Pendekar Gelandangan
Karya: Khu Lung
18
Tamu yang berdatangan pada malam ini luar biasa banyaknya, orang yang ikut berjudipun luar biasa melimpah ruahnya, kecuali sang bandar tidak terhitung, maka ia bersama gundiknya nomor tiga ini paling sedikit berhasil menggaet keuntungan sebesar seribu tahil perak lebih.
Kartu yang berada di tangannya sekarang adalah 'dua empat' berarti berjumlah enam, sekalipun tidak terlalu bagus juga tidak terlalu jelek, kartu yang lain berada dalam genggaman gundiknya yang nomor tiga.
Sam-ih-thay (gundik ke tiga) telah melepaskan kerah bajunya, sehingga kelihatan kulit lehernya yang putih mulus, dengan sepasang tangannya yang halus dan lentik, ia memegang selembar kartunya, kemudian sambil mengerling sekejap ke arahnya, ia bertanya:
"Bagaimana?"
"Apa yang kau butuhkan?", tanya si kepala baja Toa-kang.
"Emas enam perak lima si bangku kecil!"
Kontan saja si kepala baja Toa-kang merasakan semangatnya berkobar, ia segera membentak keras:
"Emas enam perak lima si bangku kecil yang amat bagus!"
"Ploook.........!, lembaran kartu 'empat enam' nya telah dibanting keras-keras ke atas meja.
Berserilah wajah Sam-ih-thay, sambil tertawa cekikikan, katanya:
"Memang itulah yang kebutuhan, monyet jantan!"
Ternyata kartu yang berada di tangannya adalah 'kosong tiga'.
"Haaah...... haaaaahhhh...... haaahhhhhh........ yang kuinginkan juga kau si monyet betina", sambung si kepala baja sambil tertawa tergelak, "kita memang sepasang sejoli yang ideal!"
'Kosong tiga' dijodohkan 'empat enam' berarti sepasang raja monyet, berarti pula Ci-cun-po, angka paling tinggi.
"Ci-cun-po, makan semua!", teriak si kepala baja Toa-kang dengan suara lantang.
Sepasang lengannya segera di rentangkan siap menyapu seluruh uang yang berada di atas meja.
"Tunggu sebentar!", tiba-tiba seseorang berseru dengan suara ketus.
Rumah perjudian milik Sam-ih-thay selalu terbuka untuk umum, barang siapa merasa memiliki uang untuk dipertaruhkan, dia dipersilahkan ikut masuk ke gedung tersebut, maka manusia dari pelbagai lapisan masyarakat dapat di temui di sana.
Thi-tau si kepala baja Toa-kang bukan seorang manusia yang takut urusan, selamanya belum pernah pula ada orang yang berani menerbitkan keonaran di situ.
Akan tetapi orang yang mengucapkan kata-kata tersebut bukan saja tampak asing sekali, diapun bukan mirip seorang yang datang untuk berjudi, sebab pakaiannya terlalu kotor dan penuh tambalan, siapapun tak ada yang tahu secara bagaimana ia bisa masuk ke situ.
Kontan saja Thi-tau si kepala baja Toa-kang melototkan sepasang matanya bulat-bulat, kemudian menegur:
"Barusan, apakah kau yang sedang melepaskan kentut?"
Walaupun tampang muka orang itu sederhana saja, namun sikapnya amat dingin dan tenang. Jawabnya dengan suara hambar:
"Aku tidak melepaskan kentut, aku sedang mengucapkan kata-kata yang adil dan Kong-too!"
"Kau bilang aku tak boleh makan uang itu? Dengan dasar apa aku tak boleh memakannya?"
"Dengan dasar apa pula kau hendak makan semua uang tersebut?"
"Dengan dasar sepasang raja monyet ini!"
"Sayang sekali setelah kartu cadangan itu berada di tanganmu, sebutannya bukan si raja monyet lagi"
"Lalu disebut apa?", tanya si kepala baja Toa-kang sambil menahan hawa amarahnya.
"Namanya Ti-pat-kay, si raja babi yang sudah dicukur kelimis batok kepalanya, hayo bayar ganti rugi!"
Paras muka si kepala baja Toa-kang kontan saja berubah hebat.
Paras muka setiap orang juga ikut berubah, semua orang dapat melihat bahwa tujuan dari kedatangan orang itu adalah mencari gara-gara.
Siapakah yang mempunyai nyali sebesar ini? Siapakah yang begitu berani mencari gara-gara dengan Thi-tau Toako?
Serentak semua begundalnya melompat bangun sambil membentak dengan penuh kegusaran:
"Kau bajingan cilik, telur busuk kecil, siapa namamu? Datang dari mana......?"
"Aku bernama A-kit, A-kit yang tak berguna!"
ooo)O(ooo
Seketika itu juga semua suara yang memenuhi ruangan berhenti serentak, tentu saja saudara-saudara yang berada di kota pernah mendengar nama dari 'A-kit'.
Tiba-tiba Thi-tau Toa-kang tertawa dingin, lalu ejeknya:
"Heehhh.... heeehhhh.... heeehhhh.... bagus, bagus sekali, tak kusangka kau si bajingan cilik betul-betul bernyali dan berani mengantarkan diri sendiri!"
"Aku hanya ingin menyaksikan saja"
"Menyaksikan apa?"
"Menyaksikan apakah betul kalau kepalamu lebih keras daripada baja murni!"
Si kepala baja Toa-kang segera tertawa terbahak-bahak.
"Haahhh..... haaahh.... haaahhhh bagus, akan kusuruh sepasang matamu menjadi melek lebar!", katanya.
Selembar batu marmer besar yang digunakan sebagai alas meja segera disodorkan ke hadapannya, ternyata meja yang beratnya paling sedikit ada tujuh-delapan puluh kati itu seakan-akan selembar kertas tipis saja dalam genggamannya.
Batu itu ada banyak macam jenisnya, batu marmer bukan saja merupakan jenis batu yang termahal, marmer merupakan juga batu yang paling keras, akan tetapi ia menumbuk batu marmer itu dengan batok kepalanya.....
"Praaaak.....!". Batu marmer yang tebalnya melebihi kue keranjang itu ternyata hancur menjadi berkeping-keping setelah kena di terjang batok kepalanya itu.
Seolah sebuah bola yang baru diambil dari genangan minyak tanah, batok kepala itu kelihatan begitu licin dan mengkilap.
"Bagus.....!", semua begundal dan anak buahnya bertepuk tangan sambil bersorak sorai.
Menanti suara sorak-sorai itu sudah mulai mereda, pelan-pelan A-kit baru berkata:
"Bagus....bagus....bagus macam Ti-pat-kay si siluman babi!"
Waktu itu si kepala baja Toa-kang sedang berbangga hati karena di sorak dan dipuji oleh segenap orang yang berada dalam ruangan itu. Betapa geramnya dia setelah mendengar kata-kata hinaan itu, paras mukanya kontan berubah hebat.
"Kau bilang apa?", jeritnya dengan geram.
"Aku bilang kau persis seperti Ti-pat-kay, sebab kecuali babi, siapapun tak akan berbuat sebodoh kau, menggunakan batok kepala sendiri untuk diadu dengan batu keras"
"Lalu apa yang musti ku tumbuk? Menumbuk dirimu?", teriak Thi-tau Toa-kang sambil tertawa seram.
"Tepat sekali!"
Baru saja A-kit menyelesaikan kata-katanya, seperti harimau lapar yang menerkam mangsanya Thi-tau sudah mencengkeram bahunya, lalu diangkat ke udara seperti mengangkat meja beralas batu marmer tadi.
Thi-tau bukan saja kepalanya hebat, tangannya juga hebat, beberapa macam gerakan tubuhnya itu bukan saja dilakukan dengan kecepatan luar biasa, ketepatannya juga mengagumkan, dia tahu yang akan ditumbuk olehnya sekarang bukan meja, melainkan seorang manusia hidup yang mempunyai tangan dan kaki.
Oleh sebab itu begitu turun tangan dia lantas mencengkeram jalan darah Cian-keng-hiat di atas bahu A-kit, agar orang itu tak mampu berkutik, kemudian baru menumbuk dengan kepalanya.
Tak seorang manusiapun sanggup menahan terjangan dari batok kepala bajanya, agaknya A-kit yang tak berguna segera akan berubah menjadi A-kit yang tak bernyawa.
Sekali lagi semua begundal dan anak buahnya bersorak sambil memuji tiada hentinya.
Tapi sorak-sorai mereka kali ini terhenti dengan segera, sebab A-kit sama sekali tidak remuk tertumbuk, sebaliknya batok kepala Thi-tau Toa-kang yang lebih keras dari baja itu telah dihajar sampai hancur, hancur dalam sekali pukulan.
Perduli siapapun orangnya, bila jalan darah Cian-keng-hiat pada bahunya sudah dicengkeram, maka sepasang tangannya tak mungkin bisa digunakan lagi, sungguh tak disangka sepasang tangan A-kit ternyata masih bisa bergerak dengan leluasa.
Batok kepala Thi-tau Toa-kang yang sebenarnya tak mempan dipukul dengan martil seberat ribuan katipun, kali ini harus menyerah oleh sebuah pukulan telapak tangan yang sangat pelan.
Jeritan ngeri yang menyayatkan hati serta rontaan telah berhenti, seluruh ruangan seakan-akan tercekam dalam suasana yang tegang dan menyesakkan napas.
Tanpa bergerak sedikitpun jua A-kit tetap berdiri di tempat semula, sepasang biji matanya yang coklat sama sekali tanpa perasaan, seolah-olah seperti sebuah jurang yang tiada tara dalamnya.
Setiap orang sedang memperhatikannya, setiap orang menggembol senjata di tubuhnya, akan tetapi tak seorang manusiapun yang berani bergerak dari tempat semula.
A-kit yang tak berguna ternyata telah mendatangkan suatu perasaan ngeri dan seram yang mendirikan bulu roma bagi semua orang yang tiap hari kerjanya bergelimpangan di ujung golok dan percikan darah manusia ini.
........Sesungguhnya siapakah orang itu?
........Setelah membunuh orang, mengapa sikapnya masih setenang itu?
........Berapa banyak manusia yang pernah dibunuhnya di masa lalu?
Apa pula yang sedang dipikirkan dalam hatinya?
Ternyata tak seorangpun yang tahu bahwa batinnya waktu itu sedang menjerit:
"Lagi-lagi aku membunuh orang, mengapa aku harus membunuh orang lagi......?"
ooo)O(ooo
Angin musim gugur mengibarkan kertas penutup jendela.
Akhirnya A-kit mendongakkan kepalanya, ia baru merasa kalau seorang perempuan sedang berdiri dihadapannya.
Dia adalah seorang perempuan yang sangat cantik, seorang perempuan cantik yang membawa daya pikat serta daya pesona yang membawa daya pikat serta daya pesona yang cukup menggetarkan perasaan siapapun.
Ia tahu, perempuan itu pastilah gundik nomor tiga dari Thi-tau Toa-kang.
Begitu dekat ia berdiri dihadapannya, begitu lama ia menatap wajahnya di balik sorot matanya yang jelis terlintas suatu perasaan yang aneh sekali, perasaan itu bukan kesedihan, bukan pula perasaan benci dan dendam, tapi lebih mendekati rasa kaget, tercengang dan bimbang.
Secara diam-diam semua orang yang berada dalam ruangan itu telah mengundurkan diri dan kabur terbirit-birit. Kini tinggal dia seorang yang belum angkat kaki dari sana.
"Aku telah membunuh laki-lakimu!", kata A-kit kemudian dengan suara dingin dan kaku.
"Aku tahu! Sekalipun kau tidak membunuhnya, cepat atau lambat pada suatu ketika dia pasti akan mati pula di tangan orang lain!"
Suara perempuan itu amat datar, tenang bahkan mendekati keketusan, kembali katanya:
"Manusia macam dia, semenjak dilahirkan sudah ditakdirkan sebagai seorang pemburu nyawa manusia!"
"Mungkin saja aku akan membunuh pula dirimu, sebetulnya sejak tadi kau harus pergi dari sini", kata A-kit pula.
"Tidak, bukan aku yang harus pergi tapi kaulah yang musti angkat kaki dengan segera dari sini"
A-kit tertawa dingin.
Tapi Sam-ih-thay berkata lagi:
"Setelah kau bunuh si kepala baja, toa-tauke tak akan melepaskan dirimu dengan begitu saja"
"Aku memang sedang menunggu dirinya", sela A-kit dengan cepat.
Sam-ih-thay kembali menatap wajahnya tajam-tajam, mimik wajahnya berubah makin aneh dan makin istimewa, tiba-tiba katanya:
"Aku kenal denganmu, dahulu aku pasti sudah pernah berjumpa denganmu!"
"Kau pasti telah salah melihat orang"
"Tidak, aku tak bakal salah melihat"
Dengan nada yang meyakinkan, perempuan itu berkata lebih jauh:
"Aku adalah seorang pelacur, sejak berusia empat belas tahun sudah mulai menjadi pelacur, entah berapa ratus ribu lelaki yang pernah kujumpai, tapi tidak banyak laki-laki macam kau yang pernah kujumpai!"
Tiba-tiba sorot mata A-kit-pun memancarkan suatu pergolakan emosi yang aneh sekali, pelan-pelan ia memutar tubuhnya dan berjalan keluar dari ruangan itu.
Memandang bayangan punggungnya, tiba-tiba mencorong sinar terang dari balik mata Sam-ih-thay, teriaknya keras-keras:
"Aku sudah teringat, aku sudah teringat, kau adalah......."
Perkataan itu tak sempat diselesaikan.
Sebab A-kit secepat kilat telah memutar badan, menyumbat bibirnya dan memeluk pinggangnya erat-erat.
Ia tak ingin membunuh perempuan ini, tapi mulutnya harus segera disumbat.
Ia tidak mengijinkan siapapun mengetahui rahasia pribadinya.
ooo)O(ooo
Cahaya lampu dalam kamar tidur amat lembut dan sejuk.
Ia melemparkan tubuhnya ke atas pembaringan dan dia (perempuan) berbaring sambil menatap ke arahnya, sepasang matanya telah berkaca-kaca, lalu ujarnya dengan sedih:
"Mengapa kau berubah menjadi begini? Mengapa begitu banyak perubahan yang kau alami?"
"Sebab setiap orang pasti sedang berubah!", jawab A-kit.
"Tapi perubahan apapun yang kau alami, aku masih dapat mengenali dirimu!"
Sambil menahan air mata yang bercucuran, kembali katanya:
"Tahukah kau bahwa satu-satunya pria yang benar-benar kucintai sepanjang hidupku hanya dirimu......,yaa, kau pasti tidak akan tahu, sebab aku tak lebih hanya salah seorang di antara sekian banyak perempuan yang kau kenali, apalagi aku tak lebih cuma seorang pelacur yang rendah martabat dan akhlaknya"
Lama sekali A-kit termenung, mendadak suaranya berubah menjadi halus dan lembut:
"Akupun masih ingat denganmu, kau bernama Kim Lan-hoa!"
Kim Lan-hoa memandangnya dengan pesona, tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu, sambil memeluk ke dalam pangkuannya, ia berseru:
"Ooooh....aku puas, aku puas! Asal kau masih teringat selalu akan diriku, sekalipun harus mati akupun akan mati dengan mata meram"
"Tapi aku justru berharap agar orang lain dapat melupakan diriku!"
Perempuan itu memeluk tubuhnya semakin kencang, seperti anak sungai air matanya jatuh bercucuran.
"Aku tahu, aku pasti akan menuruti perkataanmu, rahasiamu tak akan kukatakan kepada siapapun, sekalipun harus mati, rahasiamu tak akan kukatakan kepada orang lain"
Sepanjang hidupnya, toa-tauke mempunyai tiga macam benda yang merupakan kebanggaannya, salah satu di antaranya adalah sebuah pembaringan terbesar di dunia ini.
Bukan paling besar saja, pembaringan itupun paling istimewa dan paling megah, kemanapun kau pergi, jangan harap bisa ditemui pembaringan kedua kecuali itu.
Ini bukan mengibul.
Sekarang masih tengah hari, toa-tauke masih berbaring di atas pembaringan, sembilan orang gundiknya yang paling disayangi menemaninya di atas pembaringan.
Pelan-pelan seorang dayang munculkan diri dalam ruangan, lalu dengan napas agak tersengal ia berbisik:
"Kata Hoa-sianseng, dia ada urusan penting yang harus disampaikan kepada loya!"
Toa-tauke ingin duduk, tapi akhirnya berbaring lagi.
"Suruh dia masuk!", katanya kemudian.
Tapi gundik-gundinya segera memprotes.
"Tapi keadaan kami setengah bugil, mana boleh kau suruh pria lain masuk kemari!"
Toa-tauke tersenyum.
"Kalau cuma pria ini sih tak menjadi soal!"
"Kenapa?", ada yang bertanya.
"Sebab bagiku dia jauh lebih berguna daripada kalian bersembilan digabungkan menjadi satu!"
ooo)O(ooo
Sekalipun semalaman bergadang, wajah Tiok Yap-cing masih tampak cerah dan bersinar, seakan-akan sama sekali tidak lelah.
Toa-tauke seringkali memuji akan kehebatan tenaga serta semangatnya, ibaratnya sebuah mesin tenun, asal toa-tauke minta berjalan, dia tak akan berhenti.
Ia berdiri di depan pembaringan toa-tauke dengan kepala tertunduk, sinar matanya tidak liar, meski ada sembilan orang perempuan cantik setengah bugil berada dihadapannya, namun baginya perempuan-perempuan itu seakan-akan patung-patung arca yang sama sekali tiada harganya.
Terhadap soal ini, toa-tauke pun merasa puas sekali. Ia mempersilahkan Tiok Yap-cing untuk duduk, kemudian baru bertanya:
"Kau bilang ada urusan penting hendak disampaikan kepadaku, urusan penting apakah itu?"
Sekalipun baru saja duduk Tiok Yap-cing segera bangkit kembali sambil menundukkan kepalanya.
"A-kit telah menemukan mata-mata yang kusiapkan disekitar sana, ia telah kabur bersama Biau-cu kakak beradik"
Dengan kepala yang tertunduk lebih rendah ia melanjutkan:
"Akulah yang teledor, akulah yang gegabah, aku sudah menilai terlampau rendah A-kit yang tak berguna itu, silahkan toa-tauke menjatuhkan hukuman berat atas keteledoranku ini!"
Mula-mula ia menjelaskan dulu duduknya persoalan dengan kata-kata paling singkat dan sederhana, kemudian segera mengakui akan kesalahan sendiri serta mohon dijatuhi hukuman, beginilah cara kerjanya yang selalu disiplin, ia tak pernah menutupi kesalahan sendiri, lebih-lebih tak pernah menghindari segala pertanggungan jawabnya.
Toa-tauke paling suka dengan sikapnya yang bertanggung-jawab serta jujur itu, maka walaupun keningnya berkerut, ucapannya sedikitpun tidak keras.
"Setiap orang pasti pernah berbuat salah, duduklah lebih dahulu sebelum berbicara lebih jauh!"
"Baik!"
Setelah ia duduk, toa-tauke baru bertanya lagi:
"Peristiwa ini kapan terjadinya?"
"Kemarin malam sekitar jam sebelas sampai jam dua belas!"
"Hingga kini apakah kau masih belum berhasil menemukan mereka?"
"Jejak A-kit sudah berhasil kami ketahui, tapi Biau-cu kakak beradik seakan-akan lenyap dengan begitu saja, sampai sekarang jejaknya belum kita temukan"
"A-kit berada dimana?"
"Selalu berada dalam kamarnya Sam-ih-thay dari Toa-kang!"
Paras muka toa-tauke berubah membesi, katanya cepat:
"Kau maksudkan si kepala baja telah.........."
"Ya!"
"Kapan ia ke situ?"
"Tak lama setelah lewat tengah malam!"
Paras muka toa-tauke berubah semakin tak sedap dipandang, katanya kemudian:
"Dalam setengah jam saja ia berhasil menyembunyikan Biau-cu heng-te dua orang manusia hidup secara begitu rahasia, mengapa kalian dengan waktu semalaman suntuk masih juga tidak berhasil menemukannya?"
Tiok Yap-cing kembali bangkit berdiri sambil menundukkan kepalanya.
"Tidak terlalu banyak tempat yang bisa digunakan sebagai tempat persembunyian kedua orang bersaudara itu di kota ini, aku telah mengirim orang untuk memeriksa setiap pelosok tempat yang kemungkinan besar bisa digunakan sebagai tempat persembunyian, tapi tak seorangpun yang berhasil menemukan kedua orang itu!"
Toa-tauke segera tertawa dingin tiada hentinya.
"Heeeehhh....... heeeehhhh......... heeeeehh..... sungguh tak kusangka kalianpun tak mampu untuk menandingi si A-kit yang tak berguna"
Tiok Yap-cing tak berani bersuara.
Kali ini toa-tauke pun tidak mempersilahkan kepadanya untuk duduk kembali. Lewat lama sekali pelan-pelan ia baru bertanya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar