Pendekar Gelandangan 025

Pendekar Gelandangan

Karya: Khu Lung

25

Si bisupun menggenggam tangannya.

Ke dua orang itu sama-sama tidak bersuara, seakan-akan di dunia ini banyak terdapat persoalan dan perasaan yang sesungguhnya tak dapat diutarakan dengan perkataan.

Persoalan di antara kaum pria, sesungguhnya terdapat pula banyak hal yang tidak akan dipahami oleh kaum perempuan.

Sekalipun seorang perempuan sudah banyak tahun hidup berdampingan dengan seorang pria, walaupun mereka sudah hidup senang bersama menderita bersama selama banyak waktu, belum berarti ia dapat memahami seluruh jalan pikiran serta perasaan dari lelaki tersebut.

.......Pria sendiri belum tentu juga benar-benar bisa memahami jalan pemikiran serta perasaan dari kaum perempuan.

Akhirnya A-kit berkata:

"Meskipun kau tak pandai berbicara, tapi apa yang ingin kau katakan di dalam hati telah kupahami semua!"

Si bisu manggut-manggutkan kepalanya, air mata tampak mengembang dalam kelopak matanya, kemudian meleleh keluar........

"Aku percaya kau tak akan membocorkan rahasiaku, aku amat mempercayai dirimu!", kembali A-kit berkata.

Sekali lagi digenggamnya tangan si bisu kencang-kencang, kemudian tanpa berpaling lagi ia pergi meninggalkan tempat itu.

Ia tak tega untuk berpaling, sebab diapun tahu sepasang suami-isteri yang sederhana itu mungkin tak akan merasakan lagi penghidupan meski sengsara tapi amat tenang dan penuh kedamaian itu.

Tanpa terasa ia mulai berpikir kepada diri sendiri.

.......Sesungguhnya manusia macam apakah aku ini? Kenapa selalu mendatangkan banyak kesulitan serta kesengsaraan bagi orang lain?

.......Perbuatanku ini sebenarnya betul atau salah?

ooo)O(ooo

Ketika ia telah pergi jauh, air mata dalam kelopak mata si bisu benar-benar tak dapat di bendung lagi, bagaikan hujan deras melelehlah air mata itu dengan derasnya.

Bininya masih juga mengomel:

"Hanya kesulitan yang ia berikan untuk kita berdua, kenapa kau masih bersikap demikian kepadanya?"

Dalam hati kecilnya si bisu menjerit:

".....Karena ia tidak memandang hina diriku, karena ia menganggap aku sebagai sahabatnya, kecuali dia belum pernah ada orang yang benar-benar menganggapku sebagai seorang sahabatnya"

Untuk pertama kalinya perempuan itu tidak berhasil memahami jeritan di dalam hati suaminya, karena ia tak pernah dapat memahami arti kata dari suatu 'persahabatan', iapun tak tahu berapa beratkah bobot dari persahabatan dalam hati seorang pria.

Seorang pria yang benar-benar sejati, seorang lelaki jantan yang gagah perkasa.

ooo)O(ooo

Mayat Thi-hou diangkut pulang dengan mempergunakan selembar pintu kayu, kini mayat tersebut membujur di dalam gardu segi empat dalam kebun bunga......

Senja telah menjelang tiba, cahaya lentera mulai dipasang orang di sekitar gardu itu.

Sambil bergendong tangan dengan tenangnya Tiok Yap-cing mengawasi mayat yang berbaring di atas pintu kayu itu, wajahnya amat hambar sedikitpun tanpa emosi.

Seakan-akan ia sudah tidak merasa kaget atau tercengang lagi dalam menghadapi kejadian seperti ini.

Menanti Toa-tauke muncul secara tergesa-gesa, rasa sedih dan murung baru muncul dan menghiasi wajahnya.

Toa-tauke telah melompat masuk, ketika menyaksikan jenazah dari Thi-hou membujur dalam gardu tersebut, ia melompat sambil berteriak penuh kemarahan:

"Apakah lagi-lagi hasil perbuatan dari A-kit?"

Tiok Yap-cing menundukkan kepalanya, lalu menjawab dengan sedih:

"Tak pernah kusangka klau secepat ini ia dapat menemukan A-kit, lebih-lebih tak pernah kusangka kalau ia bakal mati dalam keadaan yang begini mengenaskan!"

Toa-tauke tidak berhasil menemukan luka di tubuhnya, maka kembali Tiok Yap-cing memberi penjelasan:

"Sebelum menemui ajalnya seluruh tulang persendian dalam tubuhnya telah kena dihajar sampai hancur lebur"

"Dihancurkan oleh benda apa?"

"Aku tidak berhasil menebaknya!"

Kembali Tiok Yap-cing termenung sebentar, kemudian ujarnya lebih lanjut:

"Aku hanya dapat mengetahui bahwa A-kit tidak mempergunakan golok atau pedang, iapun tidak mempergunakan benda keras!"

"Dari dasar apakah kau dapat berkata demikian?", Toa-tauke segera bertanya dengan perasaan ingin tahu.

"Di atas pakaian yang digunakan Thi-hou, sama sekali tidak ditemukan tanda-tanda bekas kena di pukul benda besi, pun tidak dijumpai pakaian yang robek, sebaliknya malah tertinggal bekas-bekas hancuran kayu"

Sepasang mata Toa-tauke terbelalak lebar-lebar.

"Masakah benda yang dipergunakan A-kit tidak lebih hanya sebuah tongkat kayu?", teriaknya.

"Ya, kemungkinan sekali memang demikian!"

"Tahukah kau kepandaian apakah yang telah dilatih oleh Thi-hou?"

"Agaknya ilmu Kim-ciong-cang, atau Thi-bu-san dan sebangsanya, jelas semua kepandaian yang dilatihnya adalah sejenis kepandaian yang termasuk kepandaian Gwa-kang!"

"Pernahkah kau menyaksikan sendiri kepandaian yang dimilikinya itu.....?"

"Tidak!"

"Aku pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, justru lantaran kepandaian yang dimilikinya terlampau tangguh maka aku tak pernah menanyakan asal-usulnya lagi setelah menerima dia sebagai anak buahku, kemudian baru diketahui bahwa dia bukan lain adalah Im-tiong-kim-kong (Manusia raksasa dari Im-tiong) Huo Lo-sam yang sudah termasyhur namanya selama banyak tahun di wilayah Liau-pak!"

"Aku pernah mendengar persoalan ini dari Toa-tauke!", Tiok Yap-cing segera menerangkan.

"Meskipun ia pernah dipaksa dan dikejar oleh Lui Ceng-thian sehingga tak mampu untuk kabur lagi, tapi aku yakin kalau kepandaian silat yang dimilikinya sama sekali tidak selisih banyak jika dibandingkan dengan kepandaian yang dimiliki oleh orang she Lui tersebut, diapun tak selisih banyak pula dengan Giok Pah-ong (Raja bengis pualam) tersebut!"

Tiok Yap-cing tidak berani membantah.

Tak ada orang yang berani mencurigai ketajaman mata Toa-tauke, sebab semua persoalan yang sudah melewati pertimbangan dari Toa-tauke tak mungkin bakal salah lagi.

"Tapi ternyata kau mengatakan bahwa A-kit yang tak berguna, hanya mengandalkan sebuah tongkat kayu telah berhasil meremukkan seluruh tulang persendian di tubuhnya?", seru Toa-tauke lebih lanjut.

Tiok Yap-cing tak berani buka suara.

Toa-tauke menggenggam sepasang kepalannya kencang-kencang, kembali ia bertanya:

"Kau jumpai mayatnya di mana?"

"Di gedung kediaman Han toa-nay-nay!"

"Tempat itu bukan sebuah kuburan, tentunya ada beberapa orang yang menyaksikan mereka bertarung bukan?"

"Tempat di mana pertarungan itu berlangsung adalah sebuah halaman kecil di belakang dapur yang merupakan sebuah tempat berisi kayu bakar serta tumpukan sampah. Nona-nona sekalian jarang sekali berkunjung ke situ, maka kecuali A-kit dan Thi-hou sendiri, hanya tiga orang yang ikut hadir di sana pada waktu itu"

"Siapakah ke tiga orang itu?"

"Han toa-nay-nay serta sepasang suami isteri si bisu yang bekerja sebagai koki di dapur!"

"Sekarang apakah kau telah membawa mereka datang kemari?"

"Belum!"

"Kenapa?", tanya Toa-tauke dengan marah.

"Karena mereka telah dibunuh oleh A-kit untuk menghilangkan saksi hidup!"

Semua otot-otot hijau di atas jidat Toa-tauke pada menonjol keluar semua, sambil gigit bibir menahan emosi, ia berseru:

"Baik, baik, begitu banyak orang yang ku pelihara, sudah banyak tahun ku pelihara kalian semua, tapi kalian betul-betul bodoh seperti gentong nasi, masa untuk menghadapi seorang bocah keparat pemikul tinjapun tak becus!"

Tiba-tiba ia melompat sambil meraung lagi keras-keras:

"Mengapa kalian masih belum juga menyingsingkan lengan bajumu dan berangkat?"

Menanti hawa amarahnya sudah agak reda, Tiok Yap-cing baru berbisik dengan suara rendah:

"Karena kami masih harus menunggu beberapa orang lagi!"

"Siapa yang akan kita tunggu?"

Tiok Yap-cing berbisik dengan suara yang lebih rendah lagi:

"Menunggu beberapa orang yang bisa kita pakai untuk menghadapi manusia yang bernama A-kit!"

Segera mencorong ke luar sinar tajam dari balik mata Toa-tauke, diapun merendahkan suaranya sambil berbisik:

"Apakah kau merasa yakin pasti berhasil?"

"Ya, aku yakin!"

"Bagaimana kalau kau sebutkan dahulu sebuah nama dulu di antaranya.....?"

Tiok Yap-cing membungkukkan badan dan membisikkan sesuatu di sisi telinganya.

Semakin tajam sinar mata yang memancar ke luar dari balik mata Toa-tauke.

Dari balik bajunya Tiok Yap-cing mengambil ke luar segulung kertas, lalu ujarnya lagi:

"Inilah daftar nama yang ia berikan untukku, dia akan bertanggung jawab untuk membawa datang semua orang tersebut"

Setelah menerima gulungan kertas tersebut, Toa-tauke segera bertanya lagi:

"Sampai kapan mereka baru akan tiba di sini?"

"Paling lambat besok sore!"

Toa-tauke segera menghembuskan napas panjang.

"Aaaaiii......baiklah atur semua persiapan bagiku, besok sore akan kutemui A-kit!"

"Baik!"

Kembali Toa-tauke menepuk-nepuk bahunya lalu berkata lagi:

"Aku hanya tahu dalam persoalan apapun kau pasti dapat aturkan segala sesuatunya bagiku"

Sekulum senyuman kembali menghiasi ujung bibirnya, ia berkata lebih jauh:

"Malam ini kau boleh beristirahat dengan nyenyak, besok pagipun boleh bangun rada lambat, perempuan itu.........."

Ia tidak melanjutkan kembali kata-katanya.

Tiok Yap-cing segera membungkukkan badannya memberi hormat, katanya sambil tertawa paksa:

"Aku tahu, aku pasti tak akan menyia-nyiakan maksud baik Toa-tauke terhadap diriku!"

Toa-tauke tertawa terbahak-bahak.

"Haaaahhhh.......... haaaahhhhhh...... haaahhhhhh....... bagus, bagus sekali!"

ooo)O(ooo

Jenazah Thi-hou masih membujur di sana, tapi ia tidak memandang barang sekejappun.

Toa-tauke belum pergi lama, Thi-jiu (si tangan baja) A-yong telah memburu datang, ia berlutut di hadapan jenazah Thi-hou dan menangis tersedu-sedu.

Menyaksikan keadaan tersebut, Tiok Yap-cing segera mengernyitkan alis matanya, lalu menegur:

"Air mata seorang lelaki sejati tak akan mengucur keluar secara sembarangan, manusia yang telah mati tak akan hidup kembali, apalagi yang kau tangisi?"

"Aku bukan menangis baginya, aku menangisi diriku sendiri", sahut A-yong sedih.

Lalu sambil menggigit bibir dan mengepal sepasang tinjunya, ia berkata lebih jauh:

"Karena pada akhirnya aku telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimanakah nasib dari orang-orang yang bekerja baginya!"

"Sikap Toa-tauke terhadap orang toh terhitung baik sekali.....", kata Tiok Yap-cing.

"Tapi sekarang setelah Thi-hou mati, paling tidak Toa-tauke harus aturkan penguburannya dengan sepantasnya......."

"Toa-tauke tahu bahwa aku bisa mengaturkan segala sesuatunya itu baginya", tukas Tiok Yap-cing dengan cepat.

"Kau? Thi-hou mampus lantaran urusan Toa-tauke ataukah karena urusanmu?"

Dengan cepat Tiok Yap-cing menutup bibirnya, tapi dua puluhan orang laki-laki kekar yang berdiri dalam gardu persegi enam telah berubah wajah sesudah mendengar perkataan itu.

Siapapun tahu betapa setianya Thi-hou terhadap Toa-tauke, siapapun tak ingin mempunyai nasib seperti apa yang dialaminya sekarang.........

Kembali Tiok Yap-cing menghela napas panjang, katanya:

"Aku tak mau tahu Thi-hou mati karena siapa, aku hanya tahu jika sekarang Toa-tauke suruh aku mati, aku akan segera berangkat untuk mati!"

ooo)O(ooo

Malam telah menjelang tiba.

Tiok Yap-cing menembusi jalan kecil di belakang gardu persegi enam, berjalan ke luar dari pintu sudut dan masuk ke sebuah lorong sempit di luar dinding pekarangan.

Setelah menembusi tikungan lorong sempit tadi, muncullah sebuah pintu kecil.

Ia mengetuk pintu itu tiga kali, lalu mengetuk lagi dua kali, pintupun segera terbuka, itulah sebuah halaman kecil yang redup, gelap dan sama sekali tak bercahaya.

Seorang kakek bungkuk menutup pintu itu, lalu diberi palang kayu di belakangnya.

"Mana orangnya?", tegur Tiok Yap-cing dengan suara dalam.

Kakek bungkuk itu tidak menjawab, dia hanya menggeserkan sebuah gentong air dari sudut ruangan, lalu memindahkan sebuah ubin batu dari permukaan lantai.

Gentong air maupun ubin batu itu bukan benda yang enteng, tapi sewaktu memindahkannya ternyata ia seperti tidak ngotot, seakan-akan sama sekali tidak mempergunakan tenaga.

Sebercak sinar lirih memancar keluar dari bawah ubin, dan menyinari undak-undakan batu.

Sambil bergendong tangan pelan-pelan Tiok Yap-cing menuruni undak-undakan batu itu.

Ruangan bawah tanah itu lembab dan gelap, di sudut ruangan duduk dua orang, ternyata mereka adalah si bisu dengan bininya.

Tentu saja mereka belum mampus, A-kit sama sekali tak melenyapkan jiwa mereka, tapi siapapun tidak tahu mengapa mereka bisa sampai di situ.

Bahkan mereka sendiripun tidak tahu.

Mereka cuma teringat batok kepalanya dipukul orang secara tiba-tiba, ketika sadar kembali tahu-tahu mereka sudah berada di sini.

Hawa amarah masih menghiasi raut wajah si bisu, sebab begitu ia sadar kembali dari pingsannya, sang bini lantas mulai menggerutu tiada hentinya:

"Aku tahu hanya kesulitan dan kesialan yang ia berikan untuk kita berdua, aku sudah tahu kalau kali ini........"

Perkataan itu tidak berkelanjutan karena ia telah menyaksikan seseorang menuruni anak tangga batu, meskipun sekulum senyuman masih menghiasi ujung bibirnya, tapi di bawah sinar lampu yang redup, tampaklah betapa misteriusnya orang itu.

Tak tahan lagi ia bergidik dan merinding, dipegangnya lengan suaminya yang besar dan kasar itu erat-erat.

Tiok Yap-cing tersenyum sambil memandang ke arah mereka berdua, ujarnya dengan lembut:

"Kalian tak usah takut, aku bukan datang untuk mencelakai kalian, aku tidak lebih hanya ingin mengajukan beberapa buah pertanyaan kepada kamu berdua"

Dari sakunya dia mengeluarkan setumpuk daun emas dan dua keping uang perak putih, sambil disodorkan ke muka ia berkata:

"Asal kalian bersedia menjawab dengan sejujurnya, semua emas dan perak ini akan menjadi milik kalian, uang tersebut sudah lebih dari cukup bagi kalian sebagai modal untuk membuka sebuah warung makan kecil"

Si Bisu menggigit bibirnya kencang-kencang, sementara isterinya menunjukkan sinar mata yang rakus, selama hidupnya belum pernah ia menjumpai uang emas sebanyak itu. Perempuan manakah yang tidak suka uang emas?

Senyuman yang menghiasi bibir Tiok Yap-cing lebih lembut dan hangat.

Ia paling suka menyaksikan orang lain menunjukkan titik kelemahan di hadapan mukanya, diapun telah melihat bahwa cara yang ia pergunakan pasti akan mendatangkan hasil seperti apa yang ia harapkan.

Maka ia segera bertanya:

"Sebelum mereka langsungkan pertarungan, pernahkah kedua orang itu terlihat dalam suatu pembicaraan sengit?"

"Ya, pernah!"

"Benarkah nama asli dari Thi-hou adalah Lui Ceng-thian? Hong-im-lui-hou (Harimau guntur angin dan mega) Lui Ceng-thian?"

"Agaknya betul!", jawab bininya si bisu, "aku seperti mendengar ia mengakuinya sendiri, tidak banyak orang dalam dunia persilatan yang bisa mengalahkan Lui Ceng-thian!"

Tiok Yap-cing tersenyum.

Sekalipun dalam soal ini Thi-hou berhasil membohongi Toa-tauke, tapi tak akan mampu untuk membohonginya, tak pernah ada orang yang mampu membohonginya.

Maka ia kembali bertanya:

"Apakah A-kit telah menyebutkan namanya sendiri?"

"Tidak!", kembali bininya si bisu menjawab, "tapi aku lihat Thi-hou sepertinya telah mengetahui siapa gerangan dirinya......."

Selama ini si bisu hanya melotot ke arahnya, hawa amarah memenuhi sorot matanya, tiba-tiba telapak tangannya melayang dan........."Plok!", sebuah tamparan bersarang telak di atas wajahnya membuat perempuan itu hampir saja terangkat ke udara.

Perempuan itu dengan kalap berteriak:

"Aku sudah hidup sengsara denganmu semenjak muda, kesempatan baik telah tiba, kenapa kita mesti melepaskannya dengan begitu saja? Atas dasar apa kau harus menjaga rahasia buat temanmu yang mendatangkan kesialan itu? Kebaikan apa yang telah ia berikan kepada kita?"

Sekujur badan si bisu gemetar keras, ia benar-benar amat mendongkol dan marah.

Kini, perempuan tersebut sudah bukan istri yang baik dan lembut lagi, sekarang dia sudah menjadi seorang perempuan tamak yang bersedia menjual segala-galanya demi untuk mendapatkan uang emas.

Perempuan yang tak mau mengakui lagi suaminya lantaran emas bukan cuma dia seorang, pun dia bukan perempuan yang terakhir.

Secara tiba-tiba saja ia menemukan bahwa perempuan itu dulu bersedia hidup sengsara dengannya lantaran selama ini belum pernah ada kesempatan baik yang pernah dijumpainya, coba kalau tidak, mungkin semenjak dulu-dulu ia telah pergi meninggalkannya.

Jalan pemikiran tersebut ibaratnya sebuah jarum tajam yang masuk ke dalam hati kecilnya.

Dia masih saja berteriak keras:

"Kau melarang aku mengucapkannya keluar, tapi aku justru sengaja mengucapkannya, kalau kau tidak ingin menikmati kebahagiaan sekarang juga, kau boleh enyah, enyah makin jauh semakin baik, aku.........."

Belum sampai ucapan tersebut di selesaikan, si bisu telah menerkam ke depan, sekuat tenaga dicekiknya leher perempuan itu, sedemikian besarnya tenaga yang dipakai untuk mencekik sehingga seluruh otot-otot hijau pada lengannya pada menonjol keluar.

Tiok Yap-cing sedikitpun tidak bermaksud melerai atau mencegah terjadinya tragedi tersebut, ia hanya menonton dengan tenang dari samping, malah sekulum senyum menghiasi ujung bibirnya.

Menanti si bisu menemukan bahwa tenaga yang dipergunakan untuk mencekik terlampau besar, ketika dia mengetahui napas isterinya sudah berhenti, ia baru melepaskan cekikannya, sayang sudah terlalu lambat.

Dengan terkejut ditatapnya sepasang tangannya sendiri, kemudian diperhatikan pula istrinya yang sudah menjadi mayat, air mata dan keringat dingin mengucur keluar dengan derasnya seperti hujan yang bercucuran.

Tiok Yap-cing segera tersenyum, katanya:

"Bagus, bagus sekali! Kau memang seorang lelaki sejati, tidak banyak kaum pria di dunia ini yang sanggup mencekik mampus bini sendiri dalam waktu singkat, aku sangat mengagumimu!"

Si Bisu memperdengarkan suara raungan rendah seperti pekikan binatang buas, tiba-tiba ia putar badan dan menerkam ke depan.

Tiok Yap-cing segera mengebaskan ujung bajunya untuk menahan gerak maju si Bisu, katanya dengan dingin:

"Yang membunuh binimu toh kau sendiri dan bukan aku, kenapa kau musti menerkam aku?"

Tanpa berpaling lagi ia berjalan ke luar dari bawah tanah, belum sampai melangkah undak-undakan batu, tiba-tiba ia mendengar suara benturan nyaring.......

"Braaaaaakkkk........!"

Tak usah berpaling ia sudah tahu bahwa suara itu berasal dari kepala manusia yang membentur di atas dinding batu, hanya batok kepala yang hancur baru akan memperdengarkan suara semacam ini.

Tiok Yap-cing belum juga palingkan kepalanya.

Terhadap kejadian tersebut, ia tidak merasa di luar dugaan, pun tidak merasa bersedih hati, bukan saja ia telah memperhitungkan akibat tersebut, masih banyak nasib manusia yang berada dalam cengkeramannya.

Terhadap keberhasilannya ia merasa puas, dia harus mencari akal untuk baik-baik memberi hadiah kepada diri sendiri.

=============
2 Lembar Hilang.
=============

"Aaaahhh.....! Kesemuanya ini tidak lain karena kau terlalu pandai bersandiwara, ternyata kau bisa membuat dia mengira bahwa kau paling benci kepadaku, dan membuat dia sudah menjadi telur busuk tuapun masih merasa sangat bangga"

Tidak ada komentar: