Pendekar Gelandangan 021

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

21

Semangkuk besar mie daging sapi yang masih panas dan mengepulkan asap baru saja dihidangkan, kuahnya kental dan diatasnya ditambah dengan dua butir telur serta dua batang tulang bay-kut, tampaknya nikmat sekali rasanya.

Tapi A-kit tidak tahu bagaimanakah perasaan hatinya pada waktu itu........?

Sudah lama tak pernah ia nikmati makanan selezat ini, baginya hidangan semacam itu sudah merupakan suatu kenikmatan, diapun ingin sekali mengajak teman-temannya untuk merasakan pula kenikmatan tersebut.

Ia ingin sekali pergi ke rumah Toa-gou untuk menjumpai Biau-cu dan si Boneka.

Akan tetapi ia tak berani menyerempet bahaya.

Ketika meninggalkan rumah perjudian milik Thi-tau (si kepala baja), di atas meja masih bertumpuk uang perak hasil taruhan semalam.

Dia hanya membawa pergi setahil perak yang terkecil.

Dia harus makan sedikit untuk mengembalikan tenaga dalam tubuhnya, dan dia harus memaksakan diri untuk menghabiskan semangkuk mie itu.

ooo)O(ooo

Warung penjual mie itu kecil, berada di lorong sempit dan sangat gelap.

A-kit duduk di sebuah sudut ruangan yang paling gelap sambil menundukkan kepalanya, pelan-pelan makan mie.

Ia tak ingin melihat orang lain, diapun tak ingin orang lain melihatnya.

Dia hanya ingin menghabiskan semangkuk mie tersebut dengan tenang, tetapi ia belum menghabiskan mie itu.

Pada saat dia mulai melahap telur yang kedua, tiba-tiba dari atas atap rumah yang terbuat dari papan-papan kayu lama itu berhamburan segenggam debu yang segera mengotori mangkuk berisi mie itu.

Menyusul kemudian......"Kreteeek" atap rumah terbuka sebuah lubang besar dan seseorang melayang turun ke bawah, sambil mendekam di belakang tubuhnya ia berbisik lirih:

"Jangan bergerak, jangan bersuara, kalau tidak kuhabisi segera selembar nyawamu!"

A-kit tidak bergerak pun tidak berbicara apa-apa.

Satu-satunya pelayan yang berada dalam warung mie itu berdiri dengan kaki lemas saking takutnya, sebab ia telah menyaksikan sebilah golok yang memancarkan sinar tajam dalam genggaman orang itu, diapun menyaksikan pula sepasang mata bagaikan binatang buas yang liar dan menggidikkan hati.

Ya, mata itu seperti mata binatang buas yang sedang diburu-buru oleh pemburu dan terpojok tak sanggup kabur lagi, sebab di balik sinar matanya yang liar terselip juga rasa ketakutan ngeri serta hawa pembunuhan yang menggidikkan hati.

"Kau duduk, pelan-pelan duduk!", perintah orang itu lagi kepada pelayan warung mie tersebut, "berlagaklah seakan-akan tak pernah menyaksikan sesuatu apapun"

Pelayan segera duduk di atas sebuah bangku bobrok dan tak berani berkutik, sekujur badannya hampir lemas karena ketakutan.

Orang itu lagi-lagi memberi perintah kepada A-kit:

"Lanjutkan makan mie mu itu, makan sampai habis!"

A-kit melanjutkan kembali daharnya melahap mie sapi di hadapannya......

Bakpao yang telah terjatuh ke dalam tinjapun dia makan, apalagi dalam mangkuk mie hanya kejatuhan abu, sudah barang tentu ia lebih-lebih tak ambil perduli.

Ia dapat merasakan ketegangan serta kengerian yang mencekam orang di belakangnya itu, entah apa yang sedang ditakuti orang itu? Tapi dia tak ingin tahu.

ooo)O(ooo

Setelah menyaksikan laki-laki tinggi besar itu, sebagian besar orang yang berlalu lalang di atas jalan raya segera membungkukkan badannya sambil menundukkan kepalanya rendah-rendah.

Dengusan napas orang yang bersembunyi di belakang A-kit bertambah memburu, bahkan sekujur badannya seakan-akan ikut gemetar tiada hentinya......

......Laki-laki tinggi besar inikah yang sedang ia takuti?

Page 3 of 10

......Siapakah laki-laki kekar itu? Kenapa begitu banyak orang yang jeri kepadanya?

A-kit kembali menundukkan kepalanya sambil mulai makan mie.

Di saat ia sedang menundukkan kepalanya itu, seakan-akan dilihatnya laki-laki kekar itu melirik sekejap ke dalam warung mie, sinar matanya terasa begitu tajam bagaikan sambaran petir.

Untung dia hanya melirik sekejap, kemudian dengan langkah lebar berlalu dari sana.

Pada waktu itulah A-kit baru melihat bahwa di pinggangnya tergantung seutas tali, pada ujung tali itu terikatlah enam orang manusia.

Pakaian yang dikenakan ke enam orang itu sangat perlente dan mewah, bahkan ikat pinggang, topi, sepatu dan kaus kakipun merupakan benda-benda mewah yang mahal harganya.

Akan tetapi raut wajah ke enam orang itu sudah babak belur, ada yang matanya bengkak, hidungnya berdarah, bahkan ada pula tangan dan kakinya patah, namun orang-orang itu bagaikan anjing jinak dengan tenangnya mengikuti helaan tali laki-laki tersebut ke manapun ia pergi.

Menanti ke enam orang itu sudah berlalu, orang yang bersembunyi di belakang A-kit baru menghembuskan napas lega, genggamannya pada gagang golok ikut mengendor.

Tiba-tiba A-kit bertanya:

"Apakah orang-orang itu adalah sahabatmu?"

"Tutup mulut!", dengan marah orang itu malah membentak.

"A-kit tidak membungkam, sebaliknya malahan berkata lagi:

"Kalau kau memang berhasil melarikan diri, kenapa tidak kau tolong pula rekan-rekanmu itu?"

Belum habis ucapan tersebut diutarakan, mata golok telah ditempelkan di atas tengkuknya, menyusul kemudian dengan marah orang itu mengancam:

"Jika kau berani bersuara lagi, segera kucabut selembar jiwamu!"

Belum lagi ucapannya itu selesai diucapkan, kembali ada seseorang menyambung dengan suara dingin:

"Sekalipun kau tidak bersuara, aku tetap menginginkan selembar jiwamu itu!"

Laki-laki tinggi besar yang tampak dengan jelas telah keluar dari pintu warung, tiba-tiba telah berjalan kembali, dan secara tiba-tiba ia telah berdiri di hadapan A-kit.

Sepasang matanya memancarkan serentetan sinar yang lebih tajam dari petir, tulang jidatnya tinggi menonjol keluar, hidungnya mancung seperti elang dan mulutnya sangat lebar.

Sambil menundukkan kepalanya A-kit masih melanjutkan santapannya untuk melahap mie itu.

Tiba-tiba orang yang bersembunyi di belakangnya itu menempelkan goloknya di tengkuk orang, lalu ancamnya:

"Jika kau berani turun tangan, akan kubunuh orang ini lebih dahulu!"

"Kalau orang itu kau bunuh, maka aku tak akan membunuh dirimu", jawab laki-laki tersebut tenang.

Kemudian dengan suara yang lebih berat dan seram ia menambahkan:

"Paling sedikit akan kusuruh kau hidup tiga tahun lebih lama, agar kau merasakan tiga tahun siksaan hidup"

A-kit masih saja menundukkan kepalanya sambil makan mie.

Mendadak orang yang bersembunyi di belakangnya itu melompat ke muka, goloknya secepat sambaran kilat langsung dibacokkan ke atas batok kepala laki-laki kekar itu.

Laki-laki tersebut sama sekali tidak bergerak, kepalanya juga tidak bergerak, tangannya hanya dijulurkan ke muka dan tahu-tahu pergelangan tangan orang itu sudah tergenggam.

"Kreeekkk.....!", tulang pergelangan tangan orang itu segera remuk dan.......

"Traaang.......!", golok dalam genggamannya terjatuh ke tanah, menyusul kemudian orang itu ikut berlutut ke tanah.

Di tatapnya kemudian orang itu dengan dingin, lalu laki-laki tadi berkata dengan dingin:

"Mau ikut aku tidak?"

Saking sakitnya air matapun ikut bercucuran membasahi wajah orang itu, ia menganggukkan kepalanya berulang kali.

"Aku mau ikut! Aku mau ikut!"

Laki-laki itu tertawa dingin, sebelum menyeretnya keluar dari warung, tiba-tiba ia berpaling dan melotot kepada A-kit.

A-kit masih menundukkan kepalanya sambil makan mie.

Tiba-tiba laki-laki itu tertawa dingin sambil mendesis:

"Saudara, pandai benar kau menahan diri!"

A-kit sama sekali tidak mendongakkan kepalanya, dia hanya berkata:

"Aku lapar sekali, aku hanya ingin makan mie!"

Kembali laki-laki itu melotot ke arahnya sekian lama, akhirnya berpaling kepada pelayan warung tersebut sambil berkata:

"Masukkan ongkos mie itu ke dalam rekeningku!"

"Baik!", jawab sang pelayan cepat sekali.

"Terima kasih!", A-kit mendesis.

"Tidak usah!"

Pada ujung tali telah bertambah lagi dengan seorang manusia, tujuh orang diikat menjadi satu dengan seutas tali, keadaan mereka mirip sekali dengan segerombolan anjing yang dituntun oleh seorang manusia.

Akhirnya A-kit menghabiskan semangkuk mie daging itu.

Setelah kenyang ia baru bangkit berdiri dan berjalan ke hadapan pelayan warung itu seraya bertanya:

"Siapakah orang itu?"

Rupanya rasa kaget di hati pelayan itu belum hilang, ia balik bertanya dengan suara gemetar:

"Orang yang mana?"

"Orang yang barusan membayarkan rekening mie-ku!"

Pelayan tersebut segera celingukan ke sana kemari, kemudian sambil merendahkan suaranya, ia berbisik:

"Dia adalah seorang manusia yang paling susah dilayani!"

"Siapa namanya?"

"Thi-hou, si Harimau Baja, badannya lebih keras dari baja dan sikapnya lebih garang daripada seekor harimau!"

A-kit tertawa getir, dibalik tertawanya itu terseliplah nada mengejek yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.

"Orang yang dapat menuntun tujuh ekor serigala bagaikan menuntun anjing, tentu saja ia akan lebih garang daripada seekor harimau!"

Tiba-tiba suara pelayan itu semakin di rendahkan bisiknya lagi:

"Kau kenal dengan dia?"

"Tidak, aku tidak kenal!"

Senyuman di ujung bibirnya berubah semakin aneh, pelan-pelan lanjutnya lebih jauh:

"Tapi aku tahu, bahwa dengan cepat kami akan segera berkenalan!"

ooo)O(ooo

"Thi-hou telah pulang!"

Sekarang ia berdiri di hadapan Toa-tauke, meskipun pinggangnya ditekuk dalam-dalam namun sikapnya menunjukkan kesombongan serta rasa hormatnya yang tak mungkin dibuat-buat.

Ia sombong karena dia telah menyelesaikan suatu pekerjaan besar bagi orang yang dihormatinya.

"Kau telah kembali jauh lebih awal daripada apa yang kami bayangkan semula!", demikian toa-tauke berkata.

"Ya, karena gerombolan serigala itu sesungguhnya bukan serigala, melainkan hanya anjing-anjing budukan!", jawab Harimau Baja.

Toa-tauke segera tersenyum.

"Selama berada di hadapanmu, sekalipun mereka benar-benar seekor serigala juga akan berubah menjadi seekor anjing!"

Thi-hou ikut tertawa, ia bukan seorang manusia munafik, ia suka mendengarkan pujian orang lain, terlebih pujian dari toa-tauke nya yang paling dihormati.

"Dimanakah gerombolan anjing-anjing itu sekarang?", kembali toa-tauke bertanya.

"Enam ekor anjing mati sudah kuberikan kepada serigala, sedang tujuh ekor anjing hidup telah kubawa pulang!"

"Seekorpun tidak ada yang terlepas?"

"Sebenarnya di tengah jalan tadi ada seekor diantaranya yang hampir saja lolos, aku tidak menyangka kalau dalam celananya masih tersembunyi sebilah golok"

"Dimanakah golok itu sekarang?"

"Sekarang golok itu sudah kutusukkan ke dalam lubang pantatnya"

Toa-tauke terbahak-bahak setelah mendengar perkataan itu. Ia paling suka dengan cara kerja Thi-hou, karena cara kerjanya beraneka ragam, semua tindakan yang dilakukan Thi-hou selalu paling langsung, paling sederhana dan paling manjur.

"Siapa yang hendak kau temui tadi?", tiba-tiba Thi-hou bertanya.

"Dia bernama A-kit!"

"A-kit?"

"Aku tahu nama tersebut pasti belum pernah kau dengar, sebab hakekatnya itu bukan nama aslinya, dan lagi ia paling suka kalau orang lain menganggapnya sebagai seorang manusia yang tak berguna"

"Padahal ia berguna sekali?"

"Bukan saja berguna, bahkan mungkin saja sangat ternama, sebab seringkali ada sementara orang yang tak ingin orang lain menyebut nama aslinya lantaran nama tersebut terlampau ternama dalam dunia persilatan"

Thi-hou dapat memahami maksud ucapan tersebut, karena ia sendiripun demikian, ia sudah puluhan tahun menyembunyikan nama aslinya.

"Sebenarnya kami telah berjanji akan berjumpa muka malam nanti, tapi Siau-yap kuatir aku ketimpa musibah!", kata toa-tauke lagi.

Thi-hou segera tertawa dingin.

"Heeeehhhh..... heehhhh..... heeeehhhhh.... nyali Siau-yap selamanya memang lebih kecil daripada selembar daun"

"Kau tak dapat menyalahkan dia, bila seorang bisa melakukan pekerjaan dengan teliti dan berhati-hati, tak akan ia jumpai hal-hal yang kurang menyenangkan hati"

Tiok Yap-cing selama ini hanya sebagai seorang pendengar setia, ia hanya tersenyum belaka. Menunggu Thi-hou sudah tidak bersuara lagi, ia baru berkata:

"Pada waktu itu mau tak mau aku harus bertindak lebih berhati-hati, sebab Hou-toako belum pulang kemari"

"Bagaimana sekarang?", Thi-hou bertanya.

"Sekarang tentu saja berbeda!"

Ia masih saja tertawa, tapi suara tertawanya membuat orang yang mendengarkan menjadi tak enak badan, katanya lagi:

"Sekarang apabila toa-tauke ingin bertemu dengan seseorang, asal Hou-toako mau turun tangan, dengan segera orang itu berhasil ditangkapnya!"

"Kau kira aku tidak sanggup?", seru Thi-hou dengan mata mendelik.

"Kalau Hou-toako sendiripun tak sanggup, lantas siapakah manusia di dunia ini yang sanggup melakukannya?"

Sepasang kepalan Thi-hou telah menggenggam kencang.

"Kau sudah lelah!", tiba-tiba toa-tauke berkata.

Kepada Tiok Yap-cing kembali ujarnya:

"Kini Thi-hou telah pulang, tak ada salahnya kalau kau pulang dulu dan tidurlah barang dua jam!"

"Baik"

"Seandainya di atas pembaringanmu ada orang sedang menunggumu untuk menemani kau tidur, kaupun tak usah kaget, lebih-lebih lagi tak usah sungkan-sungkan"

"Baik!"

"Tidak terbatas siapapun orang itu!"

"Baik!"

Tiok Yap-cing segera mengundurkan diri, ia tidak bertanya siapakah orang itu, diapun tidak menanyakan yang lain. Setiap ucapan toa-tauke selamanya ia hanya menuruti tanpa membantah, iapun tak pernah banyak bertanya.

Hingga Tiok Yap-cing keluar dari pintu ruangan, Thi-hou masih mendelik ke arahnya, sepasang kepalannya masih tergenggam kencang-kencang sehingga otot-otot hijaunya pada menonjol ke luar, biji matanya ikut berputar dengan liar.

Sebagian besar orang yang kebetulan menyaksikan biji matanya berkeliaran liar, biasanya mereka akan menyingkir jauh-jauh, bahkan semakin jauh semakin baik.

Toa-tauke mengawasi biji matanya yang berkeliaran itu tajam-tajam, tiba-tiba ia bertanya:

"Sudah berapa lama kau mengikuti aku?"

"Lima tahun!"

"Belum, belum lima tahun. Yang tepat adalah empat tahun sembilan bulan dua puluh empat hari"

Biji mata Thi-hou tidak jelalatan lagi, sinar kagum dan hormat segera memancar keluar dari balik matanya, ia tak menyangka kalau toa-tauke dapat mengingat-ingat segala persoalan kecil itu sedemikian jelasnya, biasanya orang yang memiliki daya ingatan yang bagus, selalu akan mendatangkan perasaan kagum dan hormat bagi orang lain.

Toa-tauke kembali bertanya:

"Tahukah kau sudah berapa lama Siau-yap mengikuti diriku?"

"Ia jauh lebih lama daripadaku"

"Benar, ia sudah enam tahun mengikuti aku, tepatnya enam tahun tiga bulan tiga belas hari!"

Thi-hou tidak berani bersuara.

Kembali Toa-tauke bertanya:

"Selama kau mengikuti diriku, sudah empat puluh tujuh laksa uang perak yang kau hamburkan dan tujuh puluh sembilan orang perempuan yang kau cicipi, tapi dia?"

Thi-hou tidak tahu.

"Aku telah memberitahu kepada kasir, bahwa berapapun yang kalian berdua gunakan, aku akan melayani terus, tapi dalam enam tahun ini seluruhnya dia hanya menggunakan uang sebesar tiga ribu tahil perak"

Thi-hou si harimau baja berusaha menekan sabar, tapi akhirnya meledak juga kesabarannya itu, dia berseru:

"Maklumlah tauke, ada orang yang pandai menghamburkan uang, tapi ada pula yang tidak mampu.........?"

"Diapun tidak mempunyai perempuan!", kembali toa-tauke berkata.

Thi-hou kembali bersabar agak lama, toh akhirnya ia tak tahan juga, kembali serunya:

"Siapa tahu kalau hal ini disebabkan dia pada hakekatnya bukan seorang pria jantan?"

"Akan tetapi pekerjaan yang ia lakukan bagiku tidak bisa dikatakan lebih sedikit dari apa yang telah kau kerjakan untukku!"

Thi-hou tak mau mengakuinya, tapi diapun tak berani menyangkal.

Kembali toa-tauke berkata:

"Pekerjaan yang ia lakukan bagiku bukan termasuk pekerjaan yang dapat mengangkat nama atau mempopulerkan nama baiknya, dia tak suka uang dan tak mau main perempuan pula, coba pikirlah apa yang ia tuju selama ini.......?"

Thi-hou lebih-lebih tak berani membuka suara.

"Kecuali nama, kekayaan dan perempuan, masih ada perbuatan apa lagi di dunia ini yang bisa menggerakkan perasaan seorang pria?", tanya toa-tauke lebih lanjut.

Thi-hou mengetahuinya, tapi ia tak berani mengutarakannya keluar.

"Itulah kekuasaan!", akhirnya toa-tauke mengucapkannya sendiri.

Apabila seorang pria telah berhasil memegang tampuk kekuasaan, apapun yang diinginkan dapat segera diperoleh, apa lagi yang merisaukan hatinya?

"Apapun tidak ia inginkan", kata toa-tauke lagi, "siapa tahu karena dia hanya mengincar kedudukanku ini!"

Mencorong sinar tajam dari balik mata Thi-hou, katanya:

"Asal toa-tauke mengucapkan sepatah kata, setiap saat aku dapat membekuk batang leher keparat itu!"

Tidak ada komentar: