dengan membawa sebilah pisau dapur, jeritnya:

"Kalian kawanan bajingan, aku lo-tay-po akan beradu jiwa dengan kalian semua!"

Pisau itu langsung dibacokkan ke atas tengkuk dari laki-laki bermata segi tiga itu.

Tentu saja bacokan tersebut tidak mengenai sasarannya.

Tahu-tahu pisau dapur itu sudah dirampas oleh laki-laki bermata segi tiga, kemudian sekali mengayunkan tangannya, dengan gaya bantingan yang manis, ia banting tubuh nenek itu keras-keras ke atas tanah.

Si Boneka segera menerjang ke depan ibunya dan memeluk erat-erat nenek itu sambil menangis tersedu-sedu.

Tidak ada komentar: