Pendekar Gelandangan 016

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

16

Nenek reyot yang sepanjang hidupnya harus menderita dan sengsara hidupnya ini mana sanggup menerima bantingan yang sangat keras itu........

"Hmmm, dia sendiri yang kepingin mampus....", kata laki-laki itu.

Kata 'mampus' baru saja diucapkan keluar, sambil berpekik keras, bagaikan harimau terluka dengan sempoyongan Lo Biau-cu menerkam ke depan.

Sekalipun sekujur badannya telah babak belur penuh dengan luka, bahkan tenaga untuk berdiripun tak ada, akan tetapi ia masih nekad untuk beradu jiwa.

Ia memang bersiap-siap untuk beradu jiwa dengan kawanan bajingan itu.

"Kau juga kepingin mampus?", bentak laki-laki bermata segi tiga itu dengan suara mengerikan.

Dalam genggamannya masih memegang pisau dapur yang baru saja berhasil dirampasnya itu, asal ada pisau maka ia dapat membunuh orang.

Manusia semacam laki-laki itu tak pernah takut untuk membunuh orang, pisaunya langsung diayunkan ke depan untuk menusuk dada Lo Biau-cu.

Sepasang mata Lo Biau-cu telah memerah darah, hakekatnya ia tak ingin menghindari tusukan tersebut, iapun tak dapat menghindarinya, akan tetapi tusukan itu justru mengenai sasaran yang kosong.

Baru saja ujung pisau itu akan menusuk ke dadanya, Lo Biau-cu telah terdorong pergi dari situ.

A-kitlah yang mendorongnya.

Padahal A-kit sendiri tak sanggup berdiri tegap, akan tetapi ternyata ia berdiri juga, malah tepat berdiri di hadapan laki-laki bermata segi tiga itu.

"Kaa.....kalian terlalu menyiksa orang, kalian terlalu menyiksa orang......", katanya kepada laki-laki itu.

Suaranya amat parau, mungkin lantaran terpengaruh oleh emosi, ia tak sanggup melanjutkan kembali kata-katanya.

Laki-laki bermata segi tiga itu tertawa dingin.

"Heeehhhh....heeeehhhh...heehhh...apa yang kau inginkan? O, atau mungkin ingin membalas dendam kepada kami?"

"Aku....aku....."

"Pokoknya kalau mau memang jantan dan bernyali, ambillah pisau dapur ini dan gunakanlah untuk membunuh aku", tantang laki-laki bermata segi tiga itu.

Ternyata ia benar-benar mengangsurkan pisau dapur itu ke hadapannya, malah katanya kembali:

"Asal kau punya keberanian untuk membunuh orang, aku akan takluk kepadamu! Aku akan menganggapmu sebagai seorang laki-laki sejati"

A-kit tidak menyambut pisau dapur itu.

Tangannya masih gemetar keras, sekujur tubuhnya ikut gemetar, bahkan gemetar tiada hentinya.

Laki-laki bermata segi tiga itu tertawa tergelak, ia cengkeram rambut si Boneka lalu menyeret perempuan itu, bentaknya:

"Hayo jalan!"

Si Boneka tidak ikut pergi.

Tiba-tiba tangannya dicekal oleh sebuah tangan lain, sebuah tangan yang kuat dan bertenaga. Ia merasa tulang belakangnya hampir saja tergenggam remuk.

Ternyata tangan yang menggenggam tangannya itu adalah tangan dari A-kit, A-kit yang tak berguna.

Laki-laki bermata segi tiga itu mendongakkan kepalanya, lalu dengan terkejut menatapnya lekat-lekat.

"Kau....kau berani melawan aku?", teriaknya.

"Aku tidak berani, aku adalah manusia tak becus, aku tak berani membunuh orang, akupun tak ingin membunuh orang"

Pelan-pelan ia mengendorkan genggamannya.

"Kalau begitu akulah yang akan membunuhmu!", teriak laki-laki bermata segi tiga itu dengan segera.

Dengan mempergunakan pisau dapur itu, ia tusuk tenggorokan A-kit dengan kecepatan bagai kilat.

A-kit sama sekali tak bergerak, diapun tidak bermaksud untuk menghindarkan diri, cuma lengannya dikebaskan pelan ke depan, lalu kepalannya menyodok ke muka.

Sebetulnya laki-laki bermata segi tiga itu turun tangan lebih dahulu, akan tetapi sebelum tusukan tersebut berhasil menembusi tenggorokan lawan, kepalan A-kit telah bersarang lebih dulu di atas dagunya.

Tiba-tiba saja seluruh tubuhnya terangkat dan melayang ke udara.

"Blaaang....!" Punggungnya menghancurkan daun jendela dan mencelat ke luar dari ruangan kemudian..."Duuukkk!" setelah menumbuk lagi di atas dinding rendah, tubuhnya baru terhenti.

Sekujur tubuhnya telah berubah menjadi lemas bagaikan segumpal lumpur yang tiba-tiba tercerai berai, selamanya ia tak sanggup untuk bangkit kembali.

Setiap orang tertegun, setiap orang memandang ke arah A-kit dengan sinar mata terkejut.

A-kit sama sekali tidak memandang ke arah mereka, sepasang matanya terasa kosong melompong sama sekali tanpa perasaan, sama sekali tanpa emosi, seakan-akan perbuatannya itu justru menambah penderitaan dan siksaan dalam batinnya.

Si kusir kereta yng selama ini hanya bertolak pinggang di muka rumah, tiba-tiba melompat ke atas sambil membentak: "Bereskan dia!"

Kata-kata itu merupakan kata sandi dari para berandal kota yang artinya lawan mereka harus dibunuh sampai mati.

Dua orang berandal muda yang membawa pisau belati itu ragu-ragu sejenak, akhirnya mereka cabut ke luar pisau belatinya.

Kedua bilah pisau belati itu pernah menusuk tujuh-delapan kali di tubuh A-kit, dan sekarang pada saat yang bersamaan digunakan untuk menusuk bagian mematikan di bawah ketiak lawan.

Sayang, tusukan mereka kali ini mengenai sasaran kosong.

Tanpa diketahui sebab musababnya, tiba-tiba saja kedua orang berandal muda yang kekar dan berotot itu roboh ke atas tanah dan tertelungkup dengan keadaan yang lemas bagaikan segumpal tanah berlumpur.

Sebab ketika A-kit merentangkan sepasang tangannya, tenggorokan mereka berdua telah terbabat telak. Ketika mereka roboh ke tanah, kesempatan menjeritpun tak ada.

Paras muka si kusir kereta berubah hebat, selangkah demi selangkah ia mundur terus ke belakang.

A-kit sama sekali tidak memandang ke arahnya walau cuma sekejap matapun, hanya katanya dengan hambar:

"Berhenti!"

Kali ini si kusir kereta sangat penurut, ia seakan-akan berubah menjadi seorang anak yang penurut, ketika di minta untuk berhenti, ia betul-betul berhenti.

"Sesungguhnya aku sudah tak ingin membunuh orang lagi, mengapa kalian memaksaku untuk berbuat lagi?", kata A-kit dengan suara mengeluh.

Kemudian ia menundukkan kepalanya dan memandang sepasang tangannya dengan wajah sedih dan penuh penderitaan.

Ya, ia sangat sedih dan menderita, sebab sepasang tangannya kembali telah berlepotan darah, darah manusia!.

Tiba-tiba si kusir kereta membusungkan dadanya lalu berteriak dengan suara lantang:

"Sekalipun kau membunuh pula diriku, jangan harap kau sendiri dapat meloloskan diri!"

"Aku tak akan pergi!", jawab A-kit

Kemudian dengan mimik wajah lebih sedih dan menderita, sepatah demi sepatah ia melanjutkan:

"Sebab aku sudah tiada jalan lain untuk pergi!"

Ketika kusir kereta itu menyaksikan musuhnya menundukkan kepala dan lengah, ia segera bertindak cepat. Kesempatan sebaik ini tak akan disia-siakan dengan begitu saja. Tiba-tiba ia turun tangan, sebilah pisau terbang disambitkan ke arah dada A-kit.

Tapi pisau terbang itu secara tiba-tiba terbang kembali lagi, bahkan menancap di atas bahu kanannya, tepat menembusi tulang persendian dan memotong urat syarafnya.

Dengan begitu, maka tangan itupun praktis menjadi lumpuh untuk selamanya, tak mungkin lagi dipakai untuk membunuh orang.

"Aku tak akan membunuhmu, karena aku berharap kau bisa pulang dalam keadaan hidup", kata A-kit pelan, "beritahu kepada Thi-tau toako kalian, beritahu juga kepada toa-tauke kalian, akulah pembunuhnya. Bila mereka ingin membalas dendam, datang saja mencariku. Jangan menyeret mereka yang tak berdosa dan tak tahu urusan"

Peluh dingin telah membasahi seluruh tubuh si kusir kereta, sambil mengertak gigi menahan sakit, katanya:

"Bajingan cilik, anggap saja kau memang hebat!"

Setelah melompat keluar dari pintu ruangan, tiba-tiba ia berpaling sambil teriaknya kembali:

"Jika kau memang betul-betul hebat, sebutkan namamu!"

"Aku bernama A-kit, A-kit yang tak berguna!"

ooo)O(ooo

Malam sudah semakin larut, cahaya lampu yang redup menyinari ruangan sempit di balik lorong yang apek.

Sinar redup yang kemerah-merahan itu menyinari mayat si nenek di atas pembaringan, menyinari pula wajah si Boneka dan Lo Biau-cu yang pucat pias bagaikan mayat.

Inilah ibu mereka, ibu kandung yang dengan susah payah memelihara mereka serta membesarkan mereka hingga menjadi dewasa, tapi apakah balasan mereka?

A-kit berdiri jauh di sudut ruangan, di tempat yang remang-remang sambil menundukkan kepalanya, ia seakan-akan tidak berani berhadapan muka dengan mereka.

Sebab, sebetulnya nenek itu tak perlu mati konyol, asal ia berani menghadapi kenyataan, maka perempuan tua yang baik hati itu tak akan mati secara mengenaskan.

Tiba-tiba Lo Biau-cu berpaling ke arahnya, kemudian katanya:

"Pergilah kau!"

Kulit wajahnya telah mengejang lantaran sedih dan tersiksa, kembali katanya:

"Kau telah membalaskan dendam buat ibu kami, sebetulnya kami berterima kasih kepadamu, tetapi.......tetapi saat ini kamipun tak sanggup untuk menahan dirimu lagi"

A-kit tidak bergerak, diapun tidak berkata apa-apa.

Ia dapat memahami maksud hati Lo Biau-cu. Ia diminta pergi karena mereka tak ingin menyulitkan dirinya lagi.

Tapi, bagaimanapun juga ia tak akan pergi.

Tiba-tiba Lo Biau-cu berteriak keras:

"Sekalipun kami pernah melepaskan budi kepadamu, budi itu telah kau balas. Sekarang mengapa kau tidak juga pergi meninggalkan tempat ini?"

"Benarkah kau mengharap kepergianku? Baiklah, hanya ada satu cara untuk memaksaku pergi dari sini"

"Bagaimana caranya?"

"Bunuhlah aku, kemudian gotong mayatku meninggalkan tempat ini!"

Lo Biau-cu menatapnya tajam-tajam, tiba-tiba airmatanya jatuh bercucuran membasahi pipinya, dengan suara keras ia berseru:

"Aku tahu kau mempunyai ilmu silat yang tinggi, kau anggap masih mampu untuk menghadapi mereka, tapi tahukah engkau manusia-manusia macam apakah mereka itu?"

"Aku tidak tahu!"

"Bukan saja mereka punya uang, merekapun mempunyai kekuasaan, tukang pukul yang dipelihara toa tauke nya paling sedikit mencapai tiga sampai lima ratus orang, diantaranya yang paling lihay adalah manusia yang bernama Thi-tau (si kepala baja), Thi-jiu (si tangan baja) dan Thi-hau (si harimau baja). Konon mereka semua dulunya adalah perompak-perompak ulung yang membunuh orang tak berkedip di samudra bebas, kemudian karena dicari terus oleh petugas negara, akhirnya mereka berganti nama dan menyembunyikan diri di sini"

Setelah berhenti sejenak, kembali teriaknya:

"Sekalipun ilmu silat yang kau miliki terhitung lumayan juga, akan tetapi setelah kau jumpai ketiga orang itu, maka hanya kematian yang bakal kau temui!"

"Pada hakekatnya aku memang tiada jalan lain kecuali tetap berdiam di sini!"

Ia menundukkan kepalanya rendah-rendah, bayangan hitam tampak menyelimuti seluruh wajahnya.

Sekalipun Lo Biau-cu tidak menyaksikan sendiri perubahan mimik wajahnya, akan tetapi ia dapat mendengar kepedihan serta kebulatan tekadnya dari ucapan tersebut.

Kepedihan terhitung pula sejenis kekuatan, semacam kekuatan yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan banyak perbuatan yang tak berani ia lakukan diwaktu-waktu biasa.

Akhirnya Lo Biau-cu menghela napas panjang.

"Baiklah, jika kau memang ingin mampus, marilah kita mampus bersama-sama...", katanya.

"Bagus, bagus sekali!", terdengar seseorang menanggapi dari luar pintu dengan suara dingin dan mengerikan.

"Blaaang......!" pintu dapur yang begitu tebal dan kuat itu mendadak di hantam sehingga muncul sebuah lubang yang besar.

Sebuah kepalan tangan menjulur masuk ke dalam pintu, tapi dengan cepatnya di tarik kembali.

Menyusul kemudian......."Blaaaaang...." di atas dinding rumah yang berada di sisi pintu muncul pula sebuah lubang besar.

Keras dan dahsyat memang pukulan kepalan orang itu!.

Pelan-pelan A-kit berjalan ke luar dari tempat kegelapan dan maju ke muka untuk membuka pintu.

Di luar pintu berdiri sekelompok manusia, seorang laki-laki berperawakan tinggi besar dan berpakaian perlente sedang menggosok-gosok kepalan tangan kanannya dengan tangan kiri.

Ketika A-kit muncul membukakan pintu, dengan sinar mata tajam ditatapnya orang itu lekat-lekat, kemudian tegurnya:

"Engkaukah yang bernama A-kit yang tak berguna?"

"Ya, akulah orangnya!"

"Aku bernama Thi-kun (kepalan baja) A-yong!"

"Terserah apapun namamu, bagiku adalah sama saja"

"Hmm! Sekalipun nama itu sama, namun kepalanku tidak sama!", jengek Kepalan Baja A-yong dengan ketus.

"Oooh....benarkah begitu?"

"Hmm! Konon orang bilang kau lelaki yang hebat, jika berani kau sambut sebuah kepalanku, maka akupun akan menganggapmu sebagai laki-laki yang hebat pula"

"Silahkan!"

Paras muka Lo Biau-cu berubah hebat. Si Boneka menggenggam tangannya erat-erat. Tangan mereka berdua telah berubah menjadi sedingin es.

Mereka semua telah melihat bahwa A-kit tak ingin hidup lagi, kalau tidak mengapa ia begitu berani untuk menyambut pukulan baja yang sanggup menjebolkan dinding rumah itu?

Akan tetapi, bagaimanapun jua hanya sebuah jalan kematian yang mereka miliki, mati sekarang juga boleh, mati belakang juga sama saja, apa pula bedanya suatu kematian?

Tiba-tiba Lo Biau-cu menerjang ke depan kemudian teriaknya setengah menjerit:

"Kalau kau berani, hayo pukul aku lebih dulu!"

"Kenapa tidak berani?", ejek A-yong, si Kepalan Baja itu sambil tertawa sinis.

Begitu ia berkata akan memukul, kepalannya langsung disodok ke muka menghantam raut wajah Lo Biau-cu.

Setiap orang dapat mendengar suara remuknya tulang belulang, cuma yang remuk bukan tulang wajah Lo Biau-cu. Yang remuk adalah tulang kepalan dari si Kepalan Baja A-yong.

A-kit turun tangan secara tiba-tiba, kepalan tersebut tepat menghajar di atas kepalan lawan, setelah itu sambil putar tubuhnya, sebuah kepalan lain mampir pula di atas perutnya.

Si Kepalan Baja A-yong kesakitan setengah mati bagaikan udang yang dimasukkan ke dalam air mendidih, tubuhnya langsung melingkar dan bergulingan di atas tanah.

Pelan-pelan A-kit mengalihkan kembali perhatiannya ke arah kawanan manusia di belakangnya.

Manusia-manusia itu datang dengan membawa senjata lengkap, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang berani berkutik.

"Beritahu kepada toa-tauke kalian, apabila ingin merenggut nyawaku, lebih baik carilah pembantu-pembantu yang lumayan, sebab manusia-manusia semacam itu masih belum pantas untuk dihadapkan kepadaku!", kata A-kit.

ooo)O(ooo

Daun-daun di kebun belakang telah memerah, bunga sakura mekar bagaikan emas yang berkilauan.

Sambil bergendong tangan, toa-tauke sedang menikmati bunga sakura sambil gumamnya:

"Menunggu kepiting-kepiting besar dari telaga Yang-teng-ou di kirim sampai kemari, siapa tahu waktunya bersamaan dengan mekarnya bunga-bunga sakura ini"

Ia menghembuskan napas panjang, lalu gumamnya lagi:

"Oooh.......betapa indahnya waktu itu, betapa indahnya saat seperti itu....."

Sekelompok manusia berdiri di belakangnya, seorang laki-laki setengah umur yang mengenakan baju berwarna hijau dengan potongan seperti seorang siucay yang gagal dalam ujian berdiri sangat dekat dengannya, sementara Kepalan Baja A-yong dengan tangan yang dibalut dengan kain berdiri paling jauh........

Baik mereka yang berdiri sangat dekat, maupun mereka yang berdiri paling jauh, di saat toa-tauke sedang menikmati bunga, tak seorang manusiapun berani membuka suara.

Toa-tauke membungkukkan badannya seperti mau mencium harumnya bunga, tiba-tiba tangannya berkelebat dan menjepit seekor ulat terbang dengan kedua jari tangannya, setelah itu pelan-pelan tanyanya:

"Menurut kalian, siapa nama orang itu?"

Manusia berbaju hijau itu memandang ke arah Kepalan Baja A-yong.

Serta merta Kepalan Baja A-yong menjawab:

"Ia bernama A-kit, A-kit yang tak berguna!"

"A-kit? A-kit yang tak berguna?"

Dengan mempergunakan kedua buah jari tangannya ia menjepit ulat terbang itu sampai mati kemudian sambil memutar badannya, ia menatap A-yong tajam-tajam, katanya lagi dengan suara dingin:

"Ia bernama A-kit yang tak berguna dan kau bernama Kepalan Baja A-yong.....?"

"Benar!"

"Kepalanmu yang lebih keras atau kepalannya yang lebih keras?", tanya toa-tauke lagi.

Kepalan Baja A-yong menundukkan kepalanya memandang kepalan sendiri yang dibalut kain, terpaksa ia harus mengakuinya:

"Kepalannya lebih keras daripada kepalanku!"

"Kau yang lebih berani? Atau dia?"

"Dia lebih pemberani!"

"Kau yang tak berguna atau dia?"

"Aku yang tak berguna!"

Toa-tauke menghela napas panjang.

"Aaaai....jadi kalau begitu, aku rasa semestinya namamu tidak cocok memakai nama sekarang"

"Benar!"

"Kalau memang begitu, mengapa tidak kau rubah namamu menjadi Si Sampah yang Tak Berguna A-kau (si anjing)?"

Paras muka Kepalan Baja A-yong yang pucat pias seperti mayat, kini mulai mengejang keras.

Manusia berbaju hijau yang selama ini hanya berdiri membungkam di sisi gelanggang, tiba-tiba maju sambil memberi hormat, lalu katanya:

"Ia telah berusaha dengan sepenuh tenaga"

Sekali lagi toa-tauke menghela napas panjang, sambil mengulapkan tangannya ia berkata:

"Lebih baik suruh dia enyah saja dari sini!"

"Baik!"

"Beri juga sedikit uang untuk merawat lukanya, setelah luka itu sembuh baru datang menjumpai diriku lagi"

Dengan suara lantang manusia berbaju hijau itu segera berteriak:

"Toa tauke suruh kau mengambil seribu tahil perak di kasir, kenapa tidak cepat-cepat kau ucapkan terima kasih?"

Kepalan Baja A-yong segera maju dan menyembah berulang kali.

Toa-tauke kembali menghela napas panjang, sambil memandang ke arah manusia berbaju hijau itu dengan senyuman getir di kulum, katanya:

Tidak ada komentar: